hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


June Point of View

Setelah penantian yang amat panjang serta melelahkan, di sinilah pelayaran gue berhenti. Berlabuh pada dermaga akhir bahagia. Gue gak tau apa yang akan terjadi di masa depan, ujian apa lagi yang akan gue jalani sebagai manusia hidup, terpenting sekarang gue akan jalani untuk hari demi hari.

Gue terbangun, terusik sebab cahaya kecil yang melintas lewat celah kecil yang mengenai mataku. Gue tersenyum, ini adalah tidur ternyenyak gue setelah hari gue dibawa kembali ke Aragon.

Badan gue menggeliat, sekitar perut terasa berat. Gue raba lengan yang melingkari perut, Gue rasakan urat-uratnya yang mencuat. Lalu, ketika gue sampai pada jajaran jemarinya, gue rekatkan erat.

Dia bangun, gue tatap matanya yang masih enggan terbuka menggumamkan entah kata apa. Dia angkat jemari kita yang tergenggam untuk dicium lembut.

“Selamat pagi.” Sapa gue. Gue sampaikan rasa sayang melalui kecupan ringan. Dia tersenyum.

“Aku mencintaimu, Your Highness.” Balasnya berbisik.

Gue memerah, terlampau malu dipanggil begitu oleh suami sendiri.

“Ayo bangun rakyatku yang pemalas.” “Lima menit lagi, Your Highness.”

Kita berdua terkekeh, mari cukupkan kemesraan pagi ini. Namun sepertinya pria gue gak mau akhiri sesi pagi dengan cepat. Dengan secepat kilat dan semangat dia mengungkung gue.

May I?” Dia meminta ijin, suaranya berat cukup membuat gue tersihir.

I'm all yours, my lord Hans.


June membuka jendela kamarnya dengan semangat. Cahaya yang tadinya minim saat ini memancar seluruhnya kenai wajah manisnya. Ia menutup mata, menghirup udara segar sebanyak mungkin seperti tiada hari esok. Ia tajamkan pendengaran, kicauan burung penuhi gendang telinga.

What a good day to start new life.

“Sayang, bajuku?”

Panggilan Hans menginterupsi, Ia balik menuju realita siapkan kebutuhan pagi sang suami. Setelah semuanya beres, mereka keluar sambut hari ini.

“Emperor Grandpa kok bisa sih undang-undang disahkan?” “Terus siapa aja orang-orang yang ikut?”

Ia pikir ketika pintu kamar terbuka akan menampilkan suasana formal khas keluarga kerajaan ketika pagi. Sampai, Ia ingat jika keluarganya adalah seorang Witterlsbach. Saat ini, Ia bisa saksikan bagaimana cerewetnya Arsene dan Evan pada daddynya.

“Yaampun berisik banget pagi-pagi. Ayo sarapan sudah siap semua!” Omel mom yang tiba-tiba datang dari arah ruang makan.

June berjalan mendamping Hans, sedangkan dua anaknya tak lepaskan sisi tubuh kakeknya hingga meja makan.

Di sana sudah ada Adrian, hanya seorang diri tanpa Julio. Wajahnya lelah, lingkar matanya hitam, perangainya lesu.

“Kok lesu gitu lo kak? Suami lo mana?” Tanya June sembari duduk di sebelahnya.

“Gak bisa tidur gue, Julio semalam suntuk bolak-balik kamar mandi sekarang lemes gak bisa keluar.”

“Gitulah namanya lagi isi ya, sabar aja, jalanin aja.”

Lantas, dad duduk di kursi paling ujung, diikuti mom di sebelah gue, dan anak-anak serta Hans di sebrang.

Sembari nunggu maid siapkan makanan di piring masing-masing, emperor victor buka obrolan ringan. Tanya-tanya apapun terlebih pada Hans. Maklum masih tahap mengenal lebih jauh. June hanya tersenyum lega, ikut mengalir sesekali menganggapi.

“Jadi Hans gimana tawaran saya agar kalian berempat ikut ke istana Kingsland?”

Hans lirik June sejenak dibalas anggukan. Mereka sudah bahas mengenai hal ini dan sudah ada jawabannya.

“Maaf dad. Saya, June, dan anak-anak akan tetap memilih tinggal di sini tempati rumah lama Kak Adrian.” Emperor Victor setuju meskipun agak kecewa. Tujuannya memboyong keluarganya June untuk ramaikan kastil yang lebih besar di sana.

“Queen grandma jangan khawatir, nanti Arsene sama Kak Evan akan sering main ke sana kok.”

Seolah tau isi pikiran Issabeau, Arsene hibur dengan sebuah janji yang buat bibir cantik tersungging senyum kembali.

“Ya sudah kalau tidak ada yang dibahas lagi, ayo mulai makan. Evander sekarang giliran kamu pimpin doa.”

Dalam doanya June tak pernah lupa selipkan kalimat syukur atas datangnya masa paling bahagia dan harapnya semoga ini jadi selamanya.


`hjkscripts.


Jaden Point of View

Saya ini sedang gundah gulana. Berdiri termenung tatap bulan samar yang perlahan jelas. Langit jingga berubah gelap tak juga menggerakkan badan saya dari posisi semula.

Saya lirik ponsel yang tergeletak di atas meja. Layarnya tunjukkan suatu berita yang sedang rami belakangan ini. Negara kacau akibat satu bakal perubahan.

Bingung, kata seseorang kunci suksesnya perundang-undangan baru ini ada pada saya. Saya yang sudah pegang beban berat dihantam oleh yang lain.

Berantakan, saya sendiri ragu akan beberkan fakta mengenai keluarga saya. Kebenaran yang sebenarnya buat hati saya sakit hingga saat ini. Sebua fakta yang entah nantinya berdampak apa.

Saya, Jaden Nicholas Philander adalah anak dari pasangan bangsawan dan buruh.

Bunyi pintu kamar terbuka buat fokus saya jadi beralih. Itu dad saya, orang hebat yang sudah besarkan saya sampai dewasa ini. Beliau tersenyum kebapakan, jalan mendekat lalu duduk di depan saya.

“Sedang apa?” Tanyanya.

Saya tunduk terkekeh, basa basinya buruk. Saya tau beliau sudah paham akan semuanya. Namun, hal ini yang buat saya kagum. Dad selalu berikan pilihan atas pertanyaannya, beliau anti menuntut.

“Dad pasti sudah dengar semuanya dan Jaden sedang dilanda dilema.”

Dad beranjak, ketukan sepatunya menggema ketika bergesek dengan lantai keramik. Beliau jalan menuju beranda jendela melihat langit gelap bertabur bintang.

“Selama periode masa jabatan dad, banyak petinggi yang datang meminta aliansi. Kamu tau kenapa?”

“Karena orang-orang Mosbach loyal dan terpercaya.”

Dad mengangguk, “In honor and Loyalty. Mosbach tidak berdiri main-main dengan slogan itu.”

“Petinggi itu datang dan ingin bayar loyalitas rakyat Mosbach. Dad tolak tanpa berpikir panjang. Namun, ketika Victor datang dad jatuh pada kubangan dilema. Maka keputusan akhirnya, dad akan bantu dia.”

Saya tertegun mendengarnya, sedikit demi sedikit keraguan saya mulai terkikis.

“Jika Jaden ceritakan bukankah Jaden buka aib keluarga kita?”

Dad menghela napas, tatapannya telah jauh direnggut angkasa.

“Jika ini cara yang tepat untuk memohon maaf pada mendiang ibumu, maka jatuh bukanlah suatu masalah. Dad yang bodoh karena dad dulu orang lemah. Dad bawa kamu dan lepaskan ibumu sendirian, tersiksa atas pernikahan dan beribu kata cinta yang dad lontarkan pada mama.”

Dad berbalik, selesai dengan kegiatan menatap langit. Beliau tepuk pundak saya, berharap kembali tegas dan kokoh.

“Jika ini adalah jalan yang baik, maka lakukan. Dad yakin, baik ibu dan mama juga tidak keberatan di sana.”

Lalu, dad menjauh memberi ruang padaku untuk mencari keputusannya. Namun, sebelum beliau hilang di ambang pintu saya memanggilnya.

“Dad?” “I met her. My soulmate, dia tak kalah cantiknya dengan ibu dan mama.”

“Janji pada dad, jika keadaan mulai membaik bawalah dia ke hadapanku.”


`hjkscripts.


Hans Point of View

I. Si level empat dan ibu negara. Gue kelabakan ketika dapat kabar bahwa suami gue gak jadi datang ke rumah. Khusus hari ini cafe tutup karena demi Tuhan gue kangen sama yang bawa sebagian hidup gue. Parahnya lagi tiba-tiba dihadapkan pesan kalau anak-anak dapat undangan ke Livadeia.

Iya cuma anak-anak, gue-nya masih dalam penolakan.

Belakangan ini gue lagi menjalankan misi. Misi menuju menantu kesayangan mertua. Gue emang kena daftar blacklist masuk istana, tapi gue putar otak buat sempatkan datang setiap ada seminar atau acara apapun yang bisa dihadiri oleh orang kaum bawah macam gue.

Mertua gue? Tentu risih atas kehadiran gue. Gue? Takut tapi tetap percaya diri, pasang senyum dan semangat paling tinggi. Semua ini demi hubungan harmonis yang sedang gue usahakan.

“Arsene ayo, dek! Kita ini masuk ke istana loh ga bisa sembarangan atau telat.” Panggil gue pada anak bontot yang masih absen dalam pandangan gue.

“Kak, dad bagus pakai dasi ini apa yang ini? Terus, jasnya item apa biru dongker ya?”

Inilah gue, seperti kembali jadi bujang yang apa-apa bingung sendiri.

“Dad pakai apa aja cocok kok. Lagian emang dad ikut diundang?” Jawab Arsene yang lagi turunin anak tangga sembari ngeroasting gue.

Gue lihat Evander ketawa geli lihat muka gue yang lagi ngerasain perihnya hati tertohok ucapan anak sendiri.

“Ini tuh dad juga lagi usaha, dek.”

“Itu dad yang dasi garis merah lebih bagus, terus jasnya hitam aja cocok.”

Gue selalu bersyukur karena Evander lahir, hadir di dunia. Seperti udah jadi takdir gue supaya ga kelamaan debat kusir sama Arsene.

Terakhir, gue pasang dasi di leher, ga serapih buatan suami gue dulu yang penting pakai. Terus, yang kedua jas dan pakai parfum paling mahal yang gue punya.

Sampailah gue dalam lingkup istana. Mobil sederhana gue melenggang tanpa hambatan menyusuri halaman luas.

Hari ini, rasa syukur gue limpahkan semua pada yang punya hidup karena sudah berhasil hadirkan binar gembira untuk dua jagoan gue.

“Dad, dad ini mah kalo buat main basket bisa full court sampe capek.”

“Dad, inimah satu istana udah ibarat seluruh negara Swabia.”

“Dad, harga tanahnya berapa ya kira-kira?”

Begitulah celotehannya, gue memilih bungkam aja sebab gue tau ketika gue jawab muncul pertanyaan cabang yang akan buat gue semakin pusing.

Mobil berhenti tepat di depan pintu megah. Di sana udah berdiri suami gue lengkap bersama senyumnya yang menawan.

Ya Tuhan, gue kangen dia, gue pengen cium dia sekarang juga Batin gue memberontak.

Gue sepertinya gak bisa lagi menahan gejolak rindu yang terpendam sejak lama ini. Gue ingin hari-hari kembali ke masa lalu, dimana hanya ada gue, dia, dan dua bayi kecil. Dimana gue ga usah mikir ketika kami butuh waktu malam panas khusus untuk berdua.

“Hi, boys!”

Anak-anak langsung lari sekuat tenaga buat peluk papanya. Ini skenario yang udah jarang bisa gue liat. Gue mau lemah aja rasanya ketika ingat bahwa hal-hal kecil membahagiakan ini cuma tinggal menghitung hari.

Gue jalan mendekat, gue mendekap ketiganya super posesif, takut ga bisa lakuin ini lagi. Gue kecup dahinya lama, salurkan seluruh rasa rindu untuk dia.

I miss you, my love.” Bisik gue sebelum lepas pelukannya.

Dia senyum, cuma dengan itu gue bisa rasain kalau cintanya ga pernah berubah untuk gue sejak dulu.

Menunggu sejenak acara haru antara papa dan anak, gue gak sengaja bertemu tatap dengan mata cantik. Mata yang sangat indah mirip milik suami gue. Sosok anggun itu di sana, perhatikan dari jauh gerak-gerik kita.

Gue tebar senyuman terbaik, meskipun dibalas geming. Gue milih mendekat, ingat akan buah tangan yang gue bawa khusus untuk beliau.

Gue membungkuk sopan 90 derajat menghormati. Seperti pertemuan lalu gue lempar basa-basi.

“Gimana, kabarnya mom dan dad?” Lagi-lagi geming, gue cuma bisa lapangkan dada sembari terus senyum.

“Ini, Hans bawakan kue. Tidak mewah, namun penuh cinta karena yang membuat mama saya dibantu anak-anak.” Gue ulurkan tangan gue, bersyukur beliau kasih lirikan. Tak lama, maid yang berdiri di belakangnya menerima pemberian gue.

“Hans ga pernah capek untuk mengusahakan perasaan mom maupun dad untuk saya. Hans minta ampun jika dulu saya sakiti hati selembut milik mom akan perbuatan saya, bukan maksud Hans untuk ambil paksa putra tersayang dari pelukan mom.”

Badan gue gemetar tahan tangis, gue ga sanggup akan keterdiaman ini. Tapi gue bersyukur, baik mom atau dad ga pernah usir gue, ga pernah sekalipun mereka tolak kehadiran gue. Seperti, memang gue diberi kesempatan untuk perlahan masuk ke lingkaran hidupnya.

“Hans lakukan ini semata-mata karena saya mau balas durhakanya saya pada mom dan dad di masa lalu.”

“Kalau begitu Hans pulang ya, mom. Terima kasih sudah berkenan bukakan pintu megah ini untuk rakyat penuh kotor seperti saya.”


Issabeau Point of View

II. I see him in their eyes. Saya bingung jika dihadapkan dengan situasi seperti ini. Well, saya ini seorang ibu yang punya hati nurani. Namun, mengingat kejadian dulu saya putuskan untuk tetap bungkam.

Saya kali ini duduk di sofa keluarga seperti biasa. Jadwal hari ini cukup lenggang jadi bisa menikmati secangkir teh hangat. Tatapan saya fokuskan pada ipad penuh untaian kalimat. Jadi takdir seorang raja bukannya hal mudah.

Sayup-sayup orang berbicara, saya intip melalui ujung mata. Untuk apa mereka menghampiri, saya terlalu sibuk untuk diajak ngobrol hal kurang penting.

Bunyi kaca bertemu kaca diterima gendang telinga, buat saya alihkan mata pada mereka. Sebuah piring isi kue lapis tersaji bersebelahan dengan secangkir teh.

“Queen grandma... eh? Your Majesty ini- itu.. silahkan dinikmati.” Tuturnya gugup. Saya diam tertegun bisu.

Wajah anak laki-laki itu berkeringat, jemarinya bergetar kecil.

“Sana duduk!” Suruh yang lebih dewasa. Saya perhatikan mereka jalannya lirih, tak ingin buat gaduh.

Lalu, mereka duduk bersisihan di lantai beralas permadani arab. Saya pilih acuh, entah apa tujuan mereka berada di ruangan yang ini bukan yang lain.

“Mom, June ijin di sini ya temani anak-anak kerjain pekerjaan rumah dari sekolah.” Saya cuma mengangguk.

Seiring berjalannya waktu saya tanpa sadar ambil beberapa potong kue lapir yang tersaji. Rasanya enak, kualitas bintang lima walaupun buatan rumahan. Beberapa kali saya curi pandang kegiatan mereka. Keluhannya, gerutuannya, caranya mengekspresikan kepuasan ketika berhasil jawab soal jadi mengingatkan dulu kala.

Saya akui June sangat sabar hadapi tiap pertanyaan penuh ingin tau dari yang paling kecil. Mulutnya terus mengoceh dari satu pertanyaan ke pertanyaan lain, persis June waktu kecil. Berbeda dengan yang sulung, lebih tenang percis June yang sedang fokus akan hal yang dia suka.

Saya seperti terjebak dalam bayang masa lalu saya sebagai seorang ibu yang tugasnya merawat anak.

“Selamat siang, mom!” Saya tersentak akan sebuah suara. Oh, ini putra saya Adrian datang berkunjung.

Dia dekati saya, dia peluk saya dan saya balas cium pipinya.

“Wow? Ini anak-anak lo, dek?”

“Iyalah, gimana sih lo kok gak apal keponakan sendiri.”

Mulailah ruangan ini ramai.

Saya lihat dua anak lekaki ini cekatan berdiri, mereka bungkukkan badan serendah mungkin.

“Selamat datang, Your Highness Prince Adrian.” Ucapnya bebarengan. Saya sunggingan senyum tipis akan kelakuan polosnya.

“Eeh, panggil aja Uncle Adrian. Haduh, jadi malu gini deh dipanggil Your Highness. Ini Evander... terus ini pasti Arsene, kan?”

Dua anak itu mengangguk semangat, “Iya bener, Your Highness eh.. Uncle Adrian.”

Adrian itu suka anak kecil, saya bisa lihat dari binar matanya ketika berhadapan dengan dua bocah ini. Ia layangkan tangannya untuk usap kepala mereka bergantian.

“Kakak sama adek di sini sama momnya papa ya, papa ada urusan sama Uncle Adrian.” Pamitnya dibalas anggukan.

Tibalah akhirnya, saya ditinggalkan berdua dengan mereka dalam suasana canggung.

“Kak, ini botol minumku nggak bisa dibuka. Tolongin.”

Setelah sekian menit berada di suasana hening, akhirnya ada suara yang tercipta. Bisik-bisik disertai gemerisik buat saya tidak ada pilihan lain untuk tertarik.

“Lagian udah tau ini kan masih baru jadi rada susah.” Saya lihat yang lebih tua mencoba buka tutup dari botol minum.

“Nanti aja, dek tunggu papa.”

“Nggak bisa, kak. Tenggorokanku kering.”

“Kamu nih.”

“Saya bisa bantu.” Akhirnya saya bersuara. Mereka berdua? bergeming tidak percaya.

Dengan wajah entah gugup atau takut, anak yang saya tau bernama Arsene mendekati saya dengan botol minumnya.

“Queen granma, maaf maksud saya Your Majesty saya lancang namun, bisa tolong bukakan ini untuk saya.”

Saya letakkan ipad sejenak, saya ambil botol minum bergambar tokoh superhero itu. Dengan sedikit tenaga saya berhasil bukakan untuk dia. Saya itu kurang mengerti apa yang buat anak ini begitu sumringah ketika saya serahkan kembali botol minumnya. Tak lupa ucapkan terima kasih, dia kembali ke posisi semula.

“Ternyata benar kata dad kalau Your Majesty ini orang yang baik.” Saya urungkan kembali ke pekerjaan.

“Memangnya Arbecio cerita apa ke kalian tengang saya?” Terjebak, saya ditarik dalam perangkap mereka.

“Banyak, dad selalu tanamkan kebaikan yang Your Majesty dan Your Highness berikan pada keluarga saya.” Kali ini yang sulung berbicara. Meskipun takut, dia beranikan diri tatap mata saya. Saya diberi senyum yang mirip seperti milik June.

“Ketika saya dengar cerita pertama kali bagaimana asal usul keluarga saya, hanya amarah, dendam, serta benci yang saya punya untuk keluarga papa. Namun, pada malam hari ketika saya akan tidur di situ dad masuk dalam kamar saya. Dia ceritakan detail yang tertinggal, fakta bahwa Your Majesty yang beri kesempatan untuk saya lahir. Saya tau anda sering titipkan lembaran uang untuk kita makan, baju bagus, mainan anak-anak. Dari situlah saya bisa rasakan kasih sayang dari keluarga papa saya.”

Jikalau saya orang yang lemah, sudah pasti dua anak ini jatuh dalam dekapan saya. Pun, saya manusia yang bergengsi tinggi. Saya kokohkan hati saya, dinginkan kembali es yang hampir melebur. Lalu, saya pilih untuk sakiti hati keduanya.

“Omongan kamu panjang lebar ini tidak bisa lembutkan perasaan saya untuk ayah kamu. Sudah terlambat, sebentar lagi kalian tidak bisa rasakan hadirnya papa kalian.”

Lihat, betapa kejamnya mulut saya. Saya perhatikan mimik wajah keduanya bergantian, si kecil telah menunduk dalam, namun si sulung masih dengan senyumnya kunci pandangan saya.

“Saya mengerti dan saya sudah sangat ikhlas. Hanya saja pengertian dan ikhlas tidak bisa tutupi sedihnya saya. Saya sedih karena saya belum punya kesempatan untuk pamerkan pada dunia kalau saya dididik oleh orang paling hebat di dunia. Papa saya hebat karena berasal dari keluarga yang luas biasa pula. Hampir 16 tahun umur saya hidup dipaksa seolah tak punya sosok papa...”

“Ingin saya cuma satu, yaitu perkenalkan pada semesta dan isinya kalau June Victor Witterlsbach itu papa saya.”


`hjkscripts.


June Point of View

I. for dear my parents. Khusus hari ini gue bangun pagi buta. Gue langsung mandi, berpakaian rapih dan lari menuju dapur istana. Semua maid natap gue gak percaya, ada yang langsung usir gue secara halus dan bilang kalau butuh apa-apa ya tinggal suruh aja.

Gue gak mau, gue menolak, karena hari ini gue akan menjalankan misi rekonsiliasi.

Dengan berbagai paksaan akhirnya mereka persilahkan masuk dapur. Semua alat yang gue minta udah disiapin. Padahal gue dateng ke sini cuma mau minta air hangat.

Gue tuang banyak air dalam baskom, kepulan asapnya masih membumbung nutupin sebagian pengelihatan gue. Lalu, gue keluarin senjata ampuh dari saku celana. Di tengah bau masakan ada tercampur bau lavender. Harum dan bikin tenang.

Gue bawa baskom yang lebih besar daripada badan gue kepayahan. Jalannya pelan-pelan takut kalau airnya tumpah yang bikin semua ini bakal gagal total. Gue intip bentar ruang santai yang jaraknya lumayan jauh dari dapur. Jantung gue rasanya seperti baru ketemu cinta pertamanya, deg degan parah.

Sudah masuk satu bulan dari kejadian yang paling menyesakkan di hati gue. Semuanya mungkin udah berangsur normal. Berita simpang siur tentang keluarga gue mulai tak terdengar, mom sama dad yang udah jalanin hari mereka seperti semula, begitupun gue.

Everything looks normal, but not my relationship with both parents.

Semua orang boleh puji betapa harmonisnya keluarga gue waktu menghadiri acara. Mom yang terlihat bangga sama gue, dan dad yang gak berhenti puji Adrian. Tapi, semuanya pudar ketika wajah kita jauh dari kamera. Hawa yang tadinya hangat mendadak dingin.

Salahkan semua sama gue, karena di sini gue adalah anak paling durhaka se dunia. Gue yang berhasil bikin kacau, dan gue juga si pengecut yang gak berani minta maaf sama mereka.

Gue kali ini gak bisa denial kalau orang tua gue lebih sayang sama Adrian. Beberapa minggu lalu, gue jumpa sama dia dan dia yang kasih solusi paling bijak ke gue. Dia yang bikin gue melakukan ini semua. Dengan segenap keberanian, gue besarkan hati gue untuk kata maaf dari dua orang yang paling gue cintai.

“Selamat pagi, mom, dad.” Sapa gue kaku. Kalau gue jabarkan, hubungan gue dan mereka bisa dibilang love-hate relationship. Beribu kata kebencian yang kita keluarkan buat satu sama lain gak mengurangi rasa cinta gue ke mereka dan gue harap mereka ke gue juga begitu.

Gue berdiri di depannya. Mom lagi sibuk sama ipadnya dan dad sama koran hariannya. Mereka natap satu sama lain pas gue dateng dan pasang wajah bingung pas gue lagi persiapin bisa dibilang ritual sakral ini.

Gue letakkan baskom gede di bawah kaki keduanya. Gue berdiri lagi buat singkirin meja, terakhir gue duduk bersimpuh di hadapan tepatnya di kaki mereka.

Suasana yang tadinya dingin entah mengapa berubah jadi hangat. Mata gue mendadak panas dan tanpa sadar mulai produksi bulir air mata. Sesek rasanya di hati seperti semua yang gue rasain satu persatu ingin dikeluarkan.

Gue gak mau nangis sekarang, jadi gue ambil dua pasang kaki telanjang mereka gantian dan gue masukkin dalam baskom. Gue diem, mereka diem, kita gak ada kasih komentar. Gue fokus basuh kaki-kakinya bergantian.

Gue tatap lamat, banyak luka lecet di kaki mom. Pasti karena sering berdiri dan pakai heels yang nyiksa dia agar selalu nampak anggun. Gue liat kaki dad sudah muncul keriputnya, gimana ada beberapa titik benjolan kapal dan kukunya yang gak terawat. Pasti dia gak sempet karena harus lari sana-sini, pindah negara dalam satu waktu. Sibuk urus hidup banyak orang sampai lupa badan dia sendiri. Gue baru sadar 15 tahun gak sebentar, semuanya banyak berubah, orang tua gue tambah tua dan ringkih.

“Mom sama dad tau gak, kadang kalau Evan sama Arsene lagi libur dan liat aku atau Hans capek mereka sering lakuin ini. Tiba-tiba dateng bawa baskom, kaki June dicuci, dipijit, sambil kita ngobrol tentang kegiatan kita satu hari.”

Gue diem sejenak, kasih jeda buat orang tua gue layangin komentar. Namun, mereka milih diem.

“Setelah June pikir ternyata gak ada pondasi yang lebih kokoh daripada komunikasi. June sadar, apa yang June lakukan selama ini cuma perilaku impulsif yang datang dari ego diri sendiri. Semenjak June datang isi pikiran June cuma pergi dari sini secepatnya, cuma ada benci dalam diri untuk kalian.”

Butir bening yang daritadi gue tahan tahan biar ga jatuh, satu persatu mulai luruh. Gue angkat kedua pasang kaki mereka, gue singkirkan baskom sejenak dan gue mulai keringkan bergantian pakai handuk. Lalu, gue cium satu persatu dan gue sujud.

“June mohon ampun, gak pernah terbesit di hati maupun pikiran June untuk sakiti hati mom dan dad dengan sengaja. Gak pernah ada maksud dari diri June untuk permalukan keluarga kita dengan kesadaran.”

Gue nangis, gue taruh semua ego gue di sana. Satu harapan gue cuma kata maaf dari mereka.

Gue bangun buat tatap ekspresi mereka bergantian. Wajah keduanya juga merah, basah, namun enggan lihat gue. Gue lihat mereka makin sakit, gue limpahkan semua kesalahan ke mereka akan takdir yang gue dapet. Mereka hidup, mereka capai titik ini, mereka lakukan ini karena tuntutan keturunan begitupun juga gue.

Gue ambil tangan mom dan dad yang paling dekat, gue genggang erat dan gue nangis di atasnya.

“Mom sama dad boleh marah sampai kapanpun, mom sama dad boleh benci dan kecewa. Tapi June mohon sisihkan kata maaf untuk June, kapanpun mom dan dad siap, June akan tunggu.”

Dan gue kali ini pasrah.

Namun, ditengah tergugunya gue ada belaian yang hadir. Pelan, lembut, hangatnya sampai di hati.

“Tidak ada orang tua manapun yang benci pada buah hatinya. Tidak ada orang tua manapun yang kehabisan kata maaf untuk memaafkan anaknya.”

“Mom dan dad marah, kami kecewa bukan karena menyesal kamu lahir sebagai putra kami. Kami kecewa pada diri sendiri karena tidak bisa jaga kamu yang spesial ini dari laki-laki asing yang tidak pernah kami kenal.”

“Hans bukan orang asing, mom.”

“Bagi kamu memang bukan, namun bagi mom dan dad. Semuanya terlalu tiba-tiba, June. Kala mom punya banyak ilmu yang akan mom bagi dengan sendirinya kamu di dewasakan.”

Bener, gak ada yang salah dari ucapan mom. 15 tahun lalu semuanya terjadi dengan cepat dan tiba-tiba. Belum sempat gue diajari cara menjaga diri, harus bagaimana bersikap di depan alpha, beta, atau omega lain.

Cinta gue tepat di waktu yang salah.

Iya, gue salah. gue sadar segalanya.

“Lantas apa yang harus June lakukan untuk tebus salahnya June pada mom dan dad? Apapun June lakukan.”

“Sebagai orang tua, mom dan dad ingin kamu bersama orang yang kami kenal, sifatnya, perilakunya, keluarganya. Kamu itu omega, patut dapat pasangan yang pandai menjaga. Mom kenalkan pada Prince Jaden bukan tanpa alasan.”

Gue berpikir sejenak, tarik napas lalu hembuskan perlahan. Gue gak lupa hapus sisa air mata.

“Kalau memang itu bahagianya mom dan dad, June akan lakukan.”

Jawab gue ragu. Mereka senyum, bahkan dad yang jarang senyum hari ini gue bisa lihat wajah leganya.

“Tapiㅡ” Gue teguk ludah gue, takut mau sampaikan permintaan yang ini.

“Jangan halangi June untuk habiskan sisa waktu yang June punya untuk Hans dan anak-anak June.”


Jaden Point of View

II. Diantara dua pangeran. Saya dapat berita melalui pesan singkat dari dia bahwa kami butuh bertemu. Dia yang datang dari negeri sebrang entah akan membahas hal penting apa.

Saya akhirnya tiba disebuah restauran yang memang sudah biasa digunakan untuk pertemuan penting. Lalu, saya duduk pada salah satu kursi yang telah di reservasi khusus untuk hari ini.

Itu dia datang, seperti biasa dandannya sederhana namun terlihat anggun di mata saya. Jika saya boleh kurang ajar, saya akan deskripsikan sosoknya sebagai malaikat surga. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama, sayang beribu sayang dia bukanlah takdir saya.

Dia berbicara sejenak dengan kaki tangannya, lalu kaki jenjangnya melangkah sendiri lebih mendekat ke arah saya. Ya Tuhan... jantung saya berdebar susah dikendalikan.

“Maaf aku datang sedikit terlambat, pesawatnya delay 20 menit.” Katanya dengan nada bersalah.

Saya otomatis tersenyum maklum, mempersilahkan duduk dan membiarkan pelayan menyajikan makan siang.

Makan siang hari ini terasa sepuluh kali lebih menyenangkan sebab tidak ada perbincangan berat tentang politik atau tata negara, hanya ketenangan karena kami berdua diam.

Saya tidak bisa lepaskan pandangan kagum pada sosok dihadapan saya. Bagaimana kedua tangan itu menggerakkan pisau dan garpu, bagaimana gerakan bibirnya lucu ketika makanan berhasil masuk dalam mulutnya. Tiada yang spesial dalam diri makhluk ini tapi saya suka.

Hari ini saja, ijinkan saya tak tahu diri.

“Jadi, apa tujuan kamu menemui saya?” Saya bertanya to the point setelah meja berhasil dikosongkan kembali, tersisa air putih dan segelas anggur.

“Aku datang untuk ucapkan kata maaf secara langsung atas perbuatan ceroboh yang lalu.”

Dadi saya mengkerut, sedikit kurang paham dengan apa yang disampaikan, “Loh, bukannya memang ini ya tujuan kamu? Batalkan perjodohan dan saya akan bantu.”

“Sudah tidak lagi, apa yang aku lakukan ternyata sakiti keluargaku.”

Saya bisa lihat bibir itu terangkat. Lagi, bukan senyum tulus, bukan senyum cantiknya yang muncul ketika membahas suami dan kedua anaknya. Senyum getir penuh keterpaksaan tergambar jelas di sana.

“Aku terima perjodohannya, itu keputusanku.”

Jawabannya membuat saya cukup kaget, bingung, bercampur euphoria menyenangkan turut hadir.

“Jika kamu putuskan untuk berjodoh sama saya, berarti hubungan kamu dengan suami dan kedua anak kamu akan dipisahkan dengan ritual. Saya pikir kamu tidak akan sanggup pisah batin dengan mereka.”

“Aku pasrahkan perasaanku dan suamiku pada alam, aku biarkan mereka yang menuntun kami berdua. Aku setuju semata-mata karena aku mau berbakti pada dua orang tuaku.”

Lalu saya tersenyum,

“Saya tidak punya kuasa menolak kalau itu kamu.”


`hjkscripts.


Hans Arbecio Point of View

Hans, aku butuh kamu.

Sekarang gue coba tanya sama hati nurani gue sendiri, apa bisa diem aja? Apa bisa gue nahan lebih lama lagi? Nyoba sabar terus sampai bikin garis batas baru. Jawabannya jelas nggak, gue udah gabisa. Gue capek harus pura-pura ga papa, jadi alpa bego yang sok tegar dan kelihatan ga peduli sama dunia luar. Gue capek harus sok normal jalanin hidup baru gue di tempat kelahiran gue. Gue berusaha? Udah, bahkan pembangunan kafe baru yang bakal jadi mata pencaharian lanjutan gue di sini bakal mulai dibangun minggu depan. Namun, apa gunanya gue bikin rencana resolusi new life tanpa omega gue, suami gue.

Hari ini gue cukup kelimpungan. Pagi ini ga senormal pagi biasanya. Gue bangun dengan keterkejutan akan sebuah berita. Dan gue tau sebabnya.

Gue sangat amat tau bahwa omega gue, mate gue bakal dijodohin paksa sama keluarganya. Orang yang katanya jauh lebih setara daripada gue. Gue paham, gue maklum, gue terima itu sebab dia bilang kalo kita masih punya kesempatan buat cegah berita ini diketahui publik. Tapi, seakan semuanya ga berjalan akhirnya semua orang bisa tau termasuk anak-anak gue.

“Dad, semua ini boong kan?”

Gue sampe bingung mau bales gimana, karena apa yang mereka baca tak lain semuanya fakta.

“Dad, Evander bisa coba ngerti sama keadaan kita, tapi kok yang satu ini sulit ya?”

Ini yang paling gue terpukul, bikin makin rasa bersalah yang udah gue kubur dalam jadi muncul lagi dipermukaan.

Anak gue, alpa sulung gue yang udah gue paksa buat dewasa sebelum waktunya.

Kaki jenjang gue tekuk sampai tinggi kita sejajar. Gue amatin tiap mimik muka dua jagoan gue lamat. Gusar, takut, kecewa semua bisa gue liat. Gue ngerti dan sangat maklum.

Bibir gue terangkat, senyum getir muncul dan yang bisa gue lakuin cuma meluk mereka, gue hisap kekalutan mereka dan gue ganti dengan feromon gue biar mereka tenang.

“Dad janji, kita akan baik-baik aja. Dad janji, sebentar lagi kita akan kembali utuh.”

Setelah itu, gue ambil kunci mobil dan setelan jas. Gue pergi, ninggalin mereka bersama jutaan tanda tanya di sana.


Gue tau apa yang akan terjadi selanjutnya bakal bikin semua skenario jadi buruk. Ga ada pilihan lain, kali ini gue mau egois.

Gue parkir mobil sederhana gue lalu jalan sejenak buat sampai gerbang megah. Gue diem sebentar, mandangin gimana mewahnya istana yang dikasih nama Livadeia palace ini.

Dalam otak gue ditarik ke masa lalu, dimana Hans Arbecio kecil sering mimpi buat jadi salah satu anggota kerajaan Aragon.

Terus lagi-lagi bibir gue keangkat, ketawa getir karena akhirnya mimpi itu sudah berhasil digapai. Harusnya gue terus mimpi aja. Iya, harusnya.

“Hei! Siapa kau berdiri di sana, tuan?”

Mendengar itu, gue balik lagi ke realita. Gue membenarkan sedikit pakaian gue sebelum berjalan lebih dekat.

“Saya Hans Arbecio, saya kemari diminta hadir oleh Your Highness Prince June.”

Penjaga di depan gue natap sanksi, ga percaya. Mungkin gue udah dianggep orang gila yang sok kenal sama pangeran kerajaan. Terus, dia ketawa remeh.

“Komedi apa lagi yang kau tunjukkan tuan. Bertemu dengan Prince June? Kau pikir kau ini siapa?”

Gue yakin cara ini ga bakal berhasil.

Gue akhirnya hirauin dia yang lagi ketawa. Gue ambil ponsel gue dan telpon suami gue.

Aku disini, sayang. Aku datang buat meluk kamu.


Prince June Point of View

Kalau ada yang tanya gimana keadaan gue hari ini, gue dengan tegas bakal jawab kalo gue sedang gak baik. Hari ini buruk, gue merasa kecil dan gak berdaya.

Ini salah gue, ini semua terjadi karena gue.

Batin gue terus menerus menekan diri sendiri atas semua kehebohan yang muncul pagi ini. Berita perjodohan yang lagi coba gue gagalin, mendadak muncul bikin gempar satu dunia.

Gue lega karena gue tau sendiri banyak yang akan bantu gue. Sisi lain, gue langsung jatuh ke palung paling dalam dari rasa percaya diri gue saat gue tau gimana terpukulnya anak-anak gue.

Kata orang gue omega kuat, suami gue, dua alpa gue juga sering angkat diri gue dengan kata demikian. Tapi, khusus hari ini gue akui, gue lemah.

Dengan begitu ego gue mengantarkan jari-jari gue buat ngetik kalau gue butuh suami gue di sini.

Gue gak berharap banyak, gue bahkan mikir kalau permintaan gue sesuatu yang mustahil buat sekarang. Namun, mata gue kembali nemuin binarnya ketika ponsel gue berdering dan suara suami gue menyapa di ujung sana.

“Aku di sini buat kamu.”

Persetan sama semuanya, ponsel gue banting dan gue lari keluar, nyusurin luasnya istana rasa penjara yang gue tinggalin saat ini.

Gue lari sampai gak kerasa kalau air mata kelemahan gue udah mulai jatuh merembes lewat pipi. Gue lari terus, telinga gue mendadak tuli sama semua suara yang panggil nama gue. Gue makin kenceng, gak terkendali saat obsidian gue nangkep bayangan yang sangat gue kenali. Dia ada di sana, berdiri nyata dan gue bisa sentuh setelah ini.

“Hans!” Panggil gue mendramatisir. Mirip sama telenovela dengan thrope cinta terlarang. Gue raih tangannya dari balik pagar besi yang menjulang, terus dia tautkan jemari kita erat. Perasaan ini, udah gak bisa dideskripsikan lagi.

“Sayang...” Bisiknya. Di sini gue akhirnya sadar, bahwa kita berdua udah desperate. Kita berdua diambang gak sanggup buat jalanin sendiri-sendiri. Kita mau berdua, berdiri sampingan sambil pegangan tangan liat kejamnya dunia yang perlahan datang.

Tautan kami lepas, wajah memohon gue pasang meminta dengan amat frustasi sama penjaga untuk buka pagar penghalangnya. Inilah gunanya gue punya title prince, penjaga itu langsung laksanain perintah.

Gue bagaikan si Anna serial Frozen yang gak sabar liat dunia luar. Pintu megah di depan beneran gerak perlahan bikin gue sedikit kesel. Lalu, setelah cukup untuk Hans masuk, gue seret dia.

Dengan semangat menggebu gue peluk raganya. Nyaman, tubuh suami gue emang tempat paling nyaman untuk pulang.

Gue gak bisa buat nahan semuanya. Campur aduk emosi dalam diri keluar semua dalam bentuk air mata. Gue bisa rasain gimana dia juga semakin mengeratkan pelukannya di pinggang gue yang ramping. Sesek, tapi gue gakpapa ini nyaman.

Akhirnya, gue bisa sentuh dia lagi. Gimana jemari gue dengan nyaman bergerak nyentuh tiap lekuk tubuhnya. Ototnya, urat-urat nadi yang muncul, rambut halus yang menggelitik setiap gue sentuh permukaan kulitnya masih sama rasanya. Di sekeliling kita, gue bisa rasain feromon yang sedang bercampur.

Seluruh kekalutan, ketakutan, dan gundah di hati perlahan diselimuti ketenangan.

I miss you so bad, my alpha.

He don't answer but directly kissed my forehead. Basah, entah dari saliva atau air mata.

Detik kemudian, tanpa melepaskan dekapan kita saling memandang. Tepat dari mata ke mata. Kita saling jatuh, terjebak diantara iris masing-masing.

Gue senyum, senyum tulus yang akhirnya hadir lagi disela-sela kebingungan gue dalam menjalani hidup.

Lalu, kelopak mata gue tertutup ketika syaraf di pipi bisa rasain sentuhan telapak besarnya. Dia usap air mata gue di pipi sambil tatap gue intens. Gue bisa rasain angin semilir berhembus seperti alam memang merestui adegan pertemuan kami.

“Aku mau cium kamu, aku takut ga bisa lakuin setelah ini.” Pintanya dengan wajah sendu.

Gue kembali tatap matanya, satu tangan gue pindah dari belakang punggungnya untuk balas membelai rahang dia yang tegas.

“Kamu selalu bisa cium aku, Hans. Karena sampai kapan pun aku bukan milik siapa-siapa selain kamu.”

Detik berikutnya, gue bisa rasain jarak diantara kita berdua semakin sempit. Deru napas dia menerpa halus tepat di wajah gue. Lagi, sensasi basah hadir namun kali ini tepat dibelah bibir.

Pertama, kedua bibir hanya saling menyentuh. Dia berikan tekanan sedikit hasil dari emosi yang sedang membuncah. Kedua, nafsu kali ini hadir, ikut andil mengendalikan jalan pikiran. Ciuman penuh rindu tanpa tuntutan berakhir dengan lumatan penuh sensual.

“Bagaimana bisa aku relakan kamu untuk orang lain, sayang.” Bisiknya di tengah nafas kami yang memburu.

Gue menggeleng, siapa yang mau dipisahkan sama pasangan sendiri. Gue pun menolak.

Take me, my alpha. Jangan biarkan seseorang mengambilku. Lawan mereka meskipun itu keluargaku sendiri.”


`hjkscripts.


seberkas cahaya mentari yang masuk melalui celah jendela kastil megah mengiringi secuil harapan yang muncul dari salah satu penghuninya. June membuka kedua kaca tersebut membiarkan wajahnya diterpa sinar. Pupilnya menyipit karena terlalu terang pun karena senyumnya yang lebar.

Kelopak indah itu menutup, dadanya membusung maju akibat bayak oksigen yang dihirup masuk. Lalu, pria omega berparas bak campuran dewa dewi dengan semangat menghempaskan karbondioksida menuju alam kembali.

“Sepertinya alam memang mendukungku.” Monolognya ceria.

“Terima kasih...” Lanjutnya tulus.

Seperti berkejaran dengan waktu June tak ingin berlama-lama. Piyama putih gading berbahan satin telah berubah seluruhnya serba hitam. Sang pangeran kerajaan telah berubah menjadi June si orang biasa.


June melangkah dengan kecepatan konstan melewati lorong gelap. Orang istana mengenalnya sebagai escape door, lorong bawah tanah yang sengaja dibuat untuk keluarga kerajaan melarikan diri ketika istana diserang. Lorong gelap, panjang, bau berujung tepat pada danau besar Aragon.

Untuk sampai disini bukanlah hal mudah. June harus melewati berbagai negoisasi alot dengan guru kerajaan agar kegiatan dihentikan sejenak. Sukses besar ketika Ia menyebut nama sang kakak. “Aku akan berkunjung ke rumah Prince Adrian, Ia memanggil untuk urusan penting disana.”

Selang 30 menit bertemulah dia dengan pagar tua berkarat. Pintu yang kuncinya telah Ia pegang juga. Gema keramaian seperti menyambutnya, mengucapkan selamat telah berhasil bebas dari belenggu kastil megah.

Ia pasang topinya, tubuh kurusnya keluar perlahan melewati pagar. Lalu Ia masuk, bergaul antar tubuh ditengah hiruk pikuk yang sedang berniaga ikan. Langkahnya ringan, sel tubuhnya rileks seperti tau bahwa mereka sudah bebas, tak lagi dikekang. Entah mengapa Ia suka begini, hidup biasa, berjalan normal dengan tak satupun manusia yang akan berhenti menaruh hormat ketika melihat wajahnya. Manusia sejatinya diciptakan begitu bukan? setara tanpa mengenal tingkatan kasta.

Sampailah kedua kaki jenjang itu pada satu lokasi yang hingga detik ini masih ada dalam bayangnya. 15 tahun memang cukup banyak yang berubah, namun tubuhnya sangat mengenali jalan setapak ini. Tempat dimana si nakal June pertama kali mengenal dunia luar, tempat pertama kali Ia bisa merasakan manis gurihnya jajanan murah, tempat pertama kali jantungnya berdebar ketika maniknya jatuh pada tatapan seorang pria. Inilah tempat asal mula rumit masa lalunya terjadi.

“Papa.” Jantungnya hampir copot sebab bisikan tiba-tiba masuk gendang telinganya. Ia menoleh, yang melakukan malah terkekeh geli.

“Sayang...” Sapanya saat tau yang sedang berdiri disampingnya adalah sang anak. Iya, Arsene Arbecio si bungsu akhirnya bisa dia sentuh lagi. Namun, karena keadaan June akhirnya menahan diri, tidak mau terlalu membuat aksi yang akan menimbulkan atensi sekitar.

“Ayo!” Ajak si alpa muda. Tanpa persetujuan, Ia menarik lengan papanya entah dibawa kemana.

“Pelan-pelan sayang, kamu ini mau bawa papa kemana?”

Arsene terus melangkah, enggan menghiraukan ocehan papanya.

“Ketempat dimana aku bisa peluk papa seharian.”


Satu kegiatan yang mereka lakukan sejak kakinya melangkah masuk dalam gedung sederhana yang agak terbengkalai adalah menangis. June nggak pernah tau bahwa anaknya banyak mempersiapkan untuk pertemuan mereka. Bukan hanya Arsene yang hadir namun Evander si alpa sulung sudah menunggunya disana. They hugs and cries like there's no time tomorrow.

Persetan debu, persetan kotor, June nggak komen apapun tentang tempat kumuh yang anaknya dapatkan at least he can gives all that affection to his boys. Berjuta kosa kata penuh cinta dan kerinduan seolah nggak habis diucapkan mereka.

“Papa, gimana ya aku bisa lanjutin hidup lagi abis ini.” Ungkap Arsene. Sedikit hiperbola memang, tapi jika melihat keadaan sekarang June bisa tau kegundahan hati anaknya.

Papa, can't you just stay with us? Aku udah coba jalanin, jadi alpa dewasa itu gak enak. Aku belum mau, aku belum sanggup, aku bahkan barusan langgar janji aku ke daddy kalau aku akan bantu dia buat ngerti akan semua ini. Aku udah janji buat jadi kuat, aku udah janji buat gak nangis biar Arsene bisa contoh aku. Tapi hari ini, ketika mata aku bisa liat papa lagi, aku baru sadar bahwa aku gak sekuat itu. Berada dipelukan papa kayak gini masih jadi kebutuhan aku. Aku belum kuat jalan sendiri, aku masih haus kata-kata semangat dari papa. Aku capek, pa. I don't want to understand everything that I don't.”

June mengerti bahwa semua ini terlalu tiba-tiba bagi mereka. June paham bahwa semua ini salahnya. Harusnya waktu itu Ia bisa menahan maka semua ini tidak akan terjadi. Harusnya waktu itu dia nggak egois hingga sekarang dia juga nggak akan lihat gimana rapuhnya dua buah hatinya.

Dia cuma mau hidup biasa, bersama keluarga kecilnya jalan bahagia, bukan penuh tangis derita seperti ini.


`hjkscripts.


Holyrood Palace 20.34 p.m

Ketika maniknya bersitatap dengan sosok disebrang, bibirnya terangkat senyum. Lama terdiam, pandangannya semakin kabur akibat air mata terbendung hampir luruh. Sosok gagah 1 meter didepannya mendekat, mengikis jarak yang dibuat sedekat mungkin. Tepat menit ke tiga si jangkung jatuh dalam pelukan yang lebih pendek saat kedua lengan itu terbuka lebar.

Congratulations, kak.” Ungkapnya bangga, lega juga akhirnya bisa menyentuh raga sang kakak sedekat ini.

Pria yang digadang seorang kakak tak lagi mampu berbalas. Perasaan rindu penuh menggumpal dihatinya. 15 tahun, kontak fisiknya harus sengaja dipisahkan oleh kejamnya sistem kerajaan.

Suara deritan pintu menginterupsi adegan penuh haru. Keduanya menoleh memastikan siapa, lalu helaan napas lega hadir ketika sosok pria lain lengkap dengan senyum manisnya masuk.

“Kak Julio.”

“June?”

Yang dipanggil June beranjak dari afeksi sang kakak. Memindahkan pelukannya kali ini pada seorang yang dipanggil Kak Julio.

I miss you. Congratulations for your wedding.” Katanya memberi selamat. Tak mau lama-lama, June memutuskan kontak keduanya membiarkan Julio mendekati Adrian suaminya.

Julio dan Adrian, sepasang mate yang hari ini telah memasuki dunia baru. Dunia dimana mereka akan menjalani harinya hingga akhir hayat berdua.

June menatap keduanya sendu, padahal dihadapannya telah bermain adegan romatis dari sepasang pemilik dunia khusus hari ini. Kedua pangeran Aragon akhirnya menemukan pilihannya, keduanya melangkah ke jenjang serius pernikahan dengan yang disediakan alam. Bedanya, milik June dihalangi oleh hierarki.

“Hey, June?” Tubuhnya sedikit limbung kebelakang, kaget karna sentuhan Julio.

You okay?”

June kembali tersenyum getir. No, he fucked up day by day. Lagi, June tak ingin hari ini ada goresan kesedihan jadi yang sanggup dilakukan hanya berucap bahwa dia baik-baik saja.


Tepat pukul 9 malam kedua pengantin kembali ke dalam riuhnya pesta pernikahan. Baju formal telah berganti dengan baju lain yang lebih mewah. Ini saatnya mereka berdua untuk bersinar. Ritual yang tak bisa dihilangkan dari budaya. Dansa ditengah ballroom yang luas disaksikan ratusan pemirsa.

Pemain musik mulai melantunkan alatnya. Menggesek biola sehalus mungkin menghasilkan suara lembut. Para tamu terpuka dengan bagaimana penampilan pengantin yang telah berlenggok memadu kasih ditengah sana.

“June?” Lagi-lagi dirinya kembali disadarkan, kembali ditarik dari dalam sumur gelap menuju dunia realita. Mom-nya sudah berdiri disana dengan pemuda tinggi berparah menawan dibelakang tubuhnya. June lalu berdiri, membungkuk hormat pada dia yang segera dibalas. Sungguh elegan, dia pasti pangeran.

Layaknya pria sejati, si tampan menjulurkan tangannya ditambah senyum miring nan lembut. “Prince Jaden dari House of Mosbach

June tak mau kalah, dengan ragu Ia mengambil tangannya untuk dijabat. Dingin. “June dari Aragon.”

“Prince June, pangeran kedua dikeluarga saya.” Koreksi sang ibunda.

“Ah, ini dia Prince Jaden yang namanya pernah Ia dengar.” inner June

“Maaf saya lancang, Prince. Kalau boleh tau ada perlu apa dengan saya?”

“Bagini, June. Prince Jaden tidak ada siapa siapa yang menemani jadi bisa kamu temani ya, sayang. Kalian coba berdansalah dibawah sana.” Bukan sang pangeran yang menjawab namun perasaan bahagia yang ibu. June diam, Ia seperti tau jalan ceritanya.

Akhirnya wanita cantik itu meninggalkan keduanya dengan kecanggungan. Berdansa? Haruskah? Memang dibawah sana sudah ramai tamu berdansa dengan kedua pengantin.

June tertegun ketika maniknya tanpa sengaja melirik sosok disebelahnya. Tangannya telah terulur beserta tatapan meminta. “Can we?”

Untuk kesekian kalinya, meskipun ragu June kembali menjawab tangan dingin itu. Pasrah ditarik kebawah, menceburkan diri ditengah liukan insan yang berdansa.

Satu detik, June diam mematung. Detik kedua masih belum ada pergerakan, hingga detik ketiga jemari itu terangkat namun kembali diturunkan.

“Maaf, berikan tanganmu.” Pinta sang pangeran penuh kelembutan, penuh perhatian.

June memberikannya, lalu ditarik pelan tangan kurusnya dibawah menuju bahu gagah. Lalu, June melirik sisi lain sebab serangan dingin kembali terasa. Jemarinya yang bebas telah digenggam kuat oleh sang pangeran.

Pertama mereka hanya bergerak kekanan kekiri, langkah kakinya sesuai menikmati alunan musik. June menunduk, jujur jantungnya berdegup tak nyaman. Dia nggak seharusnya ada dipelukan lelaki lain, seerat dan seintim ini.

Diantara perang batinnya ada sosok Jaden yang tak bisa melepaskan tatapannya barang sebentar saja. Menikmati setiap pahatan indah makhluk didekapnya.

“June?” Bisiknya, lalu obsidian mereka bertemu.

Jaden menatapnya, namun bukan keindahan yang didapat, bukan getaran penuh semangat yang dirasakan. Hanya kesedihan.

You happy?

June menduduk lagi, tertawa. Bukan, bukan karena Ia bahagia. Ia sedang menertawakan dirinya sendiri karena nggak mampu buat jawab pertanyaan sesederhana itu. Are you happy? harusnya, Ia bisa langsung menjawab Yes, i am. Today my brother's wedding how supposed i dont?. Namun, segalanya sudah berbeda.

Yes.” Jawabnya singkat.

“Jangan bohong, kasihan diri kamu.”

Dengan satu kalimat yang keluar dari bibirnya, June akhirnya jatuh. Duduk dilantai dingin, ditengah tawa bahagia orang-orang sekitar bersama air matanya.


“Ini Hans, my husband. Kalau dua yang lucu ini Evander dan Arsene anak aku.” Jelasnya dengan tenang, masih ada raut sedih tapi sudah bisa senyum sedikit. Jaden jadi lega.

Mereka berdua memutuskan keluar dari hiruk pikuk dalam kastil. Duduk ditempat sepi dimana cuma ada mereka berdua ditemani bulan purnama yang lagi bersinar diatas.

“Mereka lucu, anak-anak kamu.” June mengangguk setuju.

Terus, suasana sepi lagi. Nggak ada canggung seperti pertama kali. June jadi sedikit nyaman setelah bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya.

“Maaf,...”

“Hm?”

“Maaf karena asal nerima perjodohan begitu saja. Harusnya aku cari tau dulu siapa kamu dan siapa kamu sebenarnya. Pasti sulit ya hidup dipisahkan begini.”

Iya, hidup memang sulit. Terima kasih karena kamu tak membuatnya lebih sulit.

It's ok. We promised to gettin back together kok. Cuma nunggu waktunya.”

“Alam ternyata nggak main-main waktu jadiin kalian mate. And i know the reason.”

June tersenyum, kali ini lebih tulus. Pangeran Jaden hampir jatuh dibuatnya. “Thanks

I can make it work kalau kamu mau aku bisa bantu, apapun.”

“Jaden, mate kamu nanti bakal beruntung dapet kamu. Terima kasih banyak dan aku minta maaf.”


`hjkscripts.


Kembali ke rutinitas June hari Jum'at dimana harus menuju kota tepatnya Academy of Swabia tempat Evander dan Arsene menimba ilmu. Biasanya hari menjemput tak luput dari daftar kegiatan sang alpa, namun kali ini pria dewasa itu absen.

Raut khawatir terus terpatri di wajah rupawan milik sang omega. Jemarinya menggenggam erat kemudi bundar diiringi suarana penenang dari alpa kedua di keluarga. Arsene sakit demam, itulah alasannya. Harusnya ketika sampai June menyambut kedua buah hatinya dengan senyum hangat. Hari ini lagi-lagi pengecualian, Arsene berjalan gontai dipapah sang kakak adalah pemandangan yang Ia dapat tadi.

“Pah, tarik nafas pelan terus buang. Papa yang tenang, Arsene dibelakang udah tidur kok. gapapa dia.” Tutur Evander disebelahnya. June memelankan laju mobilnya, lalu mengintip si bongsor dari kaca sejenak. Anak itu memang tidur namun nafasnya berantakan.

“Papa fokus kok, kamu pegangan ini papa rada ngebut biar cepet sampe rumah.”

Evander memilih bungkam, menggenggam erat sabuk pengaman sembari dalam hati berdoa agar mereka selamat sampai rumah.


Semerbak wangi masakan memenuhi udara rumah. Ketiganya juga siap berkumpul memulai makan malam. June mengambil mangkuk kedua anaknya bergantian, diisi cream soup hingga setengah penuh.

You okay, Arsene?” Tanya June. Mimik wajahnya tergambar jelas kekhawatiran penuh disana. Kerutan didahi tak juga berangsur hilang meskipun anggukan lemah alpa terakhir diperlihatkan.

“Pa, makan!” Sahut Evander tiba-tiba sejak acara makan malam tak cepat dimulai.

Malam itu benar sepi, dentingan alat makan seolah menjadi alunan musik menenuhi.


Dok dok dok

Jantung kedua pria berbeda umur itu hampir melonjak keluar. Mereka berpandangan sejenak sebelum kaget kembali akan suara gedoran yang semakin tak terkendali. Siapapun yang ada diluar, sudah pasti bukan Hans.

June menyelipkan telunjuknya dibelah bibir, memberi isyarat Evander agar diam. Tanpa melihat sekitar, tangannya meraih remot TV dan dimatikan dengan cepat.

“Kamu ke kamar adek, ya.” Bisiknya. Suaranya ada getaran tanda si omega sedang takut.

Evander menggeleng ragu, namun June mengangguk lebih tegas. Evander beranjak, meninggalkan sang papa dengan perasaan gusar. Maaf Dad, Evander harus jadi pengecut lagi.

Kembali ke June, omega itu berjalan perlahan. Tangannya meraih pintu kayu dengan halus.

“Siapa?” Tanyanya.

Your Highness.” Sapa gerombolan dihadapannya sembari membungkuk patuh. Nafas June tercekat, mereka ada banyak yang semakin membuat dirinya bergidik.

“Selamat malam, Your Highness.” Kali ini suara wanita menyapa gendang telinganya. Ia tau siapa, sang tangan kanan Ibunda.

“Bukankah aku belum mengatakan apa-apa? Ada maksud apa kalian kemari?” Tegasnya.

“Kami kemari akan menjemput anda Your Highness. Saya sudah peringatan bahwa waktu yang saya beri sudah habis, maka Your Majesty memerintahkan kami untuk menjemput. Juga, pernikahan Your Highness Crown Prince Adrian sudah didepan mata.”

June diam sejenak, entah mau berkata apa lagi Ia tak sanggup. Berlari? Namun sang anak masih di dalam. Melawan? Sungguh? Bagaimana bisa melawan 30 pria alpa besar seorang diri. Kekuatannya tak sebesar itu.

“Kalian pulang, saya akan datang kesana sendiri jika sudah waktunya. Saya tidak mengijinkan kalian untuk menyentuh saya!” Lagi, June mencoba mengukuhkan tubuhnya, melantangkan suaranya.

“Tidak bisa, Your Highness. Hari ini juga secara halus atau paksa kami harus membawa anda kembali menuju Aragon.”

“Sialan! Kalian kira kalian ini siapa bisa memaksaku?! Saya akan datang sendiri, apa kurang jelas, hah!” Teriaknya kali ini.

Margarete juga tak gentar, Ia meminggirkan badannya lalu menjentikkan jari tanda “laksanakan tugasmu” pada penjaga dibelakangnya.

Sungguh June takut, Ia berjalan mundur. Namun, pasukan itu dengan cepat mengelilinginya.

Tak ada cara lain

Iris coklat muda itu berganti violet. Tubuh tinggi ramping seketika mencuat urat, wajah moleknya berubah semakin merah hingga taring tajam muncul. Beberapa detik, bulu emas lebat menghiasi tubuhnya. Sosok manusia sudah berganti rupa jadi serigala.

“Tangkap dia dengan tangan kosong, ingat! Jangan sampai ada luka.” Perintah Margarete.

Suasana gaduh yang terjadi setelahnya, tubuh manusia kekar terpental kesana kemari bergantian dengan si bulu emas. Bagaimanapun usahanya, manusia alpa bangkit lagi dan lagi makin memojokkan dirinya.

Apakah ini adalah jalannya? Jika memang iya, maka June pasrah. Namun hatinya memohon, mengirim pesan untuk yang jauh disana disela pertarungannya.

Aku ingin melihatmu, setidaknya sekali sebelum aku pergi. Pintanya pada Hans Arbecio.


`hjkscripts.


Hari sudah masuk larut malem, June masih setia numpang dagu diatas meja makan minimalis ditemani 4 kursi senada yang sedang kosong. Hans sudah bilang kalau akan pulang larut karena kafe ramai, lelaki alpa itu telah meninggalkan pesan jangan tunggu aku namun apa daya kedua mata indah sang omega betah terjaga akibat sistem otaknya masih bekerja.

June akhirnya berdiri, meratap sejenak ruang tamu kosong dengan mata sendunya seakan sebuah memori sedang berputar dihadapannya. Sebelum, lamunannya buyar akibat suara retakan ranting serta daun diinjak ban mobil. Hans-nya telah kembali.

Kaki kurus nan jenjang itu berlalu menuju dapur. Jemari telaten itu dengan sigap memasang sebuah colokan kettle menuju stop contact didekatnya. Sembari menunggu air panas, Ia menyiapkan gelas beserta kantung teh sesekali melirik pintu utama.

Senyuman menawan kini muncul, ringan dan dibalas manis oleh sosok lebih jangkung yang baru saja memasuki rumah. Aroma tanah setelah hujan menyeruak bercampur sempurna dengan miliknya, saling menyapa dan menenangkan.

“Belum tidur?” Ujarnya mendekat. Semakin intens seketika terdengar bunyi bibir bertemu bibir saling berbagi basah sejenak. Tautan itu terlepas akan bunyi pemanas air menginterupsi.

“Mau teh, nggak?” Tawarnya basa basi.

“Mau. Mau yang bikinin aja.”

Kekehan dari bibir ceri milik June tak mampu dibendung. Terdengar keju namun tak juga menyangkal perutnya terasa sensasi menggelitik.

“Sana mandi dulu, otak kamu tuh butuh diguyur.”

“Yah, gagal ya gombalannya?”

June abai, memilih fokus menuangkan air panas dalam cangkir. Mengamati detik-detik warna bening berubah kecoklatan.

“Sayang?” Panggilnya, karena ucapannya tanpa jawaban. Sang omega sedikit berjengit. Memang akhir-akhir ini dirinya susah mengontrol diri, diam sedikit jadinya melamun.

“Eh? Oh- itu sana duduk, aku bawain tehnya ke meja makan.”

Hans bergeming, menahan suaminya sebelum melangkah meninggalkan dapur. “Banyak pikiran ya?” Tebakan tepat, akurat sampai June sendiri bingung mau mulai darimana. Alhasil, dia cuma senyum.

“Aku kasih tau semuanya pelan-pelan ya, sambil minum.” Finalnya.


Bilangnya akan cerita sambil minum teh, biar pikirannya tenang dan gak banyak salah paham. Kenyataannya, sepasang alpa dan omega dewasa kini enggan memulai. Bukan enggan, jujur si omega dengan segudang overthinking-nya bingung harus memulai darimana.

Hans meletakkan cangkirnya. Isinya sudah tandas tersisa kantung ampas teh. Ia berdehem ketika dirasa sudah cukup lama mereka bungkam. Hari hampir tengah malam, besok adalah hari Senin yang mana aktifitas harus dimulai lebih pagi. Lagi, Hans sebenarnya juga sudah lelah dimanipulasi sang anak bermain basket dan urusan kafe seharian.

“Aku mau bilang makasih karna kamu ngasih space buat nggak nanya tentang tangan kanan mom yang dateng kemarin. Aku seharian ini terus mikir dan mikir sampe pusing sendiri gimana keputusan baiknya. Aku belum siap, Hans dan gak akan pernah siap buat ngambil keputusan apapun.”

Paham, Hans paham betul kemana arah pembicaraan ini. Keluarga June sepertinya telah melempar tantrum berupa tekanan pada sang omega agar segera meninggalkannya dan kembali ke istana.

Hans benci ketika harus disadarkan bahwa keluarga kecilnya tidak untuk dimiliki selamanya. Hans benci betapa lemah dirinya jika berhadapan dengan keluarga sang suami. Hans benci karena dia tak bisa memilih, sebab apapun yang akan dipilih berdasarkan egonya semua punya resiko besar bukan main.

“Akuㅡ”

“ㅡAku dijodohin, Hans.”

Bak waktu dihentikan, seluruh gestur tubuh Hans mendadak terhenti, kaku, nafasnya tercekat diantara tenggorokan. Gimana? Apa maksudnya dijodohin?

Tak mendapat respon dari sang lawan bicara, June melanjutka bersamaan ketakutannya. “Ini bukan lagi aku sama kamu dipisihkan secara fisik, dipisahkan secara secara status. Tapi kita akan dipisah secara batin, ikatan takdir yang dibuat oleh alam mau dirusak paksa. Kamu gak akan bisa tau gimana perasaan aku lagi, kamu gak akan bisa ngirim pesan manis lewat telepati, feromon kamu udah gabisa bikin aku tenang lagi. Dan aku... gimana aku bisa hidup tanpa ikatan batin sama kamu, sama anak-anak?”

Keduanya nampak lusuh, kalut jadi satu. Dipermainkan oleh keadaan memang gak seru.

Hans mengusap air wajahnya kasar. Tubuhnya yang lelah semakin ringkih, kepalanya pusing.

“Jangan..” Bisiknya lirih.

“Aku mungkin sanggup berpisah jarak sama kamu. Aku siap gabisa raba raga kamu. Tapi aku gabisa kehilangan hati kamu. Aku nggak sanggup, berpisah perasaan sama kamu, sayang.” Hans mencengkeram kuat, teramat kuat hingga dirasa sang suami tidak bisa diambil siapapun.

“Bilang sama aku, sayang. Aku harus apa? Aku siap lepas segalanya yang aku punya didepan orang tua kamu asal gak gini jalannya.” Satu kata, mereka pasrah. Apapun, apapun akan dilakukan yang penting mereka selalu utuh.

“Bukan kamu yang harus lakuin apapun, tapi aku. Aku harus ke Aragon, aku yang harus selesaiin semuanya. Aku yang bakal bikin keluarga kita tetep utuh sampai kapanpun. Tugas kamu, cukup restuin aku, doain aku ya?”

Dan baru detik ini kedua pasang obsidian penuh putus asa bertemu. Mengirimkan sinyal akan saling percaya.

Hans menggeleng, Ia menolak.

“Bukan kamu sendiri yang berusaha, bukan juga aku. Kita lakuin bareng. Kamu dengan caramu, aku dengan caraku, ya?”

Malam itu, detik itu senyum lega kembali hadir disela bibir keduanya. Benar, bukan kamu, bukan cuma aku. Tapi kita yang bareng-bareng mempertahankan takdir.


`hjkscripts.


“I wish papa never met your daddyㅡ”

“ㅡTapi, ketemu seorang Hans Arbecio itu memang seindah itu.”

Itulah kalimat pertama yang keluar dari bibir sang putra mahkota terbuang dihadapan kedua putranya. Mata para alpha kecil itu fokus, meneliti setiap perubahan ekspresi yang dibuat omega paling tua disana. Rasa penyesalan itu ada sedikit, banyak bahagianya.

“Hari itu entah mengapa jiwa muda papa sangat meronta. Suntuk harus belajar hanya berdua dengan paman Adrian sejak kecil karena diri ini seorang anak raja. Papa nekat kaburㅡ” June berhenti sejenak, tersenyum tipis mengingat bagaimana dulu dirinya kabur dan membuat satu Aragon panik.

“Kemana?” Suara kecil lebih seperti gumaman tak sengaja tertangkap gendang telinga sang omega. June terkekeh ketika mencuri pandang pada kedua putranya, wajah serius dengan berbagi pertanyaan tergambar jelas didahi mereka.

“Pasar kota. Papa suka banget jajan dan pasar tempat yang tepat buat beli semua itu.”

Masih jelas terasa euphoria ketika dirinya untuk pertama kali merasakan angin bebas dunia luar beserta keramaiannya. Baginya, lingkungan luar istana tak seburuk sebagaimana yang diceritakan kedua orangtuanya. Hanya saja, bagi seorang omega apalagi mendadak heat dunia bisa mendadak berubah jadi neraka.

“Disitulah daddy datang, layaknya pemeran superhero.”

Lengkungan bahagia itu berangsur memudar. Cahaya putih yang nampak memancar disekeliling paras menawan khas omega itu juga lantas meredup.

“Kalau hari itu yang bertemu Hans Arbecio hanya seorang June ceritanya akan teramat cheesy. Harusnya setelah pandangan pertama kita bertemu, setelah kita berdua sama-sama tau bahwa ada benang merah dari alam yang mengikat... harusnya...”

Iya, semua kilas kejadian telah terjadi. Harusnya mereka langsung memutuskan untuk memisahkan takdir mate diantara keduanya, bukan malah saling jatuh cinta. Malam itu, ketika Hans Arbecio masih dapat menahan hasratnya, June harusnya membiarkannya menghubungi anggota kerajaan bukannya menautkan setiap jemari mereka lalu berbagi nafsu.

“Lalu keluarga kerajaan gimana?“Lagi, pertanyaan muncul dari yang paling kecil Arsene Arbecio.

“Kamu tau jawabannya anak muda.” Baru June membuka mulut, pertanyaan sang anak telah dijawab. Disana baru berdiri, sosok alpha dewasa lengkap dengan handuk dan bau segara menyeruak khas orang setelah mandi.

Kedua alpha kecil itu mengerti, mereka diasingkan oleh keluarga sang papa.

“Bukan papa yang dibuang, lebih tepatnya daddy dan kakak Evan. Harusnya setelah bayi Evan hadir di dunia, papa harus segera kembali ke Aragon, meninggalkan daddy dan kakak. Tapi, papa seorang omega bagaimana bisa meninggalkan keluarganya terlebih bersama bayi kecil yang masih merah.”

June kembali menatap mata kedua putranya, mencuri cubit dipipi Evander yang sedari tadi diam.

“Akhir cerita keluarga papa mengijinkan untuk sekedar merawat bayi alpha kami berdua hingga umur 15 tahun.”

Begitulah June menyudahi kisah hubungan cinta terlarangnya. Masih menimbulkan berbagai pertanyaan, namun bocah-bocah alpha ini sepertinya sulit untuk merangkai sebuah kalimat.

“Setelah 15 tahun akan terjadi apa?” Akhirnya, bibir Evander; alpha kecil tertua akhirnya terbuka.

Namun, pertanyaan itu yang juga selama ini menjadi ketakutannya. Ia dan suami juga tak tahu menahu akan jawaban pastinya. June menegak gelas dihadapannya, Ia meletakkan setelah cukup lalu menggeleng lemah sebagai jawabannya.

June akhirnya beranjak, mengangkut gelas kosong ke arah dapur. Keluarganya sudah lengkap berkumpul berarti waktunya makan malam. Suara percakapan kecil terdengar, hanya ada dua suara milik Hans dan Evander membahas satu minggu disekolah.

“Papa?!” Mendadak Arsene memanggil, ruangan yang tadinya agak berisik jadi kembali senyap.

“Dalam cerita papa tadi hanya menyebutkan dad dan kak Evan terus Arsene ada dibagian mana?”

June tak bisa menahan tawanya. Apalagi dari arah dapur ia bisa melihat raut wajah si bungsu menjadi sedih.

“Kamu mah ditemuin daddy di tengah hutan pas lagi nyari kayu bakar. Tiba-tiba ndusel dibawah kaki daddy, karna kasihan yaudah daddy pungut.”

“Masa sih? Udah bapak-bapak gaboleh boong!”

Evander memasang wajah datar, Ayahnya dan Arsene memang seperti ini.

“Papa?! Masa kata daddy, Arsene nemu di hutan?”

“Terus kamu percaya kata daddy?” June meletakkan piring pertamanya di tengah meja. Sedangkan Arsene menggeleng dengan mimik hampir nangis.

“Yaudah gak usah percaya. Kamu tuh pinter tapi diboongin gini mau-mau aja.”

“Durhaka banget nih emang bapak-bapak.”

“Udah pada makan cepet!”


`teuhaieyo.