love, innit?


“Pak bos jadinya ngapain tadi main ke you punya apartemen, beb?”

Khaotung cuma melayangkan senyum getir. Benar-benar ga paham gimana mau jelasin maksud kedatangan papap ke apartemen yang jatuhnya tiba-tiba sekali. Sebab, Khaotung sama papap hampir ga pernah ada di dalam satu ruangan berdua aja, hampir ga pernah komunikasi intens yang jauh dari kerjaan.

Kejadian beberapa jam lalu, sebelum cowok ini duduk di bangku kafe yang interiornya nyaman, begitu intim namun juga begitu singkat. Ayah dan anak saling ngobrol meskipun harus ada perantara bunyi televisi yang sengaja diputar agar suasana tidak jadi canggung, meskipun tanpa adanya tatapan mata yang berarti. Hanya kalimat berbalas kalimat tentang keadaan masing-masing, lepasnya ditutup dengan makanan cepat saji dan papap pulang begitu aja.

“Ya gitu. Emang papap harus bikin gebrakan apa deh sampe kamu penasaran banget.” Khaotung jawab dengan nada sarkas. Kayak ga menyetujui pembahasan tentang papap berlangsung sampai akar.

Karena bukan tentang papap yang membuat dirinya harus menguatkan tubuhnya yang belakangan ini ga pernah sehat untuk keluar sekedar nongkrong di kafe sama mba manager kesayangan. Karena bukan tentang papap yang membuatnya lebih berantakan sejak ditinggalkan mama pergi selamanya.

Hadirnya dia di sini bukan membahas perubahan dari masa lalu. Bukan pula membahas yang sudah selesai mengabdi. Namun, ini tentang masa depan yang dia lagi cari jalan terbaik. Karena dia mau jadi Khaotung versi apik, dia ga mau kekurangan cinta juga kasih sayang dan dan dia juga mau kasih cinta sebanyak-banyaknya kepada orang yang tepat.

Masalahnya adalah dia kira segala perubahan First Kanaphan; suaminya yang berangsur signifikan ini membawa kesan positif bagi masa depannya. Meskipun diawal banyak bingungnya, timbul pertanyaan. Seiring bertambahnya hari ternyata dia jatuh terlena. Pengaman yang dia pakai sekencang kawat pengikat terkikis akan perhatian, buaian kalimat bak pujangga, juga afeksi yang tiada hentinya.

Khaotung kira semua ini akan berakhir indah. Sampai seluruh sel tubuhnya bergantung akan eksistensi suaminya. Ga apa mama pergi, tetapi kalau Firs ikut pergi Khaotung hancur tanpa sisa. Ya sekali lagi, realita memang tak seindah angan-angan.

“Aku sekarang bingung, mba.” Lirih suaranya memulai.

Tidak ada siapapun di kafe, karena ruangannya khusus reservasi untuk mereka berdua. Pun, Khaotung ga sanggup mengungkapkan kegundahan secara lantang. Dia ragu, tetapi dia juga takut untuk jadi ragu. Dia mau yakin, tetapi dia juga takut keyakinan yang tengah dianut menyakiti lebih dari hari ini.

“Apa yang ada di dalam pikirannya? Apa yang lagi dia ingin lakukan? Apa yang jadi tujuannya? Aku ga tau.” Lanjutnya.

Ciize mendengarkan dengan seksama, ga mau memutus, ga mau mengganggu. Dia kasih waktu sebanyak mungkin untuk Khaotung memilah dan menata kata tiap kata yang ingin dia ungkapkan.

“Dia itu aneh. Once we met and talked like old friends, and then we were strangers again caused by stupid game that i made. Yet recently, he acted like we are years married couple. He's lovely as sweet dreams. His words, things that i can't resist. His affection, one of best thing i ever feels.”

“He made me loved behind all the bad. He mad me the perfect person that God ever made. Tapi artikel iniㅡ” Khaotung membalikkan telfon genggam miliknya. Menampakkan satu buah artikel yang membuat malamnya berubah seketika.

Ciize mengangguk paham, meskipun ga seratus persen. Soalnya dari yang dia tangkap dari pernyataan First ke media beberapa minggu lalu harusnya make sense sama keadaan yang lagi mereka berdua jalanin. Ga mungkin First tiba-tiba harus ngaku kalo dia udah nikah sama model terkenal. Pula, Ciize juga paham sama keadaan Khaotung yang serba capek. Semua yang cowok itu pikirin pasti ga berakhir positif.

“He is such a menace, yeah?”

Khaotung ngangguk setuju. “Sekarang semuanya berkorelasi. Surat perjanjian, mama udah ga ada, pernyataan pentingnya ke media. He just want to leave me good.”

“Hey..” Ciize mengambil kedua tangan Khaotung, menggenggam dalam miliknya yang hangat. Dia mengusap juga melayangkan senyum menenangkan sebelum melanjutkan katanya, “You love him, do you?”

“Atas semua puja puji tentang dia. Yes, i do.


`hjkscripts.