lost control.
TRIGGER WARNING ; CONTAIN SEXUAL ABUSE 🔞
First Kanaphan jelas pulang dalam keadaan emosi masih di puncak. Napasnya berat, tidak beraturan, selalu dihempas kasar. Amarahnya menggebu-gebu, seakan semua yang ada pada jarak pandangnya adalah samsak tinju.
Namun, sayang dia bukan seorang kriminal. Cowok itu juga bukan ahli pemilik tempramen buruk. First Kanaphan mau lampiaskan semuanya, sekarang juga. Tetapi, ada etika yang harus dia jaga. Ada tata krama yang harus dia jalankan. Karena dia juga bukan pusat dunia, semua orang yang tidak terlibat gak boleh ikut merasakan hawa panasnya.
Pintu apartemen dibuka dengan tergesa. Dunia itu apa-apa rasanya jadi lambat, sesak, dan semua menyebalkan. Dia jadi kesulitan buka password pintu apartnya, waktu udah terbuka pintu rasanya berat. Di dalam apart sepatu yang dia kenakan jadi susah buat dilepas. Pendingin ruangan terasa hampa, terus panas mengelilingi tubuhnya hingga sulit bernapas.
Kenapa sih semuanya jadi kayak gini? Salah apa dia? Pertama kali tubuh First Kanaphan akhirnya bisa duduk bersandar pada sofa yang lima tahun ini menemaninya. Cowok itu menutup mata, mencoba mengatur napasnya, dan memilah carut marut isi pikirannya. Pada saat bersamaan, memori yang baru saja dia dapatkan berputar jelas layaknya mata dan otak merekam tiap adegan yang terjadi di sana.
Matanya terbuka sempurna, ini jadi sebuah tanda kegagalan dalam menenangkan diri. Dia masih marah luar biasa, hingga bantal yang tidak punya dosa pun di lempar kuat entah mengenai apa. First Kanaphan berdiri, disaat begini dimana Khaotung berada? Gila, iya dia gila. Dia butuh Khaotung seperti makhluk butuh oksigen.
Kedua kaki panjang itu berjalan menghentak menuju kamar yang kini mempunyai dua kepemilikan. Buka lagi kamar mu atau aku, namun menjadi kamar milik kita. Dia membuka cepat, mendapati Khaotung dengan headphone juga ipad ditangannya.
Dikuasai emosi emang bikin manusia bisa lupa diri. Kayak First kali ini, cowok itu gak mikir apa perasaan Khaotung setelah melihat tingkat lakunya. Terpenting, apa yang menjadi nafsu impulsif yang terbesit dalam pikirannya dia harus lakukan. Maka, First Kanaphan menyingkirkan paksa ipad milik Khaotung, membuangnya sembarangan gak mikir berapa biayanya, atau seberapa penting isinya.
First melempar tubuh Khaotung, menghempaskan hingga terlentang di atas kasur yang baru mereka beli minggu lalu. Cowok yang pikirannya udah gak rasional sama sekali menghimpit tubuh Khaotung di bawahnya. Hal pertama yang dia lakukan adalah, mengecup bibir Khaotung.
Kedua tangannya dia tempatkan menangkup dua sisi pipi Khaotung yang belakangan ini tampak lebih gembil daripada biasanya. Dia menyesap, juga menghisap seperti ada candu yang membuat dirinya terbang melayang-layang. First Kanaphan gak peduli sama perasaan Khaotung setelah ini, sebab jika dia peduli, First akan meminta bibir Khaotung bermain melayani bibirnya.
Khaotung bergeming, tubuhnya gak punya ruang banyak untuk memberontak. Bahkan ketika tangan bebasnya mencoba menghentikan perbuatan bejat First di siang hari, dua lengannya dicengkram lalu ditarik ke atas kepalanya. Khaotung tidak sama sekali menjawab kecupan demi cumbuan yang semakin intens juga liar. Karena, cowok yang tengah mematung pasrah ini sedang memproses perasaan kecewa.
Bukan gini caranya. Maksudnya gak kayak gini. Bahkan First Kanaphan dengan kurang ajarnya berani memasukkan jemari panjang dalam sweater milik Khaotung, mengusap permukaan perut suaminya yang tegang. Khaotung marah, dirinya berontak melawan dominasi First dilanda gila. Persetan kakinya menendang wajah suaminya yang tengah mencoba melucuti celananya. Terpenting, kejadian ini harus segera diluruskan kalau gak mau terjadi peristiwa yang gak akan menyenangkan bila diingat esok hari.
“Keluar kamu!” Hardik Khaotung tegas. Cowok yang lebih kecil itu melompat dari atas kasur, memberi jarak sejauh mungkin hingga punggungnya menempel pada tembok di belakangnya.
First seketika sadar akan perilaku bodohnya. Dia lepas kendali, dia kesetanan, dan dia sungguh menyesal. “Sayang.. aku-” Dia coba menjelaskan.
“Aku gak mau denger penjelasan kamu dulu.” Ucap Khaotung dingin. Cowok itu telah memutuskan bahwa dirinya masih trauma dan belum siap mendengar segala alasan. Nanti, dia butuh ruang sendiri. Mereka berdua butuh ruang sendiri-sendiri.
“Aku takut. Kamu bikin aku ketakutan.”
Kalimat terakhir Khaotung layaknya belati tajam yang menancap tepat di ulu hati. Kalimat itu seperti kapak yang dapat menghancurkan mimpi-mimpi. Kalimat itu seperti bom penghancur pondasi yang lagi dia coba bangun. First Kenaphan, habis hidup kamu setelah ini.
First Kanaphan gak mau rusak rumah yang lagi dia coba bangun perlahan bersama Khaotung. Naas, emosi memang sumber kekacauan jika dia lepas kendali. Maka, dia gak bisa apa-apa lagi selain pasrah dan berlalu pergi.
`hjkscripts.