empat belas.


June Point of View

Setelah penantian yang amat panjang serta melelahkan, di sinilah pelayaran gue berhenti. Berlabuh pada dermaga akhir bahagia. Gue gak tau apa yang akan terjadi di masa depan, ujian apa lagi yang akan gue jalani sebagai manusia hidup, terpenting sekarang gue akan jalani untuk hari demi hari.

Gue terbangun, terusik sebab cahaya kecil yang melintas lewat celah kecil yang mengenai mataku. Gue tersenyum, ini adalah tidur ternyenyak gue setelah hari gue dibawa kembali ke Aragon.

Badan gue menggeliat, sekitar perut terasa berat. Gue raba lengan yang melingkari perut, Gue rasakan urat-uratnya yang mencuat. Lalu, ketika gue sampai pada jajaran jemarinya, gue rekatkan erat.

Dia bangun, gue tatap matanya yang masih enggan terbuka menggumamkan entah kata apa. Dia angkat jemari kita yang tergenggam untuk dicium lembut.

“Selamat pagi.” Sapa gue. Gue sampaikan rasa sayang melalui kecupan ringan. Dia tersenyum.

“Aku mencintaimu, Your Highness.” Balasnya berbisik.

Gue memerah, terlampau malu dipanggil begitu oleh suami sendiri.

“Ayo bangun rakyatku yang pemalas.” “Lima menit lagi, Your Highness.”

Kita berdua terkekeh, mari cukupkan kemesraan pagi ini. Namun sepertinya pria gue gak mau akhiri sesi pagi dengan cepat. Dengan secepat kilat dan semangat dia mengungkung gue.

May I?” Dia meminta ijin, suaranya berat cukup membuat gue tersihir.

I'm all yours, my lord Hans.


June membuka jendela kamarnya dengan semangat. Cahaya yang tadinya minim saat ini memancar seluruhnya kenai wajah manisnya. Ia menutup mata, menghirup udara segar sebanyak mungkin seperti tiada hari esok. Ia tajamkan pendengaran, kicauan burung penuhi gendang telinga.

What a good day to start new life.

“Sayang, bajuku?”

Panggilan Hans menginterupsi, Ia balik menuju realita siapkan kebutuhan pagi sang suami. Setelah semuanya beres, mereka keluar sambut hari ini.

“Emperor Grandpa kok bisa sih undang-undang disahkan?” “Terus siapa aja orang-orang yang ikut?”

Ia pikir ketika pintu kamar terbuka akan menampilkan suasana formal khas keluarga kerajaan ketika pagi. Sampai, Ia ingat jika keluarganya adalah seorang Witterlsbach. Saat ini, Ia bisa saksikan bagaimana cerewetnya Arsene dan Evan pada daddynya.

“Yaampun berisik banget pagi-pagi. Ayo sarapan sudah siap semua!” Omel mom yang tiba-tiba datang dari arah ruang makan.

June berjalan mendamping Hans, sedangkan dua anaknya tak lepaskan sisi tubuh kakeknya hingga meja makan.

Di sana sudah ada Adrian, hanya seorang diri tanpa Julio. Wajahnya lelah, lingkar matanya hitam, perangainya lesu.

“Kok lesu gitu lo kak? Suami lo mana?” Tanya June sembari duduk di sebelahnya.

“Gak bisa tidur gue, Julio semalam suntuk bolak-balik kamar mandi sekarang lemes gak bisa keluar.”

“Gitulah namanya lagi isi ya, sabar aja, jalanin aja.”

Lantas, dad duduk di kursi paling ujung, diikuti mom di sebelah gue, dan anak-anak serta Hans di sebrang.

Sembari nunggu maid siapkan makanan di piring masing-masing, emperor victor buka obrolan ringan. Tanya-tanya apapun terlebih pada Hans. Maklum masih tahap mengenal lebih jauh. June hanya tersenyum lega, ikut mengalir sesekali menganggapi.

“Jadi Hans gimana tawaran saya agar kalian berempat ikut ke istana Kingsland?”

Hans lirik June sejenak dibalas anggukan. Mereka sudah bahas mengenai hal ini dan sudah ada jawabannya.

“Maaf dad. Saya, June, dan anak-anak akan tetap memilih tinggal di sini tempati rumah lama Kak Adrian.” Emperor Victor setuju meskipun agak kecewa. Tujuannya memboyong keluarganya June untuk ramaikan kastil yang lebih besar di sana.

“Queen grandma jangan khawatir, nanti Arsene sama Kak Evan akan sering main ke sana kok.”

Seolah tau isi pikiran Issabeau, Arsene hibur dengan sebuah janji yang buat bibir cantik tersungging senyum kembali.

“Ya sudah kalau tidak ada yang dibahas lagi, ayo mulai makan. Evander sekarang giliran kamu pimpin doa.”

Dalam doanya June tak pernah lupa selipkan kalimat syukur atas datangnya masa paling bahagia dan harapnya semoga ini jadi selamanya.


`hjkscripts.