the real deals.


First Point of View.

Hari ini tepat beberapa bulan tenggat waktu berpikir. Harusnya sudah ada keputusan, harusnya udah gak ada lagi kebingungan. Hari ini apapun yang terjadi kita harus hadapi, kita gak bisa lagi mengulur waktu dan lari.

Dua dari empat yang ada di sini sebenarnya hanya korban dari ulah kita si anak muda impulsif. Si anak muda sok tau yang main-main sama kebohongan. Harusnya gua dan Khaotung mengaku lebih awal, mencegah segalanya terlambat jadi runyam. Tetapi si anak muda sok tau ini gampangin waktu, jadilah terbuang sia-sia dan yang lagi kita hadapi ini adalah konsekuensi dari keterlambatan.

Kita gak lagi duduk di kafe dengan santai seperti awal akhirnya kita bisa terbuka. Kita sekarang lagi duduk berempat di ruangan kantor yang dipesan khusus untuk bahas keberlanjutan masalah ini. Semua orang gak boleh tau, semua orang gak boleh dengar. Hanya ada kita dan Tuhan sebagai saksi mata.

Gua di sini duduk santai mengamati dua manager yang lagi serius bahas surat kontrak, dan segala macem yang gua gak paham betul. Mereka ngobrol pakai bahasa hukum, gua mah apa cuma tau main musik. Intinya mereka lagi cari kata-kata terbaik, alasan terbaik yang akan digunakan untuk ngobrol sama orang-orang termasuk atasan, staf, partner, dan penggemar.

Mereka berdua lagi cari cara terbaik untuk meminimalisir damage yang akan terjadi. Itupun kalau gua sama Khaotung memutuskan untuk menikah beneran.

Sedangkan Khaotung yang duduk di seberang gua nih kelihatan banget gelisah. Dia tenang, tapi gua tau percis isi kepalanya pasti penuh, carut marut. Dia yang datang langsung duduk, gak nyapa gua, gak sekedar basa-basi. Gua dibiarkan nganggur begini meskipun ini perbuatan bersama.

Harusnya gua marah sama Khaotung. Karena dia yang bikin gua terjebak di dalam dilema. Dia penyebab awal yang punya masalah sama mama. Tapi ya udah nasi lembek jadi bubur, toh gua juga mengajukan diri buat ikut campur. Sudah berdiri dititik ini ya gak usah ada adegan tunjuk menunjuk.

Gua yang duduk di sini bersama ide gila yang lagi menunggu untuk dilontarkan. Lagi-lagi impulsif, tapi seenggaknya cuman ini yang bisa gua bantu pikirin. Menurut gua cuma ini win win solution yang adil.


Khaotung Point of View.

Ini perasaanku aja apa ruangan yang lagi kita isi jadi lebih dingin. Aku sampai ga sanggup mau ngomong, saking takut gemetar. Badan udah menggigil semua, bahkan sweater tebal handmade dari salah satu designer terkenal yang lagi aku kenakan ga bisa mengimbangi.

Sesekali aku pandang kaca yang sedikit terbuka. Mulai ada titik-titik air yang datang membilas kotoran yang menempel pada permukaannya. Menuju akhir tahun, musim hujan telah tiba.

Bulan ini tepatnya November. Bukan waktu yang sebentar dari jarak pertemuan pertama kita. Akhirnya kita dipertemukan lagi disaat terpenting. Kita ini bukan lagi bahas rapat proyek biasa. Ini itu lagi ngobrolin tentang hidup dan mati. Salah sedikit karir orang dan punyaku sendiri bisa berakhir selesai sampai di sini.

Menyesal ya? Jangan tanya. Sampai air mata aja males keluar saking menurut mereka kita ini menyesali hal yang bodoh. Salah sendiri ga mikir, yaudah terima aja itu hubungan pura-pura yang mungkin sebentar lagi dikabulkan jadi hubungan yang sebenarnya.

Menikah ya? Bagi aku menikah itu suatu achievement penting dalam hidup yang harus dirayakan dengan gembira bersama orang-orang yang kita cinta. Menikah itu bukan sebuah perjalan yang bisa dibuat permainan. Menikah itu ibadah seumur hidup, ajang mencari kebaikan juga kebahagiaan dan menebar kasih sayang.

Lantas gimana kalau menikah dilandasi terpaksa. Lantas gimana kalau menikah diawali dari pura-pura. Tanpa kasih sayang atau cinta. Bukannya mengais pahala malah bermandi dosa.

Namun, aku belum tahu akhirnya. Rapat masih berjalan dan aku berdoa hasilnya yang terbaik.


Ciize menyudahi diskusi alot penuh argumentasi dengan Podd. Dia gak langsung ngomong melainkan menegak americano pahit dalam satu teguk habis. Kepalanya pening, seumur-umur dia belum pernah kedapatan harus mengurus skandal. Masalahnya Khaotung ini sifatnya luar biasa terpuji.

Ini memang bukan tentang sifat manusia yang merusak citra. Namun, kecerobohan yang membawa bencana. Gak apa harusnya, manusia kan gak sempurna. Hidup gak selalu berjalan lancar, pasti ada saatnya kena celaka.

Ya udahlah ya, Ciize maupun Podd mungkin lagi diuji atas gaji dan bonus-bonus yang mereka dapat dengan mudah selama ini. Soalnya artis yang mereka bawahi bukan tipe problematik, jadi belum pernah ada kesusahan. Anggap aja mereka sekarang lagi kerja lebih keras buat dapat yang lebih banyak.

Podd mempersilahkan Ciize aja yang ngobrol. Ciize tuh pinter banget maintain emosinya. Kalo dia yang ngomong takut kesulut. Hebat sih, Podd besok-besok harus berguru lebih sama Ciize, soalnya dia yakin akan banyak cobaan yang dia akan hadapi semenjak dia ditunjuk buat pegang EXIT.

Ciize pertama jelasin perkara kontrak kerja. Regulasi awalnya, mana yang masih aman dilanggar, mana yang gak boleh sama sekali dilanggar. Biar mereka ngerti baiknya gimana. Ini tuh langkah meminimalisir hukuman yang akan mereka dapat selain mulut sosial.

Tentu aja gak ada yang bisa lepas dari sanksi apapun keputusan yang diambil. Jika mereka pilih menikah jelas ada regulasi yang dilanggar dan ada denda materi juga pemberhentian sementara. Jika mereka pilih sudahi saja ada yang harus dibayar lebih mahal dari sekedar materi. Yaitu berhadapan dengan mama yang akan tau tentang kebohongan yang dibuat anaknya.

Mana yang lebih sulit diterima? Jawabannya semua akan ada konsekuensinya.

Ciize dan Podd ternyata mikir sejauh itu. Mereka sudah sampai bikin statement yang akan diluncurkan jika keputusannya mereka melanjutkan hubungan. Dan ini semakin membuat pelakunya dilema.

“Itu aja semua yang sudah i paparkan. Menurut i udah jelas ya. Inimah yang namanya maju kena mundur kena. Semua ada konsekuensinya, akan ada kerusakan yang ditimbulkan. I sama Mas Podd belum bisa memutuskan harus begini dan begitu. Kita cuma bisa kasih opsi. Sekarang kita tanya dan jawaban cuma kalian yang menentukan.” Ciize menutup akhir pemaparannya. Cukup sampai di sini dia bisa bantu.

“Jadi kalian ini mau kabulkan permintaan mama atau mengaku kesalahan kalian sama mama?”

Ini sih yang bikin males, pertanyaan yang sebenarnya masih ada keraguan dalam jawabannya.

First apalagi, kepalanya udah penuh sama bayang-bayang ekspresi mama yang nangis kepayahan. Beliau yang seperti meminta First buat jaga anaknya kalau beliau udah gak ada. Karena Khaotung memilih First. Karena mama percaya Khaotung, First adalah orangnya.

Ibunya dulu juga kanker, sudah terlambat waktu ketahuan. Udah parah, dokter udah minta dipasrahkan aja. Tapi First mau rawat, dia kerja keras. Saking kerasnya dia cari biaya sampai dia gak ada di sisi ibu waktu jantungnya untuk terakhir kali berdegup. Ibu gak ninggalin wasiat apa-apa, tetapi First yakin ibu pasti mau bilang sesuatu. Cuma First terlambat datang, dia gak di sana, dia cuma bisa denger suara alat yang nyaring waktu masuk ke ruangannya.

First gak mau hal itu terjadi sama Khaotung, sama dia juga untuk kedua kalinya. Sampai di sini aja banyak waktu yang terbuang. Kita semua gak ada yang tau sampai berapa lama mama bertahan sama penyakitnya. Namun di sisi lain, First belum mau mengakhiri masa jayanya sebagai musisi, artis yang mulai naik derajat di mata publik.

“Gimana kalau kita nikah kontrak aja.” Dan cuma ini yang ada di dalam pikiran-pikiran putus asa.

“Nikah kontrak, maksudnya?”

“Ya kita nikah, sah hukum dan agama. Cuman dibelakang itu ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Gak ada yang boleh tau kita nikah selain pihak tertentu. Asalkan mama tau kita nikah, asalkan keinginan mama sudah terpenuhi. Kita harus saling jaga biar hubungannya tetap seperti ini sampai...” First berhenti, gak sanggup mau ngomong.

“Sampai umur mama udah berhenti.”

Mereka masih menjadi manusia-manusia yang hidup di balik kebohongan.


`hjkscripts.