hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


Denting piano mengalun mengantarkan kaki-kaki menapak di atas tanah di pijak. Tanah ini penuh cerita, duka lara canda tawa bahagia. Mereka yang berpisah diberi kesempatan untuk kembali bersama. Merajut asa, satu persatu langkah kecil hingga mencapai titik yang menjadi tujuan.

Hari ini tentu bukan jadi hari terakhir tentang kisah mereka, namun menjadi langkah baru membuka lembaran putih pada buru anyar belum tersentuh tinta. Mereka akan menulis kembali dinamika kehidupan sebuah keluarga utuh dimulai dari sini.

Lelaki yang berjalan bergandengan tangan membawa sebuket bunga akan syarat dan makna yang dia petik dan rakit sendiri dari halaman rumah sederhana. Pandangannya lurus tepat kepada lelaki beraroma menenangkan yang tengah berdiri menanti di ujung sana. Sorak-sorai suka cita, tebaran kelopak bunga ada pula tangis serta kelakar tawa mengiringi langkahnya hingga sampai dia diserahkan pada pemilik sesungguhnya.

Mereka yang melempar senyum, tersipu malu hanya dengan bersitatap begitu. Mereka yang saling menggenggam, berhadapan di depan pemuka agama yang tengah membaca untaian doa. Mereka yang bertarung dengan sunyi, hanya debaran jantung masing-masing yang menambah suasana semakin khidmat. Mereka yang luruh air matanya kala bergantian mengucap ikrar suci pernikahan.

Pada akhirnya suara khalayak datang kembali menyambut benang tak kasat mata yang akhirnya mengikat mereka secara resmi menjadi pasangan sehidup semati.

Cincin dihantarkan oleh kedua buah hati. Diambil mereka dari rumah sementara secara hati-hati. Alex dan Henry bergantian mengambil jemari manis kanan sang suami, melekatkan simbolis cinta mereka melingkar pada rumahnya masing-masing. Inilah yang harus dijaga jangan sampai lepas seperti menjaga janji kepada pemilik bumi bahwa cinta mereka akan lekang abadi.

Tiba saatnya prosesi ditutup, diakhiri dengan mereka yang saling menggenggam, kedua kepala yang semakin bergerak mendekat, dan dua pasang kelopak mata yang kian menutup. Hingga bertemu sepasang dua bibir yang saling menyentuh, bergerak lembut tanpa nafsu. Dalam hati keduanya terukir harapan demi harapan tentang jalannya masa depan.

Dua manusia ini yang bersatu sebab ada takdir. Berakhir pada satu tempat paling romantis di atas altar dikelilingi berkat dari teman sejawat dan keluarga. Mereka yang berhasil menggapai mimpi dari buah kerja keras tanpa kenal letih. Datang dengan lara lalu disembuhkan oleh bahagia. Bersatu dalam raga maupun dalam jiwa. Berharap masa depan akan sama baiknya menyambut mereka yang telah lengkap menjadi keluarga.


`hjkscripts.


Bridge Hampton ㅡ 24 Desember 2039

Salju turun layaknya hujan ketika mobil hitam berhenti di depan halaman rumah sederhana. Dibenahi sebentar mantel tebal yang membungkus tubuh serta syal yang melilit leher. Lelaki itu turun, menapakkan sepatu hitamnya membiarkan tubuhnya dijatuhi butiran putih lembut.

Pintu kemudi juga terbuka, turun perempuan anggun bukan manusia biasa. Dia yang berjalan memutar, menghampiri lelaki yang sibuk mengambil barang-barang dari bagasi. Tangan cantiknya refleks mengangkat satu tas kecil terakhir yang sanggup dibawa olehnya.

Belum juga langkah selesai melintasi jalan setapak minimalis yang lurus dengan pintu utama. Terbuka daun pintu, keluar tiga lelaki dengan sesumbar pekikan senang menyambut siapa yang datang akhirnya.

“PAPA!!!” Begitu teriaknya. Anak remaja kini berlari tak takut akan tergelincir di atas salju licin.

Si remaja ini yang paling minim afeksi membuka lebar lengannya, mendekap sang papa yang juga melakukan hal sama. Dikecup permukaan wajahnya yang pucat akibat suhu luar yang dingin. Lalu berganti, menyambut tubuh yang lain kali ini lebih berisi sebab remaja ini adalah idola rugby. Bergantian mereka saling mengecup pipi, melayangkan kalimat rindu mengingat terakhir kali mereka bertemu. Terakhir, dia yang didekap oleh lelaki yang lebih dewasa. Lelaki yang melingkarkan seluruh lengannya membungkus kasihnya dalam hangat tubuhnya.

“I miss you, mi amor.” “I miss you too, love.”

Tak lupa menyematkan sebuah kecupan kecil tanpa malu dihadapan mata-mata yang memandang mereka penuh bahagia.

“Your Majesty...” Lelaki dewasa kini berganti memeluk wanita satu-satunya di antara mereka. Dia yang tertawa geli dipanggil dengan gelar di depan nama.

“Oh, Alex apa kabar kamu?” Sang ratu bertanya.

“Baik tapi sering pusing karena harus menghadapi dua anak-anak ini.” Jawab Alex bercanda berakibat menutup kedua daun telinga sebab dua anak-anak yang dimaksud berteriak tak terima.

“Aunty Beatrice ayo masuk! Disini dingin.”

Nicholas memecah tawa, menyudahi percakapan di luar rumah agar dilanjutkan saja di dalam sembari mengelilingi perapian yang menyala. Namun, Beatrice menggeleng menolak halus sebab kedatangannya hanya untuk mengantar Henry saudaranya. Masih banyak pekerjaan di ibukota, mungkin lain kali mereka bisa berkumpul bersama layaknya pertemuan keluarga besar.

Maka Beatrice masuk dalam mobil, memutar arah dan mengucapkan selamat tinggal sekali lagi sebelum mobil hitam melenggang meninggalkan halaman.

Henry dituntun masuk layaknya dia masih seorang raja. Berjalan di tengah prajurit yang akan senantiasa melindungi dirinya. Tangannya kosong, karena ketiga alpha memaksa membawakan barang-barang milik dia.

Dibukakan pintu kayu sederhana, dipersilahkan dia seolah tamu kenegaraan. Sedikit menunduk, pula dapat merasakan bagaimana perubahan suhu antara luar dan di dalam. Betapa tercengang kala rumahnya telah berubah menjadi rumah santa. Begitu meriah pada setiap sudut dihiasi pernak-pernik natal. Bahkan pohon cemara kecil telah berdiri kokoh bersama aksesoris, lampu kelip, tak lupa menyala bintang di puncaknya.

“Kapan kalian buat semua ini?” Ungkap Henry, berjalan kesana-kemari meneliti satu persatu sudut rumah sederhana.

“Kemarin kita ke kota terus belanja banyak banget buat hias rumah.” Jawab Viscount bersemangat.

“Iya, soalnya kapan lagi kita bisa rayain natal kayak gini.” Nicholas menambahi.

Lalu Alex mendekapnya dari belakang kala Henry sibuk menikmati gemerlap lampu yang melingkar apik di pohon natal. Dia berkata, “Anak-anak bilang kamu punya mimpi merayakan natal secara proper kalau kita akhirnya jadi keluarga utuh seperti ini. Kamu mau pohon natal dengan berbagai hiasan seperti ini.”

Henry tersenyum, betul itulah mimpinya merayakan natal dengan hiasan, hadiah, hangat dekapan keluarga, dan tawa membahana. Dia mengistirahatkan kepalanya pada pundak Alex, mendengar debaran jantung sembari matanya hampir tak berkedip melihat pohon natal yang amat cantik.

Alex mengambil tangan kanan Henry membawanya melayang tepat di depan pancaran lampu warna-warni. Henry terpaku, memperhatikan detik-detik benda bulat yang tak kalah binarnya dari hiasan pohon natal. Alex memasangnya pada jari manis tangan kanan. Tersenyum puas sebab ukurannya pas meskipun dia memesan tanpa membawa empunya.

“Alex?” Henry berbalik, masih membiarkan tangannya kini digenggam oleh Alex.

“Alex?” Panggil pada asma sang alpha sekali lagi. Sulit kalimat bahkan satu kata yang keluar dari bibir kecuali Alex.

Bola matanya bergerak kebingungan, entah bagaimana pula dia mengekspresikan maha kejadian ini. Hingga, putih bola mata kian memerah membentuk bendungan air di dalam pelupuknya.

Satu tetes jatuh kala Alex mengecup tepat di atas cincin yang terpakai ayu melingkari jemari. Tetes lainnya jatuh kala sang alpha memandangnya dengan tatapan jatuh cinta luar biasa.

“Henry Arthur Hanover-Stuart, menikahlah denganku. Lengkapi banyak kurangnya diriku, menitih sedikit demi sedikit sisa hidup kita bersama.”

Percaya diri benar lelaki satu ini. Bukan mengutarakan kalimat tanya namun sebuah ajakan paksa.

“Menikahlah denganku.” Aku tersenyum geli bersama air mata yang masih sibuk terjatuh, melihat dua remaja yang berharap jawaban yang sama dengan lelaki yang sedang berusaha.

“Baik, pangeran ini akan menikah denganmu wahai si anjing gila.”


`hjkscripts.


TRIGGER WARNING ; SENSUAL CONTENT🔞

Bunyi kerincing menggema dalam ruangan luas dihiasi lampu kuning temaram. Ada tawa yang tercipta disela-sela napas memburu. Bunyi kecipak turut ikut campur sebab dua bibir yang tak sabar ingin juga melepas rindu.

Satu persatu lencana kenegaraan jatuh tergeletak tak berharga. Satu persatu pula luruh kain sutra berharga jutaan dalam segala jenis mata uang seperti kain keset belaka. Seolah dua lelaki ini mengajarkan kepada khalayak bahwa yang berharga akan menjadi satu dengan tanah pada akhirnya.

Dua lelaki ini sedang gila, bertelanjang bulat melempar senyum saling menggoda. Sang alpha berdiri tepat dihadapan omeganya, menatap lamat dari ujung berlian pertama hingga ujung kuku kakinya. Dia yang bertelanjang dihadapannya bukan sekedar pangeran, bukan juga Henry rakyat biasa. Namun, lelaki ini telah resmi menjadi raja.

Raja ini pemimpin yang menguasai seluk beluk negeri. Raja ini yang akan memimpin rakyat mulai saat ini. Namun, raja ini tetap manusia biasa dengan nafsu birahi. Raja ini yang tengah memerintahkan jemarinya menggerayangi seluruh tubuh polos tanpa pelindung baju besi.

Mereka yang berjarak kini semakin mendekat. Menempelkan dahi juga permukaan kulit. Saling merasakan nafas dan getaran sebab gesekan yang terjadi. Napasnya berhenti kala bibir membekap bibir, perang melumat terjadi memperebutkan kepemilikan atas bibir satu sama lain.

Kini pertahanan sang raja roboh begitu tengkuknya ditarik kuat sebab sang alpha menerobos paksa, menginvasi lebih dari sekedar bibir namun juga rongga mulut yang terjaga hanya lidah. Dia menjilat, menyesap ujungnya berantakan mengakibatkan tetesan air liur turun deras membasahi dagu dan bergerak sensual melewati leher.

“Hhhggg...Sshhh...” Desahnya pelan.

Bagi sang alpha nada itu adalah tanda kemenangan. Sebuah melodi yang memacu keliarannya muncul sampai ambang maksimal. Lelaki itu kini mengecupi tengkuk sang raja, membuatnya bergidik geli sebab tiupan nakal dan gigitan kecil pada bagian cupingnya. Dia bergerak turun berlakon menjadi Van Gogh dengan lukisan abstrak merah keunguan pada leher jenjang seputih kanvas anyar.

Di dorongnya sang raja yang kini semakin kalah terjajah. Mahkota bertabur sumber daya alam mahal jatuh seolah tak ada harga mengikuti sang empu yang pasrah menyerahkan harga dirinya diinjak sang alpha minus tata krama.

Raja ini gila, bukannya takut malah tertawa menggoda. Merengek minta disetubuhi oleh sang penguasa hingga dirinya lemas tak berdaya. Terkungkung tubuhnya, Henry benci dikekang atau dikurung bak burung penghibur lara. Namun jika dikungkung begini dia tak apa.

“Ya Tuhan bagaimana bisa engkau membuat lelaki seindah dirinya. Tak bosan dua mataku memandang parasnya. Enggan melengos wajahku mematri lekuk tubuhnya.” Puji sang alpha.

Debaran jantung berisik mengundang begitu banyak hormon pembangkit nafsu. Mereka menyebar rasa panas dan pusing melanda syaraf pusat sehingga dia susah membuat komando. Yang hanya dia tahu saat ini adalah bagaimana cara menghilangkan rasa panas dan sesak dalam tubuh, mengeluarkan cairan yang telah berkumpul di batang dan merasakan lenguhan panjang tanda kelegaan.

Henry menengadah kala bibir basah sang alpha bermain di atas buah dadanya. Dia yang mengecup, menjilatnya berputar membuat kepalanya pening tujuh keliling. Alex menggigit putingnya bergantian menyesap layaknya bayi kelaparan. Bukan mengharapkan susu namun desisan frustasi dari sang empu.

Sepuluh jemarinya sibuk mencari pegangan hidup sebab hidupnya sebentar lagi hancur oleh ulah lelaki tak beradap yang mencoba membasahi sekujur tubunya dengan liur dan peluh.

“AHHH!” Teriaknya.

Berpegang erat dia pada kain seprei hingga kusut dibuat bersamaan dengan tangan besar sang alpha kini menggenggam penis yang telah lama menegang. Dikocok dia naik turun kadang pula hanya diurut perlahan seolah menguji kesebaran si empu. Dua pahanya sering kali tertutup kala gelanyar aneh menyelimuti tubuhnya akibat permainan di bawah sana, apalagi kala rasa hangat juga basah menyelimuti permukaan kulitnya.

Bunyi kecipaknya membuat Henry gila, berteriak memanggil sang penguasa agar berhenti menjajahnya secara perlahan. Alex tersenyum atas ekpresi kebingungan sang pemilik kejantanan, masih mengulumnya perlahan dengan satu tangan sedang yang lainnya mencoba menahan paha sang omega agar tetap terbuka.

Berkedut dia tanda detik peluncuran semakin dekat, bukannya pelana sang alpha malah mengocoknya tanpa ampun hingga batang sepenuhnya tegang menggembung. Keluarlah dia si cairan pejuh, membasahi sekujur kaki juga tangan sang alpha. Dibawa sebagian dia naik menyapa pemiliknya kembali yang mulutnya telah terbuka sukarela. Dijilati jemari demi jemari seperti tengah menikmati makanan paling lezat sedunia.

Alex meraup bibir omeganya yang telah berantakan. Dikecup hingga dilumat berusaha mencari rasa dari alami bibir bercampur liur dan pejuhnya sendiri. Henry mendorong tubuh sang penguasa, menggantikan kuasa atas tubuhnya menjadi dia yang memerintah.

Ya, dia adalah sang raja yang berhak atas tubuh rakyatnya. Dia yang berhak menciumi dan memberi tanda kepemilikan pada sekujur kulit tan seindah coklat dari Belgia. Dia yang berhak mengulum dua puting dan bermain dengan rimbun bulu dada sang alpha.

Tubuhnya merosot semakin ke bawa sembari matanya tak lepas dari ekspresi kepuasan sang alpha. Telinganya terbuka menyapa segala bentuk nada baritone yang datang entah desahan puas, entah geraman ketidakwarasan. Dia yang masih mencengang bagaimana perbedaan tangannya kala menggenggam penis sang alpha. Bagaimana bisa dia selama ini menerima benda sebesar ini masuk menembus lubangnya begitu saja.

Diludahi ujung batangnya, liur mengalir menuju tengah ditahan oleh telapak yang mulai meratakan seluruh permukaan, menjadikan itu sebagai pelumas alami. Henry bergerak perlahan, konstan seperti lelaki yang telah berpengalaman memuaskan hasrat lelaki lain. Gerakannya tidak berantakan, ritmenya rapih dari konstan hingga kencang membuat pemiliknya kalang kabut. Mulutnya merancau dengan nada berat kadang Henry tersipu dipuji bagaimana hebat tangannya membelai miliknya yang berharga.

Henry memang luwes dengan tangan. Namun, kala dia coba memasukkan penis tegang dalam rongga mulutnya, berkali-kali tersedak dia sebab ujungnya menyentuh tenggorokan saat dipaksa masuk semakin dalam.

“Hhmnm... Huhhh.. Hen-” “FUCK YOU KING SLUT!”

Kacau sang alpha, tak sabar akan gerakan mengulum yang rasanya semakin pelan. Alex menahan kepala Henry, mengakat pinggulnya dan digerakan mandiri secara brutal. Gila sang alpha, kala kedua mata sang omega hanya sanggup terbuka hingga keluar air mata.

“UHHHH SHIT!”

Juntaian benang liur tercipta bersama cairan putih turun dari bibirnya. Henry jatuh terduduk di bawah lantai, mengumpulkan napas untuk mengisi rongganya yang hampir kosong melompong akibat ulah sang alpha yang kurang ajar.

Ya akulah sang raja, namun kaulah sang penguasa sebenarnya

Alex beranjak, mengambil tubuh Henry kembali berdiri. Ditarik lembut dia sembari mengucap maaf melalui sorot matanya yang berpendar khawatir. Henry tersenyum, dia tak selemah itu sebab alphanya adalah bajingan dengan kontol panjang besar beserta birahinya yang luar biasa.

Naik kembali sang raja di atas tubuh penguasa. Saling pandang mereka meminta izin hanya dari dua pasang mata turun pada suara degub jantung yang sama gila.

Alex mengusap bibir Henry, melesakkan dua jari sekaligus untuk dibasahi. Jari dikeluarkan diganti dengan bibir, ciumannya penuh cinta juga nafsu tak terhingga. Satu tangan mengangkat pantat sang raja, yang basah bergerak memutari lubang senggama. Dimasukkan perlahan satu dan lainnya ikut bertamu kala tak ada suara protes dari empunya.

Sudah basah lubang senggama, tanpa melepaskan lumatan di bibir, Alex mengarahkan penis tegang dalam lubang. Kaku tubuh sang raja, digigit pula sang alpha kala batang tegang kini menerobos masuk lubang senggama. Diam di dalam sana sebentar hingga dapat izin dari empu untuk kembali melanjutkan.

Hilang waras orang dewasa yang satu bergerak dari atas dan lainnya menusuk dari bawah. Gerakannya seirama menggambarkan memang mereka adalah takdir dari sang kuasa. Merancau bibir-bibir itu saling memanggil nama pemiliknya memuji betapa hebat permainan mereka malam ini.

Liur jatuh bercampur peluh menambah intim tubuh mereka yang menempel satu sama lain tampa perekat. Keduanya bersetubuh, melolong bersama decitan kasur mahal yang entah akan bertahan berapa jam lagi.

Mereka berteriak seiring gerakannya makin berantakan. Hanya puncak dan kepuasan yang dicari. Semakin gila, entah orang di luar sana mendengar suaranya atau tidak.

Semakin cepat gerakannya mengguncang tilam. Semakin kencang teriakannya menjadi pertanda bahwa apa yang dituju akan datang saat ini juta. Bergetar tubuhnya, berdesir darah keduanya, disambung rasa aneh yang datang. Penuh lubang senggama, lalu diikuti hangat perutnya menjadi akhir cerita bersetubuh dua pria.

Mereka yang melenguh panjang kelegaan telah mencapai puncak angan. Mereka yang terlentang lemas saling mendekap telah menyentuh ambang nirwana. Mereka yang saling bertukar kecup manja sebab dipenuhi serbuk cinta. Inilah akhir cerita dewasa antara raja dan penguasa sebenarnya.


`hjkscripts.


“Aku mau diangkat jadi raja.”

Tak ada kata yang terucap hanya mata yang membola dan mulut ikut menganga. Tak ada ribuan komentar atau reaksi luar biasa. Hanya ada keterdiaman dan helaan napas panjang semata.

Henry tak bisa menjelaskan lebih panjang lagi sebab ketiga orang yang tengah duduk di sekitarnya belum sepenuhnya mengerti satu kalimat kontroversial yang baru saja dia umumkan.

Raja? Raja ya? How supposed that happened?

Henry juga dilema. Menjadi raja pada kosa kata ini bukanlah permainan bukan juga sedang berlaga dalam film bertema kerajaan melainkan menjalankan tugas dengan nyata. Ada istana yang harus ditinggali, ada tahta yang harus di duduki, ada keluarga yang harus dihormati, dan ada rakyat yang harus dipenuhi.

Dia tidak yakin apa dia bisa. Mungkin dulu, jika kejadiannya tidak begini masih ada kesanggupan yang dia miliki sebab henry belia hingga muda paling gencar belajar tentang monarki dan kekuasaan negara.

Namun, Henry muda dimatikan namanya, disembunyikan paksa dia hingga membuat pelajaran tentang memimpin dipelajari pun sia-sia. Henry ini tidak pernah punya angan bahwa hari ini akan tiba. Setelah itu, Henry remaja hingga dewasa hanyalah seorang ayah tunggal. Tiap-tiap hari belajar mengurus rumah tangga dan dua anaknya. Jangankan terpikir jadi raja, bagaimana bisa dia tidak langsung tumbang melihat kesusahan rakyatnya jika kala itu melihat anaknya jatuh sakit dia kelimpungan. Lagi, Henry ini juga hanya pemilik toko bunga kecil, rumah yang juga kecil.

Henry ini pangeran kecil bukan pangeran yang disiapkan untuk membangun negeri.

“Maksud.. Maksudnya diangkat menjadi raja apa?” Nicholas jadi yang pertama sadar dan menanggapi obrolan yang tidak santai ini.

Henry menyandarkan punggungnya, kepalanya tertunduk dengan raut wajah juga bingung. “Philip mundur dari kekuasaan dan dia juga tidak menghendaki putranya jadi penerus. Lagi, dia dapat wasiat dari father bahwa tahta ini tidak boleh jatuh ditangan keluarga kedua atau ketiga karena memang mereka bukan orang yang lebih baik daripada father. Jadilah tidak ada pilihan lain selain aku?”

“What about Princess Beatrice?”

“Oh dear, the king can't be a woman. Itu jelas tertulis di buku.”

Kami kembali terdiam, hanya suara alam yang terdengar hingga dalam rumah saking sunyinya. Dia usap kabar wajahnya, berpikir bahwa mungkin besok atau lusa ada solusi untuk ini. Sebelum suara Alex yang terakhir menginterupsi.

“What about you?” “Me?” Henry membalas, maksudnya bagaimana denganku?

Alex mengangguk, mereka saling bersitatap penuh tanya. “Tanpa memikirkan semua faktor, jika kamu adalah Prince Henry bagaimana menurutnya jika ditunjuk jadi pemimpin selanjutnya?” Dia melanjutkan.

Henry sebenarnya tidak mengharapkan pertanyaan ini muncul. Pertanyaan yang membuat jantungnya berdebar entah karena apa. Pertanyaan yang membuat dia takut untuk menjawab karena ada dua pilihan.

Jikalau dia adalah Prince Henry jelas jawabannya, “Iya aku mau. Jadi raja adalah keinginan Prince Henry muda. Tapi melihat diriku sekarang tentu aku tidak bisa. Aku bukan orang yang tepat untuk jadi raja. Aku tidak tau dunia luar, aku tidak tau keinginan rakyat, aku kurang mengerti konstitusi masa kini. He said i can but i called myself unable.. I'm not capable. Aku cuma papa dari dua anak-anakku, aku cuma pasangan hidup kamu, aku cuma si pemilik toko bunga.”

Bahkan rasa percaya diriku sudah habis terkikis oleh waktu. Aku bukan raja melainkan rakyat biasa.

“Sayang, dengarkan aku!” Alex menarik bahu Henry. Menuntut tubuhnya agar tegak. Lelaki itu juga tak lupa mengarahkan wajah si omega agar menatap dirinya kembali, mengunci dua bola mata yang bergerak gelisah agar tidak lari kemana-mana.

Dua alpha remaja lainnya juga ikut patuh pada sang pemimpin dewasa. Terpaku akan suara titahnya sehingga mereka berdua turut mendengarkan.

“Saat ini kekuasaan kosong. Semakin lama kosong adalah celah bagi siapapun untuk berebut menguasai. Kamu mau satu kursi itu berlumuran darah?” Henry menggeleng keras. Tentu saja tidak.

“Bagus.” Tanggapannya. “Maka, jika pilihannya adalah kosong dan kamu harusnya kamu sendiri tahu jawabannya. Betul, kursi itu menjadi hak kamu.” Alex melanjutkan. Henry masih kurang mengerti maksud alphanya yang seolah mendukung dia untuk menjadi raja.

“Dengarkan aku, saat ini hanya yang menjadi raja yang bisa membuat perubahan dan kamu adalah orangnya. Kamu harus menjadi raja untuk membuat perubahan, kamu harus berkuasa untuk membuat aturan. Mengerti?”

Henry polos menggeleng dan Alex tersenyum geli melihatnya. “Putuskan jawabanmu, terima atau tidak menduduki tahta. Nanti aku beri tahu maksudnya.”


`hjkscripts.


TRIGGER WARNING ; SENSUAL CONTENT 🔞

Alex Point of View.

Hari demi hari telah dilalui. Tetes demi tetes air matanya terus mengalir. Bergetar tubuhnya dengan suara isakan yang terus mengalun dari bibir indahnya. Sayangku, sudahi laramu marilah berbahagia denganku.

Tega nian yang membuatmu larut dalam kesedihan. Dia yang membuatmu terpuruk dalam menjalani setengah hidup. Pula mati meninggalkanmu dengan duka dalam ingatan. Sayangku, sudahi sakitmu marilah tertawa denganku.

Aku membelai lembut punggungnya, menepuk pelan bahunya yang masih enggan tegar. Kubalik badannya, mengubah pemandangan jadi menatap wajahnya. Lihatlah dia, begitu hancur dan berantakan.

Jemariku bergerak mengusap basah pipinya yang semakin memerah. Menyibakkan helai rambut penghalang pandang. Nampak rapuh sosoknya pilu.

Dia yang akhirnya membuka kedua kelopak mata, menatap milikku dengan pandangan sedikit kelabu. Satu dua tetes masih memaksa luruh seolah mengadu padaku bagaimana perasaan cintaku. Sakit, aku melihatnya sakit dari mata turun ke hati.

Iya, sayangku aku tahu betapa sakit dirimu. Namun aku ingatkan pula bahwa kamu masih punya aku. Tempatmu berteduh dari kejam dunia menyiksa batinmu. Lelaki yang akan memberikan segala kalimat penenang dan dada untuk mencari kehangatan.

Aku seka bulir air mata, dalam hati menghujatnya agar sudahi berlinang. Aku ingin melihatnya tersenyum dan menatap wajah tampannya memuja. Aku ingin melihatnya tertawa dan ikut tertawa bersamanya.

Aku menahan tengkuknya, bergerak mendekat dan semakin mendekati wajah rupawan yang basah. Aku bisa merasakan napasnya berantakan serta debaran jantung yang sama sekali tidak sesuai ritme. Tersenyum bibirku kala melihat kelopak indahnya menutup, bibir merah lembab yang perlahan membuka memberi akses milikku untuk menyapa.

Selamat malam manisku, aku kecup sesaat dirimu lalu melumat kenyal bagian bawahnya kuat. Maaf aku menekan dirimu tanpa ampun, sebab aku merindukan suara kecipak yang akan hadir ketika melumat keduanya bergantian.

Benar begitu cintaku, naiklah di atas pangkuanku. Menggeliat sensual akan pertarungan antar lidah. Sisihkan sejenak sedihmu dan hilangkan kewarasanmu dan ikuti permainanku.

Gila rasanya aku, memandang wajah sendu bercampur nafsu. Mata itu jangan menatap milikku seperti itu. Begitu polos seolah memohon kepada tuan untuk menjamah seluruh tubuh. Katupkan bibirmu jangan dibiarkan terbuka seperti itu. Mengundang milikku untuk lebih melecehkanmu.

Sepuluh jemari nakal kini membuka pertahanan terakhir satu persatu. Mengusap kulit yang nampak oleh mata mengharapkan imbalan suara yang akan menggugah birahi. Pasrah dirimu dilucuti hingga polos seolah berbisik mempersilahkan untuk dijamu.

Kau dan aku bersenggama di atas duka. Menghilangkan sedikit luka dan diganti dengan desahan manja. Kau dan aku bercumbu liar di atas lara. Menggila saling membalas lolongan serigala liar di luar sana dengan lenguhan lega. Kau dan aku bersetubuh di atas derita. Melekatkan tubuh dengan peluh dan cairan pejuh.

Sayangku sudahi sedihmu, marilah menari denganku di atas ranjang penuh nafsu hingga bulan tak kuasa menyaksikan betapa hebatnya dirimu bergerak mempesona di atas kejantananku. Buatlah dunia tahu betapa mengagumkan seluruh bagian tubuhmu kala mencari jalan menuju langit ketujuh.


`hjkscripts.


Southminster Palace, 2038

Surat ini aku tulis khusus untuk putraku Henry Arthur Hanover-Stuart.

Rubah kecil, begitu keluarga ibumu sangat mencintai kehadiran sosokmu. Putraku yang tampan juga hangat. Putraku yang suka membaca juga bunga. Putraku yang senyumnya seteduh rindang pohon di desa.

Sambutlah surat dariku si raja bijaksana. Bacalah surat dariku si ayah bejat. Mohon ampun padamu putraku maafkan semua khilaf dan dosa sengaja. Cerca saja namaku ketika sudah tiada dengan kalimat menghujat.

Henry putra kedua dari ayah bangsat. Harusnya aku tak merasa malu memiliki putra luar biasa seperti dirimu. Harusnya aku orang pertama yang bisa melindungimu. Harusnya aku tak menganggap lahirnya kamu sebagai cacat martabat.

Henry putraku ampuni bibir ayahmu yang penuh gengsi. Merindukanmu hanya dalam hati bukan malah mengusirmu pergi. Henry putraku ampuni perangai ayahmu yang penuh caci maki. Mencintaimu hanya dalam nurani bukan malah ingin menyakiti.

Henry, oh, Henry mungkin penyakit yang menggerogoti tubuhku dari dalam dan luar adalah bentuk balasan.

Henry, oh Henry dokter menyatakan umurku tinggal sejengkal jemari. Harapku semoga nanti aku bisa melihatmu untuk yang terakhir kali.

Henry, oh Henry mungkin dalam surat ini aku bisa mengatakan padamu untuk yang pertama sejak kata-kata ini keluar sebagai bentuk afeksi. Ayah menyayangi kamu, ayah mencintai kamu, dan ayah merindukan kamu. Tak apa jika kamu membenciku dengan sepenuh hati. Ayah pantas dihardik anak sendiri.

Kepada lelaki yang menjadi takdirmu, tolong sampaikan padanya ucapan maaf dan terima kasih. Juga sampaikan pintaku padanya untuk menjagamu dengan baik, sangat lebih baik dari ayah dahulu.

Kepada anak-anak yang lahir sehat dari tubuhmu, tolong sampaikan padanya ucapan menyesal sebab ada akal untuk melukainya dahulu. Juga sampaikan pintaku padanya untuk terus tertawa dan berlari mengisi kesepian dalam rumah kita nanti.

Kepada kamu Henry putraku jika surat ini sampai ditanganmu itu tandanya ayah sudah tidak bersama kamu lagi. Kembalilah meskipun luka tak dapat sembuh seketika. Berbahagialah meskipun duka yang menyelimuti rumah besar kita.

Kembalilah jadikan rumah besar kita hangat seperti sedia kala.

Selamat tinggal Henry putraku,

Dari Arthur ayahmu.


Henry Point of View.

Berlari aku terus berlari. Enam belas tahun hidup aku terus berlari. Aku terus berlari sebab aku takut jika berhenti mereka akan menangkap ku kembali. Aku terus berlari sebab aku takut jika berhenti mereka akan mengurungku lagi.

Berlari aku terus berlari. Meski napas kadang kala tercekat aku tidak bisa berhenti. Meski peluh penuh membahasi aku tidak bisa berhenti. Meski terserang dehidrasi aku tetap tidak bisa berhenti. Aku ingin berlari hingga ujung dunia yang senantiasa menanti. Aku ingin berlari sampai mati.

Berlari aku terus berlari. Namun aku ingin juga berhenti. Berhenti pula aku lebih letih timbang terus berlari.

Kata mereka berhenti adalah sebuah kesempatan untuk diriku memperbaiki. Kata mereka berhenti adalah sebuah harapan untuk masa depan lebih baik untuk hari ini. Kata mereka berhenti adalah sebuah keharusan untuk aku dan kebaikan akal nurani.

Tapi bagaimana jika telah terlambat berhenti? Niat hati memperbaiki malah ditinggal mati. Dia sudah mati, dan kini seperti roda dunia yang berhenti.

Aku bergeming, berdiri menatap kosong. Menatap hampa pemandangan di depan sana. Satu persatu air tanda kelemahan luruh tanpa diminta. Tak ada ekpresi kesakitan atau kesedihan, sebab isi kepala bersih seolah kopong.

Hati menjerit kehilangan, mata panas merah seperti kebakaran namun seluruh organ lemah untuk bereaksi. Otak malfungsi sehingga satu tubuh ikut diam terhenti. Mereka juga ikut aku berkabung. Mereka pula ikut aku terjatuh dalam kelam palung.

Aku benci bukan berarti aku berharap dia pergi. Aku marah bukan berarti aku berharap ingin dia terjarah. Aku berdarah bukan berarti aku berharap dia susah. Aku sakit hati bukan berarti aku berharap dia mati.

Ayah, tega nian engkau pergi tanpa permisi. Tak ingatkah anakmu belum merelakan mu pergi. Ayah, tega nian engkau menutup mata dan mulut bungkam. Begitu enggan kau menungguku berada di sampingmu. Begitu enggan kau mendengar nada ikhlas ku melepas dirimu.

Ayah, mana lantunan maaf untukku yang setengah hidup memenuhi siksa darimu. Ayah, mana ekpresi bersalah untukku yang setengah hidup rela dikubur hidup dengan tanganmu.

Benar ini balasan darimu? Menyiksaku seumur hidup dengan penyesalan yang terus mengikutiku layaknya bayangan. Benar kejam tingkah lakumu, hingga mati pun masih memberi pelajaran untukku, sebuah ketakutan yang terus melayang di atas awan.

Sesak di dada kian gulita yang terus ku pandang. Kebas kaki dan lengan, lelah tubuh terduduk tegang. Aku jatuh, tak berharap siapapun untuk menopang. Aku jatuh, membiarkan fisikku sakit demi mengurangi yang di dalam.

Siapa kamu wahai lelaki yang dengan berani menangkap lemas ragaku. Siapa kamu wahai lelaki yang tidak memiliki tata krama langsung mendekapku. Siapa kamu wahai lelaki yang kurang ajar membisikkan kata penenang di samping dua telingaku.

Dia yang kini berteriak frustasi seolah aku akan ikut pergi. Dia yang kini menggerakkan ragaku berantakan berharap masih ada sisa kewarasan kembali. Dia yang kini meremas sepuluh jemari yang makin dingin setara detik terus bergerak. Dia yang kini mencium keningku, memberi kehangatan miliknya pasrah.

Ketika hangat terserap lalu mengalir cepat mengisi syaraf-syaraf beku, mencairkan otak sehingga berfungsi kembali. Pun ketika kesadaranku kembali hanya raungan depresi yang menyelimuti. Tak ada lagi yang bisa membuat air mata kini berhenti. Kata-kata penenang mana yang ampuh untuk menghapus kesedihan yang aku alami.

Aku jatuh tak berdaya. Aku tersungkur di atas tanah. Aku jatuh tersungkur melebur berantakan.


Inilah kali pertama dalam belasan tahun pelarian, dua kaki memijak tanah penuh nostalgia derita. Pula kali pertama dalam kurun waktu bersembunyi, seluruh raga kini diselimuti pakaian yang akan menyita canda tawa bahagia.

Aku melihatnya dia yang damai dalam peti. Dia yang tidur tanpa peduli keadaan disekitarnya. Dia yang entah melihat atau tidak anaknya yang lama pergi datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku melihatnya dia benar ayahku.

“Henry...”

Aku tak peduli akan suara yang memanggil namaku jutaan kali. Aku juga tak peduli akan mereka yang memelukku lega atas hadirnya aku disini. Tidak hanya Beatrice adikku sendiri ataupun raja sang pemimpin negeri.

Harusnya dia juga ikut menyambut kedatanganku. Harusnya dia duduk dengan wajah angkuh. Minus senyum ketika aku menunduk patuh. Harusnya dia dan suaranya yang menggelegar penuh amarah. Harusnya dan harusnya begitulah cerca manusia dengan penyesalan.

Terakhir untuk selamanya aku memahat paras lelah tua dalam hati. Membuang yang membuat sakit hati dan mengganti dengan yang tengah terlelap damai. Setidaknya bukan wajah kecewa yang tersisa, namun wajah tenang yang membuatku mengingat akan ayah yang sebenarnya.

Terakhir untuk selamanya aku bersujud di depan peti. Membuka yang menghalangi antara dunianya dan dunia milikku. Merasakan kini telapak tangan tekstur kulit tua dengan banyak keriput. Aku membelainya dengan hati-hati seraya nurani membacakan doa penggiring yang akan menemani jasadnya menuju nirwana.

Terakhir untuk selamanya aku mencium keningnya. Mereka yang sering berkerut tanda kecewa kini halus seketika. Lantas aku bangkit, menutup kembali helai kain yang membatasi dunianya dan dunia milikku. Berbalik tubuhku menandakan bahwa aku mengikhlaskan kepergianmu.

Selamat tinggal sang pemanggil hadirnya aku. Kau yang menyambut lahir putramu dengan senyum bangga. Kau yang memberikan gelimang harta dan gelar tak mudah.

Selamat tinggal sang lelaki yang ku sebut ayah. Kau memanglah raja yang bijaksana, namun bukan kepala keluarga baik untuk anak-anaknya. Meskipun begitu, bagiku kau tetaplah seorang ayah. Ayah yang akan ku kenang hingga nafasku terhenti.

Kini berakhir sudah deritamu dan deritaku di bumi. Semoga di atas surga nanti, jika takdir ingin kita lanjut memperbaiki, kita akan bersama menjadi keluarga yang lebih baik lagi.


`hjkscripts.


Lagu selamat ulang tahun dikumandangkan. Meskipun liriknya sederhana. Lagu ini penuh syarat akan makna dan miliaran doa. Doa dari yang tercinta berharap yang terbaik untuk yang juga dicinta.

Lagunya terus disuarakan, berulang sebab doa-doanya panjang. Bersama kedua tangan yang tengah menopang. Tumpuk tiga kue pembawa bahagia. Diletakkan dia, dinyalakan lilin berupa angka tanda bertambah dewasa.

Lihat ekspresinya tidak ada duka hanya suara kelakar tawa dan tepuk tangan meriah. Berhadapan mereka pada suasana ulang tahun sederhana. Hanya ada dad dan papa bersama pemilik hari bahagia. Hari ini mereka yang bertambah angka jelas patut untuk dirayakan.

Menutup dua pasang kelopak mata, bibir mengatup hati yang berbicara. Nurani melantunkan kalimat-kalimat penuh syukur juga cita-cita. Bersyukur tahun ini mereka akhirnya utuh sebagai keluarga. Bercita-cita semoga masa depan tetap begini dan baik-baik saja.

Tidak ada hadiah berupa mainan kesukaan remaja pria. Betul mereka hanya ingin bersyukur bersama. Sebab hadiah yang mereka pinta sudah hadir akhirnya ditengah-tengah mereka.

Ya Tuhan engkau empu alam. Hari ini kami diberi kesempatan. Memulai kembali langkah baru bersama karuniamu. Ya Tuhan engkau empu hidup. Hari ini kami berkumpul bersama. Duduk bersanding saling menggenggam tangan satu sama lain. Ya Tuhan engkau empu akal dan nurani. Terima kasih atas hadiah dariMu ini. Semoga masa depan akan lebih indah daripada detik ini.


`hjkscripts.


Henry Point of View.

Aku berteriak bak anak remaja. Aku menggeram kesal bak anak remaja. Aku marah sebab dicurangi bak anak remaja. Aku pun tertawa terbahak bak anak remaja.

Namun aku bukanlah seorang remaja melainkan lelaki dewasa yang baru merasakan indahnya hidup di dunia.

Kesal aku meletakkan konsol game melihat lagi-lagi karakter yang aku pilih tergeletak tak berdaya. Diejek aku pula oleh lawan main yang wajahnya sombong luar biasa. Papa gak bisa main katanya, papa gak jago serunya dan aku mengerang tak terima. Siklusnya begini sejak selesai sarapan dan diminta duduk di sofa. Bermain, kalah, tak terima, lalu meminta pertandingan ulang yang berakhir tak ada beda.

Meskipun kalah aku tetap tertawa sebab sudah lama kita tidak terjebak dalam situasi menyenangkan. Bermain lawan video game di ruang tamu dengan mengerahkan seluruh tenaga. Lelah kalah jika bermain sportif, tangan jahilku menutup mata Nicholas sang lawan yang unggul lima poin di depan. Meskipun begitu tetap akhirnya aku kecewa sebab aku buruk dalam segala permainan.

“Kamu itu curang tapi masih kalah?” Nicholas menggeleng tak percaya, nadanya seolah mengejek betapa buruknya aku dalam permainan ini.

“Hampir menang kurang hoki aja.” Aku membela diri. “Ayo ulang lagi! Kali ini aku pasti menang!” Ajak seseorang yang masih penasaran.

Nicholas menggeleng, “Nggak ah, lawan kamu gak seru. Gampang dikalahinnya.” Balasnya meremehkan.

Tentu aku tidak terima, aku kalah mungkin karena belum terbiasa. Sepuluh atau dua puluh kali lagi bisa aja aku lebih jago nantinya. Kita terlibat adu mulut, lucu memang dilihat antara orang dewasa dan anak remaja masalah permainan. Aku akui hari ini Nicholas menyebalkan, atau aku yang terlalu emosional?

Pertengkaran kekanakan ini ditutup oleh pintu utama yang terbuka dan masuklah seorang pria dewasa lainnya. Dia meletakkan barang di tangannya lalu menghampiri arena gulat yang masih panas.

“Ayo mulai satu kali lagi!” Teriakku emosi. Sedangkan yang memegang kendali masih menggeleng menggoda. Begitu senang melihatku marah.

“Hey what's wrong?” Dia mencoba menengahi

“Kakak gak mau main sama aku lagi.” Adukku padanya.

“What? Papa yang gak bisa main jadi aku malas main lagi. He even can't control his character to stand on battlefield for five seconds.”

“Oh c'mon!

“Kak ayo sekali lagi!”

“Dad...”

Aku tersenyum kemenangan. Setidaknya aku menang dalam pertandingan mengadu pada alpha dewasa yang saat ini mengambil spot di samping Nicholas. Yang membuat aku tidak percaya adalah Alex duduk di sampingnya tanpa membuat cela, dia malah menyamankan duduknya, mengistirahatkan tangan panjangnya di bahu si anak enteng.

Am i missing some moments? Since when? And what did Nicholas calling him? Dad?

Memikirkan hal-hal lucu juga menakjubkan membuatku makin tidak berkonsentrasi dan terlambat memulai permainan hingga aku kalah tanpa perlawanan berarti. Baik, sepertinya memang permainan bukan passionku sejak dulu. Aku menyerah dan beranjak, namun sebelum itu menyerahkan konsol pada Alex yang sepertinya sudah siap bermain juga.

Inilah passionku sebenarnya, berada di dapur dan melihat apa yang si alpha bawa dari luar. Menata yang bisa dimakan saat ini juga di atas piring dan menyimpan yang lain di dalam kulkas. Sambil mencuri dengar percakapan ayah dan anak yang sampai detik ini pun aku belum tau bagaimana mereka bisa kulit dan nadi, bahkan kemarin masih sejauh neraka dan nirvana.

“Where's your brother?” Sang alpha bertanya. Hanya mulutnya saja yang bekerja sedangkan tangan sibuk menekan tombol konsol dan mata fokus pada layar televisi. “Mandi.” “Have you eat?” “I have. You?” “I left home early, so...” “Nanti makan aja bareng sama Vis.” “Oh, oke. Papa masak apa?” “Such as english breakfast..” “There's beans in it?” “Kamu gak suka bake beans?” “Suka aja but, beans in english breakfast kinda.. yucks?” “Nanti aku makan. Aku suka itu.”

Aku tidak bisa berhenti tersenyum haru atas percakapan sederhana. Well, secara tidak langsung mereka saling mempelajari masing-masing. Apa yang dia suka apa yang lainnya tidak suka. Aku lega bahwa semakin hari apa yang harus diperbaiki semakin baik adanya.

Setelah itu suara langkah kaki yang beradu dengan tangga kayu terdengar. Muncul satu lagi remaja dengan wajah masih penuh kantuk. Baunya wangi berasal dari sabun mandi dan pelembut pakaian. Bak turun dari kahyangan dia mendapat perhatian dari seluruh pemirsa.

Dia meletakkan handuknya pada besi tempat menggantung kain handuk. Berjalan gontai menuju ruang tamu tepatnya pada sofa lumayan panjang satu lagi yang kosong. Dihempaskan tubuh kurusnya disana, memperhatikan kakak dan ayahnya yang sudah bersemangat dengan mata malasnya.

“Hey kid? Mana semangat liburannya?!” Celetuk Alex diiringi kekehan. Sedangkan yang tengah terlentang di atas sofa mulai menutup lagi kedua matanya.

“C'mon beat me in the game!” Ajak yang dewasa. Yang muda membalas dengan gelengan malas.

Kakaknya beranjak tiba-tiba, melempar konsolnya sembarangan hingga mendarat tepat di perut adiknya. Menghampiri aku yang tengah menata berbagai jenis makanan ringan di atas meja.

Viscount bangun dengan malas, berpindah tempat dari sofa yang lebih kecil menuju samping ayahnya, menggantikan posisi kakaknya yang belum lama pergi dari sana.

Aku memperhatikan gerak geriknya dan menganga ketika Viscount duduk menempel pada bahu Alex. Lebih dari itu dia juga meletakkan beban kepalnya di atas bahu sang ayah.

Jujur saja melihat kedekatan kecil Nicholas sudah membuatku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Tapi dia adalah Nicholas, aku tahu sendiri sejak awal mereka berhubungan layaknya teman lama. Namun, ini Viscount yang seperti punya masalah pribadi bahkan pengalaman buruk pertama kali dirinya bertemu Alex.

Look at them both right now! Sudah seperti ayah dan anak yang dekat sejak hari kelahirannya.

Sukar terbayang dalam benak maupun pikiran bahwa hari ini akan datang. Hari dimana semua doa dan harapan terkabul dalam pandang. Sebuah keluarga yang sengsara, bertahun masing-masing berpetualang. Sebuah keluarga yang akhirnya dapat bersatu di bawah atap yang sama sembari bertukar cerita hingga tercipta kelakar senang.

Terima kasih Yang Maha Pencipta. Setidaknya hari ini menjadi awal dari hari panjang selanjutnya. Patutlah kita mensyukuri. Besar kecil hal yang terjadi dalam hidup kini.

Maka inilah sebuah keluarga yang terikat pada tali darah yang sama. Inilah sebuah keluarga yang mengenali lahir batin kehadirannya. Inilah sebuah keluarga yang saling mendekap dalam susah maupun duka. Dan akhirnya inilah sebuah keluarga yang telah berkumpul seutuhnya bersama.


`hjkscripts.


Nicholas Point of View.

Melihat rumah sepi di hari minggu begini tentu gue gak terbiasa. Hari minggu itu adalah hari keluarga, hanya ada papa, gue, dan Viscount. Entah kita yang nonton televisi bersama, entah kita akan bermain permainan papan dan papa jadi pupuk bawang yang akan kalah pertama kali sebab dicurangi. Pun kita hanya akan berdiam diri, menikmati kegiatan masing-masing tanpa suara. Terpenting kita akan bersama di satu atap rumah sederhana.

Ini kali pertama dalam seumur hidup. Kala kaki menyentuh lantai bawah tidak ada sapaan selamat pagi melainkan sunyi. Rumah bersih tertata rapi seperti tidak ada penghuni sejak semalam. Hanya ada tumpukan makanan cepat saji yang ada di atas meja.

Gue menyentuh dan melihat isinya satu per satu. Sudah dingin menandakan makanannya sudah ada sejak lama. Gue memanaskan beberapa potong pizza, satu kotak pasta dan mengeluarkan dua soft drink juga kue brownies kukus dari dalam kulkas. Menyingkirkan kotak yang tersisa dan menata yang masih hangat di atas meja makan.

Viscount turun tepat ketika gue telah selesai menyiapkan brunch seadanya. Rambut masih basah, wajah lesu bukan segar khas orang selesai mandi. Gue meletakkan piring berisi dua potong pizza dan setengah porsi pasta juga minuman berkarbonasi. Gak lupa membuka penutupnya agar bisa diteguk.

Viscount makan dengan tenang, pelan gak seperti biasanya yang sampai diomelin papa soalnya belum habis di mulut sudah dimasukkan lagi satu sendok. Melihat rambutnya masih meneteskan air gue berinisiatif mengambil handuk kecil yang menggantung di pundaknya, mulai mengusap rambut dan kepalanya telaten hingga setengah kering, juga menata rambutnya sedikit agar lebih rapi.

Kita makan tanpa suara, terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Mungkin terlalu bingung darimana harus memulai atas informasi yang diterima. Terlalu banyak, terlalu berat daripada memahami berita politik dari sosial media.

Kita berdua duduk berjajar di depan televisi yang menayangkan cerita tentang keluarga bahagia. Menontonnya dengan pandangan kosong tidak seperti biasanya yang akan ikut berimajinasi bagaimana kalau kita yang berada di sisi mereka.

Ternyata memang gak mudah, sebab kita berdua telah terbiasa hidup dengan papa dan kedatangan dad sebagai pelengkap... apa benar kita butuh pelengkap? Apa benar hidup sebagai keluarga yang kata mereka sempurna itu yang kita butuhkan?

Pangkuan gue mendadak berat oleh sebuah kepala yang dilimpahkan empunya di sana. Viscount menggeliat menyamankan tubuhnya bergelung di sofa. Paha gue terasa basah atas satu tetes air mata yang meluncur begitu saja. Mereka diseka kala gue mencoba mengintip memastikan apa benar mereka datang dari mata nakalnya.

I know... I understand... It is too overwhelming for us. Semuanya tiba-tiba dan serba mendadak.

“You like him, do you?” Akhirnya dia bersuara meskipun dengan dana serak. Gue paham siapa dia dalam percakapan kali ini.

Jujur gue membalas, “Gak ada alasan yang bikin gue gak suka sama dia dan gue yakin lo juga.”

Bukan tanpa alasan gue berkata demikian. Bukan maksud gue membuat keputusan jika Viscount gak bisa membenci Sir Alex. Namun, gue sebenernya tahu di dalam hati nuraninya dia menyukai Sir Alex sebesar kita semua menyukai beliau.

Viscount mengangguk, tandanya dia setuju atas pernyataan gue. “I don't want to hate him. I do not hate him either. Tapi fakta bahwa dia ninggalin kita, membiarkan papa hidup sendiri, membesarkan kita sendiri. Gue gak bisa.” Jelasnya semakin tergugu.

Iya gue juga mengerti alasan yang satu itu. Viscount adalah satu-satunya dari kita yang kurang memiliki sabar. Dia yang akan selalu melindungi papa dari gunjingan buruk yang sebenarnya kita gak tahu keabsahannya.

Gue pun sama, gue gak bisa benci tetapi gue butuh banyak waktu untuk memproses semua informasi. Papa adalah pangeran, mantan raja yang tengah sakit di ibu kota adalah kakek kita, raja saat ini pula adalah kakak dari papa, juga mengetahui bahwa si anjing gila anak mantan presiden amerika itu adalah ayah kita yang lain. Wah, kepala gue mau pecah mikirinya.

Masih banyak pertanyaan yang ingin gue tau daripada apa yang kemarin dijelaskan. Masih banyak yang ingin gue mengerti. Setidaknya semakin banyak gue tau ceritanya, gue akan cepat paham dan mengerti tentang keadaan yang akan gue jalani.


`hjkscripts.