meletus kesal dalam jiwa.


Khaotung Point of View.

Aku ini melangkah bersama ketidaktahuan. Menerpa angin kencang menembus besi penghalang. Kaki-kaki ini berjalan menuju haluan semu. Tangan menggandeng pula rasa penasaran apa yang ada di balik pintu.

Inilah aku anak lugu, diperintah datang ke rumah sang ibu. Penurut aku hingga pantas menolak ratusan ribu. Padahal entah apa ganti yang aku akan dapat. Sekecil makan malam bersama pujian pun sudah senang sangat.

Harusnya aku tahu tabiat orang tua. Harusnya aku sadar bahwa inilah yang akan terjadi. Bukan sulap bukan sihir, bukan pula dari pengasihan yang mampir. Bukan makan bukan pujian, adalah laki-laki beserta keluarga lengkap buah tangan yang hadir.

Mama, mama kok ya ga berubah. Aku tahu ini arahnya kemana. Betulkan? Belum juga duduk, tanpa salam basa basi. Baru juga duduk, sudah dikenalkan sembari diagung-agungkan dengan bahasa tinggi.

“Khao, ini calon suami kamu. Mama sudah sempat ngobrol sama mereka, bulan depan pernikahan diadakan.”

Kok bisa ya segampang itu? Oh ya jelas! anak kan permata orang tua. Permata itu indah, dijaga, dipamerkan, ujung-ujungnya ya dijual. Bodo amat sama orang mau beli, asalkan dia bisa kasih harga tinggi.

Menurutku anak ya anak, bukan harta, bukan juga aset belaka. Ga ada nilai, ga bisa diperjualbelikan. Tetapi mungkin mindset yang tertanam di kepala mama adalah aku ini hanyala barang berharga yang dijaga, dirawat sampai besar, hingga pada waktunya bisa ditukar demi nilai kenyamanan juga kebahagiaan dia sendiri.

Gila bukan? Iya gila, tapi aku hari ini akan lebih gila. Sebab, cukup untukku menjadi bola yang bisa ditendang sana-sini. Bahkan pemain bola pun ada istirahatnya, sedangkan aku terus menggelinding dari kaki ke kaki tanpa ada henti.

BRAK!!

Semua sontak sunyi, tak ada pekikan terkejut namun aku tahu mereka semua berjengit. Badan-badan kini tegang, napas tercekat, juga suara pun keluar tak dapat. Mereka semua ini kurang ajar, ga tau tata krama. Memangnya mereka ini siapa bisa atur hidup manusia, Tuhan juga bukan.

“Menikah? Siapa yang mau menikah?” Kataku dengan nada nyaris rendah, menghimpit emosi yang memberontak ingin diluapkan. Masih aku tahan, masih diusahakan tak meledak atau nanti semuanya jadi berantakan.

“Khaotungㅡ”

“Mama itu lancang. Selalu lancang ikut campur atur hidup aku.” Aku memotong langsung suara mama yang akan melayangkan argumentasi. “Aku ini kurang apa sebagai anak? Kurang apa, mam? Sejak lahir selain Tuhan yang bekali aku dengan jalan hidup sampai mati, ada mama yang ikut menentukan kemana arahnya hidup aku. Aku berontak? Apa aku pernah tolak? Ga pernah, mam. Aku ini sudah kayak pendosa yang ga percaya jalan hidup yang Tuhan kasih demi memuaskan hasrat mama. Karena Khaotung ini anak mama satu-satunya.” Lanjutku.

Hari ini semua orang, khususnya mama harus tau gejolak emosi yang bertahun-tahun aku simpan sendiri. Mereka harus rasakan sensasi hidup demi memuaskan egois. Mereka semua harus paham rasanya tertekan. Pula, aku harap mereka mengerti jika ini berlebihan dan tidak bisa ditolerir lagi.

“Mam, bahkan Khaotung seperti berani mengesampingkan Tuhan demi bahagianya mama. Sampai kapan mama mau Khaotung terus jadi pendosa demi ga menjadi anak durhaka? Demi apapun Khaotung capek. Khaotung ini sampai bingung aku ini anak atau tas koleksi mama yang sewaktu-waktu dapat dijual. Huh? Khaotung ini anak mama atau cuma aset mama sekarang mama jawab?!”

“Mama tau Khaotung sering dilecehkan sama anak temen mama. Mereka pandang aku rendah meskipun mama bilang aku harta berharga. Peduli apa mama sama masa depan aku sekedar tanya apa aku baik-baik saja mama ga mampu. Mama ini itu duniaku, milikku sendiri, dan mama atau siapapun ga berhak untuk mengatur. Urusan hidupku tanggung jawabku hanya kepada Tuhan bukan orang lain. Ngerti ga mama?!”

Hingga aku pun tak sadar bahwa sekuat apapun aku menahan konversi emosi yang bersarang dalam diri ini. Pada akhirnya akan mendidih, mereka panas meletup letup dan menciptakan energi yang amat besar sekali mengalahkan tembok kesabaran yang dibangun dengan mengais bahan-bahan sisa. Mereka hancur, berkeping-keping dan ledakan emosi tak dapat dielakkan kembali.

Semuanya yang aku pendam selama ini, tanpa terhalang sungkan dan rasa hormat pada sosok ibu yang aku masih yakin kasihnya sepanjang masa. Tanpa takut akan menjadi anak durhaka. Aku keluarkan semua, bersama isakan parau, kalimat yang semakin lama semakin terbata sebab ada begitu banyak perasaan yang dibawa hingga dada terasa sesak. Sisanya biarkan bulir air mata yang mengatakan segalanya.

Selama kaki-kaki masih sanggup berdiri tegak. Selama pusat hidup manusia masih sanggup diajak berkolaborasi dengan lainnya. Aku menjadi defensif dan egois. Semua orang yang ada disini salah, aku korban, maka tolong dengar suara piluku untuk kali ini saja.

Tanpa ada argumentasi. Tanpa ada solusi. Pula, tanpa ada konklusi.

Terakhir aku berbalik dan pergi membiarkan semua orang mencarna dan aku harap mereka semua akan mengerti. Iya, aku harap.


`hjkscripts.