enam.


Hari sudah masuk larut malem, June masih setia numpang dagu diatas meja makan minimalis ditemani 4 kursi senada yang sedang kosong. Hans sudah bilang kalau akan pulang larut karena kafe ramai, lelaki alpa itu telah meninggalkan pesan jangan tunggu aku namun apa daya kedua mata indah sang omega betah terjaga akibat sistem otaknya masih bekerja.

June akhirnya berdiri, meratap sejenak ruang tamu kosong dengan mata sendunya seakan sebuah memori sedang berputar dihadapannya. Sebelum, lamunannya buyar akibat suara retakan ranting serta daun diinjak ban mobil. Hans-nya telah kembali.

Kaki kurus nan jenjang itu berlalu menuju dapur. Jemari telaten itu dengan sigap memasang sebuah colokan kettle menuju stop contact didekatnya. Sembari menunggu air panas, Ia menyiapkan gelas beserta kantung teh sesekali melirik pintu utama.

Senyuman menawan kini muncul, ringan dan dibalas manis oleh sosok lebih jangkung yang baru saja memasuki rumah. Aroma tanah setelah hujan menyeruak bercampur sempurna dengan miliknya, saling menyapa dan menenangkan.

“Belum tidur?” Ujarnya mendekat. Semakin intens seketika terdengar bunyi bibir bertemu bibir saling berbagi basah sejenak. Tautan itu terlepas akan bunyi pemanas air menginterupsi.

“Mau teh, nggak?” Tawarnya basa basi.

“Mau. Mau yang bikinin aja.”

Kekehan dari bibir ceri milik June tak mampu dibendung. Terdengar keju namun tak juga menyangkal perutnya terasa sensasi menggelitik.

“Sana mandi dulu, otak kamu tuh butuh diguyur.”

“Yah, gagal ya gombalannya?”

June abai, memilih fokus menuangkan air panas dalam cangkir. Mengamati detik-detik warna bening berubah kecoklatan.

“Sayang?” Panggilnya, karena ucapannya tanpa jawaban. Sang omega sedikit berjengit. Memang akhir-akhir ini dirinya susah mengontrol diri, diam sedikit jadinya melamun.

“Eh? Oh- itu sana duduk, aku bawain tehnya ke meja makan.”

Hans bergeming, menahan suaminya sebelum melangkah meninggalkan dapur. “Banyak pikiran ya?” Tebakan tepat, akurat sampai June sendiri bingung mau mulai darimana. Alhasil, dia cuma senyum.

“Aku kasih tau semuanya pelan-pelan ya, sambil minum.” Finalnya.


Bilangnya akan cerita sambil minum teh, biar pikirannya tenang dan gak banyak salah paham. Kenyataannya, sepasang alpa dan omega dewasa kini enggan memulai. Bukan enggan, jujur si omega dengan segudang overthinking-nya bingung harus memulai darimana.

Hans meletakkan cangkirnya. Isinya sudah tandas tersisa kantung ampas teh. Ia berdehem ketika dirasa sudah cukup lama mereka bungkam. Hari hampir tengah malam, besok adalah hari Senin yang mana aktifitas harus dimulai lebih pagi. Lagi, Hans sebenarnya juga sudah lelah dimanipulasi sang anak bermain basket dan urusan kafe seharian.

“Aku mau bilang makasih karna kamu ngasih space buat nggak nanya tentang tangan kanan mom yang dateng kemarin. Aku seharian ini terus mikir dan mikir sampe pusing sendiri gimana keputusan baiknya. Aku belum siap, Hans dan gak akan pernah siap buat ngambil keputusan apapun.”

Paham, Hans paham betul kemana arah pembicaraan ini. Keluarga June sepertinya telah melempar tantrum berupa tekanan pada sang omega agar segera meninggalkannya dan kembali ke istana.

Hans benci ketika harus disadarkan bahwa keluarga kecilnya tidak untuk dimiliki selamanya. Hans benci betapa lemah dirinya jika berhadapan dengan keluarga sang suami. Hans benci karena dia tak bisa memilih, sebab apapun yang akan dipilih berdasarkan egonya semua punya resiko besar bukan main.

“Akuㅡ”

“ㅡAku dijodohin, Hans.”

Bak waktu dihentikan, seluruh gestur tubuh Hans mendadak terhenti, kaku, nafasnya tercekat diantara tenggorokan. Gimana? Apa maksudnya dijodohin?

Tak mendapat respon dari sang lawan bicara, June melanjutka bersamaan ketakutannya. “Ini bukan lagi aku sama kamu dipisihkan secara fisik, dipisahkan secara secara status. Tapi kita akan dipisah secara batin, ikatan takdir yang dibuat oleh alam mau dirusak paksa. Kamu gak akan bisa tau gimana perasaan aku lagi, kamu gak akan bisa ngirim pesan manis lewat telepati, feromon kamu udah gabisa bikin aku tenang lagi. Dan aku... gimana aku bisa hidup tanpa ikatan batin sama kamu, sama anak-anak?”

Keduanya nampak lusuh, kalut jadi satu. Dipermainkan oleh keadaan memang gak seru.

Hans mengusap air wajahnya kasar. Tubuhnya yang lelah semakin ringkih, kepalanya pusing.

“Jangan..” Bisiknya lirih.

“Aku mungkin sanggup berpisah jarak sama kamu. Aku siap gabisa raba raga kamu. Tapi aku gabisa kehilangan hati kamu. Aku nggak sanggup, berpisah perasaan sama kamu, sayang.” Hans mencengkeram kuat, teramat kuat hingga dirasa sang suami tidak bisa diambil siapapun.

“Bilang sama aku, sayang. Aku harus apa? Aku siap lepas segalanya yang aku punya didepan orang tua kamu asal gak gini jalannya.” Satu kata, mereka pasrah. Apapun, apapun akan dilakukan yang penting mereka selalu utuh.

“Bukan kamu yang harus lakuin apapun, tapi aku. Aku harus ke Aragon, aku yang harus selesaiin semuanya. Aku yang bakal bikin keluarga kita tetep utuh sampai kapanpun. Tugas kamu, cukup restuin aku, doain aku ya?”

Dan baru detik ini kedua pasang obsidian penuh putus asa bertemu. Mengirimkan sinyal akan saling percaya.

Hans menggeleng, Ia menolak.

“Bukan kamu sendiri yang berusaha, bukan juga aku. Kita lakuin bareng. Kamu dengan caramu, aku dengan caraku, ya?”

Malam itu, detik itu senyum lega kembali hadir disela bibir keduanya. Benar, bukan kamu, bukan cuma aku. Tapi kita yang bareng-bareng mempertahankan takdir.


`hjkscripts.