hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


TRIGGER WARNING ; Manipulatif behavior, rape 🔞

Khaotung Point of View.

Ternyata dia itu cowok. Jangkung, atletis, potongan rambutnya cepak, juga cara berpakaiannya yang nunjukkin dia orang berada. Parfum mahal, kenal banget baunya, soalnya di rumah kayaknya ada masuk koleksi. Kemeja warna soft pink ketat membentuk badan sampai otot-ototnya, celana pun gitu, cuma berhenti di atas mata kaki bersambung dengan sepatu kulit warna hitam mengkilap. Oh iya, jangan lupa dia jinjing pouch channel yang aku tebak isinya ipad lengkap aksesorisnya.

Pertama kali aku menyadari ini orangnya, ada banyak good first impression di kepala. Suka sama senyumnya yang adem. Makin deket jarak kita makin lebar sampai nampak gigi putih sejajar rapih. Wajahnya putih mulus, nilai tambahan soalnya aku suka orang yang jaga penampilannya.

Gestur tubuhnya lembut, ga kaku atau awkward. Antara dia kerja orang Human Resources atau Marketing. Kita ngalir aja, jabat tangan, terus duduk, dan mulai bangun percakapan. Dia ini ga pernah abis topik, pinter mancing obrolan juga jadi kita berdua jarang diem dieman. Diem sebentar buat minum terus ada lagi topik yang muncul. Mana orangnya bikin nyaman, ngobrolnya sesuatu yang intimate hanya saja ga kelebihan batas. Orang ini ngorek apapun dari aku tanpa perlu meminta persetujuan tapi aku dengan ikhlas memperkenalkan diri lebih lanjut.

Benerkan, kerjaannya mostly jadi marketing salah satu corporate. Lumayan besar, kantornya ga jauh dari tempat ketemuan. Pantesan dia tuh pinter bikin nyaman, dengerin semua tentang dia kayak dia ini adalah produk bernilai jual tinggi, high value. Apapun yang dia pamerin malah bikin orang melongo bukan ilfeel. Berkarisma, berwibawa, pinter banget bawa diri. Nilai lebihnya lagi, dia tuh tau kapan waktunya dia, kapan waktunya kita yang ngobrol. Ga pernah kita ditinggal jauh jadi nyambung, bersusun, ga berantakan.

Parah sih, salah tingkah mulu. Kayaknya ya pipi udah merah. Gimana ga ya, tiap kali giliran ngobrol dia diem, meskipun begitu antusiasmenya ada. Dia dengerin kita, sambil sorot matanya lurus kunci punya kita, sembari otaknya bikin rangkuman dan mikir harus ditanggapi bagaimana.

Pertemuan malam ini atas dasar tekad dan gila. Makin menggila kala dingin yang menggelitik kulit-kulit tanpa pelindung diusir paksa oleh telapak hangat. Dia pegang tanganku, diremas pelan. Aku ga berjingkat, berarti sistem pertahanan tubuh belum mencium bau-bau ketidaknyamanan. Dan aku seperti dihipnotis, perut geli menggelitik, dan dada sesak akibat akumulasi rasa menyenangkan ingin dilontarkan semua.

Pikiran serta harapan liar sekelebat muncul. Kalau akhirnya aku jatuh cinta di tengah persetujuan yang berjalan di antara kita, aku ga apa. Aku ga apa kalau dia orangnya.


Maka kita berakhir di kamar hotel, duduk berdampingan di atas kasur empuk. Masih bercengkrama, masih dengan tawa, tanpa ada rasa curiga.

Aku ga tau gimana bisa kita yang semula duduk berhadapan di meja kafe, ada sekat di antara kita menjadi di atas kasur hotel, tanpa sekat, hanya sejengkal jarak. Perasaan nyaman yang muncul membuat afeksi fisik kecil yang dia berikan tak menganggu sama sekali. Aku malah tersipu, kayak orang gila baru tau cinta.

Debaran jantung semakin ga karuan, apalagi telinga diperdendangkan pujian pujian. Aku cantik, aku manis, aku ganteng, aku hebat, aku luar biasa. Manis betul suara yang keluar, hingga kepala pusing kepayang. Terlalu banyak yang aku terima, terlalu berat beban yang aku pikul, sampai otak ini ga mampu buat berpikir.

Intinya di kepala cuma berdengung suaranya. Mata hanya memandang tiap gestur tubuhnya. Hidung menghirup bau tubuh yang pekat tercium dari dekat. Juga telinga yang menangkap hanya nafas teraturnya.

Aku mendadak tolol, malfungsi semua hati sama otak udah ga sinkron. Ga ada penolakan, ga ada gerakan defensif. Akhirnya badanku apa adanya, didorong lembut terbaring di atas kasur, pasrah.

Dia di atasku bersama senyumnya yang masih teduh, menenangkan. Dia juga membelai setiap helai rambutku, pipiku, tak luput bibirku yang sedikit terbuka. Ditarik gemas, dia terkekeh. Aku menunjukkan pergerakan ga nyaman, namun dia dengan cepat melantunkan kata-kata bahwa apa yang akan dia lakukan ga berbahaya, under control, dan baik-baik aja.

Dia ga suka aku yang mulai merengut, maka jemarinya mengusap kerutan di dahi. Napasnya berat, terasa menyapu kulit di pipi. Debaran jantungnya berantakan. Ekspresinya ini berubah, dari lelaki penuh wibawa jadi hewan liar hilang kewarasan. Hanya ada nafsu, birahi memuncak. Aku ini cuma mangsa yang tiap hari dia cari untuk disantap demi menyeimbangkan hidupnya.

Dia itu bukan lelaki berkarisma, melainkan biadab kurang ajar. Wajah tampan hanya topeng, suara lembut sebagi penopang, dan tubuh gagah sebagai tameng.

Aku bergerak ketika waras kembali, otak mati telah berfungsi mendengarkan teriakan hati nurasi. Aku harus berdiri, melawan tubuhnya yang makin liar dikuasai birahi. Dia yang mulai pakai emosi, bukan manusia berhati-hati.

Ada gerakan kasar akumulasi dari frustasi. Ada amarah sebab mangsanya tak lagi menuruti. Sebelum tubuhku mulai dijamah kembali, aku berontak menguatkan diri. Menendang entah apa yang penting detik aku bisa berdiri, aku harus secepatnya lari.

Aku ditampar, hingga tubuh yang berhasil dikuasai terhempas lagi di ata kasur. Ada beberapa detik baginya beranjak dan melucuti pakaian. Tapi bagiku detik ini adalah waktu emas, ga ada waktu lain lagi. Kalau bukan ini, aku ga akan selamat.

Aku bangun kepayahan. Aku tendang bagian intim yang hanya tertutup satu lapis kain. Persetan barang-barang, apapun yang bisa tangan gapai, aku bawa. Cuma handphone dan kartu kamar. Terakhir, aku terus berlari, kesetanan menyelamatkan diri. Ga bisa mikir jalan, kalau ada pintu yang terbuka dari banyaknya pintu aku masuk untuk mengurung diri.

Aku ini anak durhaka. Jelas dapat ganjaran. Aku ga apa, aku ikhlas, aku terima. Ini seperti mimpi, tetapi ini kenyataan. Ini seperti doa yang terkabul menjadi nyata.


`hjkscripts.


Khaotung Point of View.

Biasanya seorang anak kalau ngomongin orang tua perempuan atau biasa disebut mama pasti yang bikin terharu. Mama itu banyak yang bisa dijadiin topik nangis-nangis. Kebaikan hatinya seluas samudra, jasanya ga bisa dibalas dengan benda paling berharga di dunia.

Kok ada ya orang diciptakan untuk jadi superhero. Padahal manusia kan diciptakan untuk hidup, bertahan hidup, dan menyembah Maha Pencipta. Sama semua derajatnya, ga ada beda.

Tetapi perempuan, diciptakan ga cuma jadi manusia dengan tugas-tugas pada umumnya. Ada kodrat yang harus dijalani. Ya hamil dan melahirkan. Meskipun jaman sekarang perempuan sudah punya banyak pilihan, masih banyak kejadian di lingkup bermasyarakat yang memilih untuk ninggalin prinsip bertahan hidupnya.

Menikah, ninggalin dunia kerjanya, ninggalin keluarganya, jadi ibu rumah tangga. Bayangin nih, hidup kayak menukar dunia bebasnya demi urus orang lain, suaminya. Hidup bergantung sama dunia milik suami, hamil, dan melahirkan. Ga sampai situ dong, sebab katanya ibu itu guru pertama bagi anaknya.

Pantesan kalau ngomongin tentang mama, ibu, dan apapun panggilan sayang buat orang tua perempuan bisa jadi menyedihkan, merasa kecil, merasa apa yang kita sebagai anak lakukan sampai detik ini ga ada apa-apanya.

Tapi bagi aku, ngomongin tentang mama selalu bikin kurang nyaman. Ga bisa nangis lagi pas inget-inget tentang jasa mama. Cuma ada sebel, keinget terus kelakuannya akhir-akhir ini.

Tau kok dosa besar, durhaka kata orang-orang. Hanya saja, mama dan ambisi belakangan ini beneran bikin aku pusing, setres, dan under pressure.

Mama itu bagi aku ya ibu-ibu pada umumnya aja. Memutuskan untuk pensiun di umur hampir menginjak empat puluh, hamil, dan mengurus aku si anak semata wayang. Mama itu ibu-ibu pada umumnya, ikut arisan, ikut line dance, ke gereja tiap minggu. Normal kan? Sampai beliau catching up sama temen-temen lamanya di SMA.

Kayaknya lingkungan pengaruh banget. Tapi setau aku mama pandai membatasi diri. Dia sosialita tapi tau mana barang mewah yang butuh dibeli mana yang nanti dulu aja. Cuman ga tau kenapa akhir-akhir ini jadi nyebelin. Mama jadi mabok ceramah agama dan penikmat mitos mitos legenda duniawi. Terutama masalah pasangan hidup buat anaknya.

Ketakutan atas mitos perjaka dan perawan beneran makan kewarasan mama. Ditambah pressure publik dimana hampir semua temen masa lalu mama pada ngomongin cucunya gini begitu. Semua faktor itu dibungkus rapih dengan fakta kalau mama umurnya udah tua dibanding mama lain yang anaknya baru menginjak fase dewasa. Umurku belum genap tiga puluh, tetapi mama udah jalan injak enam puluh.

Banyak resiko yang mereka harus hadapi waktu memutuskan untuk punya anak di umur kurang produktif. Pastinya harapan sebesar gunung himalaya hanya akan terkabul dari sisiku. Ga ada harapan di pundak kakak atau adik. Serta, mimpi atau harapan itu harus terkabul secepat mungkin kejar-kejaran sama durasi manusia hidup.

Siapa anak yang ga mau penuhi harapan orang tuanya. Meskipun sebel minta ampun, aku tetep berusaha. Buktinya meskipun minim semangat tetep dateng ke blind date yang udah beliau setting sekian rupa. Entah kenalan berapa cowok atau berapa cewek. Masalahnya ya cuma satu memang bisa hati dipaksain cinta? Akunya juga salah sih, kemakan propaganda kisah romansa.

Cinta itu ga bisa dipaksakan. Cinta itu nanti dateng sendiri kalau waktu dan tempatnya udah tepat. Belum lagi cerita cinta-cintaan gagal di media sosial.

Pokoknya kalau udah jodoh nanti kita tau sendiri. Bagi aku, cinta itu ga bisa tumbuh dengan seiring waktu. Dua orang bisa bersatu ya karna ada cinta di antara mereka.

Kalau udah begitu gimana caranya tepati janji ke mama buat baca pacar secepatnya. Terlalu goblok, impulsif. Pada dasarnya aku ini cuma mau mama berhenti maksa, tapi malah jadi senjata makan tuan.

Tuhan yang punya hidup, kalau boleh hamba yang banyak dosa ini mau minta sesuatu. Semoga jodoh bisa dateng secepatnya. Biar aku bisa meruntuhkan mama dan segala ambisinya.


`hjkscripts.


Berdua yang sedang duduk bersekat meja. Berdua yang sedang bercerita kisah tentang dirinya. Berdua yang sedang saling mendengar dengan seksama. Berdua yang sedang duduk saling menghadap adalah teman lama.

Inilah kita yang tengah bercengkrama.

First masih pada posisi rileks, punggung menempel pada sandaran kursi kayu senada warna jaketnya. Sesekali senyum kecil muncul kala cerita yang dilontarkan mengandung kekonyolan. Bola matanya bergerak, namun pada satu tujuan yaitu memperhatikan gestur lawan bicara.

Tangan-tangan bebas itu salah satunya bermain embun luruh dari minuman dingin dalam gelas kaca yang isinya masih seperempat. Minuman itu baru diminum sedikit meskipun terhitung tiga puluh menit sudah mereka duduk. Menandakan betapa intens tingkat obrolan yang sedang mereka bangun.

Secara topik yang diangkat sebenarnya begitu dasar. Memori kuliah, perjalanan karir, kisah keluarga, semuanya dibahas dari intonasi menyenangkan hingga menuju nada sendu. Memang ya hidup nggak melulu naik juga turun, ada aja kayak naik wahana rollercoaster.

Sisi First Kanaphan sendiri jujur dianya juga kaget. Kok bisa ya cowok di depannya, cowok yang lagi ngobrol ngalor ngidul langsung hadir diingatan cuma dalam tiga detik dia tatap matanya waktu insiden lorong kemarin. Padahal seingatnya, Khaotung itu gak setinggi sekarang, kurang berisi badannya, terus kacamata ikonik juga udah gak bertengger di hidungnya yang mancung. Beda banget pokoknya.

Juga, anehnya dia sama cowok satu ini bukan temen deket, bukan temen satu prodi satu jurusan. First bukannya mau sombong ya, tapi dia sadar sih waktu kuliah emang jadi masa jayanya. Kayaknya dia terkenal banget sampai tiga angkatan di atasnya, bahkan anak fakultas lain pula dosen-dosen soalnya sering bantuin bikin konten acara mereka. Sedangkan Khaotung cuma temen yang dia senyumin waktu ketemu di lorong. Jarang dia ajak basa basi malah.

Hanya saja, waktu insiden kemarin, tepat pada kedua pasang mata mereka saling menatap, memori kayak potongan puzzle itu berterbangan dari alam bawah sadar terus nari-nari di dalam otaknya yang sempet kopong dan membentuk suatu kilas balik cerita di masa lalu.

First Kanaphan dan Khaotung Thanawat yang masih pake baju putih item kedodoran, gak lupa name tag segede gaban, mukanya penuh coret-coretan lagi tiduran di atas lapangan basket fakultas bareng temen-temen maba yang lain lagi garap tugas ospek buat besok hari. Hari itu udah capek, kedengeran takmir masjid besar kampus lagi ngaji, diikuti warna langit yang perlahan berganti, juga terik panas matahari yang bikin badan lengket seharian perlahan pergi.

Mereka berdua nyisih sendiri dari temen satu kelompok gak inget kenapa. Terus waktu adzan maghrib berkumandang, temen-temen pada bubar istirahat, mereka berdua malah rebahan di atas lapangan. Hawanya adem, semilir angin berhembus, mata sibuk ngitungin titik-titik di awan yang belom pasti bintang, sambil dengerin adzan.

“Capek banget sumpah. Kating kaga jelas anjir ngasih tugas gak pake otak!” First ngedumel pelan.

“Sstt... Udah ah dijalanin aja.” Khaotung buru-buru potong omongan First. Takut kedengeran kating panitia terus malah dijadiin bulan-bulanan selama ospek.

First hirup udara sore yang lewat di depan mukanya dalam, dihembuskan lagi dengan kasar. “Gak pengen ospek. Gak betah gua dibeniginiin selama seminggu. Pengen cepet kerja aja.”

Khaotung ketawa ngejek, sumpah temen barunya ini kocak banget jalan pikirannya. Baru aja masuk kuliah udah kepikiran kerja. “Emang mau kerja apasih?” Khaotung menimpali. Ikut aja alur obrolannya.

“Jadi artis. Jalur anak band keren kali yak. Hehe.” Dia jawab ga serius. “Kalo elu gimana?” First malah balik tanya. Suasananya tiba-tiba jadi serius bener.

“Hmm..” “Belom kepikiran.”

“Jadi artis jugalah biar ketemu gua terus. Abis itu bikin skandal.”

“Hush! Ngawur!”

First sama Khaotung ketawa atas obrolan spontan mereka sendiri. Tetapi jauh dalam pikiran masing-masing mereka mendoakan satu sama lain.

Mungkin ini jawaban atas doa serius yang disampaikan dulu. Mereka yang sama-sama bergelut di dunia hiburan. Mereka yang akan terus berusaha melakukan yang terbaik.


`hjkscripts.


Khaotung Point of View.

Menapaki satu persatu anak tangga sebenarnya bikin semangat makin turun. Dari ribuan pekerjaan yang aku alami selama menggeluti dunia entertainment, hari ini paling bikin males.

Kita especially aku, sebagai model memang sudah tugasnya pura-pura jadi seseorang. Jadi atlet untuk majalah life and health, jadi businessman untuk representasi dunia bisnis, jadi nelayan atau petani juga bisa. Tapi ini, kesannya terlalu gimmick banget.

Keran air aku matikan setelah sabun di tangan hilang semua. Melipir ke kamar mandi juga bukan inisiatif dan profesionalitas untuk siap-siap tampil di hadapan kamera, melainkan usaha dari ngulur waktu semata. Intinya tidak ada kesiapan, maunya batal aja. Apa sekalian gak usah keluar dari bilik kamar kecil. Menghilang aja gitu di telan bumi.

Namanya juga pikiran, lebih dari setengahnya ya berakhir jadi pikiran liar aja. Aku berakhir menarik satu dua helai tisu toilet untuk keringkan tetes air di tangan dengan malas. Meremas mereka jadi buntalan abstrak dan memasukkan dalam tong sampah hati-hati, mengambil hampir seluruh waktu yang biasanya dibutuhkan seseorang di dalam toilet umum. Mumpung sepi, mumpung sendiri.

Di luar, aku langsung disambut khalayak. Bukan mata-mata yang mandang dengan penuh kagum dan puja. Hanya mereka dengan berbagai intonasi suara juga gestur berbeda-beda. What a busy chaos day sampai lorong panjang yang muat dua tiga manusia keliatan sesak.

Ramai sibuk kayak gini, aku pun maklum. Dibanding lokasi runway fashion week atau pagelaran sederhana ini ga ada apa-apanya. Masalahnya adalah aku udah banyak kehilangan energi untuk datang dan harus jalan macem pinguin buat hindarin manusia sibuk ada aja sebelnya.

Bruk!!!

Tuhkan! Emang yang begini begini ada aja apesnya. Minimal nabrak atau malah ditabrak orang. Bersyukur aja gerakannya minimalis, badan bergeser sedikit ga sampai jatuh tersungkur yang pastinya bikin suasana berhenti saat itu juga.

“Sorry, sorry! Gak sengaja!” Penabrak inisiatif minta maaf dengan cepat. Terus, dia bertanggung jawab banget, ga langsung lari tapi mastiin lawannya baik.

Responnya sih yang bikin aku linglung, bergeming gitu aja merhatiin gimana after care terkesan berlebihan buat kasus kesenggol dikit doang. Si penabrak ini cowok, jangkung, kira-kira sekitar sepuluh centi dari aku. Postur badannya pas, ga terlalu kurus, ga berisi juga. Parfumnya sih, ikut berperan penting.

Well... anywayă…ˇ

“Gak apa kan ya?” Tanya cowok itu setelah badan pendekku main diputer kanan kiri. Kemeja kasual yang aku pakai dikebas kecil biar ga ada kotoran yang nempel soalnya cowok itu bawa kopi cup.

“Ohㅡ” Aku masih bingung. Baru balik dari kesadaran. “I'm fine.” Lanjutku singkat.

Dan detik itu jadi detik pertama dua pasang mata milik kita ada di satu garis lurus. Saling memandang dengan miliknya yang khawatir dan milikku sendiri yang bergerak canggung.

Pada detik kelima muncul situasi tenang, nyaman, dan yang pasti lebih waras dari sebelumnya untuk kita berdua saling berbagi memori atas paras masing-masing. Senyum malu milikku dibalas senyum ragu dari wajahnya.

Ragu? Kenapa ya? Tepat detik ketujuh, detik akhirnya otak cukup punya waktu untuk bekerja, mereka mengeluarkan memori samar yang membuat perasaan meluncurkan perasaan familiar.

Hanya saja sebelum menatap parasnya lebih intens, aku memilih untuk memutus pandang terhadap milik dia, melayangkan senyum kecil sekali lagi, dan berlalu ke arah yang berbeda meninggalkan dia beserta tanda tanya.

“Siapa sih?” Dari mata proses di otak, dari memori turun ke hati aku bertanya-tanya. Perasaan ini tuh bukan yang menggelitik, tapi lebih ke ada orang yang mukul dada sampai punya deg, sebesar itu.

“Khaotung!” Namaku dipanggil dari arah yang baru aku tinggalkan. Terus kedengeran suara sepatu bergesekan sama lantai berat. Kayak orang ini jalan cepet-cepet.

“Khaotung kan ya?” Lengan tanganku dicekal tanpa permisi bikin aku mau ga mau berhenti dan berbalik. “Iya! Bener Khaotung!” Cowok itu, cowok yang masih sama tapi kali ini dia ga lagi asing.

Aku diam, bikin dia agak kecewa. Padahal setelah suaranya berdengung menyebut namaku, saat itu pula aku akhirnya tau siapa dia. Aku ingat suara itu, aku ingat cowok satu ini.

“Ini gua, First Kanaphan! Masa lupa sih?” Katanya. Nadanya semangat terkesan nuntut aku harus inget dia, kayak aku adalah orang yang pengen banget dia temuin setelah sekian lama.

Aku akhirnya nyerah main sok hard to get. Aku menggeleng, lalu senyum lebih lebar dari sebelumnya. “Iya! Inget kok First Kanaphan.” Balasku.

“Emang siapa? Huh?” Dia goda pakai nada bercanda. Ga percaya kalau aku beneran inget betul dia siapa.

“First Kanaphan ketemu waktu ospek kampus, ternyata dia anak satu fakultas. Satu kelompok lagi pas ospek fakultas.” Aku menjelaskan dengan diakhiri nada bangga. Terkekeh ketika lihat dia senyum makin sumringah.

“Bener.”

Siapa sih yang gak kenal dia? First Kanaphan. Setidaknya satu fakultas. Anak jurusan periklanan kreatif yang jasanya tersohor satu kampus. Pokoknya jam terbangnya tinggi, sering diajak bikin konten iklan edukasi dari tingkat prodi sampai kampus. Mana anaknya aktif juga kegiatan band kampus.

Terakhir, setelah kegiatan perkuliahan mangikis semangat bersosialisasi tiap individu. Berita tentang First Kanaphan yang aku denger adalah dia yang mulai merintis karir entertainment lewat satu agensi kecil dan debut jadi anak band. Namun, itu semua ga berakhir mulus kayak jalan ceritanya semasa kuliah dan band yang dia coba bangun harus bubar.

First Kanaphan ya... hal yang paling bikin aku hangat ketika setelah sekian tahun ketemu lagi sama sosoknya adalah senyumnya. Masih selebar waktu dulu dan juga memori tentang kita berdua bersama mimpi-mimpi besar yang sedang kita usahakan jalan ceritnnya.

Akulah si sempit Khaotung Thanawat yang kala itu tanpa malu membeberkan seluruh angan pada sosok seluas First Kanaphan. Kita berdua yang tertawa geli sembari melontarkan kata-kata semangat pada usaha satu sama lain. Juga, kita berdua yang berakhir saling mendoakan jalan masing-masing.

Cerita ini, kita yang tengah berdiri didesak hiruk pikuk kehidupan yang masih berjalan di atas angan bersama doa-doa yang masih menyertai.


`hjkscripts.


Kita yang berusaha berdiri tegap menghadap ratusan kilat menyambar. Dua pasang mata hanya sanggup menatap datar. Minim ekspresi seolah itu tak membuat jantung lebih cepat berdebar. Setenang mungkin tubuh meskipun dalamnya amat bergetar.

Kita yang dipersilahkan duduk dan menyapa ratusan gemuruh menggelegar. Dua pasang telinga hanya sanggup menerima dengar. Tersenyum kecil seolah itu tak membuat amarahku mulai terbakar. Sedamai mungkin tubuh meskipun dalamnya ingin melawan bagaimana pendekar.

Kita yang diam ditimpa luruh hujan. Basah kuyup kain yang dikenakan. Payung pun dimintai pertolongan juga enggan. Meneduh pula diusir sana sini oleh sang tuan. Beginilah penampakan manusia yang paling bersalah dihadapan Tuhan.

Kita yang bersimpuh pasrah terhadap badai. Terhempas bebas terbawa angin ramai. Hancur pula pondasi yang hanya tersusun dari rangka dan harga diri. Tercecer berantakan di lantai alas permadani.

Sekali lagi, beginilah penampakan manusia yang ingin mencinta dan dicintai.

“Terima kasih kepada rekan-rekan media yang telah datang pada pers conference hari ini. Sebelumnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang dirugikan oleh berita yang beredar di media sosial belakangan ini.”

“Namun, ijinkan saya Khaotung Thanawat dan partner saya First Kanaphan di samping saya ini, menjelaskan sedikit hal agar tidak menjadi salah paham di masa depan.”

Maka cerita kami dimulai dari sini...


`hjkscripts.


Wei Zhiyuan Point of View.

Dimana senyum yang jarang nampak itu? Jangankan tersenyum, merengut saja kamu menawan luar biasa. Dimana suara ocehan yang tak terdengar lagi? Jangankan mengoceh, helaan nafas kecewa milikmu aku rindu tiada tara.

Jahatnya kamu sembunyikan semuanya dari aku. Kamu rampas milikku yang berharga. Jahatnya kamu membiarkan aku merana sendiri. Sedangkan kamu, entah apa yang membuat kamu lebih memilih berada di sana daripada aku yang selalu di sampingmu.

Wei Qian milikku, lelah ya menghadapi duniamu? Bahagia tak sempat disuguhkan terus sengsara. Merana ya menghadapi duniamu? Gembira tak datang diberi terus luka.

Sehingga besar seluruh cinta yang aku miliki tidak cukup untuk membuatmu bertahan.

Wei Qian pusat hidupku, maaf usahaku belum sebanyak apa yang telah kamu beri untukku. Kasih sayangku belum bisa membayar yang telah kamu limpahkan untukku si anak terlantar. Gigihnya aku belum sekuat kamu yang mengusahakan hidupku layak hingga detik ini.

Bahkan detik dimana kamu pergi dari dunia sengsara ini, berdiri melihat damai kelopak indah itu tertutup untuk selamanya aku merasa nyaman.

Wei Qian kasihku, deritamu terbayar sudah. Aku dan Lili dewasa di atas dua kaki kita sendiri. Kamu hebat hidup tertatih, berlumur keringat dan darah. Hingga sakit yang sering tak kau ingin rasa membawamu pergi ikut bersama.

Wei Qian cintaku, sesuai janji kala malam kita bergelung untuk yang terakhir kali. Aku ikhlas apapun yang terjadi. Biarkan aku bersedih sejenak sebelum kembali pada kenyataan bahwa kamu sudah tak berada di dunia yang sama denganku lagi. Aku akan berjalan sendiri di dunia yang semakin kejam nanti.

Aku ikhlas apapun yang terjadi. Karena mungkin hanya itu yang tersisa dari usahaku untuk membuatmu bahagia di sana.

Jika suatu hari nanti kita bisa berjumpa kembali. Aku harap dapat melihat tawamu yang muncul, menyambut tubuhku hangat dalam dekapanmu.


`hjkscripts.


TRIGGER WARNING ; SENSUAL CONTENT 🔞

Mereka adalah kawula putus urat malu yang tengah bercumbu di malam minggu.

Dia adalah si jangkung dengan selera jadul. Turun dari tunggangan tersayang sembari dilepas yang jadi pelindung. Mengaca dia membenarkan rambut dengan sedikit jambul juga bersiul. Muncul senyum menawan, siapa gerangan si lelaki ganteng.

Lihatlah dia berjalan, menyusuri rumput dedaunan dengan dua kaki panjang. Ada aura menyenangkan yang terus mengikuti tiap langkah seringan kapas awan. Dia yang bersenandung lagu kesukaannya kala gembira. Berhenti lantunannya berganti pasang mata berbinar.

Sosok yang berdiri tepat satu garis lurus dari arah pandangnya nampak bersinar. Padahal wajahnya tengah datar, bibirnya sesekali terbuka hanya berisi helaan nafas bosan. Dia yang gesturnya entah sedang apa. Tangannya bergerak di atas gawai dengan pandangan kosong.

Berbenah dia, lalu lanjut melangkah. Sampailah dia bersama bibirnya yang merekah. Bergeming dirinya di depan meja sana. Menunggu perhatian sosok seorang pria dihadapannya. Kala tak dapat maksudnya, jahil perangainya mulai terbuka. Disentil kecil bel berbunyi nyaring. Kaget sang pemilik hingga terperanjat badannya mungil. Kelakar renyah menguar sebab puas dia berhasil.

“Sand!!!” Nadanya merengek tak terima. Tak lupa didorong sedikit tubuh jangkung menjauh dari meja. Lihat itu bibirnya maju hasil ulahnya.

“Gimana mau dapet duit banyak, gak becus gini orang resepsionisnya.” Godanya lagi dengan kalimat mengejek. Aduh! Makin merengut itu wajahnya.

Dia diam menanggapi, dongkol sebenarnya. Sudahlah suasana hatinya buruk sejak ditinggal teman jaganya di malam hari, dikerjai pula sama kekasihnya yang tiba-tiba muncul.

“Oh-” Si lelaki kini menghentikan kegiatannya menata meja dari tumpukan kertas kosong berisi coretan gak jelas. “Lah lo ngapain kesini?” Tanyanya bingung.

Sand akhirnya dapat menangkap dua pasang manik sendu yang tengah membulat. Dia tersenyum lebih ke menyeringai sembari menaik turunkan alisnya.

“Apasih? Ga jelas banget.” Dia melanjutkan kembali kegiatannya.

Sand itu memang gak tau kita jalan pikirnya. Lelaki itu harusnya tengah terlentang menikmati kasur seorang diri. Semenjak dirinya memutuskan untuk tak membagi rumah sewanya dengan siapapun dan keluar dari pekerjaan ilegalnya, semakin jarang pula intensitas keberadaan dirinya di dalam rumah. Sand saat ini hidup bergantung hanya dari satu pekerjaan dan itu karena dia yang tiba-tiba terlintas wajah memohonnya ketika matanya hampir terpejam hilang di alam seberang.

Dia benar dia yang dihadapannya kini biasa dipanggil Ray. Dia benar dia yang dihadapannya kini si pemilik wajah teduh serta sendu. Dia benar dia yang dihadapannya kini lelaki tak diundang, tiba-tiba datang memberantakkan kasur dan juga hatinya. Betul dia benar dia yang dihadapannya kini adalah kekasihnya.

Ray kasihnya ini adalah terburuk dari semua manusia yang datang dan pergi semasa hidupnya. Ekspresi teduh dan sendunya bukan sebab dia memang ditakdirkan begitu melainkan hasil carut marut dunia miliknya. Wajah yang brengseknya sedang Sand puja ini akumulasi dari narkotika candu dan miras yang menggebu. Bibir merah muda basah membara itu Sand dapat membayangkan manis nikotin bercampur pahit ekstasi hingga detik kemudian membuatnya mabuk kepayang.

“Ray...” Sebut namanya. “Hmm?” Kedua pasang mata kini kembali bersitatap. “Ray...” Dia menelan ludah. Ekspresinya mulai panik akibat ulah imajinasi kotor saat tengah menyanjung paras kekasih dalam hati.

“Kamu sudah makan?” Semakin bingung yang diajak komunikasi sebab bahasa tuturnya mulai berantakan. Ray menggeleng pelan meskipun begitu.

“Ayo makan. Kita makan sama-sama.”


Gila lelaki ini yang menutup pintu dengan terburu. Sinting lelaki ini bersama nafas yang memburu. Edan lelaki ini yang mendorong kekasihnya terhimpit daun pintu. Mana akal lelaki ini yang bibirnya bergerak maju mengajak yang lain bercumbu.

Dia yang mendefinisikan makan sebagai permainan birahi. Dia yang jemari panjangnya tak punya kata berhenti kala tengah menggerayangi. Dia yang sebagian sadarnya hilang antara realita dan mimpi. Juga dia yang semakin asik mengecap seluruh tubuh kekasihnya tanpa tertinggal satu sisi.

Malam ini, di dalam kamar yang keduanya tak yakin kedap suara pula terkunci. Terhempas dua tubuh yang hampir tersisa raga kotor dibalut hanya kulit bukan helai baju sendiri. Di atas tilam amburadul yang masih tersisa bekas bercak aneh dan bau pergaulan bebas yang membuatnya kesal hari ini. Namun kini, semua itu mereka anggap sebagai motivasi untuk memenangkan sebuah kompetisi, siapa yang paling hebat dalam hal mengintepretasikan buku kama sutra kini.

Ahhh... Sand-

Kurang ajar betul kawula muda, meninggalkan tanggung jawab demi kenikmatan duniawi. Mendesah liar saling menyerukan nama agar seluruh penghuni alam tahu betapa hebat pasangannya kini menghancurkan titik lemahnya. Mereka yang tenggelam dalam peluh dan cairan mani. Matanya terpejam menghayati tiap sensasi darah berdesir kala dikecup perutnya, membuyarkan ribuan kupu-kupu di dalam sana.

Hilang waras kawula muda, tertawa mereka di atas hiruk pikuk kacau kota sedang mereka saling berbagi liur suka cita bersama suara penuh gelora cinta. Tak ada ruang bagi udara untuk mengisi kekosongan dalam jiwa penuh membuncah. Panas suasana kala kulit semakin berhimpit, menciptakan tegang si pemeran utama dalam penampilan liar di atas panggung birahi. Masuk dia dalam lubang sempit penuh kebebasan, bergerak berlahan melepaskan lantunan merdu dari bibir kacau sang pemilik.

Kurang ajar dan hilang waras kawula muda, mereka yang tak terhalang apa-apa. Dua bibirnya saling sahut, meracau kalimat-kalimat tak akan pernah terselesaikan. Kata-kata penuh puja demi semakin merangsang hasrat. Diiring bunyi kecipak dan tepuk tangan antar senggama, juga nafas berantakan, dua manusia hampir sampai puncaknya.

Ahhh... Hahhh... Hnng...

“Ray, I'm gonna fulfill your slut hole!” “Fill me. Fill me you fucking jerk.”

Hilang sudah ritme yang dijaga. Bersama basah tubuh juga melayang jiwa. Mereka yang tengah saling menghentak penuh ambisi. Mereka yang tengah berhenti sejenak menyapa nirwana, menikmati bagaimana hangat lelehan sperma. Terakhir, mereka yang tengah terjatuh kembali menuju tanah bumi penuh noda, berikan satu dua kecup sebagai bentuk apresiasi akan permainan hebat pada malam ini, sebelum lelah tubuh membawa mereka pergi menuju alam mimpi.


`hjkscripts.


Viscount Point of View

Kali ini aja biarkan gue membenci Nicholas. Nicholas itu gue gak bisa berkata-kata lagi, dari kacamata gue maupun seluruh orang juga setuju bahwa kesempurnaan ada pada dirinya. Gue gak menyangkal soalnya gue sendiri bisa mengerti.

Gue gak apa menjadi saksi bagaimana seluruh insan di bumi memuji Nicholas dari berbagai sisi tapi buat kali ini tolong izinkan gue menjadi haters Nicholas buat sementara.

Nicholas, gue gak suka sama lo. Fakta lo yang tumbuh jadi jauh lebih dewasa daripada gue. Gue gak suka gimana lo merasa punya tanggung jawab atas gue meskipun, mungkin lo begitu karena dididik papa sedemikian rupa. Gue gak suka lo selalu punya cara buat kontrol gue, hidup gue, dan gue benci denger kata-kata bijak dari mulut lo.

Tapi Nicholas, lo tau apalagi yang paling gue benci? Iya, gue benci berantem sama lo. Gue gak suka ada masalah yang bisa memisahkan kita kayak gini. Gue sadar ini bukan lo yang menjauh tapi gue yang butuh ruang lebih. Dan gue juga benci akan fakta semua yang keluar dari mulut lo benar adanya.

Anne sebenarnya gak suka sama gue tapi sama lo dan gue hanya sebagai jembatan. Gue marah sama fakta satu itu sebab kesempatan ini gak dateng berkali-kali bagi anak kayak gue.

Seluruh manusia pasti punya cinta monyetnya sendiri dan gue juga mau merasakan. I want to experience too.

Ini bukan tentang siapa tapi tentang gue yang terlalu bernafsu. Gue gak peduli dengan siapa tapi yang ada saat ini cuma Anne. Maka dari itu gue marah, sebab cuma Anne harapan gue untuk menjadi remaja penggemar cinta-cintaan pada umumnya. Cuma Anne dan ternyata bukan Anne juga orangnya.

Gue buta, gue menepis fakta yang harusnya berhasil menampar pipi gue berkali-kali biar sadar. Woy Viscount, gak ada pilihan satupun buat lo! Tetapi Viscount ini penuh ambisi.

Gak ada yang bisa bikin gue berhenti, sampai Nicholas menyeret gue naik mobil, ngebut banget gak peduliin papa yang teriak coba berhentiin mobil yang udah melaju begitu cepat membelah jalanan.

Dan fakta yang sudah ada, gue biarkan terus menampar pipi hingga kemerahan semakin ditambah berubah menjadi tali cambuk yang siap dihentakkan. Tali cambuk itu akhirnya melayang tepat ke arah punggung gue, melukai juga membangunkan diri ini yang jatuh terlalu dalam di lubang penuh mantra cinta. Bersamaan suaranya yang menggelegar dan serangan rasa sakit yang langsung terasa bersamaan gue akhirnya sadar bahwa cinta monyet ini gak bisa diteruskan.

Bukan dia, bukan juga dia buat Nicholas. Tapi tetep rasa sakitnya bikin lumayan gila sampai mau muntah lihat Anne dan cowok yang gue gak kenal lagi ciuman mesra di pinggir jalanan kota.

“Gue mau pulang.”


Gue memutuskan berlari setelah turun dari mobil. Berlari tanpa henti dan menepi di depan danau kecil.

Tempat ini danau kecil yang biasa gue sama Nicholas buat berenang waktu kecil dan tempat ini juga bersama kesunyiannya gue biasa menemukan Nicholas dengan berbagai pikiran.

Gue berdiam, gak sama sekali nangis meskipun dada rasanya mau meledak. Gue hanya duduk di tepi, menatap air yang masih jernih nanar sehingga refleksi paras gue tergambar dengan baik bak berkaca. Setelah itu, tupai atau kucing liar hutan akan mencoba mendekat, mencari perhatian dan berharap diberi sisa makanan.

Tapi kayaknya dunia emang lagi gak berpihak sama kesedihan gue. Kayak mereka lagi seneng-seneng dan gue merana sendirian. Bahkan gak ada satupun binatang liar yang mau deket, sekedar nemenin manusia satu ini.

Ternyata ya dunia gak sejahat itu, sebab doa gue dikabulkan. Butuh temen kan? Nih gue hadirkan sosok temen yang paling pengertian. Dan munculah Nicholas di sana.

Tolong, gue masih gak suka sama Nicholas apalagi waktu dia memutuskan duduk di samping gue. Gue benci karena dia gak cuma duduk tapi menarik tubuh gue dalam miliknya. Dia dan tangannya yang begitu lembut memaksa kepala gue jatuh di atas pundak kokohnya. Lagi-lagi gue benci karena dia melayangkan satu kecupan di atas kepala gue.

Gue benci sebab keberadaan Nicholas selalu membuat gue dengan gamblang menunjukkan sisi paling lemah dalam diri.

Gue menangis, sedih, kecewa, marah, bercampur lega sebab semua emosi sedikit demi sedikit dilepaskan. Tangisan gue semakin kencang dan pilu mengingat gak ada yang perlu gue takutkan selama tangan lembut ini masih membelai bahu gue yang terus bergetar. Gak ada yang perlu gue takutkan selama bibir miliknya ini terus membisikkan kalimat penenang. Gue juga gak perlu malu kelemahan gue dijadikan tontonan atau suara merana dari raungan nestapa ini didengarkan khalayak luas.

Biarkan kegagalan pasal romansa ini menjadi rahasia antara gue, Nicholas, dan Alam.


`hjkscripts.


Henry Point of View.

Selamat pagi dari Texas dimana sebagian dunia empat musim udara masih dingin, tapi kalau disini lebih banyak panas yet still bearable at least. Aku bisa melihat matahari bersinar menerangi bumi kapanpun sebab lingkungan terbuka disini definisi terbuka tanpa dilindungi pohon-pohon besar. Tempat nyaman berteduh dari panas hanya atap rumah.

Sekarang aku paham darimana suamiku bisa dapat kulit tan seindah itu. He's burning, fresh from the oven. Well i love him anyway, more while he dominate me and ruin me over and over untill we reached Himalaya.

But guys, look kita tidak tiba di Austin hanya untuk mencari suasana baru atau tempat baru untuk membangkitkan nafsu birahi. Namun kita sampai disini untuk mempertemukan yang sudah lama menanti. Dua orang tua dan dua cucunya yang datangnya sudah lama diharapkan sejak kemarin hari.

Pagi kedua di Texas, pagi kedua juga aku harus memaksakan tubuhku bangun meskipun diikuti rasa sakit sana sini. Salahkan lelaki gila dengan penis tidak beradab yang bodohnya luar biasa, menganggap rumah besar ini hanya milik berdua. Dia yang tengah tertawa, duduk santai di pekarangan belakang dengan ayahnya dan morning coffee-nya.

Rasanya pengen aku pukul sampai dia minta ampun. Tetapi, mengingat sekarang lagi di rumah mom dan dad harus diurungkan niat buruk sejenak. Apalagi badan capek ini harus bergerak cepat memindahkan sarapan dari alat masak ke piring saji dan menghidangkan di meja makan dimana sudah ditunggu oleh beberapa penghuni rumah.

“Breakfast ready!!!” Aku sedikit meninggikan suara agar yang tengah berbincang di luar segera ikut bergabung untuk sarapan yang sepertinya tidak dihiraukan entah seberapa penting pembahasan pagi dua alpha dewasa.

Aku duduk setelah menghidangkan masing-masing piring berisi full breakfast pada mom dan anak-anak yang sejak tadi menunggu di meja makan.

“Thank you, honey. That is so sweet of you.” Mom tersenyum hangat. Beberapa kali memuji hidangan sederhana yang kubuat.

“Henry, sweetheart maaf gara-gara mom kalian jadi batal honeymoon ke Greece.”

“Alex cerita ke mom ya?” Ellen mengangguk. Henry tersenyum maklum. “Henry sebenarnya juga bingung kok waktu Alex bilang dia bisa ambil cuti. Greece atau Texas, dua duanya Henry belum pernah datang. Di Greece Henry hanya jadi turis asing, tapi di Texas Henry punya keluarga. Mom dan dad seneng, anak-anak juga seneng, apalagi Henry sama Alex. This is honeymoon that i've been dreaming of.” Aku melanjutkan.

Memang benar dasarnya bulan madu bukan tentang tempat tapi bagaimana kita membuat banyak-banyak memori bahagia untuk dikenang selamanya.

“Mom bersyukur sekali kamu jodoh yang tepat untuk anak mom. Lebih lagi mom masih hidup, jadi bisa menyambut kalian di rumah mom ini.”

“Mom masih bisa ketemu Henry sama cucu-cucu mom bahkan berpuluh-puluh tahun kedepan asal selalu minum obat dan cek kesehatan.”

“Iya, kalau begini kan mom jadi semangat mau cek bulanan.”

Kita tertawa akan manis dunia juga dari alami gula. Memasukkan satu persatu potong pancake dalam mulut dengan obrolan seringan awan. Hingga aku berdiri juga mom yang berjalan beriringan menuju wastafel untuk meletakkan piring yang nampak bersih seolah belum dipakai sebab habis tak bersisa hidangan di atasnya.

Aku berdiri menetap, ingin membereskan lebih dahulu perkakas kotor sebelum melanjutkan kegiatan lain. Sedangkan mom hanya berdiam di samping mengamati dengan seksama bagaimana ragaku bergerak.

“Henry sayang?” Panggilnya.

Aku meletakkan piring bersih terakhir, mencuci tangan sebelum mematikan keran wastafel dan mengusap dua tangan dengan serbet kering.

“Ya, mom?” Jawabku memperhatikan beliau.

“Ada yang sebenarnya ingin sekali mom tanyakan ke kamu tapi selalu ragu.” Beliau mengusap lenganku lembut, wajahnya terpancar ekpresi khawatir.

“Ada apa?”

“Have your husband tells you about he was taking vasectomy before? I mean, Henry your husband have good intention andㅡ”

“Mom, gak ada yang Henry gak tahu tentang Alex maupun sebaliknya. Alex sudah cerita ke Henry waktu akhirnya kita ketemu lagi dan Henry malah terharu dengernya.”

“Suami kamu cuma laki-laki biasa. Dia hampir gila di tahun-tahun pertama kalian berpisah. Setiap hari keluar masuk tempat minum. Namun dalam hatinya dia takut berbuat kesalahan lagi, dia takut menyakiti kalian, dia sadar jauh disana ada kamu dan anak-anaknya. He was taking it for good. He believe in you but he was too reckless for himself.”

“Mom, I get him. I'm proud of him and i will always love him just the way he is.”


Author Point of View.

“Ini foto dad kamu waktu grandma pertama kali ikut pemilu. Masih polos, dia baru lulus sekolah menengah akhir waktu itu.”

Viscount selalu terkekeh geli setiap lembar-lembar kehidupan tentang dadnya dibuka satu persatu. Berbeda dari milik papanya yang terkesan sangat sakral dan kaku, buku kenangan masa lalu milik Alex lebih fleksibel seperti buku kenangan pada umumnya.

Pesta ulang tahun sederhana hanya dikerubungi ayah dan ibu. Pesta perayaan keberhasilan yang diambil dengan baju seadanya tapi dengan senyum luar biasa sempurna.

“Dad dulu kenapa keliatan anak nakal banget.” Celetuk Viscount membuahkan kelakar dari neneknya.

“He was indeed. Dad kamu itu nakal sampai grandpa sama grandma pusing sama kelakuannya.”

“Mirip banget dong sama papa aku. Papa juga sering bilang gak tau lah dek papa pusing sama kamu soalnya aku nakal.” Balasnya. “Ternyata sekarang aku tau, aku nakal turunannya siapa.” Lanjutnya.

“Oh, keluarga kita gak akan semeriah ini tanpa anak seperti kamu sayang.” Ellen memeluk cucunya gemas, memberikan serangan ciuman hingga cucunya menggeliat geli.

Yang basah dan berkeringat akhirnya datang menghampiri. Mereka duduk di bangku seberang yang kosong dengan napas tak beraturan apalagi yang jauh lebih tua.

“Hufft! Anak remaja ini tenaganya luar biasa.”

“Hei, kenapa kamu gak ikut main sama grandpa dan kakak?”

“Enggak ah, grandpa kan aku gak boleh capek. Nanti kalau kambuh dimarahin sama papa. Katanya rumah sakit jauh.” Jawab yang paling kecil.

Di rumah seluas ini penghuninya hanya tinggal empat sebab dua orang dewasa lainnya berhasil diusir sejak pagi dari dalam rumah. Yah, setidaknya satu hari benar-benar terasa seperti liburan bulan madu bagi mereka. Jika tidak begitu, mereka berdua akan terus memikirkan kesehatan orang tua dan kesenangan anak-anaknya saja.

Itupun sangat sulit membuat mereka pergi berdua. Takut merepotkan lah mom dan dad lah, takut anak-anaknya nakal lah. Dua orang itu benar-benar diusir dengan ancaman kekanakan yang dibuat oleh Ellen sehingga akhirnya menurut. Jadilah tersisa kakek nenek dan dua cucunya.

Semakin lama menghabiskan waktu, Oscar dan Ellen semakin yakin bahwa mereka anak-anak Alex dan Henry. Nicholas secara fisik luar nampak sangat Henry tetapi banyak menuruni perangai Alex. Viscount dengan senyum tengil dan cara bicara nakal seperti Alex tetapi dalamnya serapuh Henry. Alex dan Henry membuat mereka seolah bukan tidak sengaja tetapi sudah diperhitungkan dengan matang.

“Grandpa bersyukur kalian dengan dewasa mau menerima kehadiran anak Granpa dan Grandma satu-satunya.” Oscar membelai satu persatu rambut cucu-cucunya.

“He was very convincing terus papa sama dad kayak lega akhirnya bisa ketemu satu sama lain. Meskipun dad yang memilih mereka harus berpisah, tapi papa gak ada sedikit pun dendam. Jadi, apalagi yang membuat kita harus benci sama dad.” Nicholas yang pertama meyakinkan bahwa semua penderitaan dan kekhawatiran sudah berakhir. Tidak boleh ada yang mengganjal di hati, biarlah yang sudah terjadi berlalu begitu saja.

Viscount mengangguk setuju, “Dad tuh dad yang paling baik. Dia tegas tapi gampang lunaknya. Dia kadang nyebelin sih tapi dia seru juga. Pokoknya aku seneng punya dad sama papa.”

Ya sudah memang hari buruk mereka telah berlalu. Tidak ada lagi sengsara hanya tinggal menjalani saja yang ada di depan selanjutnya. Setidaknya, mereka sekarang bersama sebagai keluarga besar bukan bercerai berai seperti dahulu.


`hjkscripts.


Lihatlah mereka adalah keluarga. Harmonisnya terasa sampai relung jiwa. Dua dewasa yang tengah duduk di atas bangku menatap bangga. Melihat dua putra yang tengah bermain dengan kebebasan tiada tara.

Lihatlah mereka adalah keluarga. Nampak sempurna hanya dengan ditatap dengan mata. Saling melengkapi akan kekurangan masing-masing sifat manusia. Bagaimana bisa membentuknya begitu tanpa cela?

Lihatlah mereka adalah keluarga. Utuhnya mereka dapatkan dengan korban darah dan jutaan air mata. Begitu banyak duka dan pesakitan sebelum dinyatakan lolos menuju fase bahagia. Mereka orang-orang hebat yang berhasil menempuh berbagai ujian dengan berbagai harapan dan doa.

Terakhir lihatlah mereka adalah keluarga. Mereka yang tengah berbagi afeksi tanpa takut akan kejam dunia. Sebab mereka ini insan-insani percaya akan kekuatan cinta. Kacau bumi akan terasa seperti melewati permainan ektrem pada taman bermain, asal mereka tetap bersama, saling menggenggam dan menguatan satu sama lain mereka akan baik-baik saja.

Terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas begitu banyak kesempatan sehingga mereka yang disebut keluarga bisa berjalan berdampingan sembari bercerita masa duka dengan lapang dada.

Terima kasih juga kepada para pembaca yang terus memberikan kesan dan pesan menarik atas perjalanan kisah mereka. Mari kita menghatarkan satu kalimat terakhir untuk melepas keluarga ini bebas hidup dalam dunianya.

Kepada Alex, Henry, Nicholas, dan Viscount sampai jumpa.


`hjkscripts.