hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


Khaotung Point of View.

Dia beneran cuma tidur dan itu di samping aku. Aku bisa dengar nafas tenangnya, dengkuran halusnya, juga gestur kebiasaan waktu kesadarannya hilang seratus persen.

Dia terlentang dengan satu tangan menutup sebagian matanya. Sedangkan, tangan yang lain istirahat di atas permukaan perut. Dia itu tenang, minim berantakan. Aku tau sejak kali pertama dia yang lagi tipsy tiba-tiba mengetuk pintu kamar dan menginvasi kasur milikku seolah itu miliknya.

Empat tahun dan tingkahnya makin aneh belakangan ini.

Jika hubungan ini ditarik ke belakang tentu menjadi salah satu hal di luar nalar. Nikah kontrak ya? Kita menyebutnya begitu aja. Semua kejadiannya begitu cepat, bahkan aku sendiri belum sempat banyak berpikir dan ketika aku sadar, kami berdua sudah hidup dalam satu atap dengan sebuah ikatan yang bukan main-main pentingnya.

Kita ini adalah pasangan menikah yang lagi mencoba main bangun rumah tangga. Namun, rumah tangga memang susah dibangun sebab tanpa cinta. Aku kira kita cukup hanya jadi teman, kita cukup punya komitmen, dan kita cukup punya surat perjanjian. Tetapi menikah itu hal yang lebih besar dari sebuah perjalan hidup.

Kita berdua adalah orang asing yang semakin asing setelah ada status yang melingkar di masing-masing jari manis. Aku kira dengan keputusan yang kita buat, kita akan tetap menjadi teman, kita akan tetap bisa lebih banyak hangout bareng, ngobrol banyak, dan mengakhiri hari dengan ucapan selamat malam untuk mengantarkan tubuh lelah ke kamar masing-masing.

Faktanya, pada tahun pertama kita tidak berbeda dari sekedar individu. Rumah hanyalah tempat untuk tidur. Tidak ada komunikasi, tidak ada saling berkontribusi, serta argumentasi. Rumah ini selalu sunyi, hanya ada suara langkah kaki dari dua manusia terlalu mandiri. First itu memang teman terbaik, namun dia bukan suami yang baik. Bahkan aku juga demikian.

Ya gak apa, kan memang tujuan kita bukan untuk bangun rumah tangga harmonis. Kita ini lagi main pura-pura jadi pasangan suami. Cukup di depan orang yang butuh status kita, di luar itu urusan masing-masing lebih penting.

Toh apa yang kita butuhin sih? Apa-apa bisa sendiri. Dari dulu juga gitu. Kenapa harus panik waktu kompor ga bisa nyala? Kenapa harus bingung waktu pipa kamar mandi bocor? Tinggal panggil tenaga ahli semua beres. Kan ga perlu ya panggil suami dan ngadu biar diakalin dulu.

Hal-hal yang kayak gitu bikin hubungan kita semakin jauh dan jauh seiring berjalannya tahun-tahun pernikahan. Kita itu kayak bukan siapa-siapa melainkan orang yang sharing rumah.

But, we are here for damn four years! Aku tuh ga paham mau bersyukur atau gimana. Cancer yang diderita mama perkembangannya cukup lambat selama pengobatan rutin terus jalan. Meskipun, aku tau kondisi kesehatan mama terus turun karena faktor usia. Hanya saja, melihat mama masih sehat, masih bisa duduk, masih bisa ngobrol bikin aku mau sujud syukur berkali-kali untuk Tuhan.

Aku kira nikah boong-boongan ini ga akan bertahan lama, sebab aku sudah pasrah dan ikhlas kalau mama akan pergi begitu cepat setelah vonis dokter yang aku sendiri enggan bertanya kurang berapa lama. Yang pasti, di tahun kedua pengobatan mama berjalan, dokter cukup kagum dengan kegigihan mama, kegigihan kita juga yang nemenin mama sehingga beliau bisa lewatin masa vonis yang diprediksikan menurut kondisinya pada saat itu.

Kondisi yang membuat kita berdua terjebak dalam hubungan penuh kebingungan.

It's fucking four years dan kita mulai perlahan berubah. Entah sejak kapan, entah karena apa yang bikin komunikasi di antara kita bisa terkoneksi. First yang pertama mulai sih, aku kaget bentar tapi selebihnya nurut aja. Pokoknya dia yang waktu itu baru bangun tidur tiba-tiba duduk di sampingku, beneran cuma duduk sambil ngumpulin nyawa. Rambutnya berantakan dengan muka bantalnya, matanya yang masih sayu natap lurus ke arah televisi yang lagi nyiarin acara berita pagi dan aku di sampingnya lagi makan sarapan.

Jujur itu kali pertama kita bisa duduk bareng, ada percakapan timbal balik yang terjadi. Cukup panjang yang berakhir aku siapin dia semangkuk sereal lengkap sama segelas air putih. Sejak pagi itu juga, mulai ada pesan masuk berisi basa-basi yang selalu aku tunggu. Pesan masuk kurang penting yang menghilangkan rasa kaku dan membuat bibir kadang melengkung senyum. Intensi-intensi menyenangkan itu datang dan berkembang hingga kita ada di posisi ini.

Selalu dia yang memulai, dan aku bersyukur sebab dia memulai. Aku bisa menatapnya yang tengah terlelap. Aku bisa merasakan kehadirannya amat dekat. Aku bisa sentuh eksistensinya amat nyata. Aku, bukan aku yang memaksa, tetapi dia yang meminta.

Dia ini membuat diriku merasa berguna. Dia yang melihatku ada sebagai seorang manusia. Dia yang menjadikanku zona nyaman. Kita kini yang akhirnya saling berbagi ruang. Pula aku yang menunggu kejutan selanjutnya di masa yang akan datang.


`hjkscripts.


Christmas Eve December, 2024

Apakah ini yang namanya pernikahan? Tidak ada kawan maupun keluarga. Tidak ada lantunan musik mendayu mengudara. Tidak ada sorak-sorai tawa tamu tengah bercengkrama. Tidak ada tangis haru yang tercipta daripada saksi mata.

Apakah ini yang namanya pernikahan? Tidak ada perasaan membuncah tentang berbagai kata bermakna bahagia. Tidak ada dekorasi mewah bertema bunga-bunga. Tidak ada pakaian mewah yang mengundang binar para mata.

Kita yang tengah dipeluk hangat gereja kecil di pinggiran kota. Kita yang tengah berdiri di atas altar suci bersama harapan dan doa. Kita yang tengah dikerumuni segelintir jiwa. Pula, kita yang tengah bersama menghadap Tuhan diwakili pendeta.

Dua manusia berantakan yang akhirnya menjadi satu kesatuan. Mereka datang untuk disatukan dengan momen sakral yaitu pernikahan. Entah bagaimana awal dan akhiran. Juga, carut marut yang ada di balik bayangan.

Kini mereka saling mengucap, janji suci yang sebenarnya mengharukan. Tepat satu kali dalam tarikan napas dengan berbagai emosi yang melebur jadi satu. Akhirnya, mereka yang sudah sah di mata para saksi saling berciuman atas dasar kehausan. Mereka yang sudah sah mulai kini harus berjalan bersama menyusuri jalan yang tak tahu mana yang akan dituju.


`hjkscripts.


First Point of View.

Hari ini tepat beberapa bulan tenggat waktu berpikir. Harusnya sudah ada keputusan, harusnya udah gak ada lagi kebingungan. Hari ini apapun yang terjadi kita harus hadapi, kita gak bisa lagi mengulur waktu dan lari.

Dua dari empat yang ada di sini sebenarnya hanya korban dari ulah kita si anak muda impulsif. Si anak muda sok tau yang main-main sama kebohongan. Harusnya gua dan Khaotung mengaku lebih awal, mencegah segalanya terlambat jadi runyam. Tetapi si anak muda sok tau ini gampangin waktu, jadilah terbuang sia-sia dan yang lagi kita hadapi ini adalah konsekuensi dari keterlambatan.

Kita gak lagi duduk di kafe dengan santai seperti awal akhirnya kita bisa terbuka. Kita sekarang lagi duduk berempat di ruangan kantor yang dipesan khusus untuk bahas keberlanjutan masalah ini. Semua orang gak boleh tau, semua orang gak boleh dengar. Hanya ada kita dan Tuhan sebagai saksi mata.

Gua di sini duduk santai mengamati dua manager yang lagi serius bahas surat kontrak, dan segala macem yang gua gak paham betul. Mereka ngobrol pakai bahasa hukum, gua mah apa cuma tau main musik. Intinya mereka lagi cari kata-kata terbaik, alasan terbaik yang akan digunakan untuk ngobrol sama orang-orang termasuk atasan, staf, partner, dan penggemar.

Mereka berdua lagi cari cara terbaik untuk meminimalisir damage yang akan terjadi. Itupun kalau gua sama Khaotung memutuskan untuk menikah beneran.

Sedangkan Khaotung yang duduk di seberang gua nih kelihatan banget gelisah. Dia tenang, tapi gua tau percis isi kepalanya pasti penuh, carut marut. Dia yang datang langsung duduk, gak nyapa gua, gak sekedar basa-basi. Gua dibiarkan nganggur begini meskipun ini perbuatan bersama.

Harusnya gua marah sama Khaotung. Karena dia yang bikin gua terjebak di dalam dilema. Dia penyebab awal yang punya masalah sama mama. Tapi ya udah nasi lembek jadi bubur, toh gua juga mengajukan diri buat ikut campur. Sudah berdiri dititik ini ya gak usah ada adegan tunjuk menunjuk.

Gua yang duduk di sini bersama ide gila yang lagi menunggu untuk dilontarkan. Lagi-lagi impulsif, tapi seenggaknya cuman ini yang bisa gua bantu pikirin. Menurut gua cuma ini win win solution yang adil.


Khaotung Point of View.

Ini perasaanku aja apa ruangan yang lagi kita isi jadi lebih dingin. Aku sampai ga sanggup mau ngomong, saking takut gemetar. Badan udah menggigil semua, bahkan sweater tebal handmade dari salah satu designer terkenal yang lagi aku kenakan ga bisa mengimbangi.

Sesekali aku pandang kaca yang sedikit terbuka. Mulai ada titik-titik air yang datang membilas kotoran yang menempel pada permukaannya. Menuju akhir tahun, musim hujan telah tiba.

Bulan ini tepatnya November. Bukan waktu yang sebentar dari jarak pertemuan pertama kita. Akhirnya kita dipertemukan lagi disaat terpenting. Kita ini bukan lagi bahas rapat proyek biasa. Ini itu lagi ngobrolin tentang hidup dan mati. Salah sedikit karir orang dan punyaku sendiri bisa berakhir selesai sampai di sini.

Menyesal ya? Jangan tanya. Sampai air mata aja males keluar saking menurut mereka kita ini menyesali hal yang bodoh. Salah sendiri ga mikir, yaudah terima aja itu hubungan pura-pura yang mungkin sebentar lagi dikabulkan jadi hubungan yang sebenarnya.

Menikah ya? Bagi aku menikah itu suatu achievement penting dalam hidup yang harus dirayakan dengan gembira bersama orang-orang yang kita cinta. Menikah itu bukan sebuah perjalan yang bisa dibuat permainan. Menikah itu ibadah seumur hidup, ajang mencari kebaikan juga kebahagiaan dan menebar kasih sayang.

Lantas gimana kalau menikah dilandasi terpaksa. Lantas gimana kalau menikah diawali dari pura-pura. Tanpa kasih sayang atau cinta. Bukannya mengais pahala malah bermandi dosa.

Namun, aku belum tahu akhirnya. Rapat masih berjalan dan aku berdoa hasilnya yang terbaik.


Ciize menyudahi diskusi alot penuh argumentasi dengan Podd. Dia gak langsung ngomong melainkan menegak americano pahit dalam satu teguk habis. Kepalanya pening, seumur-umur dia belum pernah kedapatan harus mengurus skandal. Masalahnya Khaotung ini sifatnya luar biasa terpuji.

Ini memang bukan tentang sifat manusia yang merusak citra. Namun, kecerobohan yang membawa bencana. Gak apa harusnya, manusia kan gak sempurna. Hidup gak selalu berjalan lancar, pasti ada saatnya kena celaka.

Ya udahlah ya, Ciize maupun Podd mungkin lagi diuji atas gaji dan bonus-bonus yang mereka dapat dengan mudah selama ini. Soalnya artis yang mereka bawahi bukan tipe problematik, jadi belum pernah ada kesusahan. Anggap aja mereka sekarang lagi kerja lebih keras buat dapat yang lebih banyak.

Podd mempersilahkan Ciize aja yang ngobrol. Ciize tuh pinter banget maintain emosinya. Kalo dia yang ngomong takut kesulut. Hebat sih, Podd besok-besok harus berguru lebih sama Ciize, soalnya dia yakin akan banyak cobaan yang dia akan hadapi semenjak dia ditunjuk buat pegang EXIT.

Ciize pertama jelasin perkara kontrak kerja. Regulasi awalnya, mana yang masih aman dilanggar, mana yang gak boleh sama sekali dilanggar. Biar mereka ngerti baiknya gimana. Ini tuh langkah meminimalisir hukuman yang akan mereka dapat selain mulut sosial.

Tentu aja gak ada yang bisa lepas dari sanksi apapun keputusan yang diambil. Jika mereka pilih menikah jelas ada regulasi yang dilanggar dan ada denda materi juga pemberhentian sementara. Jika mereka pilih sudahi saja ada yang harus dibayar lebih mahal dari sekedar materi. Yaitu berhadapan dengan mama yang akan tau tentang kebohongan yang dibuat anaknya.

Mana yang lebih sulit diterima? Jawabannya semua akan ada konsekuensinya.

Ciize dan Podd ternyata mikir sejauh itu. Mereka sudah sampai bikin statement yang akan diluncurkan jika keputusannya mereka melanjutkan hubungan. Dan ini semakin membuat pelakunya dilema.

“Itu aja semua yang sudah i paparkan. Menurut i udah jelas ya. Inimah yang namanya maju kena mundur kena. Semua ada konsekuensinya, akan ada kerusakan yang ditimbulkan. I sama Mas Podd belum bisa memutuskan harus begini dan begitu. Kita cuma bisa kasih opsi. Sekarang kita tanya dan jawaban cuma kalian yang menentukan.” Ciize menutup akhir pemaparannya. Cukup sampai di sini dia bisa bantu.

“Jadi kalian ini mau kabulkan permintaan mama atau mengaku kesalahan kalian sama mama?”

Ini sih yang bikin males, pertanyaan yang sebenarnya masih ada keraguan dalam jawabannya.

First apalagi, kepalanya udah penuh sama bayang-bayang ekspresi mama yang nangis kepayahan. Beliau yang seperti meminta First buat jaga anaknya kalau beliau udah gak ada. Karena Khaotung memilih First. Karena mama percaya Khaotung, First adalah orangnya.

Ibunya dulu juga kanker, sudah terlambat waktu ketahuan. Udah parah, dokter udah minta dipasrahkan aja. Tapi First mau rawat, dia kerja keras. Saking kerasnya dia cari biaya sampai dia gak ada di sisi ibu waktu jantungnya untuk terakhir kali berdegup. Ibu gak ninggalin wasiat apa-apa, tetapi First yakin ibu pasti mau bilang sesuatu. Cuma First terlambat datang, dia gak di sana, dia cuma bisa denger suara alat yang nyaring waktu masuk ke ruangannya.

First gak mau hal itu terjadi sama Khaotung, sama dia juga untuk kedua kalinya. Sampai di sini aja banyak waktu yang terbuang. Kita semua gak ada yang tau sampai berapa lama mama bertahan sama penyakitnya. Namun di sisi lain, First belum mau mengakhiri masa jayanya sebagai musisi, artis yang mulai naik derajat di mata publik.

“Gimana kalau kita nikah kontrak aja.” Dan cuma ini yang ada di dalam pikiran-pikiran putus asa.

“Nikah kontrak, maksudnya?”

“Ya kita nikah, sah hukum dan agama. Cuman dibelakang itu ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Gak ada yang boleh tau kita nikah selain pihak tertentu. Asalkan mama tau kita nikah, asalkan keinginan mama sudah terpenuhi. Kita harus saling jaga biar hubungannya tetap seperti ini sampai...” First berhenti, gak sanggup mau ngomong.

“Sampai umur mama udah berhenti.”

Mereka masih menjadi manusia-manusia yang hidup di balik kebohongan.


`hjkscripts.


Ciize tentu mematung waktu pintu ruang rawat inap yang dia udah yakin banget milik siapa dibuka lebar-lebar. Wajahnya yang semula sumringah, ingin terlihat baik banget di depan mama sekaligus istri pemilik agensi tempatnya bekerja.

Bagaimana tidak, ketika pintunya dibuka ternyata di dalam sudah ramai. Bukan cuma keluarga kecil bosnya tapi juga ada satu cowok yang dia yakin cuma temen udah ada di sana. Suasananya gak meriah, lebih ke sunyi ada sedih-sedihnya. Keliatan banget ada jejak air mata yang udah mulai kering di pipi mama. Matanya sembab, juga suaranya masih parau.

Namanya First, Ciize cuma sekedar tau. Dia gak ngorek lebih karena Ciize bukan tipe manager yang kayak gitu. Maka dari itu Khaotung seneng banget sama Ciize, nyaman orangnya. Ciize tuh bakal nunggu sampai Khaotung ngomong sendiri. Biasanya pasti ajak ke kafe ala kadarnya, yang sepi gak mentingin rasa. Pokoknya cuma ada mereka berdua yang ngobrol dari hati ke hati. Menyalurkan satu rahasia dari rahasia.

Akhirnya Ciize paham topik ngobrol hati ke hati hari ini. Ini orangnya juga ada, masalahnya dateng di depan mukanya sendiri. Benang merahnya kayak punya pikiran buat nyari jalan biar gak ruwet satu sama lain.

Maka mereka bertiga akhirnya duduk melingkar di kafe bawah rumah sakit. Kafe sempit cuma tersedia lima meja yang lagi kosong semua. Sisa mereka sama barista yang entah sibuk apa.

Diskusi meja itu berlangsung lama. Gak ada suara keras, gak ada gebrakan meja ala sinetron, gak ada kaget lebay yang sampai melotot-melotot dan harus nyiram air putih ke muka lawannya. Karena mereka bertiga sekuat tenaga jaga emosi, mereka bertiga pakai otak dingin biar bisa cerna runut ceritanya.

Mostly Khaotung yang cerita, dari awal ketemu sampai kejadian kayak gini bisa tercetus. First kadang cuma jawab alakadarnya, elaborasi Ciize lebih lanjut tentang detail yang tertinggal. Mereka berdua pastikan ceritanya fakta, gak ada rekayasa, gak ada bumbu perasa. Sebab mereka gak mau ada salah langkah lagi yang nantinya akan tambah runyam.

“Mama awalnya menentang, mba. Begitupun papa, beliau gak vokal tapi gesturnya satu suara. Aku kaget waktu mama bangun dan pertama yang dibahas sama aku tentang kita. Mama nangis, katanya dia takut ga bangun, ga lihat aku bahagia dulu. Terus mama bilang, beliau ikhlas apapun yang jadi kebahagiaan aku itu juga jadi impian beliau yang akhirnya tercapai. Asalkan aku menikah, asalkan aku yakin sama pilihanku sendiri. Kalau memang First orangnya, mama akan restui.” Khaotung bercerita, sambil mengingat kata mama di malam dia akhirnya siuman.

Mama yang Khaotung tahu beneran beda dari yang biasanya. Mama lemah, gak berdaya, pikirannya udah kemana-mana. Jalan hidupnya sekarang diisi sama permintaan-permintaan yang dia belum capai, minim ambisi. Semuanya diserahkan pelakunya asal terlaksana sebelum waktunya tiba. Mama sekarang adalah paruh baya yang hidup sambil kejar-kejaran sama waktu.

Ciize awalnya gak paham, ada kecewa juga. Secara personal dia bisa bantu paham, dia ngerti juga gimana tertekannya hidup sebagai Khaotung. Dia sama pusingnya waktu Khaotung marah, jengkel, dan putus asa secara bersamaan karena tingkah mamanya yang gak udah-udah.

Tetapi sebagai seorang profesional manager, ini adalah ancaman besar. Masalah menyangkut hati yang dimulai dari keputusan impulsif ini gak bisa ditangani dengan gegabah. Harus dipikir dengan matang, harus dicari jalan keluar yang akurat. Kalau salah pilih jalan akan jadi tersesat dalam kerumunan hujatan. Citra yang dibentuk, karir yang dibangun, akan hancur lebur seketika.

Inilah yang biasa disebut dengan skandal. Ciize yakin gak ada orang dalam industri ini mau ketimpa kasus apapun bentuknya.

Menikah ya... kalau boleh Ciize mau sujud aja. Minta keringanan sama ibu bos buat mereka pacaran dulu. Setidaknya kalau media berhasil mengendus ceritanya gak gempar-gempar amat, gak ada alasan orang buat pacaran, saling suka. Tim juga gampang mau bikin statement. Hater gonna be hate anyway.

Beda lagi kalau masalahnya menikah. Apalagi tiba-tiba, iya kalau memang hubungannya terjadi dibelakang lah ini yang menjalani juga kebingungan, gak siap. Ciize lagi mikir worst case yang akan dia hadapi nanti kalau pernikahan ini beneran terjadi. Gimana dia sama tim bikin statement, gimana dia sama manager lainnya adjust kehidupan artisnya. Karena menikah itu gak semudah mengajak, tapi dia mengubah hidup seseorang.

Mereka bertiga akhirnya sadar waktu melihat jam dinding kafe sudah menunjukkan waktu sore. Makan waktu tiga jam lebih buat diskusi dan hasilnya nihil. Mereka sadar bahwa masalah yang lagi dihadapi bukan hal biasa, tapi luar biasa bikin pusing. Jalan terbaik adalah berdoa semoga yang diberi sakit umurnya dipanjangkan agar memberi mereka yang berpikir lebih lama. Jalan terbaik pula adalah pulang dan mencerna.

Semoga hari esok akan bersinar cerah memberi petunjuk pada jiwa-jiwa yang tengah tersesat.


`hjkscripts.


TRIGGER WARNING ; SEXUAL CONTENT 🔞

Gawin Point of View.

Kejadiannya di parkiran rumah sakit, gak paham juga kenapa kita bisa sampai di rumah sakit. Tepatnya di dalam mobil van yang biasa melalang buana di jalan, nganterin dari satu venue ke lainnya.

Seinget gue, telinga masih berdengung keras sorak-sorai kerumunan orang yang tambah malem makin gak karuan. Gue masih bisa denger Mas Podd di sebelah ikutin Alex Turner lagi merapalkan lagu Mardy Bum. Terus ada letupan kembang api di atas awan hitam legam pada bagian interlude.

Mas Podd semangat banget as if lagu ini yang ditunggu. Dia nyanyi sambil sesekali melempar pandangan ke gue, all flirty and some. Beberapa orang udah mulai liar, ada yang mabok juga. Bingung, tapi konser kayak begini udah biasa harusnya meskipun di poster ada larangan gak boleh bawa minuman keras.

Pas banget lagu selesai ada anak cowok, masih muda jual minuman soft drink. Gue beli satu gelas, jumbo banget. Biasanya gelas kayak gini, khas gelas-gelas ukuran large soft drink di Amerika. Gue terus minum, sekali banyak soalnya udah haus banget. Lantas, mulai detik itu kesadaran gue mulai perlahan memudar.

Dalam hati gue cuma mengumpat. Bangsat! ternyata ini dia penyebab orang pada gila. Kena gue brengsek! Mana segelas gede itu langsung habis setengah. Ancur udah hidup gue, dan apapun yang terjadi besok udah gue serahkan kepada takdir aja.

Kesadaran gue baru balik dua puluh lima persen waktu gue denger suara berisik dari kursi belakang. Gue udah di mobil van, gelap, sunyi juga waktu mesin dimatiin dan First lari keluar buru-buru. Iya, kita cuma bertiga gue juga gak nanya Bang Earth ada di mana dan temen-temen gue sisanya. Pokoknya sepengelihatan mata gue yang kabur ini ada tulisan 'rumah sakit' di depan sana dan kita lagi ada di parkiran.

Namanya orang mabuk ya beda-beda ulahnya. Maka inilah gue, si bodoh yang kalo mabuk suka clingy ke orang terdekat. Gue itu sekarang dalam kondisi bingung. Pikiran kalang kabut jadi gak waras. Gue tau sekarang ada di mana, gue tau sekarang sama siapa, tapi gue gak bisa diem dan kendaliin diri sendiri.

Gue malah mencoba melepas seat belt, dan jaket yang kayaknya dipinjemin Mas Podd. Gue juga impulsif mau buka baju tapi ditahan sama Mas Podd. Terus rasa kantuk menyerang yang membuat gue malah menjatuhkan kepala gue di bahu Mas Podd.

Cuma ada helaan napas masing-masing. Samar pula gue bisa denger debaran jantungnya yang berantakan, badannya dia juga tegang. Pada detik itu hati nurani gue rasanya pengen keluar terus neriakin gue biar bangun, sadar dan berhenti gila. Soalnya, tangan gue mulai bergerak mencari kenyamanan di tubuh yang gue baru tau begitu hangat.

Tangan gue terus membelai, berpindah dari satu titik ke ketitik lain ketika sudah mendingin. Tangan gue dicekal cepat, bersama suara napas berat menghentikan kegilaan gue sebelum jadi liar.

“Kalo lo gak berhenti sekarang, semuanya bakal berantakan.” Mas Podd memperingati.

Namun, gue ini udah mabuk juga mendadak terangsang. Bukannya berhenti malah lanjut menjelajahi. Gue masih ingat gimana gundukan disana makin mengembang, sesak minta dikeluarkan dari dalam celana jeans ketat. Gue juga masih ingat gimana gue ketawa kecil tanda kepuasan setelah berhasil menggoda.

Mas Podd dorong badan gue, menjauh dan menatap wajah gue keliatan berantakan, teler, kayak orang goblok. “Gue bilang berhenti kan?!” Peringatannya sekali lagi. Suaranya udah berat, ada birahi yang terbangun dari tidurnya.

Orang gila ini malah senyum, menggoda kayak mengundang buat dijamah. “Cium gue coba.” Kata gue menantang. “Jangan kayak om-om sangean di luar sana, wajah lo serem tolol!” Lanjut gue. Kalau yang di depan gue bukan Mas Podd, mungkin karir gue detik itu tamat.

“Lo pengen cium gue, kan? Lo pengen nyesepin bibir gue, kan? Wajah lo keliatan banget, mas.”

Sumpah-sumpah demi apapun gue gak mau mabuk lagi. Waktu ingetan tentang malem itu balik satu persatu kayak potongan puzzle, wajah gue kayak ada yang ngegaruk, kulit dikelupas, dan gue gak berani keluar ketemu siapapun.

Gue yakin Mas Podd bukan cowok bijaksana. Dia itu cuma mas-mas pada umumnya yang punya tingkat kesabaran. Tepat kesabarannya habis menghadapi gue, maka yang katanya ketidaksengajaan itu terjadi gitu aja.

Mas Podd narik kasar kaus gue, membuat bibir akhirnya bertemu bibir. Dua-duanya otak kosong, logikanya ilang diganti nafsu. Gak ada definisi cium, melainkan saling mengecap, bergantian melumat, semua dijamah dari bibir hingga lidah, juga saling mencampur saliva. Gak ada permainan lenbut, cuma ada gerakan kasar, seolah-olah kita ini gak bisa lagi ciuman besok hari. Cuma ini kesempatan terakhir. Di atas pangkuan kaki kokoh itu gue hanyut dalam aliran sehat yang gue ciptakan sendiri.


`hjkscripts.


Khaotung Point of View.

Berdiri di depan lobby rumah sakit aku kebingungan. Dada naik turun, meraup kasar udara bebas. Peluh sebesar biji jagung meluncur gitu aja, kepala mendadak pening, dan mata berkunang-kunang.

Otak ini isinya ga ada, kosong. Telinga rasanya berdengung berisik nada-nada berbeda dari mulut orang lalu-lalang. Akhirnya aku baru balik dari alam sadar waktu bahuku ditabrak dari belakang.

Aku masih pakai baju lumayan fancy tapi bentuknya udah ga karuan waktu papap sampai di lobby. Kita jalan agak jauh ke daerah intensif, ga langsung masuk ke ruangannya, cuma bisa lihat badan lemes mama dengan berbagai alat yang udah terpasang di beberapa bagian tubuhnya.

Bergeming, mendadak dada sesek banget. Ada perasaan aneh-aneh muncul yang sedikit demi sedikit meruntuhkan pertahananku. Merasa bersalah, anak ga berguna, egois parah, dan anak durhaka.

Bergeming, panas mulai meraba dua mata. Emosi mulai membuncah, marah bercampur kecewa. Aku dibuat lemas, ga berdaya tetapi mau pingsan pun ga bisa.

Bergeming, biarkan air mata yang berbicara. Sebenernya ini mimpi atau nyata? Sebab aku bingung saat ini hidup dalam dunia apa. Aku saat ini juga mau bangun dari tempat tidurku yang nyaman, memulai hari dengan pesan dari mama yang begitu menyebalkan. Setidaknya beliau masih sibuk mencari celah bercengkrama bukan melalang buana entah di alam mana.

Nyatanya, aku bergeming bersama air mata penuh penyesalan kini bukan mimpi belaka melainkan kisah nyata. Aku yang berantakan ini tengah dihukum dalam neraka dunia sebab menjadi anak durhaka.


`hjkscripts.


Khaotung Point of View.

Aku ini melangkah bersama ketidaktahuan. Menerpa angin kencang menembus besi penghalang. Kaki-kaki ini berjalan menuju haluan semu. Tangan menggandeng pula rasa penasaran apa yang ada di balik pintu.

Inilah aku anak lugu, diperintah datang ke rumah sang ibu. Penurut aku hingga pantas menolak ratusan ribu. Padahal entah apa ganti yang aku akan dapat. Sekecil makan malam bersama pujian pun sudah senang sangat.

Harusnya aku tahu tabiat orang tua. Harusnya aku sadar bahwa inilah yang akan terjadi. Bukan sulap bukan sihir, bukan pula dari pengasihan yang mampir. Bukan makan bukan pujian, adalah laki-laki beserta keluarga lengkap buah tangan yang hadir.

Mama, mama kok ya ga berubah. Aku tahu ini arahnya kemana. Betulkan? Belum juga duduk, tanpa salam basa basi. Baru juga duduk, sudah dikenalkan sembari diagung-agungkan dengan bahasa tinggi.

“Khao, ini calon suami kamu. Mama sudah sempat ngobrol sama mereka, bulan depan pernikahan diadakan.”

Kok bisa ya segampang itu? Oh ya jelas! anak kan permata orang tua. Permata itu indah, dijaga, dipamerkan, ujung-ujungnya ya dijual. Bodo amat sama orang mau beli, asalkan dia bisa kasih harga tinggi.

Menurutku anak ya anak, bukan harta, bukan juga aset belaka. Ga ada nilai, ga bisa diperjualbelikan. Tetapi mungkin mindset yang tertanam di kepala mama adalah aku ini hanyala barang berharga yang dijaga, dirawat sampai besar, hingga pada waktunya bisa ditukar demi nilai kenyamanan juga kebahagiaan dia sendiri.

Gila bukan? Iya gila, tapi aku hari ini akan lebih gila. Sebab, cukup untukku menjadi bola yang bisa ditendang sana-sini. Bahkan pemain bola pun ada istirahatnya, sedangkan aku terus menggelinding dari kaki ke kaki tanpa ada henti.

BRAK!!

Semua sontak sunyi, tak ada pekikan terkejut namun aku tahu mereka semua berjengit. Badan-badan kini tegang, napas tercekat, juga suara pun keluar tak dapat. Mereka semua ini kurang ajar, ga tau tata krama. Memangnya mereka ini siapa bisa atur hidup manusia, Tuhan juga bukan.

“Menikah? Siapa yang mau menikah?” Kataku dengan nada nyaris rendah, menghimpit emosi yang memberontak ingin diluapkan. Masih aku tahan, masih diusahakan tak meledak atau nanti semuanya jadi berantakan.

“Khaotungㅡ”

“Mama itu lancang. Selalu lancang ikut campur atur hidup aku.” Aku memotong langsung suara mama yang akan melayangkan argumentasi. “Aku ini kurang apa sebagai anak? Kurang apa, mam? Sejak lahir selain Tuhan yang bekali aku dengan jalan hidup sampai mati, ada mama yang ikut menentukan kemana arahnya hidup aku. Aku berontak? Apa aku pernah tolak? Ga pernah, mam. Aku ini sudah kayak pendosa yang ga percaya jalan hidup yang Tuhan kasih demi memuaskan hasrat mama. Karena Khaotung ini anak mama satu-satunya.” Lanjutku.

Hari ini semua orang, khususnya mama harus tau gejolak emosi yang bertahun-tahun aku simpan sendiri. Mereka harus rasakan sensasi hidup demi memuaskan egois. Mereka semua harus paham rasanya tertekan. Pula, aku harap mereka mengerti jika ini berlebihan dan tidak bisa ditolerir lagi.

“Mam, bahkan Khaotung seperti berani mengesampingkan Tuhan demi bahagianya mama. Sampai kapan mama mau Khaotung terus jadi pendosa demi ga menjadi anak durhaka? Demi apapun Khaotung capek. Khaotung ini sampai bingung aku ini anak atau tas koleksi mama yang sewaktu-waktu dapat dijual. Huh? Khaotung ini anak mama atau cuma aset mama sekarang mama jawab?!”

“Mama tau Khaotung sering dilecehkan sama anak temen mama. Mereka pandang aku rendah meskipun mama bilang aku harta berharga. Peduli apa mama sama masa depan aku sekedar tanya apa aku baik-baik saja mama ga mampu. Mama ini itu duniaku, milikku sendiri, dan mama atau siapapun ga berhak untuk mengatur. Urusan hidupku tanggung jawabku hanya kepada Tuhan bukan orang lain. Ngerti ga mama?!”

Hingga aku pun tak sadar bahwa sekuat apapun aku menahan konversi emosi yang bersarang dalam diri ini. Pada akhirnya akan mendidih, mereka panas meletup letup dan menciptakan energi yang amat besar sekali mengalahkan tembok kesabaran yang dibangun dengan mengais bahan-bahan sisa. Mereka hancur, berkeping-keping dan ledakan emosi tak dapat dielakkan kembali.

Semuanya yang aku pendam selama ini, tanpa terhalang sungkan dan rasa hormat pada sosok ibu yang aku masih yakin kasihnya sepanjang masa. Tanpa takut akan menjadi anak durhaka. Aku keluarkan semua, bersama isakan parau, kalimat yang semakin lama semakin terbata sebab ada begitu banyak perasaan yang dibawa hingga dada terasa sesak. Sisanya biarkan bulir air mata yang mengatakan segalanya.

Selama kaki-kaki masih sanggup berdiri tegak. Selama pusat hidup manusia masih sanggup diajak berkolaborasi dengan lainnya. Aku menjadi defensif dan egois. Semua orang yang ada disini salah, aku korban, maka tolong dengar suara piluku untuk kali ini saja.

Tanpa ada argumentasi. Tanpa ada solusi. Pula, tanpa ada konklusi.

Terakhir aku berbalik dan pergi membiarkan semua orang mencarna dan aku harap mereka semua akan mengerti. Iya, aku harap.


`hjkscripts.


Khaotung Point of View.

Kebingungan ini buat pusing kepala. Kebingungan ini mengacaukan segalanya. Kebingungan ini dipikir hilang logika. Kebingungan ini aku tak tau mana nyata atau maya.

Kayaknya udah lebih satu dua bulan berlalu. Kejadian hari itu, dimana tiba saatnya aku bawa; yang katanya tambatan hati pulang ke rumah. Pertama kali dalam hidup, bukan pilihan mama, bukan anak teman mama. Bukan juga kolega sana sini, tetapi dia pilihanku sendiri, meskipun ada bercampur drama duniawi.

Aku pulang membawa kabar suka menutup perjanjian dibaliknya. Aku pulang membawa ikatan dusta. Aku penipu, aku durhaka, aku anak penuh dosa. Terus ya ini balesannya, langsung kena karma.

Ga boleh, hubungan tipu-tipu ini ga disetujui. Tapi anehnya aku ini masih kekeh. Padahal pihak kedua juga kayaknya ga peduli-peduli amat. Emang niatnya nolong doang, emang akunya yang lagi dilema.

Aku ini terjebak entah ada di dunia nyata atau maya. Sulit bedain lagi menjalani kehidupan sesungguhnya atau main drama. Harusnya sejak penolakan dilemparkan, meskipun ada debat kusir setelah First Kanaphan keluar dari pintu semua selesai sudah.

Toh mama maunya hubungan disudahi, begitupun juga papap. Ga ngomong apa-apa cuman gesturnya amat menentang. Sedangkan aku, kayaknya ga sadar masih main peran, masih kelilit sama skrip yang dibuat otakku sendiri.

First Kanaphan itu adalah pacarku. Orang yang aku pilih sendiri. Orang yang aku sayang, orang yang aku cinta, dan orang yang mau aku ajak hidup selama-lamanya.

Harusnya aku berhenti. Harusnya aku sadar. Tapi otak sama hati ini kayak ga mau berkolaborasi. Mereka ga mau berdiskusi, jadilah dua oposisi. Otak bilang sudahi, tapi hati terus berteriak jangan berhenti sampai disini.

Maka aku dan carut marut dalam diri terus mengeluarkan doktrin kepada papap dan mama kalau First itu masih jadi pilihan, ga bisa diganti, ga ada dua, dan harus dia seorang.


`hjkscripts.


“Saya nggak setuju.”

Satu kata penolakan yang menjadi akhir drama bersandiwara. Tidak ada kata maaf, artikulasinya tegas. Gesturnya tanpa sungkan mendorong kembali buah tangan pada pemilik pertama.

Beliau tidak menerima apapun, walaupun hanya sekedar basa-basi. Seluruh upaya, panjang cerita tentang dirinya ditolak mentah-mentah akhirnya. First tersenyum, ya pasrah memang harus gimana lagi. Apapun keputusannya bukan jadi masalah.

Khaotung gak demikian. Dia tegang, dia kecewa, dia kebingungan. Kalau First ditolak maka artinya tidak ada jalan yang terbuka. Waktu yang dia harapkan, ketenangan duniawi sementara yang dia impikan hilang begitu saja. Setelah ini masih ada daftar nama-nama manusia yang harus dia temui dan ajak basa-basi.

Enggak, dia gak mau. Kerja itu capek, tetapi daripada harus menghadapi ngobrol yang gak jauh dari nama sama background keluarga kerja jadi tampak kegiatan menyenangkan.

“Mam, ya ga bisa begitu dong!” Khaotung berdiri, mendadak emosi, juga suaranya jadi tinggi.

“Sayangnya mama, dia itu gak pantas buat kamu. Dia gak pantas buat keluarga kita.”

Orang kaya kenapa template banget ya jawabannya. Emang kriterianya gimana yang pantas? Padahal dihadapan Tuhan semua manusia sama. Manusia-manusia macem gini aja yang suka mengkotak-kotakkan derajat manusia.

Giliran First diem, sakit hati sih dikit, bukan karena ditolak melainkan ada harga diri yang lagi diinjak meskipun ini cuma sandiwara. Kok ya kenapa gak nanti aja ngomong begitu waktu dia udah gak ada. Kayak sengaja banget biar First tahu dia seharusnya gak lagi duduk di sofa import rumah mewah. Harusnya dia tidur aja di apartemen, dengerin lagu sambil scroll sosial media. Membanjiri dirinya sama pujian-pujian yang penggemar di luar sana bagi buat dirinya.

“Pantas itu bagi mama yang seperti apa?” Khaotung menyahut kembali, suaranya geter mulai panik. “First itu pantas buat aku. Cuma dia yang pantas, ga ada lagi. First ini yang terbaik, pilihanku sendiri.” Lanjutnya.

Hanya saja seberapa keras argumentasi yang dia lontarkan, selalu dimentahkan sama mamanya. Ada banyak alasan kenapa First gak cocok dan First sadar akan hal itu. Khaotung cuma gak mau nyerah, sebab kalau hari ini gagal habis sudah hidupnya.

Suara makin tinggi, hawa juga tak terkendali. Kalimat-kalimat yang semula masih ada unsur hormat, telah berubah kasar menjadi-jadi. First gak bisa diem terus disini, sebab semakin lama dia bertahan, semakin habis harga diri.

Maka First berdiri, memotong debat kusir antar ibu dan anak dan pamit undur diri. “Nyonya, Tuan maaf kedatangan saya menbuat keadaan semula nyaman jadi runyam. Jika memang anda berdua sudah tidak berkenan akan kehadiran saya, saya pamit pulang sekarang.”

“Tapi... First?!” Lengan First dicekal sebelum dirinya menginjak langkah ketiga. Ada ekspresi sedih dan juga bingung dari empunya.

Namun First tersenyum getir, yang ini First yakin bukan sandiwara. Ini adalah akumulasi dari emosi miliknya yang valid.

“Khao, udah ya. Gak apa, aku pergi aja.” Katanya sembari melepaskan genggaman di lengannya.

Sekali lagi dia berikan ucapan terima kasih sebagai bentuk kesopanan sebelum dirinya pergi menghilang dari balik pintu jati bersama hati yang harus dilindungi.


`hjkscripts.


Laki-laki yang turun dari jok penumpang melepas helm dari kepala. Dia kasih helm kembali ke empunya motor gak lupa sama beberapa lembar uang pas. Dia ditinggal gitu aja, tepat di depan rumah mewah bergaya klasik yang bikin matanya tak berkedip beberapa detik.

Padahal matahari sudah terik di pagi hari, panasnya menyengat kulit, tetapi lelaki yang kerap dipanggil First Kanaphan; si artis baru yang lagi dielu-elukan namanya belum mau beranjak mendekat ke arah pagar. Dia malah taruh barang tentengannya di beton sebatas pinggang.

First benerin tatanan rambutnya yang acak-acakan karna hari ini dia milih gak pakai gel rambut. Dia gak lupa juga kebas-kebasin bajunya dari debu jalanan. Terakhir, semprot parfum di titik-titik tertentu, sebab dia merasa bau parfumnya sudah tersapu angin. Laki-laki ini gak menyangka kalau alamat yang dia dapat ada di salah satu perumahan elit dan rumahnya juga gak kalah besar bikin perutnya mendadak melilit.

Ini sih rumah biasa muncul di sinetron. Rumah orang kaya yang tiap pagi makannya mana pernah diabisin. Tapi bedanya dia belum lihat satpam atau si mbok jawa lugu dengan pakaian super sederhana menyambut kedatangannya di depan pagar. Rumahnya terkesan sepi, malah dia jadi ragu apa bener alamatnya disini.

Kaget, dia kaget juga lega ketika pagar tinggi yang jadi pelindung pertama rumah mewah itu terbuka otomatis dan yang bikin lega dia ternyata gak salah. First sabar menunggu pagarnya bergerak perlahan, kayak tirai acara super deal yang kalau lagi dibuka bikin deg degan. Bedanya disini yang bikin jantungnya tiba-tiba berdegup kencang adalah kala sedikit demi sedikit terbukanya pagar mengungkap paras lelaki yang dia amat kenal tengah tersenyum tepat di seberang dirinya berdiri kini.

Oh, bener berarti ini rumahnya.

First menyambar barang bawaannya setelah dipersilahkan empunya rumah masuk lebih dalam. Dia baru tau kalau rumah kayak gini, kadang ya pemiliknya langsung bukain tamunya. Eh atau Khaotung memang terlalu down to earth orangnya. Mereka melewati taman kecil, ada pancuran juga, berfungsi baik pertanda kalau rumah ini dijaga betul keindahannya. Akhirnya mereka sampai di depan pintu.

Khaotung bergeming, belum mau bukain pintu dominan putih yang di baliknya ada surprise yang akan mereka hadapi hari ini. Di balik pintu jati ini ada misi tersembunyi, ada pikiran dan hati yang akan dibolak-balikkan. Kayak, di balik pintu ini adalah akses masuk dalam permainan yang akan mereka mainkan. Permainan yang disebut sandiwara.

Khaotung berbalik, menghadap pada First. Ekspresinya berubah total dari hangat menjadi penuh khawatir. Dua manik matanya bergerak gelisah mencari kepastian dari milik lawan dihadapannya. Ketika mereka bersitatap, ada pesan yang disampaikan tegas sorot matanya. Jika First ingin mundur, inilah waktunya, gak apa. Jika First ragu inilah saatnya. Sebab, jika pintu telat dibuka, dan sandiwara sudah mulai, tidak ada jalan untuk mundur melainkan selesaikan naskahnya sampai tuntas.

Anggukan First jadi pertanda, senyumannya jadi sebuah respon cepat yang hanya itu sanggup dirinya bagi untuk insan gelisah. First masih pada pendiriannya, lelaki ini masih pada satu tujuannya. Menolong Khaotung, mencarikan lebih banyak waktu. Karena First Kanaphan ini adalah sosok teman yang bisa diajak kompromi. Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja.

Hembusan angin kecil melintas secepat kilat menyapu pipinya kala pintu besar dibuka lebar-lebar. Ada sambutan, dua orang paruh baya. Ada pekikan hangat juga senyum kelewat ramah. Pula, ada raut wajah dipenuhi tanda tanya.

First saat ini seolah tengah diinspeksi, mata tua dari wanita yang tersenyum hangat tidak hanya sekedar menyambut juga memindai parasnya dari ujung rambut hingga kuku kaki.

First Kanaphan hari ini menjadi dirinya sendiri. Mengusung sopan dan sederhana. Rambutnya dia biarkan turun agar tampak lugu, hanya memakai kaos putih dilapisi blazer tipis, juga celana jeans minimalis.

First Kanaphan hari ini menjadi dirinya sendiri. Bingung juga mau berubah menjadi siapa, sebab dia sendiri sebenarnya belum pernah mengalami hal sepenting ini dalam hidupnya. Ini adalah salah satu tingkah nekat, impulsif khas tabiat kawula muda.


Duduk berdampingan dengan pasangan tuh kayak gini ya rasanya. Nervous dikit, padahal pura-pura. Kayaknya berhadapan sama hakim lebih mudah daripada ditatap sama orang tua. Orang tua yang penuh harapan, penuh tuntutan, juga banyak cita-cita.

Terakhir kali First bergaul sama cinta-cintaan tuh waktu SMA, cinta monyet gitu. Isinya cuma gombalan sampis, bucin sana-sini. Pastinya mereka berdua yakin betul kalau cintanya gak serius, bisa putus kapan aja. Waktu kuliah, First jauh banget sama romansa. Belajar, lari proyek satu ke proyek satu lagi, ngumpulin duit, gak sempet sekedar hanging around sama seseorang. Soalnya, dia kuliah sambil kejar-kejaran sama durasi maksimal tahun beasiswa. Empat tahun doang, lebih dari itu dia mana punya materi buat nunjang.

Waktu First ditanya tentang kerjaan, dia gak gugup jawab, “Saya musisi.”

Selanjutnya adalah keheningan yang sudah dia harapkan akan terjadi. Bukan pertanyaan ingin tahu lebih dalam, bukan juga pekikan bangga. Raut wajah nyonya berakhir sama dengan Tuan. Mereka gak jawab, ekspresinya datar menuju kecewa, orang kaya itu gampang dibaca.

Padahal gak semua musisi itu bergantung sama cerita cinta-cintaan remaja. Ada karya inspirasi dari kehidupan. Tetapi mindset orang banyak bilang caranya jadi musisi itu gampang, tinggal jatuh cinta atau pas lagi diputusin pacarnya.

Buat First beda, dia jadi musisi karena cuma itu yang dia bisa. Dia pinter sosialisasi, gampang banget bikin orang terhibur, sebab caranya bertahan hidup cuma mengandalkan kepuasan pelanggan aja dan hiburan jadi jalannya. First mutusin jadi anak band karena cuma gitar tua jadi temennya, cuma gitar itu yang bikin dia tetep inget kalau pernah punya ayah. Bikin dia tetep bangga kalau darah musisi yang mengalir di dalam dirinya berasal dari ayahnya si komposer gak terkenal. Terus, seperempat masa hidupnya dihabiskan dengan menyumpal telinganya, dengerin lagu band indie favoritnya buat hilangin sakit kepala, buat hilangin suara-suara parau ibunya yang sekarat, juga lupain gimana nyarinya suara mesin elektrokardiogram untuk terakhir kali.

Hari ini lebih banyak nyonya rumah yang berbicara, tanya-jawab masalah hidup sehari-hari. Kadang kata-katanya nusuk juga mengetahui fakta kalau First memang belum punya apa-apa. Sedangkan Tuan cuma bisa diem, mungkin shock, gak percaya kalau yang di depannya ini salah satu artis naungannya. Tapi First bodo amat, toh ya ini bukan temu calon beneran. Kewarasannya terus mengingatkan, sekarang ini mereka berdua lagi pura-pura, lagi main peran, lagi sandiwara. Apasih yang harus ditakutkan dari ekspektasi? Setelah hari ini berakhir, gak ada sama sekali harapan yang harus dipenuhi. Gak ada cita-cita yang harus diraih.

Sebab dari pertemuan hari ini tidak akan ada masa depan yang akan terjadi.


`hjkscripts.