Hans Point of View
I. Si level empat dan ibu negara.
Gue kelabakan ketika dapat kabar bahwa suami gue gak jadi datang ke rumah. Khusus hari ini cafe tutup karena demi Tuhan gue kangen sama yang bawa sebagian hidup gue. Parahnya lagi tiba-tiba dihadapkan pesan kalau anak-anak dapat undangan ke Livadeia.
Iya cuma anak-anak, gue-nya masih dalam penolakan.
Belakangan ini gue lagi menjalankan misi. Misi menuju menantu kesayangan mertua. Gue emang kena daftar blacklist masuk istana, tapi gue putar otak buat sempatkan datang setiap ada seminar atau acara apapun yang bisa dihadiri oleh orang kaum bawah macam gue.
Mertua gue? Tentu risih atas kehadiran gue. Gue? Takut tapi tetap percaya diri, pasang senyum dan semangat paling tinggi. Semua ini demi hubungan harmonis yang sedang gue usahakan.
“Arsene ayo, dek! Kita ini masuk ke istana loh ga bisa sembarangan atau telat.” Panggil gue pada anak bontot yang masih absen dalam pandangan gue.
“Kak, dad bagus pakai dasi ini apa yang ini? Terus, jasnya item apa biru dongker ya?”
Inilah gue, seperti kembali jadi bujang yang apa-apa bingung sendiri.
“Dad pakai apa aja cocok kok. Lagian emang dad ikut diundang?” Jawab Arsene yang lagi turunin anak tangga sembari ngeroasting gue.
Gue lihat Evander ketawa geli lihat muka gue yang lagi ngerasain perihnya hati tertohok ucapan anak sendiri.
“Ini tuh dad juga lagi usaha, dek.”
“Itu dad yang dasi garis merah lebih bagus, terus jasnya hitam aja cocok.”
Gue selalu bersyukur karena Evander lahir, hadir di dunia. Seperti udah jadi takdir gue supaya ga kelamaan debat kusir sama Arsene.
Terakhir, gue pasang dasi di leher, ga serapih buatan suami gue dulu yang penting pakai. Terus, yang kedua jas dan pakai parfum paling mahal yang gue punya.
Sampailah gue dalam lingkup istana. Mobil sederhana gue melenggang tanpa hambatan menyusuri halaman luas.
Hari ini, rasa syukur gue limpahkan semua pada yang punya hidup karena sudah berhasil hadirkan binar gembira untuk dua jagoan gue.
“Dad, dad ini mah kalo buat main basket bisa full court sampe capek.”
“Dad, inimah satu istana udah ibarat seluruh negara Swabia.”
“Dad, harga tanahnya berapa ya kira-kira?”
Begitulah celotehannya, gue memilih bungkam aja sebab gue tau ketika gue jawab muncul pertanyaan cabang yang akan buat gue semakin pusing.
Mobil berhenti tepat di depan pintu megah. Di sana udah berdiri suami gue lengkap bersama senyumnya yang menawan.
Ya Tuhan, gue kangen dia, gue pengen cium dia sekarang juga Batin gue memberontak.
Gue sepertinya gak bisa lagi menahan gejolak rindu yang terpendam sejak lama ini. Gue ingin hari-hari kembali ke masa lalu, dimana hanya ada gue, dia, dan dua bayi kecil. Dimana gue ga usah mikir ketika kami butuh waktu malam panas khusus untuk berdua.
“Hi, boys!”
Anak-anak langsung lari sekuat tenaga buat peluk papanya. Ini skenario yang udah jarang bisa gue liat. Gue mau lemah aja rasanya ketika ingat bahwa hal-hal kecil membahagiakan ini cuma tinggal menghitung hari.
Gue jalan mendekat, gue mendekap ketiganya super posesif, takut ga bisa lakuin ini lagi. Gue kecup dahinya lama, salurkan seluruh rasa rindu untuk dia.
“I miss you, my love.” Bisik gue sebelum lepas pelukannya.
Dia senyum, cuma dengan itu gue bisa rasain kalau cintanya ga pernah berubah untuk gue sejak dulu.
Menunggu sejenak acara haru antara papa dan anak, gue gak sengaja bertemu tatap dengan mata cantik. Mata yang sangat indah mirip milik suami gue. Sosok anggun itu di sana, perhatikan dari jauh gerak-gerik kita.
Gue tebar senyuman terbaik, meskipun dibalas geming. Gue milih mendekat, ingat akan buah tangan yang gue bawa khusus untuk beliau.
Gue membungkuk sopan 90 derajat menghormati. Seperti pertemuan lalu gue lempar basa-basi.
“Gimana, kabarnya mom dan dad?” Lagi-lagi geming, gue cuma bisa lapangkan dada sembari terus senyum.
“Ini, Hans bawakan kue. Tidak mewah, namun penuh cinta karena yang membuat mama saya dibantu anak-anak.” Gue ulurkan tangan gue, bersyukur beliau kasih lirikan. Tak lama, maid yang berdiri di belakangnya menerima pemberian gue.
“Hans ga pernah capek untuk mengusahakan perasaan mom maupun dad untuk saya. Hans minta ampun jika dulu saya sakiti hati selembut milik mom akan perbuatan saya, bukan maksud Hans untuk ambil paksa putra tersayang dari pelukan mom.”
Badan gue gemetar tahan tangis, gue ga sanggup akan keterdiaman ini. Tapi gue bersyukur, baik mom atau dad ga pernah usir gue, ga pernah sekalipun mereka tolak kehadiran gue. Seperti, memang gue diberi kesempatan untuk perlahan masuk ke lingkaran hidupnya.
“Hans lakukan ini semata-mata karena saya mau balas durhakanya saya pada mom dan dad di masa lalu.”
“Kalau begitu Hans pulang ya, mom. Terima kasih sudah berkenan bukakan pintu megah ini untuk rakyat penuh kotor seperti saya.”
Issabeau Point of View
II. I see him in their eyes.
Saya bingung jika dihadapkan dengan situasi seperti ini. Well, saya ini seorang ibu yang punya hati nurani. Namun, mengingat kejadian dulu saya putuskan untuk tetap bungkam.
Saya kali ini duduk di sofa keluarga seperti biasa. Jadwal hari ini cukup lenggang jadi bisa menikmati secangkir teh hangat. Tatapan saya fokuskan pada ipad penuh untaian kalimat. Jadi takdir seorang raja bukannya hal mudah.
Sayup-sayup orang berbicara, saya intip melalui ujung mata. Untuk apa mereka menghampiri, saya terlalu sibuk untuk diajak ngobrol hal kurang penting.
Bunyi kaca bertemu kaca diterima gendang telinga, buat saya alihkan mata pada mereka. Sebuah piring isi kue lapis tersaji bersebelahan dengan secangkir teh.
“Queen grandma... eh? Your Majesty ini- itu.. silahkan dinikmati.” Tuturnya gugup. Saya diam tertegun bisu.
Wajah anak laki-laki itu berkeringat, jemarinya bergetar kecil.
“Sana duduk!” Suruh yang lebih dewasa. Saya perhatikan mereka jalannya lirih, tak ingin buat gaduh.
Lalu, mereka duduk bersisihan di lantai beralas permadani arab. Saya pilih acuh, entah apa tujuan mereka berada di ruangan yang ini bukan yang lain.
“Mom, June ijin di sini ya temani anak-anak kerjain pekerjaan rumah dari sekolah.” Saya cuma mengangguk.
Seiring berjalannya waktu saya tanpa sadar ambil beberapa potong kue lapir yang tersaji. Rasanya enak, kualitas bintang lima walaupun buatan rumahan. Beberapa kali saya curi pandang kegiatan mereka. Keluhannya, gerutuannya, caranya mengekspresikan kepuasan ketika berhasil jawab soal jadi mengingatkan dulu kala.
Saya akui June sangat sabar hadapi tiap pertanyaan penuh ingin tau dari yang paling kecil. Mulutnya terus mengoceh dari satu pertanyaan ke pertanyaan lain, persis June waktu kecil. Berbeda dengan yang sulung, lebih tenang percis June yang sedang fokus akan hal yang dia suka.
Saya seperti terjebak dalam bayang masa lalu saya sebagai seorang ibu yang tugasnya merawat anak.
“Selamat siang, mom!” Saya tersentak akan sebuah suara. Oh, ini putra saya Adrian datang berkunjung.
Dia dekati saya, dia peluk saya dan saya balas cium pipinya.
“Wow? Ini anak-anak lo, dek?”
“Iyalah, gimana sih lo kok gak apal keponakan sendiri.”
Mulailah ruangan ini ramai.
Saya lihat dua anak lekaki ini cekatan berdiri, mereka bungkukkan badan serendah mungkin.
“Selamat datang, Your Highness Prince Adrian.” Ucapnya bebarengan. Saya sunggingan senyum tipis akan kelakuan polosnya.
“Eeh, panggil aja Uncle Adrian. Haduh, jadi malu gini deh dipanggil Your Highness. Ini Evander... terus ini pasti Arsene, kan?”
Dua anak itu mengangguk semangat, “Iya bener, Your Highness eh.. Uncle Adrian.”
Adrian itu suka anak kecil, saya bisa lihat dari binar matanya ketika berhadapan dengan dua bocah ini. Ia layangkan tangannya untuk usap kepala mereka bergantian.
“Kakak sama adek di sini sama momnya papa ya, papa ada urusan sama Uncle Adrian.” Pamitnya dibalas anggukan.
Tibalah akhirnya, saya ditinggalkan berdua dengan mereka dalam suasana canggung.
“Kak, ini botol minumku nggak bisa dibuka. Tolongin.”
Setelah sekian menit berada di suasana hening, akhirnya ada suara yang tercipta. Bisik-bisik disertai gemerisik buat saya tidak ada pilihan lain untuk tertarik.
“Lagian udah tau ini kan masih baru jadi rada susah.” Saya lihat yang lebih tua mencoba buka tutup dari botol minum.
“Nanti aja, dek tunggu papa.”
“Nggak bisa, kak. Tenggorokanku kering.”
“Kamu nih.”
“Saya bisa bantu.” Akhirnya saya bersuara. Mereka berdua? bergeming tidak percaya.
Dengan wajah entah gugup atau takut, anak yang saya tau bernama Arsene mendekati saya dengan botol minumnya.
“Queen granma, maaf maksud saya Your Majesty saya lancang namun, bisa tolong bukakan ini untuk saya.”
Saya letakkan ipad sejenak, saya ambil botol minum bergambar tokoh superhero itu. Dengan sedikit tenaga saya berhasil bukakan untuk dia. Saya itu kurang mengerti apa yang buat anak ini begitu sumringah ketika saya serahkan kembali botol minumnya. Tak lupa ucapkan terima kasih, dia kembali ke posisi semula.
“Ternyata benar kata dad kalau Your Majesty ini orang yang baik.” Saya urungkan kembali ke pekerjaan.
“Memangnya Arbecio cerita apa ke kalian tengang saya?” Terjebak, saya ditarik dalam perangkap mereka.
“Banyak, dad selalu tanamkan kebaikan yang Your Majesty dan Your Highness berikan pada keluarga saya.” Kali ini yang sulung berbicara. Meskipun takut, dia beranikan diri tatap mata saya. Saya diberi senyum yang mirip seperti milik June.
“Ketika saya dengar cerita pertama kali bagaimana asal usul keluarga saya, hanya amarah, dendam, serta benci yang saya punya untuk keluarga papa. Namun, pada malam hari ketika saya akan tidur di situ dad masuk dalam kamar saya. Dia ceritakan detail yang tertinggal, fakta bahwa Your Majesty yang beri kesempatan untuk saya lahir. Saya tau anda sering titipkan lembaran uang untuk kita makan, baju bagus, mainan anak-anak. Dari situlah saya bisa rasakan kasih sayang dari keluarga papa saya.”
Jikalau saya orang yang lemah, sudah pasti dua anak ini jatuh dalam dekapan saya. Pun, saya manusia yang bergengsi tinggi. Saya kokohkan hati saya, dinginkan kembali es yang hampir melebur. Lalu, saya pilih untuk sakiti hati keduanya.
“Omongan kamu panjang lebar ini tidak bisa lembutkan perasaan saya untuk ayah kamu. Sudah terlambat, sebentar lagi kalian tidak bisa rasakan hadirnya papa kalian.”
Lihat, betapa kejamnya mulut saya. Saya perhatikan mimik wajah keduanya bergantian, si kecil telah menunduk dalam, namun si sulung masih dengan senyumnya kunci pandangan saya.
“Saya mengerti dan saya sudah sangat ikhlas. Hanya saja pengertian dan ikhlas tidak bisa tutupi sedihnya saya. Saya sedih karena saya belum punya kesempatan untuk pamerkan pada dunia kalau saya dididik oleh orang paling hebat di dunia. Papa saya hebat karena berasal dari keluarga yang luas biasa pula. Hampir 16 tahun umur saya hidup dipaksa seolah tak punya sosok papa...”
“Ingin saya cuma satu, yaitu perkenalkan pada semesta dan isinya kalau June Victor Witterlsbach itu papa saya.”
`hjkscripts.