sembilan.
seberkas cahaya mentari yang masuk melalui celah jendela kastil megah mengiringi secuil harapan yang muncul dari salah satu penghuninya. June membuka kedua kaca tersebut membiarkan wajahnya diterpa sinar. Pupilnya menyipit karena terlalu terang pun karena senyumnya yang lebar.
Kelopak indah itu menutup, dadanya membusung maju akibat bayak oksigen yang dihirup masuk. Lalu, pria omega berparas bak campuran dewa dewi dengan semangat menghempaskan karbondioksida menuju alam kembali.
“Sepertinya alam memang mendukungku.” Monolognya ceria.
“Terima kasih...” Lanjutnya tulus.
Seperti berkejaran dengan waktu June tak ingin berlama-lama. Piyama putih gading berbahan satin telah berubah seluruhnya serba hitam. Sang pangeran kerajaan telah berubah menjadi June si orang biasa.
June melangkah dengan kecepatan konstan melewati lorong gelap. Orang istana mengenalnya sebagai escape door, lorong bawah tanah yang sengaja dibuat untuk keluarga kerajaan melarikan diri ketika istana diserang. Lorong gelap, panjang, bau berujung tepat pada danau besar Aragon.
Untuk sampai disini bukanlah hal mudah. June harus melewati berbagai negoisasi alot dengan guru kerajaan agar kegiatan dihentikan sejenak. Sukses besar ketika Ia menyebut nama sang kakak. “Aku akan berkunjung ke rumah Prince Adrian, Ia memanggil untuk urusan penting disana.”
Selang 30 menit bertemulah dia dengan pagar tua berkarat. Pintu yang kuncinya telah Ia pegang juga. Gema keramaian seperti menyambutnya, mengucapkan selamat telah berhasil bebas dari belenggu kastil megah.
Ia pasang topinya, tubuh kurusnya keluar perlahan melewati pagar. Lalu Ia masuk, bergaul antar tubuh ditengah hiruk pikuk yang sedang berniaga ikan. Langkahnya ringan, sel tubuhnya rileks seperti tau bahwa mereka sudah bebas, tak lagi dikekang. Entah mengapa Ia suka begini, hidup biasa, berjalan normal dengan tak satupun manusia yang akan berhenti menaruh hormat ketika melihat wajahnya. Manusia sejatinya diciptakan begitu bukan? setara tanpa mengenal tingkatan kasta.
Sampailah kedua kaki jenjang itu pada satu lokasi yang hingga detik ini masih ada dalam bayangnya. 15 tahun memang cukup banyak yang berubah, namun tubuhnya sangat mengenali jalan setapak ini. Tempat dimana si nakal June pertama kali mengenal dunia luar, tempat pertama kali Ia bisa merasakan manis gurihnya jajanan murah, tempat pertama kali jantungnya berdebar ketika maniknya jatuh pada tatapan seorang pria. Inilah tempat asal mula rumit masa lalunya terjadi.
“Papa.” Jantungnya hampir copot sebab bisikan tiba-tiba masuk gendang telinganya. Ia menoleh, yang melakukan malah terkekeh geli.
“Sayang...” Sapanya saat tau yang sedang berdiri disampingnya adalah sang anak. Iya, Arsene Arbecio si bungsu akhirnya bisa dia sentuh lagi. Namun, karena keadaan June akhirnya menahan diri, tidak mau terlalu membuat aksi yang akan menimbulkan atensi sekitar.
“Ayo!” Ajak si alpa muda. Tanpa persetujuan, Ia menarik lengan papanya entah dibawa kemana.
“Pelan-pelan sayang, kamu ini mau bawa papa kemana?”
Arsene terus melangkah, enggan menghiraukan ocehan papanya.
“Ketempat dimana aku bisa peluk papa seharian.”
Satu kegiatan yang mereka lakukan sejak kakinya melangkah masuk dalam gedung sederhana yang agak terbengkalai adalah menangis. June nggak pernah tau bahwa anaknya banyak mempersiapkan untuk pertemuan mereka. Bukan hanya Arsene yang hadir namun Evander si alpa sulung sudah menunggunya disana. They hugs and cries like there's no time tomorrow.
Persetan debu, persetan kotor, June nggak komen apapun tentang tempat kumuh yang anaknya dapatkan at least he can gives all that affection to his boys. Berjuta kosa kata penuh cinta dan kerinduan seolah nggak habis diucapkan mereka.
“Papa, gimana ya aku bisa lanjutin hidup lagi abis ini.” Ungkap Arsene. Sedikit hiperbola memang, tapi jika melihat keadaan sekarang June bisa tau kegundahan hati anaknya.
“Papa, can't you just stay with us? Aku udah coba jalanin, jadi alpa dewasa itu gak enak. Aku belum mau, aku belum sanggup, aku bahkan barusan langgar janji aku ke daddy kalau aku akan bantu dia buat ngerti akan semua ini. Aku udah janji buat jadi kuat, aku udah janji buat gak nangis biar Arsene bisa contoh aku. Tapi hari ini, ketika mata aku bisa liat papa lagi, aku baru sadar bahwa aku gak sekuat itu. Berada dipelukan papa kayak gini masih jadi kebutuhan aku. Aku belum kuat jalan sendiri, aku masih haus kata-kata semangat dari papa. Aku capek, pa. I don't want to understand everything that I don't.”
June mengerti bahwa semua ini terlalu tiba-tiba bagi mereka. June paham bahwa semua ini salahnya. Harusnya waktu itu Ia bisa menahan maka semua ini tidak akan terjadi. Harusnya waktu itu dia nggak egois hingga sekarang dia juga nggak akan lihat gimana rapuhnya dua buah hatinya.
Dia cuma mau hidup biasa, bersama keluarga kecilnya jalan bahagia, bukan penuh tangis derita seperti ini.
`hjkscripts.