tiga.
Satu hari lagi terlewati, beribu beban yang teremban dipundak harus dihiraukan kembali. Mencoba peruntungan hari esok untuk sekedar memikirkan langkah selanjutnya. June meletakkan ponselnya, iris karamel itu terbuka dalam ruangan kamar temaram, pandangannya lurus tepat menatap langit-langit. Sorotnya kosong, namun dalam pikirannya penuh masalah rumit belum terpecahkan. Pusing, beruntunglah suara nyanyian jangkrik beserta dedaunan kering diterpa angin sedikit membuatnya tenang.
June mengubah posisinya, kesamping agar wajah damai sang alpha bisa Ia lihat. Tanpa lampu, hanya bermodal sinar dari bulan yang mengintip masuk dalam kamar sepasang mate, paras menawan sang alpha masih jelas terlihat.
Bibir tipisnya menyungging kecil, telapak tangannya sepelan mungkin mengusap rahang tegas sang alpa. Lalu, dibenarkan posisi selimut mereka berdua.
“Hm..” Gumam sang alpha tiba-tiba. Pemilik aroma tanah setelah hujan kini ikut memposisikan tubuh bongsornya kesamping. Lengan besar penuh urat jatuh dipinggang sang omega, juga mengusap punggungnya sayang. June mengerti, alphanya ini terbangun meskipun matanya masih terpejam.
“Maaf jadi bangun..” Bisiknya sembari lebih menempel pada dada bidang dominannya.
“Mikir apa?” June sedikit merinding, bulu kuduknya berdiri kala suara bariton khas bangun tidur menyapa gendang telinganya.
Sang omega sejenak diam, memilih mengusapkan hidung bangirnya pada permukaan kulit leher sang alpa hingga sensasi basah juga bisa dirasa. Bibir semerah bunga mawar itu juga sesekali mengecup kilat leher sang alpa.
“Ini itu...banyak.” Balasnya kemudian.
Hans akhirnya membuka obsidian setajam elang. Meneliti sebentar air wajah omeganya yang beberapa hari ini sinarnya meredup. Hans tau banyak sekali beban yang dipikul, enggan bercerita, berlagak baik-baik saja dihadapannya. Si manis dibuat lupa bahwa mereka telah terikat satu sama lain. Perubahan suasana June Arbecio; omeganya, dapat Ia rasakan juga.
Manik cantik itu terpejam. Hangat, basah sensasi bibir sang alpa didahinya. Kerutannya berangsur menghilang, juga gundah dihati. Hans Arbecio selalu punya sejuta cara manis untuk menenangkan suaminya.
Alpa tampan itu menyudahi kecupannya, mendekap tubuh kecil omega sembari menepuk-tepuk punggung lebar suaminya pelan. “Tidur, kamu capek. Rileks, lepasin semuanya.”
“Hans?” Panggilnya.
“Hum?”
“Kakakku mau menikah dan dia maksa aku dateng, tapi aku takut... aku takut terjebak disana kalau aku pulang ke Aragon.”
Tepukan dipunggung sang omega sejenak berhenti, namun setelah mendengar semua kalimatnya Hans kembali melakukannya lagi.
“Besok, besok kita bahas lagi ya. Selamat tidur, duniaku.”
June terkikik geli, alpanya juga selalu punya jutaan sebutan manis untuk memuja dirinya.
“Eung.. selamat tidur juga.”
`teuhaieyo.