hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


Mereka berdua berada dalam mobil yang sedang melaju konstan. Hans fokus sama jalanan didepannya, meskipun lenggang tetap saja harus hati-hati. Sedangkan June lagi nikmatin semilir angin yang menyapa wajahnya karena jendela mobil dibuka. Swabia itu kota sejuk, bisa dibilang masih kuno sebab lebih banyak hutan daripada rumah penduduk. Apalah arti pendingin mobil jika bisa menghirup oksigen segar gratis.

June tersentak ketika pahanya merasakan getaran ringan dari ponsel pintarnya. Ada pesan masuk. Omega manis itu segera mengecek pesannya, takut-takut seorang pembeli.

Hans melirik sang omega dengan ujung matanya. Mengamati setiap perubahan ekspresi si manis. Tak nampak jelas, namun Hans tau bahwa June; suaminya sedang tak nyaman.

“Siapa?” Suara bariton itu muncul akibat tak lagi tahan. Mau tau banget siapa yang lagi berkirim pesan dengan suaminya.

June seperti biasa, tak langsung menjawab. Kebiasaan overthinking, mikir harus ngasih tau atau nggak ke alpanya.

Dan untuk kali June menutup kolom chat-nya, memasukkan ponsel dalam saku dan membenarkan ekspresi wajahnya senetral mungkin.

“Biasa, orang komplain. Nothing serious, kok.” June mengusap lengan berisi suaminya, menyalurkan afeksi dengan pesan 'nggak papa, semua baik kok' biar alpanya berhenti khawatir.

“Perasaan sebelum aku kirim udah dicek satu-satu loh dan semua baik.” Sahut Hans masih tak terima. Hans itu profesional dan perfeksionis meskipun belum sampai tahap maniak. He always doing his jobs perfectly, kadang dia suka nggak terima kalau dikomplain.

“Hei, kerjaan itu nggak melulu penuh pujian, bahkan komplain kayak gini yang bikin makin maju.”

Setelah ngomong gitu mereka diem lagi, Hans lagi sibuk mainin kopling. Mobil bergerak makin lambat karena udah masuk area sekolah.

June sendiri? dia lagi-lagi dibawa jauh sama lamunannya. Pesan tadi tentunya bukan masalah kerjaan, tapi masalah lebih besar daripada itu yang dengan gak sopannya dateng, numpuk begitu aja diatas masalah kemarin yang bahkan belum ketemu pasti jawabannya.

Bener kata kakaknya beberapa jam yang lalu, kabur mungkin jadi jalan terbaik.


`teuhaieyo.


Satu hari lagi terlewati, beribu beban yang teremban dipundak harus dihiraukan kembali. Mencoba peruntungan hari esok untuk sekedar memikirkan langkah selanjutnya. June meletakkan ponselnya, iris karamel itu terbuka dalam ruangan kamar temaram, pandangannya lurus tepat menatap langit-langit. Sorotnya kosong, namun dalam pikirannya penuh masalah rumit belum terpecahkan. Pusing, beruntunglah suara nyanyian jangkrik beserta dedaunan kering diterpa angin sedikit membuatnya tenang.

June mengubah posisinya, kesamping agar wajah damai sang alpha bisa Ia lihat. Tanpa lampu, hanya bermodal sinar dari bulan yang mengintip masuk dalam kamar sepasang mate, paras menawan sang alpha masih jelas terlihat.

Bibir tipisnya menyungging kecil, telapak tangannya sepelan mungkin mengusap rahang tegas sang alpa. Lalu, dibenarkan posisi selimut mereka berdua.

“Hm..” Gumam sang alpha tiba-tiba. Pemilik aroma tanah setelah hujan kini ikut memposisikan tubuh bongsornya kesamping. Lengan besar penuh urat jatuh dipinggang sang omega, juga mengusap punggungnya sayang. June mengerti, alphanya ini terbangun meskipun matanya masih terpejam.

“Maaf jadi bangun..” Bisiknya sembari lebih menempel pada dada bidang dominannya.

“Mikir apa?” June sedikit merinding, bulu kuduknya berdiri kala suara bariton khas bangun tidur menyapa gendang telinganya.

Sang omega sejenak diam, memilih mengusapkan hidung bangirnya pada permukaan kulit leher sang alpa hingga sensasi basah juga bisa dirasa. Bibir semerah bunga mawar itu juga sesekali mengecup kilat leher sang alpa.

“Ini itu...banyak.” Balasnya kemudian.

Hans akhirnya membuka obsidian setajam elang. Meneliti sebentar air wajah omeganya yang beberapa hari ini sinarnya meredup. Hans tau banyak sekali beban yang dipikul, enggan bercerita, berlagak baik-baik saja dihadapannya. Si manis dibuat lupa bahwa mereka telah terikat satu sama lain. Perubahan suasana June Arbecio; omeganya, dapat Ia rasakan juga.

Manik cantik itu terpejam. Hangat, basah sensasi bibir sang alpa didahinya. Kerutannya berangsur menghilang, juga gundah dihati. Hans Arbecio selalu punya sejuta cara manis untuk menenangkan suaminya.

Alpa tampan itu menyudahi kecupannya, mendekap tubuh kecil omega sembari menepuk-tepuk punggung lebar suaminya pelan. “Tidur, kamu capek. Rileks, lepasin semuanya.”

“Hans?” Panggilnya.

“Hum?”

“Kakakku mau menikah dan dia maksa aku dateng, tapi aku takut... aku takut terjebak disana kalau aku pulang ke Aragon.”

Tepukan dipunggung sang omega sejenak berhenti, namun setelah mendengar semua kalimatnya Hans kembali melakukannya lagi.

“Besok, besok kita bahas lagi ya. Selamat tidur, duniaku.”

June terkikik geli, alpanya juga selalu punya jutaan sebutan manis untuk memuja dirinya.

“Eung.. selamat tidur juga.”


`teuhaieyo.


tw// kisses

Senin pagi hari mendadak sepi. Rumah sederhana penuh suara jadi sunyi, hanya suara napas halus dari hidungnya bersamaan dengan gunting ditangan.

June meletakkan guntingnya ketika tali yang melingkar pada karangan bunga sudah cukup panjangnya. Jemari lentik itu dengan telaten menyimpulkan membentuk pita. Cantik, akhirnya pesanan terakhir berhasil Ia selesaian. June tak langsung bergerak, Ia memilih melamun memperhatikan punggung tegap berlapis baju kotak-kotak yang tengah duduk membelakanginya.

Bau tanah setelah hujan mengusik hidungnya. Hari ini sedang panas, namun rumah mereka selalu dingin menenangkan akibat feromon sang alpha. Feromon pria itu semakin pekat ketika jarak yang dibuat semakin sempit. Dengan tangan penuh dua pot bunga, sang alpha mendekat.

“Kenapa cemberut gitu?” Tanya sang alpha; Ia meletakkan dua bibit bunga baru tepat disebelah sang omega.

“Feromon kamu ganggu tau nggak. Lagi seneng banget, emang ada apa?”

Hans mengendikkan bahunya, bingung juga mau jawab gimana. Suasana hatinya memang sedang baik, tak ada alasan khusus. “Aku setiap hari memang begini bukan?”

Alpha itu duduk berhadapan dengan suaminya. Ia mengamati setiap rangkaian bunga yang berhasil sang omega selesaikan. Perfect, omeganya memang terbaik jika tentang bunga sesuai dengan bau tubuhnya.

“Sepi...” Cicit si manis tiba-tiba. Sudut mata sang alpha mengintip perubahan ekspresi omeganya yang semakin tak bersemangat.

“Hm?”

“Kalau nggak ada anak-anak sepiㅡ” Lanjutnya. June pada awalnya berpikir bahwa kecelakan yang terjadi sungguh membuatnya pening. Punya satu bayi dalam satu jentikan diusianya yang baru saja menginjak dewasa menekan kejiwaannya. Namun, setelah 15 tahun hidup bersama Ia sangat menikmati perannya hingga perasaan rindu selalu muncul ketika dua buah hatinya tak ada disekitarnya. Eksistensi Evander dan Arsene Arbecio sangat penting dalam hidupnya.

Hans terkekeh, mencubit pipi yang setiap hari semakin mengembang, gemas. Anak-anaknya baru beberapa jam meninggalkan rumah kembali menuju asrama.

“ㅡAku kangen sama anak-anak. Gimana kalau besok keluargaku bener-bener misahin aku sama mereka.”

Hans dengan cepat merengkuhnya, sembari mengusap punggung sang omega lembut, menguarkan seluruh feromonnya agar omeganya tenang. Ia tau betapa gundahnya June pun dirinya juga.

“Aku sudah bilang padamu, my love. Kita berempat akan baik-baik saja.”

Hans menarik June menjauh, kedua pasang binar netra mereka saling mengisi satu sama lain. Lalu, sensasi basah hinggap pada bibir semerah mawar. Hans mengecup bibir suaminya lembut, hanya kecupan singkat dan tidak menuntut.

June tersenyum kecil, bersyukur alam memberinya mate seorang Hans Arbecio.

“Lagipula aku punya cara agar rumah ini bisa ramai hanya dengan kita berdua.” Ujar sang alpha lengkap dengan senyum jahil.

“Bagaimana caranya?”

Dahi si manis mengkerut, menunggu lanjutan dari sang suami. “Dengan suaramu, ketika kamu berada dalam kungkunganku.”

Hans tertawa sedangkan June menatapnya galak meskipun semburat merah muda muncul pada kedua pipi gembulnya. June beranjak sembari menghentakan kakinya di tanah.

“Dalam mimpimu, Tuan Hans!”


`teuhaieyo.


Dok! Dok! Dok!

Pintu kayu rumah sederhana diketuk dengan tempo konstan mencoba meraih atensi sang pemilik. Pria paruh baya itu berdiri tegang menunggu pemiliknya muncul sembari menerawang sekitar. Rumah sederhana satu-satunya diantara pepohonan pinus nampak berbeda semenjak terakhir kali Ia mendatangi lokasi ini.

Perasaan lega muncul, rumah kecil yang dulunya lusuh tertutup lumut dan debu telah disulap menjadi cantik. Diantara gelapnya hutan pinus, rumah ini sangat bersinar karena lampu hias yang tertempel ditembok dan masing-masing lahan kebun. Mereka hidup dengan baik.

Ceklek

Dunia seakan berhenti berputar kala pintu kayu dihadapan Yang Mulia Raja Aragon dibuka. Sosok lelaki jangkung muncul beserta senyum ramah yang saat ini perlahan memudar digantikan raut bingung serta ketakutan.

Dad...?” Cicitnya.

“Prince Juneㅡ” Telapak tangan diangkat, memotong ucapan si juru bicara.

“Sebuah kehormatan pemimpin Aragon sampai datang kemari, tetapi maaf jika hambamu yang penuh dosa ini menolak untuk menjamu. Silahkan meninggalkan kediaman tak layak saya.” Ujar June merendah, ungkapannya memang sopan namun cukup menusuk relung hati.

June melangkah mundur perlahan, akan menutup pintu sebelum ketiga alphanya menyadari kedatangan rombongan kerajaan. Takut-takut anaknya bertanya lebih yang berakhir membongkar kejadian dimasa lalu.

“Tunggu Prince June?!”

“June Arbecio, bukankah berlebihan memanggil saya Prince?”

“Dad datang kemari sebagai ayahmuㅡ” Hening kembali, akhirnya King Victor berani bersuara setelah sibuk berdebat dengan batin pun pikirannya.

“ㅡbukankah tidak sopan membiarkan orang tuamu berdiri disini?”

June menatapnya jengah, mengerlingkan kedua bola matanya lantas mendengus.

“Pria tua ini masih saja arogan.” Batinnya.

“Sayang dimana kamu meletakkan bubuk oregano.. uh? Your Highness, maaf silahkan masuk.”

“Hans!” Omeganya menahan lengan sang alpha yang akan membuka pintu lebih lebar. June menatap kedua mata elang sang alpha, menyalurkan perasaan gundah dalam hatinya. Lalu, June menggeleng.

“Haahhh... sudah sudah Dad tidak akan lama disini. Terimalah seluruh pemberian ini, beberapa ada dari Mommy.”

Setelah itu rombongan King Victor pergi, meninggalkan anak keduanya yang telah diasingkan selama 15 tahun lamanya.

Pintu kayu itu kembali ditutup. Mimik wajah keras yang sejak tadi ditunjukkan sang omega perlahan berubah menjadi raut sedih. June lemah, sekuat apapun menahan diri Ia hanya sosok omega yang perasaannya sangat sensitif.

Namun ditengah rasa sedihnya tersirat rasa kecewa akan tindakan ramah sang suami. “Harusnya kau mengusir orang tua itu, kenapa malah bersikap baik.”

Hans; sang alpha mengusap rambutnya perlahan lantas tersenyum. “He's your parent after all and my father in law”.

“Kamu tuh sadar nggak sih kita seperti ini karena siapa? Dia buang kita, he almost kill you and our baby back then!”

My love..”

“Hans, kamu tau kadang aku membencimu.”

Mendengar ungkapan itu Hans malah tertawa geli yang mana makin membuat omeganya kesal. Pemilik aroma bunga gardenia itu berlalu menuju kamar, menutup pintunya dengan kasar dan terakhir suara kuncian terdengar.

Hans Arbecio selamat, kamu tidur diluar malam ini.


`teuhaieyo.


Pria itu menghampiri sosok yang tengah melamun, bibir tipis berwarna merah muda sehat kesukaannya maju seperkian senti membuatnya gemas.

My love?ㅡ” Panggilnya lembut. Diletakkan keranjang berisi macam sayur dan buah hasil panennya. Bunyi berdebum nampaknya berhasil menarik kesadaran si manis.

Yang tengah duduk mendongak, memberikan seulas senyum. Ia menggeser duduknya, memberi ruang untuknya duduk sembari menunggu apa yang akan pria itu ucapkan selanjutnya.

“Apa yang sedang kau pikirkan, hm? Kau tampak tak bersemangat seperti biasanya.”

Helaan nafas kasar terdengar, sorot matanya menatap lurus hamparan hijau disekelilingnya. Swabia, kota kecil tempatnya berpijak belum pernah membuatnya bosan hidup disini, malah kadang Ia bersyukur diasingkan ditempat ini bersama ketiga alpha yang amat Ia sayangi.

“Hari ini tepat 15 tahun kita tinggal disini, saling menjaga, mengasihi, dan melewati jutaan susah dan tawa bersama sebagai keluarga. Anak-anak sudah beranjak dewasa danㅡ” Seketika suaranya tercekat, tak mampu mengutarakan lebih. Hingga tubuhnya direngkuh hangat. Bau petrichor menguar begitu saja guna menenangkan hati yang gundah. Aroma sang alpha memang selalu bisa membuatnya tenang.

“Aku mulai takut mereka akan segera menjemputku. Memisahkanku dengan mu dan anak-anak. Kau ingatkan? Hanya sampai kedua jagoan kita cukup besar.

Sensasi basah terasa dari bibir sang alpha yang mulus mendarat didahi. “Im sorry for being selfish” Ujarnya.

Im sorry for make this situation hard. I shouldn't convinced you to keep the baby.. no, harusnya kita memutus benang merah diantara kita setelah tau kita adalah mate” Lanjutnya dengan nada penuh penyesalan. Situasi rumit hingga mereka berakhir di Swabia; kota kecil seindah surga awalnya memang dari keputusannya.

Sang omega menangkup wajahnya, mengelus rahang gagah sang alpha. “Kamu melakukan hal yang benar, alpha. Apa jadinya jika kau menyetujui saranku untuk melenyapkan dia, aku adalah omega penuh berlumur dosa. Lihat sekarang, aku menikmati peranku sebagai seorang papa dari darah dagingku sendiri hingga aku tak bisa membayangkan jadinya hidup tanpa mereka.”

Rengkuhannya semakin mengerat, keduanya seolah memberikan semangat untuk satu sama lain.

“Ayo hadapi ini bersama. Jika mereka datang untuk memisahkan kita berjanjilah akan selalu mencari jalan untuk kembali bersama.”

cause, we were made to be together.


`teuhaieyo.


Di malam hujan deras Adnan datang, mengetuk pintu rumah itu dengan tak sabar. Dingin, Adnan dengan bodohnya menerjang rintihan langit hanya mengenakan kaus tipis beserta celana jeans selutut. Tubuhnya basah kuyup karena memilih pergi bersama motor kesayangannya.

Lagi, Adnan mengetuk pintu mencoba menarik perhatian pemiliknya didalam. Rumahnya nampak sepi tak berpenghuni, namun Adnan sudah biasa, memang begini adanya.

Ceklek

“Adnan?” Nata terkejut bukan main akan kedatangan Adnan juga karena penampilan berantakannya. Baru saja lewat 15 menit semenjak Ia membalas pesan Adnan dan pria itu sudah berdiri didepan pintu rumahnya. Nata menggeser tubuhnya, memberi Adnan akses masuk.

Saat ini keduanya telah berada dalam kamar Nata. Adnan tengah duduk dipinggiran ranjang lengkap dengan handuk serta hair dryer sedangkan Nata sibuk memilah pakaian kering yang cocok untuk Adnan. Canggung, satu kata yang mempu mendeskripsikan suasana kali ini. Tak seperti biasa, mereka bahkan baru pertama terlibat perasaan semacam ini pun jika mereka bertengkar selalu diutarakan dengan ungkapan, saling emosi, terakhir saling menenangkan satu sama lain.

Degup jantung Nata turut berhenti bersamaan suara berisik hair dryer berangsur menghilang. Nata bukannya sibuk, hanya saja tengah menghindar dari Adnan.

“Nata?” Panggil Adnan dengan suara baritonnya. Berat, rendah membuat bulu kuduk Nata seluruhnya berdiri.

Nata masih acuh, takut dinding kokoh yang telah Ia bangun luluh lantak begitu saja. Setelah mengetahui seluruh fakta yang ada, mendapati sahabat sejak kecilnya melihatnya dengan pandangan berbeda membuat semuanya semakin sulit. Nata bukannya tak sadar, namun Nata menyangkal. Keduanya memilih denial demi utuhnya sebuah ikatan pertemanan.

Nata bergeming ketika kedua lengan milik Adnan melingkar pinggang rampingnya posesif. Nafasnya tercekat, ujung kepala hingga kuku kaki seolah membeku. Adnan menyandarkan dagunya pada bahu Nata, nafas halus menerpa tengkuknya menghadirkan sensasi geli.

Cup

Adnan mengecup kilat kulit putih Nata, wangi buah-buahan manis merasuk indra penciumannya. Si manis menggeliat ingin melarikan diri dari rengkuhan Adnan. Terlambat, Adnan malah membalikkan tubuhnya, mendorong yang lebih kecil hingga menempel pintu lemari.

“Nan..” Lirihnya.

“Berhenti mengacuhkanku. Aku disini, kamu sendiri yang memintaku datang. Jangan lari lagi tidakㅡ larilah bersamaku. Genggam erat jemariku, seperti ini.” Adnan tersenyum, Nata tak sama sekali menolak dirinya bahkan ketika jemarinya ditautkan satu sama lain. Pas, seolah hadirnya Nata didunia memang untuk Adnan. Dikecup punggung tangan itu penuh cinta hingga pesannya mengalir sampai dijiwa.

Manik cantik itu berkilau bersamaan satu tetes air mata jatuh menuruni pipinya. Hatinya menghangat, jika ini mimpi tolong Nata tak ingin kembali. Rasa sakitnya sudah cukup, realita hampir membunuhnya.

“Izinkan aku untuk menghapus rasa sakitnya. Berusaha mengganti dengan kebahagiaan.” Nata mengangguk, sudah tak ada lagi alasan untuk mengelak. Adnan mengucapkannya penuh kejujuran dan keyakinan.

Detik kemudian bibir keduanya menyatu, kali ini tak ada unsur tidak sengaja, tak ada cinta sebelah pihak. Keduanya saling menginginkan satu sama lain.

Adnan takdir untuk Nata, begitu pula sebaliknya.


Hawa ruangan seketika meningkat. Ciuman penuh perasaan berubah menjadi dengan nafsu. Bibir yang sebelumnya hanya menempel satu sama lain saat ini menjadi lumatan kecil. Adnan meraup belah bibir bawah Nata, menyesap, menggigit penuh gemas hingga membengkak. Nata terbuai, jemarinya meremas bahu Adnan sebagai pelampiasan. Kedua pasang mata tertutup, saling menikmati permainan bibir.

Adnan menyudahi, menciptakan benang saliva diantara mereka. Nafasnya memburu, dadanya naik turun meraup banyak-banyak oksigen. Tak ingin berlama-lama Nata menyambar milik Adnan lagi, mengajaknya pada cumbuan liar. Gerakannya abstrak hingga saliva membasahi dagu. Adnan mengangkat tubuh Nata tanpa melepas bibir keduanya. Lalu, Ia membaringkan diatas kasur perlahan.

Tak tinggal diam, jemari Adnan menelusup membelai perut rata Nata. “Eugh..” Desahnya tertahan ketika Adnan tak sengaja menyentuh putingnya.

Nata pasrah, sentuhan Adnan pada tubuhnya penuh perasaan, hati-hati, seolah Nata adalah berlian yang harus Ia jaga. Tak ada paksaan, semuanya Ia lakukan dengan lembut.

“Hhmm..Shh..”

Nata mendesis ketika rasa perih bercambur geli menyerang permukaan kulitnya. Ia mendongak, memberikan seluruh akses bagi Adnan untuk mencumbu tengkuknya. Adnan menjilat, mengecup, serta menghisap kulit seputih susu hingga warnanya berubah keunguan. Sesekali pemuda tampan itu tersenyum, bangga akan hasilnya.

Nata miliknya seorang.

Adnan menjauhkan tubuhnya, mengamati setiap lekuk tubuh separuh telanjang Nata dari atas. Cantik, Nata itu sempurna walau dalam keadaan berantakan. Tatapan sendunya menggairahkan, suara desahannya meningkatkan libido Adnan hingga kepuncak terlebih jika si manis mendesahkan namanya.

Adnan meletakkan jemarinya diatas perut Nata. Bergerak tak tentu arah, menari bebas diatasnya. Selanjutnya, dengan perlahan Ia melepas jeans yang dikenakan Nata. Menariknya dengan gerakan sensual hingga tiada lagi kain yang mampu menghalangi Adnan.

Malu, Nata memilih melihat arah lain asal bukan raut penuh nafsu dominannya. Adnan terkekeh, kembali mengungkung tubuh si manis, mengecup bibirnya lagi sekilas.

“Ahh..”

Desahnya saat kedua benda tak bertulang saling bergesek. Geli seolah ribuan kupu-kupu terbang bergerombol di dalam perutnya. Perlahan Adnan membuka salah satu paha Nata, membuka sendiri akses untuk kepunyaannya.

“AKHH.. Adnahhn..”

Milik Adnan itu besar mengisi penuh lubang Nata. Adnan bergerak, maju mundur perlahan saling membiasakan satu sama lain. Sesekali Adnan menggeram akibat Nata menggenggam milik Adnan begitu erat.

“Hhmmm...” Adnan mendongak, sensasinya luar biasa, sakit, sesak, namun membuatnya melayang.

“Uuhhmm.. Ahhh.. Akh! Ahh...”

Gerakan mereka meliar, tumbukan yang diberikan semakin cepat. Nata pasrah ketika tubuhnya dihentak tanpa henti, hanya bisa mendesah menikmati. Keduanya dikuasahi nafsu birahi, seluruh tubuh penuh peluh membahasi.

“Adnahhnn..” Perut Nata melilit, kakinya bergerak gelisah.

“Adnan.. ahh...”

Lenguhan keduanya menandai akhir dari kegiatan panas di malam dingin berselimut hujan. Saling menghangatkan tubuh satu sama lain dalam sebuah penyatuan. Nata mengatur napasnya, pun Adnan. Sang dominan tersenyum, Ia mengecup dahi penuh keringat si manis dalam kungkungannya. Adnan jatuh disamping Nata, membawa tubuh si manis juga dalam rengkuhannya. Sekali lagi, Adnan mengecup bibir merekah Nata, menyatuhkan dahi mereka sambil merasakan helaan nafas masing-masing.

“Aku mencintaimu, sungguh.”

Nata mengangguk lemah, namun Adnan tau Nata memiliki rasa yang sama.

Adnan dan Nata bertaut dalam sebuah kisah romansa. Saling berjanji akan menghadapi dunia bersama.

The End


`teuhaieyo.


Adnan...

Sekujur tubuhnya bergetar ketika namanya disebut dengan nada lembut. Hasratnya memuncak kala obsidiannya memandangi wajah sendu Nata. Pasrah, Nata pasrah berada dalam kungkungan Adnan. Bibirnya merah merekah sudah bengkak akibat terlalu banyak dijamah. Bibir Nata itu candu, warnanya menggoda, ketika disesap rasa manis dari lipbalm yang si manis kenakan menguar.

Ssshh..ughh..

Nata mendesis tatkala syaraf kulitnya menangkap rasa geli bercampur perih. Adnan tengah fokus memberikan setiap tanda kepemilikan dileher hingga dadanya. Nata mendongak, menggigit bibir bawahnya menahan sensasi aneh ketika lidah basah itu bermain dibelakang telinganya. Jemarinya tanpa sadar sudah berada dibelakang kepala Adnan, meremas, mengusak rambut pria itu guna melampiaskan gejolak dalam tubuhnya. Dibawah, kedua kakinya bergerak gelisah rasanya tak nyaman, aneh, tak terdefinisi.

Suhu tubuhnya semakin meningkat, libidonya dibawa menuju puncak. Mereka berdua melayang terlebih Adnan, tubuh Nata benar-benar membuatnya gila.

Ahh.. Adnan!

Adnan tersenyum kemenangan. Suara desahan Nata bak alunan musik, semakin menggairahkan ketika Nata mendesahkan namanya.

Kini keduanya tertaut, bergerak lambat saling membiasakan satu sama lain. Milik Nata begitu sempit, mengurut erat kejantanan Adnan.

Hhmmm... ssshh

Adnan menggeram, rasanya sakit, sesak, namun memuaskan. Adnan menggenggam pinggang ramping Nata, mengajaknya bergerak lebih cepat.

Nata frustasi dibawah bimbingan Adnan, mendesah pasrah setiap benda panjang tak bertulang itu menyentuh titik lemahnya. Nata tak lagi sanggup, Adnan didalamnya semakin besar. Bagian bawahnya perih, gerakannya semakin brutal tak terkendali. Tubuhnya berantakan bercampur keringat dan cairan sperma.

Ahh Nata...Hmm...

Adnan..Eughh...

“HAH?!”

Adnan membuka kelopak matanya, terbaring mematung menatap langit-langit kamar. Adnan melakukannya lagi, menjamah Nata dalam mimpinya.

Pria itu beranjak duduk, mengatur deru napasnya. Seketika suhu tubuh dalam kamar menjadi panas, bajunya basah oleh keringat dan shit celananya sudah basah, adiknya tegang berdiri kokoh.

Adnan melirik satu lagi lelaki dalam kamar yang tengah mengarungi alam mimpi. Wajahnya lelah, matanya bengkak akibat banyak menangis, beberapa bagian tubuhnya... Adnan benci melihat luka-lukanya terlebih mengetahui fakta bahwa Nata tak lagi suci. Harta paling berharganya direnggut paksa.

Adnan beringsut mendekat, membelai wajah damai Nata, mengamati paras sempurna milih lelaki itu. Entah keberanian darimana wajah Adnan semakin mendekat, debaran jantungnya cepat.

Di malam paling mengerikan dalam hidup Nata, Adnan menciumnya, tepat dibibir. Dejavu bibir Nata masih sama seperti dulu.

Ketika Adnan melepaskan kecupannya, pada saat yang bersamaan Nata bangun, bola matanya bergetar tak percaya hingga satu tetes cairan bening ikut turun dari mata cantiknya.

“Nata...Gueㅡ”

“Pulang...”

“Nat, maaf maksㅡ”

“Gue mau pulang...”


`teuhaieyo.


“Adnan!”

Suara lembut menyapa, Adnan selalu suka suara cantik wanitanya. Adnan mengepulkan asap nikotin terakhirnya ke atas, lalu dibuang putung rokok itu ke tanah dan diinjak hingga padam. Adnan menoleh, menyambut Ayana dengan sok sumringah, wajahnya tersirat kelelahan akibat banyak memendam emosi.

Lengan Adnan terbentang lebar meminta Ayana tuk masuk dalam rengkuhannya. Ayana tak bertanya lebih, tersenyum paham lalu berinsut dalam rengkuhan kekasihnya. Beberapa menit mereka berada pada posisi itu, saling menghangatkan ditengah angin malam dingin. Tak ada yang bersuara, Adnan meletakkan kepalanya pada bahu Ayana; menghirup aroma vanilla parfum kesukaannya.

Ayana paham, Adnan sedang kondisi tidak baik-baik saja. Beberapa putung rokok tercecer tepat dibawah mereka berdiri sudah menjelaskan semuanya. Wanita cantik itu turut bungkam sembari memberikan usapan menenangkan.

“Kamu ngerokok lagi? Kalo aku aduin ke Nata pasti diomelin.” Ujarnya. Bibir Adnan mau tak mau membentuk senyum ketika bayangan Nata memarahinya karena merokok. Nata punya sesak napas jadi Adnan sekuat tenaga menghilangkan kebiasaannya.

“Maaf...” Balasnya lirih. Adnan setres hingga tak menemukan pelampiasan selain batang nikotin.

Ayana melepaskan rengkuhan keduanya terlebih dahulu. Matanya bergerak, memindai raga Adnan dari ujung rambut hingga kuku kaki. Lelakinya sempurna dan akan selalu begitu. Ayana mengangkat tanganya, mengusap pipi hingga rahang tegas Adnan. Nyaman, Adnan terbuai.

Memori Ayana dibawah kembali pada dua tahun lalu. Ayana hanya seorang gadis biasa pengagum Adnan Dika. Gadis paling beruntung dalam antrian tak berujung. Adnan itu tak terdefinisi, kendati Ayana tau Adnan menerimanya tanpa dasar cinta namun Adnan begitu perhatian padanya. Ia kira seiring waktu berlalu rasa cinta akan tumbuh sendiri. Nyatanya Ayana salah, sejak awal Ayana tak punya hak atas Adnan, sejak awal Ayana kalah karena seluruh perasaan Adnan sudah diberikan habis pada Nata; sahabatnya sendiri. Adinata Dhamar itu poros kehidupan Adnan dan akan selamanya begitu.

“Ayana...aku cinta sama kamu.” Tuturnya tiba-tiba.

Ayana menatap mata kekasihnya, lantas hanya tersenyum sendu. Tak ada kesungguhan disana.

“Cinta kamu bukan untuk aku, Nan.”

Ayana mengangguk, meskipun dalam hatinya kecewa. “Aku tau...”

Adnan mengusap puncak kepala Ayana, membelai rambut panjang gadis yang telah bersamanya dua tahun belakangan. Lambat namun pasti tangannya telah sampai menangkup pipi tirusnya.

“Boleh aku cium kamu?” Pintanya.

Rasanya Ayana ingin mengangguk, memberi izin seperti biasa. Namun untuk hari ini, malam ini, detik ini Ayana dibuat ragu. Semua kebohongan ini harus berhenti sampai disini.

Sakit, ketika Ayana harus menolak permintaan Adnan.

“Cukup, Nan! Kamu butuh validasi sebanyak apa lagi?ㅡ”

Adnan menunduk seakan tertampar dengan kata validasi. Ia tau harusnya tak sampai sejauh ini, melibatkan perempuan terbaik hanya untuk memastikan perasaan yang menurutnya aneh, tabu, tidak mungkin.

Adnan punya perasaan lebih pada sahabatnya. Sejak awal perasaan yang tumbuh diantara mereka bukan sekedar tali persahabatan, namun mereka berdua saling menanam bibit cinta.

“ㅡsejak awal memang bukan aku kan? Tapi Nata.” Skak mat. Ayana memukulnya telak dengan fakta. Adnan memang memperlakukan Ayana dengan baik, tapi prioritas utamanya hanya Nata seorang.

“Ayㅡ”

“Berhenti bohongi diri kamu sendiri. Berhenti siksa diri kamu sendiri dan berhenti sakitin aku...” Adnan mematung, baru kali ini Ayana lemah dihadapannya. Ayana selama ini sakit, namun Adnan tutup mata.

“Maaf, Ay...” Hanya itu, satu kata maaf yang mampu dikatakan.

“Bukan salah kamu, aku tau keputusan ini pasti berat buat kamu. Pergi, kamu harus genggam Nata dan lepasin aku. Aku juga mau bebas cari kebahagiaanku sendiri. Jangan pernah takut untuk jadi berbeda, semua cinta itu normal karena dewi cinta itu nggak pandang bulu nyatuin hati umatnya.” Kalimat panjang penuh makna itu menjadi akhir dari hubungan Adnan dan Ayana.

Mereka berpisah, memilih untuk berjalan ke arah yang berbeda.


`teuhaieyo.


Nata menemukannya, pemuda bersurai coklat tengah bersandar pada batang beringin tua. Pemuda itu duduk santai diatas rerumput hijau sembari memetik gitarnya. Nata bisa mendengar bagaimana merdu suara Sadewa ketika jarak mereka semakin menipis.

Nata berdiri tepat dihadapan Sadewa yang masih menikmati performanya sendiri dengan mata tertutup. Menyanyi sepenuh hati seolah berada di atas panggung besar. Nata masih enggan mengganggu, Ia memilih ikut menikmati lagu persembahan Sadewa untuk alam.

I hope you're happy but don't be happier.

Nata bertepuk tangan kecil, Sadewa dan musik memang pasangan serasi. Apapun yang cowok itu bawakan tak pernah membuat siapapun kecewa. Sadewa tersipu, ternyata ada satu penonton manis yang entah datang darimana ikut menyaksikan.

“Udah jangan tepuk tangan lama-lama nanti gue besar kepala.” Ujarnya. Sadewa membenahi duduknya agar bisa memperhatikan Nata lebih jelas.

“Suara lo emang gak pernah ngecewain, sayang kalo gak diapresiasi.”

Si manis beringsut mendekat ketika Sadewa memindahkan tasnya agar Nata bisa bersandar pula pada batang pohon.

“Kok tau gue disini?” Nata tersenyum malu-malu, memang siapa sih yang nggak tau tempat singgah seorang Sadewa? Jawabannya sudah pasti di lapangan belakang gedung kesma, dibawah pohon beringin paling besar. Pun Nata sering memperhatikan Sadewa dari kursi taman tepat disebrang.

“Tadi ke kantin mau makan bekel ternyata rame jadi kesini eh nggak sengaja liat lo lagi nyanyi.” Bohongnya. Selesai kelas Nata memandangi bekal masakannya; dibuat khusus untuk Sadewa, menyiapkan hati lalu bergegas menuju lapangan.

Sadewa mengangguk,“Terus mana bekelnya? Gih dimakan keburu nggak enak!” Nata mengeluarkan bekalnya semangat, sedangkan Sadewa kembali fokus dengan gitarnya, memetik tiap senar asal.

“Gue kebetulan bawa dua, ini buat lo aja.” Gerakan jemari Sadewa terhenti, kepalanya terangkat untuk menatap Nata.

Sadewa tersenyum hangat, apalagi ketika sudut matanya menangkap semburan warna merah muda dipipi gembil Nata. Sadewa tak bisa menolak, “Makasih.” Ucapnya sebelum ikut membuka kotak bekal tersebut.

Mereka berdua menikmati masakan Nata, bahkan Sadewa tak ada henti-hentinya memuji betapa pintarnya Nata memasak. Satu fakta dari si kembar Nakula dan Sadewa adalah keduanya mampu menerbangkan siapapun dengan setiap kalimat manisnya.

Sadewa mengintip bekal milik Nata, terkekeh kala sayurnya masih utuh karena sengaja disisihkan. Ahh Nata tidak suka sayur. Sadewa mengambil potong daging, lalu disodorokan tepat dibibir Nata.

Awalnya Nata menatap bingung, kepalanya reflek mundur sembari dahinya membentuk kerutan. Namun, bibir merah muda itu akhirnya terbuka kala menangkap sinyal dari pemuda dihadapannya.


Adnan berada disebrang sana, tepat dalam satu garis lurus dari sepasang pemuda yang tengah menikmati makan siangnya. Adnan memperhatikan semuanya, tiap perubahan gestur sang sahabat. Hatinya diselubungi iri tatkala Nata mengirimkan senyum manis lengkap bersama semburat merah kepada Sadewa, manis, lucu, menggemaskan. Katakan Adnan posesif, namun lelaki ini tidak suka orang lain mendapat senyum itu, Adnan benci ketika senyum itu muncul karena pria lain melainkan dirinya.

Detik kemudian Adnan dibuat terbelalak, dengan secepat kilat bibir kedua anak Adam itu bertemu satu sama lain. Netranya bergetar tak percaya, hatinya sakit seolah dicubit, serta tanpa sadar kedua tangannya telah mengepal keduanya; buku jarinya memutih, urat nadinya tercetak jelas.

Ia kira itu hanyalah sebuah kecupan ringan. Adnan semakin dibuat pusing ketika bibir keduanya mulai bergerak beradu. Sadewa membimbing, kedua tangannya berada dibelakang tengkuk Nata sembari terus menekan maju. Nata terbuai, dibuat terbang ke langit ketujuh, memberikan setiap akses bibir tebal Sadewa menjamah miliknya. Dikecup, dijilat, disesapi belah ceri itu hingga pemiliknya melenguh.

Adnan mana sanggup melihatnya lebih, rasa cemburunya teramat besar hingga ingin maju mengambil Nata untuk dirinya. Namun, Adnan tetaplah Adnan pria penakut juga pengecut. Pada akhirnya, daripada mengakui semua rasa terpendam Adnan memilih pergi.


Nata? Mau lihat kupu-kupu di rumahku? ㅡSadewa Aditya


`teuhaieyo.


Junkyu's birthday from strata universe.

Bibir Haruto tak kenal lelah, tersenyum sembari fokus menatap laptopnya dibawah lampu kamar temaram. Sesekali kepalanya mengangguk, menggeleng; menilai sendiri berbagai produk fashion dalam web e-commerce.

Hari ini tepat tanggal 8 september. Baru saja kedua jarum jam dinding sampai bersamaan menyentuh angka 12. Artinya, besok hari spesial suaminya, Watanabe Junkyu resmi berumur kepala tiga.

Haruto menghela napas, berbagai pakaian mahal dalam toko mereka bagus, mewah, dan berkelas, memangnya baju apa yang tak cocok dikenakan suaminya? Namun lagi, tak ada yang spesial dari sebuah baju mahal, yang ada Haruto diomeli habis-habisan karena menghamburkan uang.

Pria dewasa itu terkekeh, memorinya seketika dibawa ke masa lalu. Harus menabung dengan keras hanya untuk date satu malam. Rela menghindari jajan untuk membeli hadiah kecil yang setidaknya pantas untuk diberikan. Sekarang, semua sudah banyak berubah. Pekerjaan Haruto bagus dan stabil. Haruto benar-benar memegang ucapannya akan membahagiakan keluarganya dalam segi apapun termasuk materi. Hingga kadang suaminya pusing sendiri, malah dicerca dengan berbagai nasihat agar menabung oleh suaminya sendiri.

Mata elangnya meratap kamar gelap, masih ada cahaya sedikit dari sinar bulan serta layar laptop menyala. Pandangannya jatuh pada tas kulit menggantung digagang almari ada gantungan koala abu-abu menandakan tas itu milik sang suami. Haruto jadi ingat beberapa hari lalu Junkyu mengeluh resleting tasnya sering macet. Tak salah lagi, tas itu jadi salah satu seserahan nikah mereka 5 tahun lalu dan Junkyu yang Haruto kenal orangnya setia jika sudah nyaman.

“Eugh...tidur...” Haruto sedikit berjengit, secepat kilat memindah halaman web dengan worksheet-nya ketika telinganya menangkap lenguhan Junkyu.

Junkyu mengangkat kepalanya kendati netra cantiknya belum sepenuhnya terbuka, niatnya mengintip apa yang dilakukan sang suami hingga belum tidur larut malam begini.

“Dikit lagi.” Sahut Haruto sembari mengusap puncak kepala Junkyu.

Si manis berdecak, tak tinggal diam tangannya maju mencoba menutup paksa layar laptop Haruto namun berhasil dicegah. “Udah besok lagi.” Gerutunya.

“Iya iya ini disave dulu, sayang.” Lebih baik Haruto menurut sebelum laptopnya dibanting. Ia benar menyimpan pekerjaannya lalu menekan tombol matikan dan meletakkan laptopnya diatas nakas.

“Habis ini ulang tahun kamu mau apa?” Haruto hanya bertanya asal, yaa siapa tau dapat inspirasi dari jawaban kesayangannya. Junkyu menggeser tubuhnya makin menghilangkan jarak diantara mereka, pun Haruto sigap mendekap tubuh yang lebih kurus.

“Mau kamu.” Jawabnya. Suaranya teramat kecil penuh ketulusan. Haruto tak sanggup untuk menahan gejolak aneh dalam tubuhnya lantas Ia menyalurkan melalui sebuah kecupan sayang pada seluruh wajah cantik Junkyu.


9 September

Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday to my love... Happy birthday to you!

Junkyu berbinar kala mendapati suaminya tengah mendekat, melangkah hati-hati dengan sebuah kue bernuansa putih ditangannya. Lucu, suara bariton Haruto sebenarnya tak cocok dengan lagu seceria Happy birthday. Hatinya tersentuh, tak kuasa menutup mulutnya saking terharu.

Haruto berdiri, tepat dihadapan Junkyu. Masih kokoh memegang kue dengan lilin angka 30 tertancap diatasnya. Junkyu diam sejenak, dalam hati mengucap syukur disertai harapan, bertepuk tangan kecil ketika dirinya berhasil mematikan lilin hanya sekali tiup.

Kuenya diletakkan asal diatas meja makan yang telah tersedia berbagai macam makanan. Junkyu yang berulang tahun, namun Ia sendiri yang berinisiatif memasak untuk pesta kecil-kecilan karena si manis tau suaminya kurang suka masakan diluaran.

“Selamat bertambah umur, sayang. Terima kasih sudah hadir di dunia dan sudi menerima aku sebagai pendamping hidup kamu. Bahagia terus ya, cantik.” Haruto merengkuhnya, erat dan hangat. Ia menghaturkan beribu kasih sayang. Ada banyak untaian kata yang terdengar seperti buaya namun hanya itu yang mampu disampaikan. Tujuannya sejak awal hanya satu Junkyu selalu bahagia menjadi pasangan hidupnya.

Junkyu hampir menangis dibuatnya. Haruto sejak dulu hingga saat ini masih sama, selalu menjadikan dirinya merasa spesial. Haruto itu sebuah anugrah paling indah.

“Aku mau nangis boleh gak sih?” Junkyu merengek dalam dekapan suaminya.

Yang lebih tinggi gemas bukan main, “Gak boleh, khusus hari ini gak boleh.”

“Eh?!ㅡ” Haruto melepaskan dekapannya. Sedangkan Junkyu menatap dengan ekspresi tanda tanya.

“ㅡaku punya hadiah buat kamu.” Lelaki jangkung itu berlari menuju kamar. Detik kemudian Ia keluar lagi, tangannya memegang sesuatu dibelakang punggung.

Junkyu terkekeh heran, Haruto itu kadang masih kayak anak ABG kasmaran. Lalu, pria itu menyerahkan sebuah bungkusan yang nampak elegan.

Junkyu membukanya, di dalamnya ada sebuah tas. Design-nya sederhana, berwarna hitam terbuat dari kulit asli.

“Mulai sekarang pake yang ini aja, yang lama dibuang.” Junkyu mendongak menatap suaminya.

“Haru.. ini harganyaㅡ” Belum sempat Junkyu melayangkan suara, bibir semerah ceri itu disambar oleh suaminya. Tak hanya dikecup juga sesekali disesap hingga rasa manisnya terasa.

“Gak usah protes kenapasih kalau dibeliin suaminya.”

Bibir Junkyu mengerucut, kesal karena Haruto tak sopan menjamah bibirnya tiba-tiba. “Bukan protes, tapi ini harganya mahal banget pasti. Terus yang tas aku juga masih bagus apalagi itu ada makna spesial didalamnya.”

Haruto sedikit membungkuk nyamakan tinggi badannya, hingga mata sejajar dengan mata. Kedua tangannya menangkup pipi gembil suami manisnya, mengalihkan seluruh atensi agar tertuju hanya padanya.

“Aku pernah bilang tujuanku memantaskan diri bukan semata menyamakan derajat sosial antara keluargaku dengan keluargamu. Namun sebagai bentuk tanggungjawabku karena aku berani meminang kamu. Sebagai seorang kepala keluarga aku hanya ingin membahagiakan pasanganku sendiri.”

Junkyu tersenyum, Haruto memang penuh tanggungjawab. Terlebih Ia adalah pria yang selalu memenuhi janjinya.

“Iya nanti tasnya aku pake, aku pamerin sama semua orang kalo ini dibeliin Watanabe Haruto, suami kesayanganku.”

Mereka berdua tertawa, pun Haruto lega, bersyukur Junkyu tak menolak pemberiannya. Terakhir, Haruto tak lupa menyematkan sebuah kecupan lembut didahi Junkyu bersama doa-doa ketulusannya.

Sekali lagi, selamat ulang tahun kepada Watanabe Junkyu. Aku memang lelaki penuh kekurangan, namun hadirnya kamu disisiku mampu menyempurnakan segalanya. Aku selalu mencintaimu.


`teuhaieyo.