seperti doa yang jadi nyata.
TRIGGER WARNING ; Manipulatif behavior, rape 🔞
Khaotung Point of View.
Ternyata dia itu cowok. Jangkung, atletis, potongan rambutnya cepak, juga cara berpakaiannya yang nunjukkin dia orang berada. Parfum mahal, kenal banget baunya, soalnya di rumah kayaknya ada masuk koleksi. Kemeja warna soft pink ketat membentuk badan sampai otot-ototnya, celana pun gitu, cuma berhenti di atas mata kaki bersambung dengan sepatu kulit warna hitam mengkilap. Oh iya, jangan lupa dia jinjing pouch channel yang aku tebak isinya ipad lengkap aksesorisnya.
Pertama kali aku menyadari ini orangnya, ada banyak good first impression di kepala. Suka sama senyumnya yang adem. Makin deket jarak kita makin lebar sampai nampak gigi putih sejajar rapih. Wajahnya putih mulus, nilai tambahan soalnya aku suka orang yang jaga penampilannya.
Gestur tubuhnya lembut, ga kaku atau awkward. Antara dia kerja orang Human Resources atau Marketing. Kita ngalir aja, jabat tangan, terus duduk, dan mulai bangun percakapan. Dia ini ga pernah abis topik, pinter mancing obrolan juga jadi kita berdua jarang diem dieman. Diem sebentar buat minum terus ada lagi topik yang muncul. Mana orangnya bikin nyaman, ngobrolnya sesuatu yang intimate hanya saja ga kelebihan batas. Orang ini ngorek apapun dari aku tanpa perlu meminta persetujuan tapi aku dengan ikhlas memperkenalkan diri lebih lanjut.
Benerkan, kerjaannya mostly jadi marketing salah satu corporate. Lumayan besar, kantornya ga jauh dari tempat ketemuan. Pantesan dia tuh pinter bikin nyaman, dengerin semua tentang dia kayak dia ini adalah produk bernilai jual tinggi, high value. Apapun yang dia pamerin malah bikin orang melongo bukan ilfeel. Berkarisma, berwibawa, pinter banget bawa diri. Nilai lebihnya lagi, dia tuh tau kapan waktunya dia, kapan waktunya kita yang ngobrol. Ga pernah kita ditinggal jauh jadi nyambung, bersusun, ga berantakan.
Parah sih, salah tingkah mulu. Kayaknya ya pipi udah merah. Gimana ga ya, tiap kali giliran ngobrol dia diem, meskipun begitu antusiasmenya ada. Dia dengerin kita, sambil sorot matanya lurus kunci punya kita, sembari otaknya bikin rangkuman dan mikir harus ditanggapi bagaimana.
Pertemuan malam ini atas dasar tekad dan gila. Makin menggila kala dingin yang menggelitik kulit-kulit tanpa pelindung diusir paksa oleh telapak hangat. Dia pegang tanganku, diremas pelan. Aku ga berjingkat, berarti sistem pertahanan tubuh belum mencium bau-bau ketidaknyamanan. Dan aku seperti dihipnotis, perut geli menggelitik, dan dada sesak akibat akumulasi rasa menyenangkan ingin dilontarkan semua.
Pikiran serta harapan liar sekelebat muncul. Kalau akhirnya aku jatuh cinta di tengah persetujuan yang berjalan di antara kita, aku ga apa. Aku ga apa kalau dia orangnya.
Maka kita berakhir di kamar hotel, duduk berdampingan di atas kasur empuk. Masih bercengkrama, masih dengan tawa, tanpa ada rasa curiga.
Aku ga tau gimana bisa kita yang semula duduk berhadapan di meja kafe, ada sekat di antara kita menjadi di atas kasur hotel, tanpa sekat, hanya sejengkal jarak. Perasaan nyaman yang muncul membuat afeksi fisik kecil yang dia berikan tak menganggu sama sekali. Aku malah tersipu, kayak orang gila baru tau cinta.
Debaran jantung semakin ga karuan, apalagi telinga diperdendangkan pujian pujian. Aku cantik, aku manis, aku ganteng, aku hebat, aku luar biasa. Manis betul suara yang keluar, hingga kepala pusing kepayang. Terlalu banyak yang aku terima, terlalu berat beban yang aku pikul, sampai otak ini ga mampu buat berpikir.
Intinya di kepala cuma berdengung suaranya. Mata hanya memandang tiap gestur tubuhnya. Hidung menghirup bau tubuh yang pekat tercium dari dekat. Juga telinga yang menangkap hanya nafas teraturnya.
Aku mendadak tolol, malfungsi semua hati sama otak udah ga sinkron. Ga ada penolakan, ga ada gerakan defensif. Akhirnya badanku apa adanya, didorong lembut terbaring di atas kasur, pasrah.
Dia di atasku bersama senyumnya yang masih teduh, menenangkan. Dia juga membelai setiap helai rambutku, pipiku, tak luput bibirku yang sedikit terbuka. Ditarik gemas, dia terkekeh. Aku menunjukkan pergerakan ga nyaman, namun dia dengan cepat melantunkan kata-kata bahwa apa yang akan dia lakukan ga berbahaya, under control, dan baik-baik aja.
Dia ga suka aku yang mulai merengut, maka jemarinya mengusap kerutan di dahi. Napasnya berat, terasa menyapu kulit di pipi. Debaran jantungnya berantakan. Ekspresinya ini berubah, dari lelaki penuh wibawa jadi hewan liar hilang kewarasan. Hanya ada nafsu, birahi memuncak. Aku ini cuma mangsa yang tiap hari dia cari untuk disantap demi menyeimbangkan hidupnya.
Dia itu bukan lelaki berkarisma, melainkan biadab kurang ajar. Wajah tampan hanya topeng, suara lembut sebagi penopang, dan tubuh gagah sebagai tameng.
Aku bergerak ketika waras kembali, otak mati telah berfungsi mendengarkan teriakan hati nurasi. Aku harus berdiri, melawan tubuhnya yang makin liar dikuasai birahi. Dia yang mulai pakai emosi, bukan manusia berhati-hati.
Ada gerakan kasar akumulasi dari frustasi. Ada amarah sebab mangsanya tak lagi menuruti. Sebelum tubuhku mulai dijamah kembali, aku berontak menguatkan diri. Menendang entah apa yang penting detik aku bisa berdiri, aku harus secepatnya lari.
Aku ditampar, hingga tubuh yang berhasil dikuasai terhempas lagi di ata kasur. Ada beberapa detik baginya beranjak dan melucuti pakaian. Tapi bagiku detik ini adalah waktu emas, ga ada waktu lain lagi. Kalau bukan ini, aku ga akan selamat.
Aku bangun kepayahan. Aku tendang bagian intim yang hanya tertutup satu lapis kain. Persetan barang-barang, apapun yang bisa tangan gapai, aku bawa. Cuma handphone dan kartu kamar. Terakhir, aku terus berlari, kesetanan menyelamatkan diri. Ga bisa mikir jalan, kalau ada pintu yang terbuka dari banyaknya pintu aku masuk untuk mengurung diri.
Aku ini anak durhaka. Jelas dapat ganjaran. Aku ga apa, aku ikhlas, aku terima. Ini seperti mimpi, tetapi ini kenyataan. Ini seperti doa yang terkabul menjadi nyata.
`hjkscripts.