elite.
Elite lambang kesunyian dan ketenangan bagi sebuah kelompok. Dimana mereka tak lagi sembunyi, saling berbagi tanpa harus menutupi, jadi diri sendiri tanpa takut gunjingan sana sini. Bagi mereka elite bukan sekedar tempat untuk duduk dan bersantai, namun rumah tempat mengadu dari segala kesesakan hidup dihimpit masyarakat tabu.
Dentingan mulut gelas terdengar, malam ini elite cukup sepi hanya beberapa meja terisi. Nata menerawang seluruh ruang, sudah lama Ia tak datang kemari. Kuliahnya padat terlebih Adnan jarang memberi ijin.
Nata itu hebat, tapi ceroboh luar biasa. Jika sudah mabuk amat sangat merepotkan. Nata sebenarnya muak hidup dibawah perlindungan Adnan, namun Nata sadar Ia masih banyak membutuhkan Adnan.
Can we go where no one else goes? Can I know what no one else knows? Can we fall in love in the moonlight?
Netra berbinar Nata seketika jatuh pandang pada pemilik suara di depannya. Suhu badannya mendadak naik, darahnya berdesir tanpa adanya sentuhan. Nata menopang kepalanya, masih fokus akan paras pria yang lihai dalam memetik gitar. Kedua pasang obsidian itu bertemu ketika tanpa sengaja lirikan sang penyanyi tertuju pada milik Nata. Ia mengalihkan pandangnya. Terlambat, pipi Nata bersemu merah, malu bukan kepalang.
Sambutlah dia Sadewa Aditya, pujaan hati seluruh jiwa.
“Loh, itu Sadewa kan temen jurusan lu?”
Nata menyesap alkoholnya guna menutupi rasa malu. Lalu, Ia melirik Adnan dan mengangguk mengiyakan.
Sadewa Aditya, suara merdunya menjadi favorit anak kampus khususnya cewek-cewek jurusannya. Dibalut senyum teduhnya menambahkan kesan ramah. Bak jungkat-jungkit sifatnya berbeda jauh dengan sang saudara kembar; Nakula Aditya.
Sadewa itu tipikal tipe ideal hampir semua orang, termasuk Nata.
Poetry and handpicked flowers Say you'll meet me at the altar Can we fall in love in the moonlight?
Lagi, Nata memberanikan diri untuk menatap Sadewa. Membawa dirinya masuk dalam dunia sepi, ditempat ini hanya ada Nata yang mengamati Sadewa. Seolah dunia Nata didedikasikan hanya untuknya seorang. Nata tertegun ketika lagu yang dinyanyikan Sadewa mendadak berhenti, diletakkan gitar itu pada posisi berdiri sebelum beranjak turun. Sadewa berjalan, pelan namun pasti sesuai irama debaran jantung milik Nata.
“Nata...” Panggilnya lirih.
Tatapannya terpaku, dibuat terbuai akan senyum menawannya. Nata merinding tatkala syaraf kulitnya merasakan sebuah sentuhan. Sadewa menggenggam lengan Nata, ditarik perlahan sampai empunya ikut berdiri.
“Hakh..!” Nata terkejut, bola matanya hampir keluar ketika Sadewa menarik mendekat hingga tubuh keduanya berhimpit. Jemari Nata sontak meremas kemeja Sadewa, menahan tubuhnya agar tak jatuh begitu saja.
Sadewa tersenyum kecil, wajah mereka hanya berjarak 5 senti. Perlahan namun pasti Sadewa mulai mengikis.
4 senti...
3 senti...
2...
“Nata!” Nata terperanjat, seolah tubuhnya ditarik paksa dari dunia tak terdefinisi menuju realita.
Tampangnya konyol akibat terkejut, dadanya masih sulit untuk bernapas. Namun, Adnan dapat melihat bagaimana kulit putih itu semerah kepiting rebus.
“Lu udah mabuk ya? Pulㅡ”
Ayana ia calling...
“ㅡeh bentar Ayana nelpon lu tungㅡ.”
“Gue ke kamar mandi dulu.” Nata linglung, bayang-bayang imajinasinya masih berlarian dalam pikirannya. Tanpa menunggu ijin Adnan, Ia segera melarikan diri ke kamar mandi. Pun, Adnan enggan ambil pusing memilih menyendiri sejenak untuk mengangkat panggilan kekasihnya.
`teuhaieyo.