kita yang saling berbagi ruang.
Khaotung Point of View.
Dia beneran cuma tidur dan itu di samping aku. Aku bisa dengar nafas tenangnya, dengkuran halusnya, juga gestur kebiasaan waktu kesadarannya hilang seratus persen.
Dia terlentang dengan satu tangan menutup sebagian matanya. Sedangkan, tangan yang lain istirahat di atas permukaan perut. Dia itu tenang, minim berantakan. Aku tau sejak kali pertama dia yang lagi tipsy tiba-tiba mengetuk pintu kamar dan menginvasi kasur milikku seolah itu miliknya.
Empat tahun dan tingkahnya makin aneh belakangan ini.
Jika hubungan ini ditarik ke belakang tentu menjadi salah satu hal di luar nalar. Nikah kontrak ya? Kita menyebutnya begitu aja. Semua kejadiannya begitu cepat, bahkan aku sendiri belum sempat banyak berpikir dan ketika aku sadar, kami berdua sudah hidup dalam satu atap dengan sebuah ikatan yang bukan main-main pentingnya.
Kita ini adalah pasangan menikah yang lagi mencoba main bangun rumah tangga. Namun, rumah tangga memang susah dibangun sebab tanpa cinta. Aku kira kita cukup hanya jadi teman, kita cukup punya komitmen, dan kita cukup punya surat perjanjian. Tetapi menikah itu hal yang lebih besar dari sebuah perjalan hidup.
Kita berdua adalah orang asing yang semakin asing setelah ada status yang melingkar di masing-masing jari manis. Aku kira dengan keputusan yang kita buat, kita akan tetap menjadi teman, kita akan tetap bisa lebih banyak hangout bareng, ngobrol banyak, dan mengakhiri hari dengan ucapan selamat malam untuk mengantarkan tubuh lelah ke kamar masing-masing.
Faktanya, pada tahun pertama kita tidak berbeda dari sekedar individu. Rumah hanyalah tempat untuk tidur. Tidak ada komunikasi, tidak ada saling berkontribusi, serta argumentasi. Rumah ini selalu sunyi, hanya ada suara langkah kaki dari dua manusia terlalu mandiri. First itu memang teman terbaik, namun dia bukan suami yang baik. Bahkan aku juga demikian.
Ya gak apa, kan memang tujuan kita bukan untuk bangun rumah tangga harmonis. Kita ini lagi main pura-pura jadi pasangan suami. Cukup di depan orang yang butuh status kita, di luar itu urusan masing-masing lebih penting.
Toh apa yang kita butuhin sih? Apa-apa bisa sendiri. Dari dulu juga gitu. Kenapa harus panik waktu kompor ga bisa nyala? Kenapa harus bingung waktu pipa kamar mandi bocor? Tinggal panggil tenaga ahli semua beres. Kan ga perlu ya panggil suami dan ngadu biar diakalin dulu.
Hal-hal yang kayak gitu bikin hubungan kita semakin jauh dan jauh seiring berjalannya tahun-tahun pernikahan. Kita itu kayak bukan siapa-siapa melainkan orang yang sharing rumah.
But, we are here for damn four years! Aku tuh ga paham mau bersyukur atau gimana. Cancer yang diderita mama perkembangannya cukup lambat selama pengobatan rutin terus jalan. Meskipun, aku tau kondisi kesehatan mama terus turun karena faktor usia. Hanya saja, melihat mama masih sehat, masih bisa duduk, masih bisa ngobrol bikin aku mau sujud syukur berkali-kali untuk Tuhan.
Aku kira nikah boong-boongan ini ga akan bertahan lama, sebab aku sudah pasrah dan ikhlas kalau mama akan pergi begitu cepat setelah vonis dokter yang aku sendiri enggan bertanya kurang berapa lama. Yang pasti, di tahun kedua pengobatan mama berjalan, dokter cukup kagum dengan kegigihan mama, kegigihan kita juga yang nemenin mama sehingga beliau bisa lewatin masa vonis yang diprediksikan menurut kondisinya pada saat itu.
Kondisi yang membuat kita berdua terjebak dalam hubungan penuh kebingungan.
It's fucking four years dan kita mulai perlahan berubah. Entah sejak kapan, entah karena apa yang bikin komunikasi di antara kita bisa terkoneksi. First yang pertama mulai sih, aku kaget bentar tapi selebihnya nurut aja. Pokoknya dia yang waktu itu baru bangun tidur tiba-tiba duduk di sampingku, beneran cuma duduk sambil ngumpulin nyawa. Rambutnya berantakan dengan muka bantalnya, matanya yang masih sayu natap lurus ke arah televisi yang lagi nyiarin acara berita pagi dan aku di sampingnya lagi makan sarapan.
Jujur itu kali pertama kita bisa duduk bareng, ada percakapan timbal balik yang terjadi. Cukup panjang yang berakhir aku siapin dia semangkuk sereal lengkap sama segelas air putih. Sejak pagi itu juga, mulai ada pesan masuk berisi basa-basi yang selalu aku tunggu. Pesan masuk kurang penting yang menghilangkan rasa kaku dan membuat bibir kadang melengkung senyum. Intensi-intensi menyenangkan itu datang dan berkembang hingga kita ada di posisi ini.
Selalu dia yang memulai, dan aku bersyukur sebab dia memulai. Aku bisa menatapnya yang tengah terlelap. Aku bisa merasakan kehadirannya amat dekat. Aku bisa sentuh eksistensinya amat nyata. Aku, bukan aku yang memaksa, tetapi dia yang meminta.
Dia ini membuat diriku merasa berguna. Dia yang melihatku ada sebagai seorang manusia. Dia yang menjadikanku zona nyaman. Kita kini yang akhirnya saling berbagi ruang. Pula aku yang menunggu kejutan selanjutnya di masa yang akan datang.
`hjkscripts.