tiga belas.
Jaden Point of View
Saya ini sedang gundah gulana. Berdiri termenung tatap bulan samar yang perlahan jelas. Langit jingga berubah gelap tak juga menggerakkan badan saya dari posisi semula.
Saya lirik ponsel yang tergeletak di atas meja. Layarnya tunjukkan suatu berita yang sedang rami belakangan ini. Negara kacau akibat satu bakal perubahan.
Bingung, kata seseorang kunci suksesnya perundang-undangan baru ini ada pada saya. Saya yang sudah pegang beban berat dihantam oleh yang lain.
Berantakan, saya sendiri ragu akan beberkan fakta mengenai keluarga saya. Kebenaran yang sebenarnya buat hati saya sakit hingga saat ini. Sebua fakta yang entah nantinya berdampak apa.
Saya, Jaden Nicholas Philander adalah anak dari pasangan bangsawan dan buruh.
Bunyi pintu kamar terbuka buat fokus saya jadi beralih. Itu dad saya, orang hebat yang sudah besarkan saya sampai dewasa ini. Beliau tersenyum kebapakan, jalan mendekat lalu duduk di depan saya.
“Sedang apa?” Tanyanya.
Saya tunduk terkekeh, basa basinya buruk. Saya tau beliau sudah paham akan semuanya. Namun, hal ini yang buat saya kagum. Dad selalu berikan pilihan atas pertanyaannya, beliau anti menuntut.
“Dad pasti sudah dengar semuanya dan Jaden sedang dilanda dilema.”
Dad beranjak, ketukan sepatunya menggema ketika bergesek dengan lantai keramik. Beliau jalan menuju beranda jendela melihat langit gelap bertabur bintang.
“Selama periode masa jabatan dad, banyak petinggi yang datang meminta aliansi. Kamu tau kenapa?”
“Karena orang-orang Mosbach loyal dan terpercaya.”
Dad mengangguk, “In honor and Loyalty. Mosbach tidak berdiri main-main dengan slogan itu.”
“Petinggi itu datang dan ingin bayar loyalitas rakyat Mosbach. Dad tolak tanpa berpikir panjang. Namun, ketika Victor datang dad jatuh pada kubangan dilema. Maka keputusan akhirnya, dad akan bantu dia.”
Saya tertegun mendengarnya, sedikit demi sedikit keraguan saya mulai terkikis.
“Jika Jaden ceritakan bukankah Jaden buka aib keluarga kita?”
Dad menghela napas, tatapannya telah jauh direnggut angkasa.
“Jika ini cara yang tepat untuk memohon maaf pada mendiang ibumu, maka jatuh bukanlah suatu masalah. Dad yang bodoh karena dad dulu orang lemah. Dad bawa kamu dan lepaskan ibumu sendirian, tersiksa atas pernikahan dan beribu kata cinta yang dad lontarkan pada mama.”
Dad berbalik, selesai dengan kegiatan menatap langit. Beliau tepuk pundak saya, berharap kembali tegas dan kokoh.
“Jika ini adalah jalan yang baik, maka lakukan. Dad yakin, baik ibu dan mama juga tidak keberatan di sana.”
Lalu, dad menjauh memberi ruang padaku untuk mencari keputusannya. Namun, sebelum beliau hilang di ambang pintu saya memanggilnya.
“Dad?” “I met her. My soulmate, dia tak kalah cantiknya dengan ibu dan mama.”
“Janji pada dad, jika keadaan mulai membaik bawalah dia ke hadapanku.”
`hjkscripts.