pulang.


Bridge Hampton ㅡ 24 Desember 2039

Salju turun layaknya hujan ketika mobil hitam berhenti di depan halaman rumah sederhana. Dibenahi sebentar mantel tebal yang membungkus tubuh serta syal yang melilit leher. Lelaki itu turun, menapakkan sepatu hitamnya membiarkan tubuhnya dijatuhi butiran putih lembut.

Pintu kemudi juga terbuka, turun perempuan anggun bukan manusia biasa. Dia yang berjalan memutar, menghampiri lelaki yang sibuk mengambil barang-barang dari bagasi. Tangan cantiknya refleks mengangkat satu tas kecil terakhir yang sanggup dibawa olehnya.

Belum juga langkah selesai melintasi jalan setapak minimalis yang lurus dengan pintu utama. Terbuka daun pintu, keluar tiga lelaki dengan sesumbar pekikan senang menyambut siapa yang datang akhirnya.

“PAPA!!!” Begitu teriaknya. Anak remaja kini berlari tak takut akan tergelincir di atas salju licin.

Si remaja ini yang paling minim afeksi membuka lebar lengannya, mendekap sang papa yang juga melakukan hal sama. Dikecup permukaan wajahnya yang pucat akibat suhu luar yang dingin. Lalu berganti, menyambut tubuh yang lain kali ini lebih berisi sebab remaja ini adalah idola rugby. Bergantian mereka saling mengecup pipi, melayangkan kalimat rindu mengingat terakhir kali mereka bertemu. Terakhir, dia yang didekap oleh lelaki yang lebih dewasa. Lelaki yang melingkarkan seluruh lengannya membungkus kasihnya dalam hangat tubuhnya.

“I miss you, mi amor.” “I miss you too, love.”

Tak lupa menyematkan sebuah kecupan kecil tanpa malu dihadapan mata-mata yang memandang mereka penuh bahagia.

“Your Majesty...” Lelaki dewasa kini berganti memeluk wanita satu-satunya di antara mereka. Dia yang tertawa geli dipanggil dengan gelar di depan nama.

“Oh, Alex apa kabar kamu?” Sang ratu bertanya.

“Baik tapi sering pusing karena harus menghadapi dua anak-anak ini.” Jawab Alex bercanda berakibat menutup kedua daun telinga sebab dua anak-anak yang dimaksud berteriak tak terima.

“Aunty Beatrice ayo masuk! Disini dingin.”

Nicholas memecah tawa, menyudahi percakapan di luar rumah agar dilanjutkan saja di dalam sembari mengelilingi perapian yang menyala. Namun, Beatrice menggeleng menolak halus sebab kedatangannya hanya untuk mengantar Henry saudaranya. Masih banyak pekerjaan di ibukota, mungkin lain kali mereka bisa berkumpul bersama layaknya pertemuan keluarga besar.

Maka Beatrice masuk dalam mobil, memutar arah dan mengucapkan selamat tinggal sekali lagi sebelum mobil hitam melenggang meninggalkan halaman.

Henry dituntun masuk layaknya dia masih seorang raja. Berjalan di tengah prajurit yang akan senantiasa melindungi dirinya. Tangannya kosong, karena ketiga alpha memaksa membawakan barang-barang milik dia.

Dibukakan pintu kayu sederhana, dipersilahkan dia seolah tamu kenegaraan. Sedikit menunduk, pula dapat merasakan bagaimana perubahan suhu antara luar dan di dalam. Betapa tercengang kala rumahnya telah berubah menjadi rumah santa. Begitu meriah pada setiap sudut dihiasi pernak-pernik natal. Bahkan pohon cemara kecil telah berdiri kokoh bersama aksesoris, lampu kelip, tak lupa menyala bintang di puncaknya.

“Kapan kalian buat semua ini?” Ungkap Henry, berjalan kesana-kemari meneliti satu persatu sudut rumah sederhana.

“Kemarin kita ke kota terus belanja banyak banget buat hias rumah.” Jawab Viscount bersemangat.

“Iya, soalnya kapan lagi kita bisa rayain natal kayak gini.” Nicholas menambahi.

Lalu Alex mendekapnya dari belakang kala Henry sibuk menikmati gemerlap lampu yang melingkar apik di pohon natal. Dia berkata, “Anak-anak bilang kamu punya mimpi merayakan natal secara proper kalau kita akhirnya jadi keluarga utuh seperti ini. Kamu mau pohon natal dengan berbagai hiasan seperti ini.”

Henry tersenyum, betul itulah mimpinya merayakan natal dengan hiasan, hadiah, hangat dekapan keluarga, dan tawa membahana. Dia mengistirahatkan kepalanya pada pundak Alex, mendengar debaran jantung sembari matanya hampir tak berkedip melihat pohon natal yang amat cantik.

Alex mengambil tangan kanan Henry membawanya melayang tepat di depan pancaran lampu warna-warni. Henry terpaku, memperhatikan detik-detik benda bulat yang tak kalah binarnya dari hiasan pohon natal. Alex memasangnya pada jari manis tangan kanan. Tersenyum puas sebab ukurannya pas meskipun dia memesan tanpa membawa empunya.

“Alex?” Henry berbalik, masih membiarkan tangannya kini digenggam oleh Alex.

“Alex?” Panggil pada asma sang alpha sekali lagi. Sulit kalimat bahkan satu kata yang keluar dari bibir kecuali Alex.

Bola matanya bergerak kebingungan, entah bagaimana pula dia mengekspresikan maha kejadian ini. Hingga, putih bola mata kian memerah membentuk bendungan air di dalam pelupuknya.

Satu tetes jatuh kala Alex mengecup tepat di atas cincin yang terpakai ayu melingkari jemari. Tetes lainnya jatuh kala sang alpha memandangnya dengan tatapan jatuh cinta luar biasa.

“Henry Arthur Hanover-Stuart, menikahlah denganku. Lengkapi banyak kurangnya diriku, menitih sedikit demi sedikit sisa hidup kita bersama.”

Percaya diri benar lelaki satu ini. Bukan mengutarakan kalimat tanya namun sebuah ajakan paksa.

“Menikahlah denganku.” Aku tersenyum geli bersama air mata yang masih sibuk terjatuh, melihat dua remaja yang berharap jawaban yang sama dengan lelaki yang sedang berusaha.

“Baik, pangeran ini akan menikah denganmu wahai si anjing gila.”


`hjkscripts.