our first love.
Viscount Point of View
Kali ini aja biarkan gue membenci Nicholas. Nicholas itu gue gak bisa berkata-kata lagi, dari kacamata gue maupun seluruh orang juga setuju bahwa kesempurnaan ada pada dirinya. Gue gak menyangkal soalnya gue sendiri bisa mengerti.
Gue gak apa menjadi saksi bagaimana seluruh insan di bumi memuji Nicholas dari berbagai sisi tapi buat kali ini tolong izinkan gue menjadi haters Nicholas buat sementara.
Nicholas, gue gak suka sama lo. Fakta lo yang tumbuh jadi jauh lebih dewasa daripada gue. Gue gak suka gimana lo merasa punya tanggung jawab atas gue meskipun, mungkin lo begitu karena dididik papa sedemikian rupa. Gue gak suka lo selalu punya cara buat kontrol gue, hidup gue, dan gue benci denger kata-kata bijak dari mulut lo.
Tapi Nicholas, lo tau apalagi yang paling gue benci? Iya, gue benci berantem sama lo. Gue gak suka ada masalah yang bisa memisahkan kita kayak gini. Gue sadar ini bukan lo yang menjauh tapi gue yang butuh ruang lebih. Dan gue juga benci akan fakta semua yang keluar dari mulut lo benar adanya.
Anne sebenarnya gak suka sama gue tapi sama lo dan gue hanya sebagai jembatan. Gue marah sama fakta satu itu sebab kesempatan ini gak dateng berkali-kali bagi anak kayak gue.
Seluruh manusia pasti punya cinta monyetnya sendiri dan gue juga mau merasakan. I want to experience too.
Ini bukan tentang siapa tapi tentang gue yang terlalu bernafsu. Gue gak peduli dengan siapa tapi yang ada saat ini cuma Anne. Maka dari itu gue marah, sebab cuma Anne harapan gue untuk menjadi remaja penggemar cinta-cintaan pada umumnya. Cuma Anne dan ternyata bukan Anne juga orangnya.
Gue buta, gue menepis fakta yang harusnya berhasil menampar pipi gue berkali-kali biar sadar. Woy Viscount, gak ada pilihan satupun buat lo! Tetapi Viscount ini penuh ambisi.
Gak ada yang bisa bikin gue berhenti, sampai Nicholas menyeret gue naik mobil, ngebut banget gak peduliin papa yang teriak coba berhentiin mobil yang udah melaju begitu cepat membelah jalanan.
Dan fakta yang sudah ada, gue biarkan terus menampar pipi hingga kemerahan semakin ditambah berubah menjadi tali cambuk yang siap dihentakkan. Tali cambuk itu akhirnya melayang tepat ke arah punggung gue, melukai juga membangunkan diri ini yang jatuh terlalu dalam di lubang penuh mantra cinta. Bersamaan suaranya yang menggelegar dan serangan rasa sakit yang langsung terasa bersamaan gue akhirnya sadar bahwa cinta monyet ini gak bisa diteruskan.
Bukan dia, bukan juga dia buat Nicholas. Tapi tetep rasa sakitnya bikin lumayan gila sampai mau muntah lihat Anne dan cowok yang gue gak kenal lagi ciuman mesra di pinggir jalanan kota.
“Gue mau pulang.”
Gue memutuskan berlari setelah turun dari mobil. Berlari tanpa henti dan menepi di depan danau kecil.
Tempat ini danau kecil yang biasa gue sama Nicholas buat berenang waktu kecil dan tempat ini juga bersama kesunyiannya gue biasa menemukan Nicholas dengan berbagai pikiran.
Gue berdiam, gak sama sekali nangis meskipun dada rasanya mau meledak. Gue hanya duduk di tepi, menatap air yang masih jernih nanar sehingga refleksi paras gue tergambar dengan baik bak berkaca. Setelah itu, tupai atau kucing liar hutan akan mencoba mendekat, mencari perhatian dan berharap diberi sisa makanan.
Tapi kayaknya dunia emang lagi gak berpihak sama kesedihan gue. Kayak mereka lagi seneng-seneng dan gue merana sendirian. Bahkan gak ada satupun binatang liar yang mau deket, sekedar nemenin manusia satu ini.
Ternyata ya dunia gak sejahat itu, sebab doa gue dikabulkan. Butuh temen kan? Nih gue hadirkan sosok temen yang paling pengertian. Dan munculah Nicholas di sana.
Tolong, gue masih gak suka sama Nicholas apalagi waktu dia memutuskan duduk di samping gue. Gue benci karena dia gak cuma duduk tapi menarik tubuh gue dalam miliknya. Dia dan tangannya yang begitu lembut memaksa kepala gue jatuh di atas pundak kokohnya. Lagi-lagi gue benci karena dia melayangkan satu kecupan di atas kepala gue.
Gue benci sebab keberadaan Nicholas selalu membuat gue dengan gamblang menunjukkan sisi paling lemah dalam diri.
Gue menangis, sedih, kecewa, marah, bercampur lega sebab semua emosi sedikit demi sedikit dilepaskan. Tangisan gue semakin kencang dan pilu mengingat gak ada yang perlu gue takutkan selama tangan lembut ini masih membelai bahu gue yang terus bergetar. Gak ada yang perlu gue takutkan selama bibir miliknya ini terus membisikkan kalimat penenang. Gue juga gak perlu malu kelemahan gue dijadikan tontonan atau suara merana dari raungan nestapa ini didengarkan khalayak luas.
Biarkan kegagalan pasal romansa ini menjadi rahasia antara gue, Nicholas, dan Alam.
`hjkscripts.