mama dan ambisinya.
Khaotung Point of View.
Biasanya seorang anak kalau ngomongin orang tua perempuan atau biasa disebut mama pasti yang bikin terharu. Mama itu banyak yang bisa dijadiin topik nangis-nangis. Kebaikan hatinya seluas samudra, jasanya ga bisa dibalas dengan benda paling berharga di dunia.
Kok ada ya orang diciptakan untuk jadi superhero. Padahal manusia kan diciptakan untuk hidup, bertahan hidup, dan menyembah Maha Pencipta. Sama semua derajatnya, ga ada beda.
Tetapi perempuan, diciptakan ga cuma jadi manusia dengan tugas-tugas pada umumnya. Ada kodrat yang harus dijalani. Ya hamil dan melahirkan. Meskipun jaman sekarang perempuan sudah punya banyak pilihan, masih banyak kejadian di lingkup bermasyarakat yang memilih untuk ninggalin prinsip bertahan hidupnya.
Menikah, ninggalin dunia kerjanya, ninggalin keluarganya, jadi ibu rumah tangga. Bayangin nih, hidup kayak menukar dunia bebasnya demi urus orang lain, suaminya. Hidup bergantung sama dunia milik suami, hamil, dan melahirkan. Ga sampai situ dong, sebab katanya ibu itu guru pertama bagi anaknya.
Pantesan kalau ngomongin tentang mama, ibu, dan apapun panggilan sayang buat orang tua perempuan bisa jadi menyedihkan, merasa kecil, merasa apa yang kita sebagai anak lakukan sampai detik ini ga ada apa-apanya.
Tapi bagi aku, ngomongin tentang mama selalu bikin kurang nyaman. Ga bisa nangis lagi pas inget-inget tentang jasa mama. Cuma ada sebel, keinget terus kelakuannya akhir-akhir ini.
Tau kok dosa besar, durhaka kata orang-orang. Hanya saja, mama dan ambisi belakangan ini beneran bikin aku pusing, setres, dan under pressure.
Mama itu bagi aku ya ibu-ibu pada umumnya aja. Memutuskan untuk pensiun di umur hampir menginjak empat puluh, hamil, dan mengurus aku si anak semata wayang. Mama itu ibu-ibu pada umumnya, ikut arisan, ikut line dance, ke gereja tiap minggu. Normal kan? Sampai beliau catching up sama temen-temen lamanya di SMA.
Kayaknya lingkungan pengaruh banget. Tapi setau aku mama pandai membatasi diri. Dia sosialita tapi tau mana barang mewah yang butuh dibeli mana yang nanti dulu aja. Cuman ga tau kenapa akhir-akhir ini jadi nyebelin. Mama jadi mabok ceramah agama dan penikmat mitos mitos legenda duniawi. Terutama masalah pasangan hidup buat anaknya.
Ketakutan atas mitos perjaka dan perawan beneran makan kewarasan mama. Ditambah pressure publik dimana hampir semua temen masa lalu mama pada ngomongin cucunya gini begitu. Semua faktor itu dibungkus rapih dengan fakta kalau mama umurnya udah tua dibanding mama lain yang anaknya baru menginjak fase dewasa. Umurku belum genap tiga puluh, tetapi mama udah jalan injak enam puluh.
Banyak resiko yang mereka harus hadapi waktu memutuskan untuk punya anak di umur kurang produktif. Pastinya harapan sebesar gunung himalaya hanya akan terkabul dari sisiku. Ga ada harapan di pundak kakak atau adik. Serta, mimpi atau harapan itu harus terkabul secepat mungkin kejar-kejaran sama durasi manusia hidup.
Siapa anak yang ga mau penuhi harapan orang tuanya. Meskipun sebel minta ampun, aku tetep berusaha. Buktinya meskipun minim semangat tetep dateng ke blind date yang udah beliau setting sekian rupa. Entah kenalan berapa cowok atau berapa cewek. Masalahnya ya cuma satu memang bisa hati dipaksain cinta? Akunya juga salah sih, kemakan propaganda kisah romansa.
Cinta itu ga bisa dipaksakan. Cinta itu nanti dateng sendiri kalau waktu dan tempatnya udah tepat. Belum lagi cerita cinta-cintaan gagal di media sosial.
Pokoknya kalau udah jodoh nanti kita tau sendiri. Bagi aku, cinta itu ga bisa tumbuh dengan seiring waktu. Dua orang bisa bersatu ya karna ada cinta di antara mereka.
Kalau udah begitu gimana caranya tepati janji ke mama buat baca pacar secepatnya. Terlalu goblok, impulsif. Pada dasarnya aku ini cuma mau mama berhenti maksa, tapi malah jadi senjata makan tuan.
Tuhan yang punya hidup, kalau boleh hamba yang banyak dosa ini mau minta sesuatu. Semoga jodoh bisa dateng secepatnya. Biar aku bisa meruntuhkan mama dan segala ambisinya.
`hjkscripts.