sepuluh.


Hans Arbecio Point of View

Hans, aku butuh kamu.

Sekarang gue coba tanya sama hati nurani gue sendiri, apa bisa diem aja? Apa bisa gue nahan lebih lama lagi? Nyoba sabar terus sampai bikin garis batas baru. Jawabannya jelas nggak, gue udah gabisa. Gue capek harus pura-pura ga papa, jadi alpa bego yang sok tegar dan kelihatan ga peduli sama dunia luar. Gue capek harus sok normal jalanin hidup baru gue di tempat kelahiran gue. Gue berusaha? Udah, bahkan pembangunan kafe baru yang bakal jadi mata pencaharian lanjutan gue di sini bakal mulai dibangun minggu depan. Namun, apa gunanya gue bikin rencana resolusi new life tanpa omega gue, suami gue.

Hari ini gue cukup kelimpungan. Pagi ini ga senormal pagi biasanya. Gue bangun dengan keterkejutan akan sebuah berita. Dan gue tau sebabnya.

Gue sangat amat tau bahwa omega gue, mate gue bakal dijodohin paksa sama keluarganya. Orang yang katanya jauh lebih setara daripada gue. Gue paham, gue maklum, gue terima itu sebab dia bilang kalo kita masih punya kesempatan buat cegah berita ini diketahui publik. Tapi, seakan semuanya ga berjalan akhirnya semua orang bisa tau termasuk anak-anak gue.

“Dad, semua ini boong kan?”

Gue sampe bingung mau bales gimana, karena apa yang mereka baca tak lain semuanya fakta.

“Dad, Evander bisa coba ngerti sama keadaan kita, tapi kok yang satu ini sulit ya?”

Ini yang paling gue terpukul, bikin makin rasa bersalah yang udah gue kubur dalam jadi muncul lagi dipermukaan.

Anak gue, alpa sulung gue yang udah gue paksa buat dewasa sebelum waktunya.

Kaki jenjang gue tekuk sampai tinggi kita sejajar. Gue amatin tiap mimik muka dua jagoan gue lamat. Gusar, takut, kecewa semua bisa gue liat. Gue ngerti dan sangat maklum.

Bibir gue terangkat, senyum getir muncul dan yang bisa gue lakuin cuma meluk mereka, gue hisap kekalutan mereka dan gue ganti dengan feromon gue biar mereka tenang.

“Dad janji, kita akan baik-baik aja. Dad janji, sebentar lagi kita akan kembali utuh.”

Setelah itu, gue ambil kunci mobil dan setelan jas. Gue pergi, ninggalin mereka bersama jutaan tanda tanya di sana.


Gue tau apa yang akan terjadi selanjutnya bakal bikin semua skenario jadi buruk. Ga ada pilihan lain, kali ini gue mau egois.

Gue parkir mobil sederhana gue lalu jalan sejenak buat sampai gerbang megah. Gue diem sebentar, mandangin gimana mewahnya istana yang dikasih nama Livadeia palace ini.

Dalam otak gue ditarik ke masa lalu, dimana Hans Arbecio kecil sering mimpi buat jadi salah satu anggota kerajaan Aragon.

Terus lagi-lagi bibir gue keangkat, ketawa getir karena akhirnya mimpi itu sudah berhasil digapai. Harusnya gue terus mimpi aja. Iya, harusnya.

“Hei! Siapa kau berdiri di sana, tuan?”

Mendengar itu, gue balik lagi ke realita. Gue membenarkan sedikit pakaian gue sebelum berjalan lebih dekat.

“Saya Hans Arbecio, saya kemari diminta hadir oleh Your Highness Prince June.”

Penjaga di depan gue natap sanksi, ga percaya. Mungkin gue udah dianggep orang gila yang sok kenal sama pangeran kerajaan. Terus, dia ketawa remeh.

“Komedi apa lagi yang kau tunjukkan tuan. Bertemu dengan Prince June? Kau pikir kau ini siapa?”

Gue yakin cara ini ga bakal berhasil.

Gue akhirnya hirauin dia yang lagi ketawa. Gue ambil ponsel gue dan telpon suami gue.

Aku disini, sayang. Aku datang buat meluk kamu.


Prince June Point of View

Kalau ada yang tanya gimana keadaan gue hari ini, gue dengan tegas bakal jawab kalo gue sedang gak baik. Hari ini buruk, gue merasa kecil dan gak berdaya.

Ini salah gue, ini semua terjadi karena gue.

Batin gue terus menerus menekan diri sendiri atas semua kehebohan yang muncul pagi ini. Berita perjodohan yang lagi coba gue gagalin, mendadak muncul bikin gempar satu dunia.

Gue lega karena gue tau sendiri banyak yang akan bantu gue. Sisi lain, gue langsung jatuh ke palung paling dalam dari rasa percaya diri gue saat gue tau gimana terpukulnya anak-anak gue.

Kata orang gue omega kuat, suami gue, dua alpa gue juga sering angkat diri gue dengan kata demikian. Tapi, khusus hari ini gue akui, gue lemah.

Dengan begitu ego gue mengantarkan jari-jari gue buat ngetik kalau gue butuh suami gue di sini.

Gue gak berharap banyak, gue bahkan mikir kalau permintaan gue sesuatu yang mustahil buat sekarang. Namun, mata gue kembali nemuin binarnya ketika ponsel gue berdering dan suara suami gue menyapa di ujung sana.

“Aku di sini buat kamu.”

Persetan sama semuanya, ponsel gue banting dan gue lari keluar, nyusurin luasnya istana rasa penjara yang gue tinggalin saat ini.

Gue lari sampai gak kerasa kalau air mata kelemahan gue udah mulai jatuh merembes lewat pipi. Gue lari terus, telinga gue mendadak tuli sama semua suara yang panggil nama gue. Gue makin kenceng, gak terkendali saat obsidian gue nangkep bayangan yang sangat gue kenali. Dia ada di sana, berdiri nyata dan gue bisa sentuh setelah ini.

“Hans!” Panggil gue mendramatisir. Mirip sama telenovela dengan thrope cinta terlarang. Gue raih tangannya dari balik pagar besi yang menjulang, terus dia tautkan jemari kita erat. Perasaan ini, udah gak bisa dideskripsikan lagi.

“Sayang...” Bisiknya. Di sini gue akhirnya sadar, bahwa kita berdua udah desperate. Kita berdua diambang gak sanggup buat jalanin sendiri-sendiri. Kita mau berdua, berdiri sampingan sambil pegangan tangan liat kejamnya dunia yang perlahan datang.

Tautan kami lepas, wajah memohon gue pasang meminta dengan amat frustasi sama penjaga untuk buka pagar penghalangnya. Inilah gunanya gue punya title prince, penjaga itu langsung laksanain perintah.

Gue bagaikan si Anna serial Frozen yang gak sabar liat dunia luar. Pintu megah di depan beneran gerak perlahan bikin gue sedikit kesel. Lalu, setelah cukup untuk Hans masuk, gue seret dia.

Dengan semangat menggebu gue peluk raganya. Nyaman, tubuh suami gue emang tempat paling nyaman untuk pulang.

Gue gak bisa buat nahan semuanya. Campur aduk emosi dalam diri keluar semua dalam bentuk air mata. Gue bisa rasain gimana dia juga semakin mengeratkan pelukannya di pinggang gue yang ramping. Sesek, tapi gue gakpapa ini nyaman.

Akhirnya, gue bisa sentuh dia lagi. Gimana jemari gue dengan nyaman bergerak nyentuh tiap lekuk tubuhnya. Ototnya, urat-urat nadi yang muncul, rambut halus yang menggelitik setiap gue sentuh permukaan kulitnya masih sama rasanya. Di sekeliling kita, gue bisa rasain feromon yang sedang bercampur.

Seluruh kekalutan, ketakutan, dan gundah di hati perlahan diselimuti ketenangan.

I miss you so bad, my alpha.

He don't answer but directly kissed my forehead. Basah, entah dari saliva atau air mata.

Detik kemudian, tanpa melepaskan dekapan kita saling memandang. Tepat dari mata ke mata. Kita saling jatuh, terjebak diantara iris masing-masing.

Gue senyum, senyum tulus yang akhirnya hadir lagi disela-sela kebingungan gue dalam menjalani hidup.

Lalu, kelopak mata gue tertutup ketika syaraf di pipi bisa rasain sentuhan telapak besarnya. Dia usap air mata gue di pipi sambil tatap gue intens. Gue bisa rasain angin semilir berhembus seperti alam memang merestui adegan pertemuan kami.

“Aku mau cium kamu, aku takut ga bisa lakuin setelah ini.” Pintanya dengan wajah sendu.

Gue kembali tatap matanya, satu tangan gue pindah dari belakang punggungnya untuk balas membelai rahang dia yang tegas.

“Kamu selalu bisa cium aku, Hans. Karena sampai kapan pun aku bukan milik siapa-siapa selain kamu.”

Detik berikutnya, gue bisa rasain jarak diantara kita berdua semakin sempit. Deru napas dia menerpa halus tepat di wajah gue. Lagi, sensasi basah hadir namun kali ini tepat dibelah bibir.

Pertama, kedua bibir hanya saling menyentuh. Dia berikan tekanan sedikit hasil dari emosi yang sedang membuncah. Kedua, nafsu kali ini hadir, ikut andil mengendalikan jalan pikiran. Ciuman penuh rindu tanpa tuntutan berakhir dengan lumatan penuh sensual.

“Bagaimana bisa aku relakan kamu untuk orang lain, sayang.” Bisiknya di tengah nafas kami yang memburu.

Gue menggeleng, siapa yang mau dipisahkan sama pasangan sendiri. Gue pun menolak.

Take me, my alpha. Jangan biarkan seseorang mengambilku. Lawan mereka meskipun itu keluargaku sendiri.”


`hjkscripts.