sebelas.


June Point of View

I. for dear my parents. Khusus hari ini gue bangun pagi buta. Gue langsung mandi, berpakaian rapih dan lari menuju dapur istana. Semua maid natap gue gak percaya, ada yang langsung usir gue secara halus dan bilang kalau butuh apa-apa ya tinggal suruh aja.

Gue gak mau, gue menolak, karena hari ini gue akan menjalankan misi rekonsiliasi.

Dengan berbagai paksaan akhirnya mereka persilahkan masuk dapur. Semua alat yang gue minta udah disiapin. Padahal gue dateng ke sini cuma mau minta air hangat.

Gue tuang banyak air dalam baskom, kepulan asapnya masih membumbung nutupin sebagian pengelihatan gue. Lalu, gue keluarin senjata ampuh dari saku celana. Di tengah bau masakan ada tercampur bau lavender. Harum dan bikin tenang.

Gue bawa baskom yang lebih besar daripada badan gue kepayahan. Jalannya pelan-pelan takut kalau airnya tumpah yang bikin semua ini bakal gagal total. Gue intip bentar ruang santai yang jaraknya lumayan jauh dari dapur. Jantung gue rasanya seperti baru ketemu cinta pertamanya, deg degan parah.

Sudah masuk satu bulan dari kejadian yang paling menyesakkan di hati gue. Semuanya mungkin udah berangsur normal. Berita simpang siur tentang keluarga gue mulai tak terdengar, mom sama dad yang udah jalanin hari mereka seperti semula, begitupun gue.

Everything looks normal, but not my relationship with both parents.

Semua orang boleh puji betapa harmonisnya keluarga gue waktu menghadiri acara. Mom yang terlihat bangga sama gue, dan dad yang gak berhenti puji Adrian. Tapi, semuanya pudar ketika wajah kita jauh dari kamera. Hawa yang tadinya hangat mendadak dingin.

Salahkan semua sama gue, karena di sini gue adalah anak paling durhaka se dunia. Gue yang berhasil bikin kacau, dan gue juga si pengecut yang gak berani minta maaf sama mereka.

Gue kali ini gak bisa denial kalau orang tua gue lebih sayang sama Adrian. Beberapa minggu lalu, gue jumpa sama dia dan dia yang kasih solusi paling bijak ke gue. Dia yang bikin gue melakukan ini semua. Dengan segenap keberanian, gue besarkan hati gue untuk kata maaf dari dua orang yang paling gue cintai.

“Selamat pagi, mom, dad.” Sapa gue kaku. Kalau gue jabarkan, hubungan gue dan mereka bisa dibilang love-hate relationship. Beribu kata kebencian yang kita keluarkan buat satu sama lain gak mengurangi rasa cinta gue ke mereka dan gue harap mereka ke gue juga begitu.

Gue berdiri di depannya. Mom lagi sibuk sama ipadnya dan dad sama koran hariannya. Mereka natap satu sama lain pas gue dateng dan pasang wajah bingung pas gue lagi persiapin bisa dibilang ritual sakral ini.

Gue letakkan baskom gede di bawah kaki keduanya. Gue berdiri lagi buat singkirin meja, terakhir gue duduk bersimpuh di hadapan tepatnya di kaki mereka.

Suasana yang tadinya dingin entah mengapa berubah jadi hangat. Mata gue mendadak panas dan tanpa sadar mulai produksi bulir air mata. Sesek rasanya di hati seperti semua yang gue rasain satu persatu ingin dikeluarkan.

Gue gak mau nangis sekarang, jadi gue ambil dua pasang kaki telanjang mereka gantian dan gue masukkin dalam baskom. Gue diem, mereka diem, kita gak ada kasih komentar. Gue fokus basuh kaki-kakinya bergantian.

Gue tatap lamat, banyak luka lecet di kaki mom. Pasti karena sering berdiri dan pakai heels yang nyiksa dia agar selalu nampak anggun. Gue liat kaki dad sudah muncul keriputnya, gimana ada beberapa titik benjolan kapal dan kukunya yang gak terawat. Pasti dia gak sempet karena harus lari sana-sini, pindah negara dalam satu waktu. Sibuk urus hidup banyak orang sampai lupa badan dia sendiri. Gue baru sadar 15 tahun gak sebentar, semuanya banyak berubah, orang tua gue tambah tua dan ringkih.

“Mom sama dad tau gak, kadang kalau Evan sama Arsene lagi libur dan liat aku atau Hans capek mereka sering lakuin ini. Tiba-tiba dateng bawa baskom, kaki June dicuci, dipijit, sambil kita ngobrol tentang kegiatan kita satu hari.”

Gue diem sejenak, kasih jeda buat orang tua gue layangin komentar. Namun, mereka milih diem.

“Setelah June pikir ternyata gak ada pondasi yang lebih kokoh daripada komunikasi. June sadar, apa yang June lakukan selama ini cuma perilaku impulsif yang datang dari ego diri sendiri. Semenjak June datang isi pikiran June cuma pergi dari sini secepatnya, cuma ada benci dalam diri untuk kalian.”

Butir bening yang daritadi gue tahan tahan biar ga jatuh, satu persatu mulai luruh. Gue angkat kedua pasang kaki mereka, gue singkirkan baskom sejenak dan gue mulai keringkan bergantian pakai handuk. Lalu, gue cium satu persatu dan gue sujud.

“June mohon ampun, gak pernah terbesit di hati maupun pikiran June untuk sakiti hati mom dan dad dengan sengaja. Gak pernah ada maksud dari diri June untuk permalukan keluarga kita dengan kesadaran.”

Gue nangis, gue taruh semua ego gue di sana. Satu harapan gue cuma kata maaf dari mereka.

Gue bangun buat tatap ekspresi mereka bergantian. Wajah keduanya juga merah, basah, namun enggan lihat gue. Gue lihat mereka makin sakit, gue limpahkan semua kesalahan ke mereka akan takdir yang gue dapet. Mereka hidup, mereka capai titik ini, mereka lakukan ini karena tuntutan keturunan begitupun juga gue.

Gue ambil tangan mom dan dad yang paling dekat, gue genggang erat dan gue nangis di atasnya.

“Mom sama dad boleh marah sampai kapanpun, mom sama dad boleh benci dan kecewa. Tapi June mohon sisihkan kata maaf untuk June, kapanpun mom dan dad siap, June akan tunggu.”

Dan gue kali ini pasrah.

Namun, ditengah tergugunya gue ada belaian yang hadir. Pelan, lembut, hangatnya sampai di hati.

“Tidak ada orang tua manapun yang benci pada buah hatinya. Tidak ada orang tua manapun yang kehabisan kata maaf untuk memaafkan anaknya.”

“Mom dan dad marah, kami kecewa bukan karena menyesal kamu lahir sebagai putra kami. Kami kecewa pada diri sendiri karena tidak bisa jaga kamu yang spesial ini dari laki-laki asing yang tidak pernah kami kenal.”

“Hans bukan orang asing, mom.”

“Bagi kamu memang bukan, namun bagi mom dan dad. Semuanya terlalu tiba-tiba, June. Kala mom punya banyak ilmu yang akan mom bagi dengan sendirinya kamu di dewasakan.”

Bener, gak ada yang salah dari ucapan mom. 15 tahun lalu semuanya terjadi dengan cepat dan tiba-tiba. Belum sempat gue diajari cara menjaga diri, harus bagaimana bersikap di depan alpha, beta, atau omega lain.

Cinta gue tepat di waktu yang salah.

Iya, gue salah. gue sadar segalanya.

“Lantas apa yang harus June lakukan untuk tebus salahnya June pada mom dan dad? Apapun June lakukan.”

“Sebagai orang tua, mom dan dad ingin kamu bersama orang yang kami kenal, sifatnya, perilakunya, keluarganya. Kamu itu omega, patut dapat pasangan yang pandai menjaga. Mom kenalkan pada Prince Jaden bukan tanpa alasan.”

Gue berpikir sejenak, tarik napas lalu hembuskan perlahan. Gue gak lupa hapus sisa air mata.

“Kalau memang itu bahagianya mom dan dad, June akan lakukan.”

Jawab gue ragu. Mereka senyum, bahkan dad yang jarang senyum hari ini gue bisa lihat wajah leganya.

“Tapiㅡ” Gue teguk ludah gue, takut mau sampaikan permintaan yang ini.

“Jangan halangi June untuk habiskan sisa waktu yang June punya untuk Hans dan anak-anak June.”


Jaden Point of View

II. Diantara dua pangeran. Saya dapat berita melalui pesan singkat dari dia bahwa kami butuh bertemu. Dia yang datang dari negeri sebrang entah akan membahas hal penting apa.

Saya akhirnya tiba disebuah restauran yang memang sudah biasa digunakan untuk pertemuan penting. Lalu, saya duduk pada salah satu kursi yang telah di reservasi khusus untuk hari ini.

Itu dia datang, seperti biasa dandannya sederhana namun terlihat anggun di mata saya. Jika saya boleh kurang ajar, saya akan deskripsikan sosoknya sebagai malaikat surga. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama, sayang beribu sayang dia bukanlah takdir saya.

Dia berbicara sejenak dengan kaki tangannya, lalu kaki jenjangnya melangkah sendiri lebih mendekat ke arah saya. Ya Tuhan... jantung saya berdebar susah dikendalikan.

“Maaf aku datang sedikit terlambat, pesawatnya delay 20 menit.” Katanya dengan nada bersalah.

Saya otomatis tersenyum maklum, mempersilahkan duduk dan membiarkan pelayan menyajikan makan siang.

Makan siang hari ini terasa sepuluh kali lebih menyenangkan sebab tidak ada perbincangan berat tentang politik atau tata negara, hanya ketenangan karena kami berdua diam.

Saya tidak bisa lepaskan pandangan kagum pada sosok dihadapan saya. Bagaimana kedua tangan itu menggerakkan pisau dan garpu, bagaimana gerakan bibirnya lucu ketika makanan berhasil masuk dalam mulutnya. Tiada yang spesial dalam diri makhluk ini tapi saya suka.

Hari ini saja, ijinkan saya tak tahu diri.

“Jadi, apa tujuan kamu menemui saya?” Saya bertanya to the point setelah meja berhasil dikosongkan kembali, tersisa air putih dan segelas anggur.

“Aku datang untuk ucapkan kata maaf secara langsung atas perbuatan ceroboh yang lalu.”

Dadi saya mengkerut, sedikit kurang paham dengan apa yang disampaikan, “Loh, bukannya memang ini ya tujuan kamu? Batalkan perjodohan dan saya akan bantu.”

“Sudah tidak lagi, apa yang aku lakukan ternyata sakiti keluargaku.”

Saya bisa lihat bibir itu terangkat. Lagi, bukan senyum tulus, bukan senyum cantiknya yang muncul ketika membahas suami dan kedua anaknya. Senyum getir penuh keterpaksaan tergambar jelas di sana.

“Aku terima perjodohannya, itu keputusanku.”

Jawabannya membuat saya cukup kaget, bingung, bercampur euphoria menyenangkan turut hadir.

“Jika kamu putuskan untuk berjodoh sama saya, berarti hubungan kamu dengan suami dan kedua anak kamu akan dipisahkan dengan ritual. Saya pikir kamu tidak akan sanggup pisah batin dengan mereka.”

“Aku pasrahkan perasaanku dan suamiku pada alam, aku biarkan mereka yang menuntun kami berdua. Aku setuju semata-mata karena aku mau berbakti pada dua orang tuaku.”

Lalu saya tersenyum,

“Saya tidak punya kuasa menolak kalau itu kamu.”


`hjkscripts.