hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


TRIGGER WARNING ; CONTAIN SEXUAL ABUSE 🔞

First Kanaphan jelas pulang dalam keadaan emosi masih di puncak. Napasnya berat, tidak beraturan, selalu dihempas kasar. Amarahnya menggebu-gebu, seakan semua yang ada pada jarak pandangnya adalah samsak tinju.

Namun, sayang dia bukan seorang kriminal. Cowok itu juga bukan ahli pemilik tempramen buruk. First Kanaphan mau lampiaskan semuanya, sekarang juga. Tetapi, ada etika yang harus dia jaga. Ada tata krama yang harus dia jalankan. Karena dia juga bukan pusat dunia, semua orang yang tidak terlibat gak boleh ikut merasakan hawa panasnya.

Pintu apartemen dibuka dengan tergesa. Dunia itu apa-apa rasanya jadi lambat, sesak, dan semua menyebalkan. Dia jadi kesulitan buka password pintu apartnya, waktu udah terbuka pintu rasanya berat. Di dalam apart sepatu yang dia kenakan jadi susah buat dilepas. Pendingin ruangan terasa hampa, terus panas mengelilingi tubuhnya hingga sulit bernapas.

Kenapa sih semuanya jadi kayak gini? Salah apa dia? Pertama kali tubuh First Kanaphan akhirnya bisa duduk bersandar pada sofa yang lima tahun ini menemaninya. Cowok itu menutup mata, mencoba mengatur napasnya, dan memilah carut marut isi pikirannya. Pada saat bersamaan, memori yang baru saja dia dapatkan berputar jelas layaknya mata dan otak merekam tiap adegan yang terjadi di sana.

Matanya terbuka sempurna, ini jadi sebuah tanda kegagalan dalam menenangkan diri. Dia masih marah luar biasa, hingga bantal yang tidak punya dosa pun di lempar kuat entah mengenai apa. First Kanaphan berdiri, disaat begini dimana Khaotung berada? Gila, iya dia gila. Dia butuh Khaotung seperti makhluk butuh oksigen.

Kedua kaki panjang itu berjalan menghentak menuju kamar yang kini mempunyai dua kepemilikan. Buka lagi kamar mu atau aku, namun menjadi kamar milik kita. Dia membuka cepat, mendapati Khaotung dengan headphone juga ipad ditangannya.

Dikuasai emosi emang bikin manusia bisa lupa diri. Kayak First kali ini, cowok itu gak mikir apa perasaan Khaotung setelah melihat tingkat lakunya. Terpenting, apa yang menjadi nafsu impulsif yang terbesit dalam pikirannya dia harus lakukan. Maka, First Kanaphan menyingkirkan paksa ipad milik Khaotung, membuangnya sembarangan gak mikir berapa biayanya, atau seberapa penting isinya.

First melempar tubuh Khaotung, menghempaskan hingga terlentang di atas kasur yang baru mereka beli minggu lalu. Cowok yang pikirannya udah gak rasional sama sekali menghimpit tubuh Khaotung di bawahnya. Hal pertama yang dia lakukan adalah, mengecup bibir Khaotung.

Kedua tangannya dia tempatkan menangkup dua sisi pipi Khaotung yang belakangan ini tampak lebih gembil daripada biasanya. Dia menyesap, juga menghisap seperti ada candu yang membuat dirinya terbang melayang-layang. First Kanaphan gak peduli sama perasaan Khaotung setelah ini, sebab jika dia peduli, First akan meminta bibir Khaotung bermain melayani bibirnya.

Khaotung bergeming, tubuhnya gak punya ruang banyak untuk memberontak. Bahkan ketika tangan bebasnya mencoba menghentikan perbuatan bejat First di siang hari, dua lengannya dicengkram lalu ditarik ke atas kepalanya. Khaotung tidak sama sekali menjawab kecupan demi cumbuan yang semakin intens juga liar. Karena, cowok yang tengah mematung pasrah ini sedang memproses perasaan kecewa.

Bukan gini caranya. Maksudnya gak kayak gini. Bahkan First Kanaphan dengan kurang ajarnya berani memasukkan jemari panjang dalam sweater milik Khaotung, mengusap permukaan perut suaminya yang tegang. Khaotung marah, dirinya berontak melawan dominasi First dilanda gila. Persetan kakinya menendang wajah suaminya yang tengah mencoba melucuti celananya. Terpenting, kejadian ini harus segera diluruskan kalau gak mau terjadi peristiwa yang gak akan menyenangkan bila diingat esok hari.

“Keluar kamu!” Hardik Khaotung tegas. Cowok yang lebih kecil itu melompat dari atas kasur, memberi jarak sejauh mungkin hingga punggungnya menempel pada tembok di belakangnya.

First seketika sadar akan perilaku bodohnya. Dia lepas kendali, dia kesetanan, dan dia sungguh menyesal. “Sayang.. aku-” Dia coba menjelaskan.

“Aku gak mau denger penjelasan kamu dulu.” Ucap Khaotung dingin. Cowok itu telah memutuskan bahwa dirinya masih trauma dan belum siap mendengar segala alasan. Nanti, dia butuh ruang sendiri. Mereka berdua butuh ruang sendiri-sendiri.

“Aku takut. Kamu bikin aku ketakutan.”

Kalimat terakhir Khaotung layaknya belati tajam yang menancap tepat di ulu hati. Kalimat itu seperti kapak yang dapat menghancurkan mimpi-mimpi. Kalimat itu seperti bom penghancur pondasi yang lagi dia coba bangun. First Kenaphan, habis hidup kamu setelah ini.

First Kanaphan gak mau rusak rumah yang lagi dia coba bangun perlahan bersama Khaotung. Naas, emosi memang sumber kekacauan jika dia lepas kendali. Maka, dia gak bisa apa-apa lagi selain pasrah dan berlalu pergi.


`hjkscripts.


First melamun bersama hembusan angin bertekanan tinggi. Cowok itu gak tau kenapa lagi pengen menapaki balkon apartemen yang hampir gak pernah dibuka pintunya sejak pertama kali ditinggali. Dia cuma diem, ngelamun ngeliatin gedung gedung yang beberapa lampunya masih menyala. Dari atas sini semuanya terlihat tenang.

Rasanya gak adil, kok bisa dunia sesunyi ini? Kayak mereka emang gak bingung mikir ya? Gak pada punya beban ya? Dunia yang ada di hadapannya sekarang sepi, gak kayak pikirannya yang lagi berisik, kacau balau. Sampai, kotak yang harusnya dia jatah sebulan maksimal dua aja, untuk hari ini hampir habis sudah satu kotak.

First tutup pintu yang jadi pembatas antara rumahnya dan balkon. Dia gak mau di dalam jadi bau tembakau. Biarkan aja dia sesap juga hirup semuanya seperti bau aromaterapi yang dipasang Khaotung di beberapa ruangan.

Terus cowok itu cuma menyesap lalu dihempaskan kasar. Seolah tiap asap kenikmatan yang keluar bersama nafas panjangnya sekaligus mengeluarkan beban di dalam kepalanya tanpa harus dia mengungkapkan. Karena dia gak tau kepada siapa lagi harus mengadu. Ini bukan masalahnya; secara tidak langsung. Namun, segala hal ini menyangkut masa depannya, menyangkut mimpinya. Bukan miliknya sendiri, namun mimpi anak-anak yang udah bareng-bareng lewati susahnya di jalan masing-masing.

Dia sendiri mungkin gak perlu bingung kalau nasib buruk bakal menimpa mimpinya di hari esok. Karena hidupnya sudah terikat dengan milik sang suami. Rumah punya, kendaraan punya, uang bisa dicari, dan karir, mengikat Khaotung sama saja dengan mengikat karir cemerlang yang akan terus berjalan layaknya bayangan.

Tetapi bagaimana sama temen-temennya? Gimana sama Bang Earth yang harus nabung biar ibunya gak susah di masa tua? Bahkan uang hasil kerja kerasnya masih dia sisihkan buat bayar kontrakan minimalis tempat ibunya tinggal. Gimana sama Aou dengan ceritanya yang selalu dilempar sana sini sama keluarga mama dan papanya? Dia secara harfiah gak punya rumah. Gawin lagi...cowok yang cara ngomongnya kayak cewek lagi mens tahunan itu emang suka defensif. Cara ngomongnya buat ngelindungi dirinya dari mara bahaya. Karena dia gak punya siapa-siapa, keluarganya tidak menginginkan kehadirannya.

Suara pintu digeser gak membuat First bereaksi dari posisinya. Namun, ujung matanya masih peduli, melirik sosok yang sudah bergabung bersama menikmati angin yang datang layaknya menampar wajah tanpa ampun. Rambutnya berantakan, matanya jadi sayu.

Khaotung merebut batang yang tinggal seperempat dari tangan First. First sendiri sudah pasrah, batang itu mau dibuang atau diinjek. Tetapi First salah, terheran pula melihat suaminya menyesap batang penuh nikotin itu dengan lihai. Tiga kali dia hisap, lalu dihembuskan dengan gaya yang seakan dia sudah biasa.

“I don't know you smoke.” Ungkap First heran.

Khaotung terkekeh sembari menghembuskan asap terakhir sebelum mematikan sisa apinya sembarangan. “You just don't see me enough.” Balasnya dengan tatapan mengejek.

“Ketauan banget gak pernah merhatiin aku selama ini.” Khaotung mengejek First sekali lagi.

“Iya ya. Masih banyak yang harus dipelajari berarti.” First mengaku menyerah. Cowok itu ubah arah tubuhnya menghadap Khaotung seratus persen. “Habis ini jangan risih kalau aku perhatiin kamu terus. Soalnya aku mau tau tiap detik kamu ngapain. Meskipun kamu cuma bernapas, aku harus tau gimana caranya kamu bernapas. Aku mau denger suara napas kamu, aku pengen denger suara detak jantung kamu. Karena, kayaknya sekarang cuma hal itu yang bikin aku tetep waras.”

First gak lagi bercanda dilihat dari tatapan matanya yang intens dan penuh keseriusan. First gak lagi adu gombal, Khaotung bisa lihat gimana mimik wajah penuh kesedihannya. First gak bohong tentang penyemangat hidupnya saat ini. Sebab kalau saat ini Khaotung gak ada di sampingnya, dia pasti udah panik, emosi, dan lama-lama gila.

Khaotung rasanya menghangat. Dia juga ingin tersenyum centil layaknya remaja masih baru kenal cinta. Namun, First malam ini lagi butuh support, suaminya ini lagi nyari tempat pegangan buat nopang badannya yang bentar lagi mau ambruk. Maka, Khaotung usap lengan besarnya lembut, hati-hati, penuh cinta dan kasih, tak lupa pula perhatian. Lalu, telapaknya bergerak naik mengusap pipi First yang sudah dingin dikuasai suhu udara luar. Memberikan kehangatan sebisa mungkin.

First menutup matanya, bersama pula jatuh butir kelemahan yang dia tahan-tahan biar gak keluar, kalau bisa jangan pernah keluar. Karena kalau sampai keluar, tandanya First kalah. Tapi kayaknya, First bakal pasrah kalah kalau itu di depan suaminya sendiri. Dia gak apa lemah asal dihadapan Khaotung. Khaotung gak mungkin ngejek, dia gak mungkin anggep dirinya lemah.

Buktinya, Khaotung semakin gencar melepaskan afeksi berupa sentuhan lembut miliknya. Gak ada suara, gak ada kata-kata mutiara. Saat menurutnya semua sentuhannya kurang, Khaotung menarik tubuh First yang jauh lebih tinggi untuk menunduk, meletakkan kepalanya yang penuh dan berat di atas pundak sempit milik Khaotung.

“Ssttt... It's okay, husband. Everything is going to be okay.” Bisiknya kecil.

First gak nangis sampai meraung, tanpa suara, tapi derasnya seolah mengeluarkan semua kekhawatiran dan sajak-sajak negatif yang lagi dia pendam. Kayaknya, First harus banyak-banyak cerita tentang suka dukanya sama Khaotung. Sebab, mulai sekarang First butuh Khaotung, dia mulai ketergantungan sama Khaotung.

Khaotung Thanawat itu kunci kehidupan buat First Kanaphan.


`hjkscripts.


TRIGGER WARNING ; SEXUAL CONTENT 🔞

First Point of View.

Berbekal informasi dari orang mabuk, gua berangkat juga ke salah satu pantai di kota. Bukan pantai yang gede, juga gak bagus banget. Pantainya rame dan sempet viral sejak dilakukan revitalisasi sama pemerintah daerah setempat. Sekarang ya penuh lampu-lampu berlagak aesthetic juga banyak anak muda lagi nongkrong.

Hari ini tepat malam minggu. Gilak! Sumpek banget liat orang lalu-lalang. Gua sebagai anak band yang harusnya punya jiwa sosial yang tinggi, ngeliatnya capek juga. Mending di rumah, genjreng gitar.

Kedatangan gua di sini ya karna kelakuan siapa lagi kalo bukan suami gua. Cowok itu pamit berangkat kerja, tapi gak pulang-pulang. Biasanya dia bakal langsung pulang, bawa tentengan makanan banyak banget. Apa-apa semua dibeli, soalnya dia lagi seneng belakangan ini. Khusus hari ini, gua dikagetkan dengan drunk text yang dia kirim.

Oh, pantesan! Ternyata anaknya lagi nongkrong juga sama temen-temennya. Liat tuh! Udah pada teler semua. Gua datang, disambut sama mas-mas yang gua taunya dia orang wardrobe. Dia orang yang paling sober daripada yang lain, meskipun berdiri aja sempoyongan. Gua panik dikit, takut diinterogasi. Ternyata dia jalan aja gitu ke arah toilet.

Gua gak bisa lama-lama di sini. Apalagi niat gua buat jemput Khaotung yang bakal bikin asumsi orang-orang yang sadar. Pelan-pelan gua angkat badan Khaotung yang lumayan berat. Cowok gua udah gak punya effort buat bantu ngurangin beban. Gua bawa dia menuju mobil sambil harap-harap orang sebanyak itu gak ada yang ngenalin kita.

Di rumah, gak ada suara yang tercipta kecuali helaan napas gua yang berantakan. Juga, berkolaborasi sama erangan-erangan khas orang mabuk. Minum berapa botol coba ini anak? Karena jujur, gua belum pernah liat Khaotung mabuk segininya. Dia selalu minum in moderate amount meskipun minum sama gua di ruang tamu.

Gua jadi penasaran kenapa dia gak mau minum sampe gila waktu di rumah. Padahal dari segala tempat, rumah yang paling aman dan minim resiko. Seberapa gila gua dalam meneguk kaleng-kaleng alkohol, Khaotung lebih milih minum satu kalengnya dan disesap pelan-pelan. Entah apa yang lagi cowok itu coba tahan?

Khaotung akhirnya bangun, masih linglung, masih mabuk juga. Dia senyum waktu buka matanya, gua reflek jawab senyumannya karena he's so damn cute... and tempting.

“I know you will found me.” Dia ngomong dengan suaranya berat juga serak.

“Aku kan udah bilang bakal cari kamu. Sekarang udah ketemu, bakal aku kekepin sampek besok pagi.” Jawab gua dibales kekehan.

“Sini kekepin!” Gua asli kaget dengan gestur genitnya yang merentangkan tangannya kayak minta gua buat meluk dia erat-erat. Pula, dengan suaranya yang gua gak tau karna alkohol atau dibuat-buat menggoda.

Gua nanggepin dia cuma bercanda, tapi gerakan tangannya yang melambai-lambai gak sabaran bikin insting gua tergerak. Gua genggam pergelangan tangannya, meletakkan di belakangan tengkuk gua. Sedangkan tubuh gua perlahan masuk dalam dekapannya. Anget, gua hirup aroma tubuh dia lewat ceruk lehernya. Wangi parfumnya masih ada, melekat kuat bikin gua malah mabuk kepayang.

Khaotung itu entah gila atau apa, si anak baik berubah total jadi sosok penggoda. Dia tiup belakang telinga gua, menghantarkan sensasi geli yang membangkitkan syaraf-syaraf. Terus, ada sensasi dingin juga basah bersamaan bunyi-bunyi kecipak di sana.

“Sayang, kamu ngapain?” Gua menggoyangkan tubuhnya dalam dekapan gua.

Otak gua yang lagi panik juga kebingungan harus kirim respon apa. Gua diam cukup lama, mikir sembari nikmatin tiap kecup yang dia bagi. Naasnya, otak gua yang bisa mikir ini gak berfungsi layak biasanya. Dalam pikiran-pikiran gua isinya cuma hal-hal kotor yang bakal terjadi kalau gua memberi respon yang sama.

Gak ada yang bisa menghentikan kegiatan kita bagaimana pun output-nya hari esok. Persetan canggung, otak gua udah gak bisa mikir sampek sana. Otak ini cuma bisa mencari dan mengirim informasi terkait langkah-langkah beradegan dewasa dari gaya satu ke gaya seribu.

Gua angkat tubuh Khaotung dari posisi rileks di atas sofa. Menjadikan paha gua sebagai tumpuan badan kurang tenaga miliknya. Di pangkuan gua, wajah Khaotung makin kurang ajar. Pipi dan hidungnya merah pengaruh alkohol, tapi mulutnya terbuka celanya dan basah. Gak ada larangan baik-baik untuk tidak menjamah bibirnya. Semua yang ada di tubuh Khaotung malam ini mengundang birahi datang.

“Kamu gila ya?” Gua bertanya. Lebih ke emosi soalnya yang gila adalah gua. Gua gila karena suami gua sendiri.

“Aku mau cium kamu, boleh?” Gua sekali lagi bertanya. Meskipun udah jadi goblok, gua gak mau meninggalkan rukun pertama ngewe, yaitu consent.

Khaotung gak jawab, mukanya tolol banget minta dilecehin sekarang juga. Gua mendekap pinggangnya, menarik dia lebih dekat sampai dua gundukan punya kita bergesekan. Gak ada penolakan sampai sini, sampai jemari-jemari gua meraba setiap inci di wajahnya pun dia bergeming. Khaotung menutup matanya bersama dengan helaan napas berat kala gua menarik kecil rambut belakangnya. Maka menurut insting lelaki gua, ini adalah jawaban mempersilahkan.

Pertama, gua kecup bibirnya ringan, gak ada tekanan. Lalu, gua kecup untuk yang kedua kalinya. Lebih khidmat, lebih lama, sebagai perkenalan untuk disimpan sebagai memori. Khaotung yang mutus pertama kali, mata sayunya terbuka dengan binar-binar kebingungan.

Khaotung akhirnya sadar dari mimpi indah yang membawanya kepada realita. Di atas pangkuan gua, berada dalam komando gua, penuh hati-hati juga tanggung jawab. Kita berbagi kecupan di bawah lampu ruang tamu, beralaskan sofa, disaksikan benda-benda mati. Dilindungi kasih sayang, bersama juga cinta.

Dan gua kecup lagi bibirnya untuk yang ketiga. Kali ini diikuti lumatan konstan. Saling memanggut, merasakan eksistensi, juga merekatkan garis-garis takdir yang awalnya jauh menjadi sedekat kulit bertemu kain katun. Malam ini, gua sangat menikmati. Mengisi tiap memori dengan tekstur kenyal bercampur basah liur. Mengingat bagaimana rasa manis bercampur sisa alkohol yang memabukkan. Merekam suara kecipak seolah alunan melodi indah yang gua ciptakan.

Gak ada penyesalan, yang ada hanya rasa yang datang semakin besar. Rasa ini semakin menumpuk, membuncah, dan perlu dilampiaskan. Cinta baru yang datang berbondong-bondong ini adalah perasaan baru buat gua kepada Khaotung.

Cinta ini bukan untuk siapa-siapa. Bukan bentuk tanggung jawab gua kepada siapapun. Melainkan, cinta ini untuk Khaotung, karena dia Khaotung. Gua, First Kanaphan yang bakal bertanggung jawab atas perasaan milik gua sendiri.


`hjkscripts.


Hari itu lagi panas-panasnya. Ada kali suhu capai 34 derajat celcius, dan mereka memutuskan untuk tetap melaksanakan agenda yang sudah dipersiapkan baru semalam.

Dateng ke tempat dengan konsep rustics gini ternyata gak buruk juga. Malah Khaotung berdua sibuk lihat-lihat furnitur yang pihak kafe pasang acak. Sesekali mereka ngefotoin juga sekiranya enak dipandang. Sedangkan First, dia kurang tertarik sama interior kayak gini. Bagi dia semua kafe tuh sama, yaitu tempat ngopi. Malah, kepalanya lagi penuh tentang skenario yang mau dia amalkan pas nanti udah duduk.

Kafe hari itu sepi banget. Gimana gak sepi ya kalo datengnya siang bolong di hari orang-orang masih pada gawe. Cuma ada beberapa staf sama dua orang yang kayaknya lagi work from cafe. Ini sih yang namanya keberuntungan, pas banget sama intensi mereka.

Gawin tuh ternyata pinter banget milihin tempat. First sama Khaotung milih duduk di kursi outdoor yang ternyata sama sejuknya dari indoor. Bedanya, di sini sejuk karena tepat di atasnya pohon gede yang lagi bergerak sebab ditiup angin.

Dalam keadaan kayak gini, keadaan dimana untuk pertama kali mereka mau saling buka suara, First gak bisa langsung paksain Khaotung buat fokus sama tujuannya. Di hadapannya, Khaotung lagi duduk namun pandangannya masih asik sama fasilitas yang dikasih kafe. Entah dia lagi ngeliatin apa, yang pasti First kasih waktu sebanyak yang Khaotung butuh. Gak ada buru-buru.

Toh, First bodohnya juga malah mandangin suaminya. Rasanya adem gitu, wajah tenang Khaotung juga rambutnya yang lagi bergerak dihempas angin sepoi-sepoi yang gak berhenti lewat. Indah, begitu kata batinnya. Terus, badan First mendadak tegak kala Khaotung telah berpaling dari kegiatan memandang dan malah bersitatap dengan mata First Kanaphan yang tengah memuja.

Khaotung tersipu malu, menyembunyikannya dengan senyuman kecil. First yang kepergok ganti menatap sekitar canggung yang berakhir dia tertawa geli sebab dia tau dirinya bersikap bodoh.

“Puas ngeliatinnya?” Goda Khaotung.

First mengangkat bahunya, membuat gestur untuk menenangkan rasa malunya. “Sorry, can't help it.” Dia mengakui.

Mereka berdua yang lagi berhadapan ini gak bisa gambarin perasaannya sendiri. Mixed feelings banget dan penuh pertanyaan. Dalam pikirannya yang lagi coba disembunyikan erat-erat pakai gerakan menyesap minuman masing-masing ada harapan tersendiri dari hasil ngobrol hari ini.

First yang mulai. Cowok itu merasa dia yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah di antara merekaă…ˇ yang mana, dia sendiri sebenarnya masih menerka mana yang jadi titik retak komunikasi mereka yang telah membaik belakangan. First merasa dia sudah mengawali dengan dia yang mengoreksi diri. Pula, dia rasa feedback yang diberikan Khaotung cukup baik meskipun di awal, suaminya masih banyak sanksi. Namun, semua usahanya seperti hancur sia-sia dalam satu malam pada peristiwa perginya mama.

First Kanaphan membuat debaran jantung Khaotung meningkat. Seperti cowok ini benar jodohnya yang bisa membaca jalan pikirannya yang rumit. Bergeming, kaku, dan ekspresi terkejut tidak percaya atas keluarnya surat perjanjian tertulis yang mereka setujui hampir lima tahun lalu ada di atas meja kafe, di tengah-tengah keduanya. Seperti dejavu satu malam itu, tepat setelah acara pernikahan selesai, surat berisi gambaran ego keduanya disepakati.

Khaotung mau lari aja, sejauh mungkin yang pasti dia mendadak gak mau bahas apapun yang berkaitan dengan surat ini. Hanya ada satu kemungkinan dengan habisnya masa berlaku dari surat tersebut, yaitu perpisahan. Surat ini dibuat pada hari pertama mereka bersama dan berakhir saat mereka memutuskan untuk berpisah.

“Waktu berjalan begitu cepat bukan?” Khaotung bergumam, masih bisa didengar suaranya yang kecil sebab kafe semakin sepi. First mengangguk setuju, memang waktu semakin bergerak lebih cepat.

Tangan Khaotung bergerak lembut, mengambil surat bertulis tangan yang sama sekali gak lecek menandakan dijaga betul-betul oleh suaminya. Dia membaca satu persatu poin kalimat yang menurutnya gak masuk akal sama hubungan mereka menuju akhir.

Cowok itu mengangguk seolah kerumitan di kepalnya mulai membentuk gulungan rapih yang membuat dirinya perlahan paham.

“Now it's all makes sense.” Katanya.

Namun, First sama sekali gak paham sama kalimat Khaotung barusan. “Aku gak paham. Apanya yang make sense?” Dia bertanya.

Khaotung yang sekarang gak paham. Bukannya mereka di sini satu pemikiran ya? Terus, emosi Khaotung mendadak meningkat liat muka bingung bodoh suaminya. Dia menganggap bahwa First gak serius, padahal udah jelas surat perjanjian ini dia yang keluarkan.

“Kamu mau kita selesai, kan? Ya udah ayo kita selesai!”

First makin bingung dengan kesimpulan yang keluar dari mulut Khaotung. Dia juga kurang suka nadanya yang terkesan memojokkan dirinya. Lalu, First berkata membela diri sekaligus meluruskan, “Bentar Khao, maksud aku ngajak kamu kesini bukan ituㅡ”

“Terus apa? Kamu ga perlu merasa bersalah buat punya pikiran pergi ninggalin aku dalam kondisi aku yang lagi kayak gini. Semuanya udah disepakati. Aku paham kok. Ga apa, kalau mau pergi ga apa.” Suaranya lantang, namun berangsur kecil seiring dengan getaran yang menandakan bahwa emosinya berantakan di dalam.

“Mama udah pergi, udah saatnya kamu juga ikut pergi. Aku ga mau jadi beban kamu juga buat terus tutup-tutupi. Hidup kamu ga tenang kalo terus bertahan sama aku. Kamu punya karir cemerlang, penggemar yang nunggu kamu. Aku juga ga mau kamu bohong terus sama media. Surat iniㅡ” Khaotung mengangkat surat perjanjian sekali lagi. Lalu, dia menyobeknya jadi beberapa bagian.

“ㅡ Surat ini, dengan surat ini aku melepas kamu pergi.” Pamungkasnya bersama tetes pertama air mata merelakan.

Sekarang First paham kenapa Khaotung menjadi diam. Berapa banyak jumlah pemikiran-pemikiran negatif yang dipaksa masuk bersamaan yang seharusnya dia fokus mengenang mamanya. First merasa semakin bersalah, harusnya dia lebih cepat peka. Harusnya masa-masa berduka, dia sudah melompati batasan yang mereka buat. Harusnya dia tidak menahan diri dan banyak-banyak menyediakan tempat ternyaman untuk suaminya.

“Sayang dengarkan aku!” First cepat-cepat mengambil kedua tangan Khaotung. Persetan dengan surat yang sudah gak berbentuk. Toh, memang ini tujuannya.

“Aku ajak kamu kesini memang karena surat ini. Tujuanku memang untuk membuat surat ini menghilangkan di antara kita. Iya, suratnya harus menghilang kalau mau memulai semuanya dari nol. Sayang, aku mau kita jadi individu baru, menjadi pasangan yang sehat karena perjalanan kita dimulai dari hal baik. Aku ingin kita melupakan masa lalu yang menyatukan kita. Lupakan hari itu, ingat saja tentang hari ini, anggap hari ini, di jam ini, menit ini, detik ini, di tempat ini, menjadi awal pertemuan kita dan kita yang menjalani hari selanjutnya bersama sampai takdir yang memisahkan.”

First Kanaphan salah karena baru sadar bahwa rasa tanggung jawabnya sedikit demi sedikit terkonversi jadi rasa cinta.

First Kanaphan ingin lepas dari tanggungjawab karena janjinya pada mama. Menjadikan dia mandiri yang bisa mengurus perasaannya sendiri. First Kanaphan ingin mulai menyayangi Khaotung karena dirinya sendiri. First Kanaphan ingin mencintai Khaotung karena tanggung jawabnya kepada Tuhan semata sebab Khaotung Thanawat adalah makhluk yang Dia ciptakan dengan rasa cinta.


`hjkscripts.


“Pak bos jadinya ngapain tadi main ke you punya apartemen, beb?”

Khaotung cuma melayangkan senyum getir. Benar-benar ga paham gimana mau jelasin maksud kedatangan papap ke apartemen yang jatuhnya tiba-tiba sekali. Sebab, Khaotung sama papap hampir ga pernah ada di dalam satu ruangan berdua aja, hampir ga pernah komunikasi intens yang jauh dari kerjaan.

Kejadian beberapa jam lalu, sebelum cowok ini duduk di bangku kafe yang interiornya nyaman, begitu intim namun juga begitu singkat. Ayah dan anak saling ngobrol meskipun harus ada perantara bunyi televisi yang sengaja diputar agar suasana tidak jadi canggung, meskipun tanpa adanya tatapan mata yang berarti. Hanya kalimat berbalas kalimat tentang keadaan masing-masing, lepasnya ditutup dengan makanan cepat saji dan papap pulang begitu aja.

“Ya gitu. Emang papap harus bikin gebrakan apa deh sampe kamu penasaran banget.” Khaotung jawab dengan nada sarkas. Kayak ga menyetujui pembahasan tentang papap berlangsung sampai akar.

Karena bukan tentang papap yang membuat dirinya harus menguatkan tubuhnya yang belakangan ini ga pernah sehat untuk keluar sekedar nongkrong di kafe sama mba manager kesayangan. Karena bukan tentang papap yang membuatnya lebih berantakan sejak ditinggalkan mama pergi selamanya.

Hadirnya dia di sini bukan membahas perubahan dari masa lalu. Bukan pula membahas yang sudah selesai mengabdi. Namun, ini tentang masa depan yang dia lagi cari jalan terbaik. Karena dia mau jadi Khaotung versi apik, dia ga mau kekurangan cinta juga kasih sayang dan dan dia juga mau kasih cinta sebanyak-banyaknya kepada orang yang tepat.

Masalahnya adalah dia kira segala perubahan First Kanaphan; suaminya yang berangsur signifikan ini membawa kesan positif bagi masa depannya. Meskipun diawal banyak bingungnya, timbul pertanyaan. Seiring bertambahnya hari ternyata dia jatuh terlena. Pengaman yang dia pakai sekencang kawat pengikat terkikis akan perhatian, buaian kalimat bak pujangga, juga afeksi yang tiada hentinya.

Khaotung kira semua ini akan berakhir indah. Sampai seluruh sel tubuhnya bergantung akan eksistensi suaminya. Ga apa mama pergi, tetapi kalau Firs ikut pergi Khaotung hancur tanpa sisa. Ya sekali lagi, realita memang tak seindah angan-angan.

“Aku sekarang bingung, mba.” Lirih suaranya memulai.

Tidak ada siapapun di kafe, karena ruangannya khusus reservasi untuk mereka berdua. Pun, Khaotung ga sanggup mengungkapkan kegundahan secara lantang. Dia ragu, tetapi dia juga takut untuk jadi ragu. Dia mau yakin, tetapi dia juga takut keyakinan yang tengah dianut menyakiti lebih dari hari ini.

“Apa yang ada di dalam pikirannya? Apa yang lagi dia ingin lakukan? Apa yang jadi tujuannya? Aku ga tau.” Lanjutnya.

Ciize mendengarkan dengan seksama, ga mau memutus, ga mau mengganggu. Dia kasih waktu sebanyak mungkin untuk Khaotung memilah dan menata kata tiap kata yang ingin dia ungkapkan.

“Dia itu aneh. Once we met and talked like old friends, and then we were strangers again caused by stupid game that i made. Yet recently, he acted like we are years married couple. He's lovely as sweet dreams. His words, things that i can't resist. His affection, one of best thing i ever feels.”

“He made me loved behind all the bad. He mad me the perfect person that God ever made. Tapi artikel iniㅡ” Khaotung membalikkan telfon genggam miliknya. Menampakkan satu buah artikel yang membuat malamnya berubah seketika.

Ciize mengangguk paham, meskipun ga seratus persen. Soalnya dari yang dia tangkap dari pernyataan First ke media beberapa minggu lalu harusnya make sense sama keadaan yang lagi mereka berdua jalanin. Ga mungkin First tiba-tiba harus ngaku kalo dia udah nikah sama model terkenal. Pula, Ciize juga paham sama keadaan Khaotung yang serba capek. Semua yang cowok itu pikirin pasti ga berakhir positif.

“He is such a menace, yeah?”

Khaotung ngangguk setuju. “Sekarang semuanya berkorelasi. Surat perjanjian, mama udah ga ada, pernyataan pentingnya ke media. He just want to leave me good.”

“Hey..” Ciize mengambil kedua tangan Khaotung, menggenggam dalam miliknya yang hangat. Dia mengusap juga melayangkan senyum menenangkan sebelum melanjutkan katanya, “You love him, do you?”

“Atas semua puja puji tentang dia. Yes, i do.“


`hjkscripts.


Berada di bangku tamu, duduk diam termenung. Lalu, perasaan bersalah muncul silih berganti. Dia harusnya menjadi penjamu, bukan ikut dijamu. Dia seharusnya ikut menyapa khalayak yang datang dari orang besar, media, hingga kerabat. Dia harusnya yang bertanggung jawab, sebab dia juga salah satu kepala keluarga.

Harusnya, semuanya hanya tentang angan-angan. Hari lalu mereka sedekat helai-helai rambut. Lihat sekarang jauh dipisah keadaan, sembunyi menentang pilu.

First tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya, tatkala suara Khaotung makin bergetar. Hidungnya memerah, matanya yang sudah lelah. Gila, First sungguh mana tega. Sempat tidur kah dia? Makan bagaimana? Beribu pertanyaan seluruhnya berhenti diujung lidah.

Ingin rasanya dia berdiri, persetan dengan pura-pura. Dia akan berlari, secepat mungkin, merentangkan tangannya dan memberikan isyarat untuk suaminya datang dalam pelukannya. Dia akan jadi tempat istirahat singkat terbaik untuknya. Dia akan mulai luncurkan jutaan pertanyaan khawatir sampai dirinya sendiri puas.

Khaotung pasti tidak baik-baik saja. Namun, dia begitu pengecut. Meskipun dia berlinang air mata di samping temannya yang menatap dirinya bingung. Dia sama sakitnya dengan Khaotung yang tengah tergugu tanpa malu dihadapan tamu. Dia ingin berada di sampingnya, setidaknya ada usapan penuh energi yang mengalir dari ketulusannya.

Aduh, First Kanaphan merasa dirinya sekarang penjahat. Sebab, tubuhnya hanya sanggup bergeming kala tubuh lemah Khaotung dipinggirkan karena hilang sudah kesadarannya. Dia khawatir setengah mati.

“Jenazah sebentar lagi akan diberangkatkan ke tanah pemakaman. Tetapi keadaan putranya tidak memungkinkan. Bagaimana, pak?” Sayup-sayup petugas pemakaman meminta kepastian kepada suami mendiang.

Papap nampak berpikir. Keluarga intinya hanya tinggal dirinya dan sang putra. Tidak mungkin meninggalkan Khaotung yang tengah tidak sadar dan menguburkan ibunda begitu saja. Dia dan anaknya pasti ingin menyaksikan untuk terakhir kali.

First Kanaphan itu kadang impulsif, gak dipikir. Cowok itu berdiri tanpa permisi bergabung dalam diskusi orang-orang dewasa. Dia menyela, “Maaf kalau saya lancang. Mungkin bapak-bapak sekalian bisa berangkat menggiring mobil jenazah. Saya akan menemani anak bapak di sini. Setelah dia sadar, saya yang akan bawa ke lokasi pemakaman.”


Peti mati kini bergerak perlahan, seolah telah selesai tugas di dunia dan saatnya kembali ke pelukan bumi. Disaksikan banyak kerabat yang sedang mengucapkan selamat tinggal juga selingan doa-doa pengantar. Suasana hening, tidak ada riuh tangis, hanya ada kicau burung yang tiba-tiba ikut menjadi saksi juga angin berhembus lembut tanda melepasnya pergi.

First juga menyaksikan, berdiri lebih tegar daripada siapapun. Tubuhnya dipersiapkan untuk menjaga Khaotung yang baru sadar dari mimpi buruk semalam suntuk. Dia akhirnya bisa berdiri tanpa harus takut mata media. Menuntaskan sedikit tanggung jawab sebagai suami yang menjaga pasangannya, pula sebagai menantu dalam keluarga.

Kedua pasang matanya tidak bisa lepas dari kekhawatiran. Padahal Khaotung tepat di sampingnya. Cowok yang lebih pendek tidak lagi menangis, kakinya kuat untuk sekedar berdiri. Tetap saja rasanya masih amat jauh, First mau memberi afeksi lebih dari sekedar menemani.

Dia ingin menggapai tubuh kecilnya. Berkata semua akan baik-baik saja. Karena Khaotung tidak perlu takut akan kehilangan. Sebab, First Kanaphan akan ada selalu bersamanya.


`hjkscripts.


Bagi Khaotung perasaan ini sungguh rasanya baru. Dia kira saat ditinggal orang tersayang, yang pertama dilakukan manusia pasti nangis karena kehilangan. Ternyata, nangis waktu keadaan kayak gini sesusah itu.

Padahal kepala udah pusing, pundak berat banget kayak semua beban lagi dipanggul di sana, terus dada sesek gak karuan. Badan rasanya terus ditekan, dan tekanan ini kayaknya gak akan berhenti sampai semua tulang remuk jadi butiran debu.

Cowok itu kebingungan gimana cara ungkapkan seluruh dukanya. Nangis gak bisa, meraung pilu apalagi. Dia hanya bisa berdiri dan menatap nanar peti terbaring ibu kandungnya yang sudah tidak bernyawa lagi. Wajahnya capek, dia belum tidur atau makan sejak dokter melayangkan vonis terakhir.

Papap harus tetep pergi ke perusahaan dengan sikap profesional, sedangkan Khaotung harus berdiri tegar ngurus dokumen beserta segala persiapan pemakaman seorang diri sambil terseok-seok.

Apa karena ini ya dia gak bisa sedih? Nangis juga gak sanggup. Soalnya kalo dia terpuruk, siapa yang bakal nebus mamanya biar bisa dibawa ke rumah duka? Mamanya bakal ditaruh dimana kalau dia gak berangkat ke pembuat peti mati? Siapa yang pakaikan baju dan riasan ke mama kalau dia gak segera reservasi perias.

Apa mungkin karena dia sudah ikhlas? Air matanya sudah habis seiring berjalannya waktu. Atau mungkin karena dia sendiri, gak ada siapa-siapa yang bisa dia andalkan, jadi tubuhnya beradaptasi biar gak nyusahin, biar semuanya tetap bisa berjalan normal. Karena cuma dia yang sekarang dunianya berantakan.

First ya? First Kanaphan semalam datang. Oh benar, air matanya sudah habis semalam suntuk dia tumpahkan di baju milik suaminya. Namun, kenyataan harus tetap jadi kenyataan bahwa First harus pergi ke sisi lain agar media tidak mengendus hubungan sebenarnya. Pada keadaan seperti ini mereka masih bermain pura-pura.

Setelah ini pun Khaotung belum bisa diam. Dia tidak bisa berleha-leha menerima kenyataan bahwa sekarang tinggal dia dan papap. Dia cepat mengurus hal yang menjadi korelasi dari keadaan mama saat ini. Hubungannya yang sekarang ada di ujung jalan menunggu kepastian.

Apakah bisa dilanjutkan dengan penuh cinta dan kasih sayang sesungguhnya Atau berhenti kandas sampai sini saja sesuai perjanjian.


`hjkscripts.


Khaotung baru tau kalau lagi ada diposisi serba khawatir gini, kedatangan suaminya adalah hadiah terindah yang dia belum pernah rasakan sebelumnya. Meskipun dia gak bisa peluk, dia gak bisa dekap erat sambil menghirup aroma khas tubuhnya. Eksistensinya, aura positifnya membawa perubahan besar memerangi energi negatif yang sedang menari-nari di dalam kepalanya.

Bak seekor kucing, Khaotung menyambutnya, langsung di depan pintu kemegahan tepat setelah deru mobil yang dia kenali masuk dalam pekarangan istananya. Dia menunggu dengan sabar, bersama degup jantungnya yang gak sabaran. Senyum itu merekah tatkala First masuk dengan banyak tentengan dalam genggaman jari-jarinya.

“Mama lagi tidur abis makan siang dan minum obat.” Kata Khaotung sembari tangannya cekatan membantu suaminya mengeluarkan berbagai makanan dari kantong kresek warna-warni.

Cowok matang itu mengangguk paham. Dia memanggil salah satu helper di rumah agar menyampaikan pada yang lain bahwa sejumlah makanan di atas meja ini boleh diambil siapapun. Dia lantas mengambil yang masih utuh dalam balut tas lumayan bagus, dia tuntun pula Khaotung untuk ikut bersamanya menuju beranda kecil belakang rumah.

Pikirannya yang carut marut membuat Khaotung pasrah setengah diseret. Dia bagian yang menerima saja, ya mostly begitu sih. Kayaknya dia ini mulai nyaman jadi penerima, diperlakukan kayak pangeran, dielu elukan namanya menggunakan kata-kata sayang. He is completely falling for his own husband.

Mereka berdua duduk di pinggir kolam renang. Ada sensasi tersendiri memang dari beberapa spot kecil yang tersedia pada minimalis desainnya. Suara gemericik angin yang tengah menerpa dedaunan juga suara air halus sebab ombak kecil yang dibuat angin pecah. Bersama helaan demi helaan nafas juga irama degup jantung jadi pengiringnya pula. Menurutnya, ini adalah terapi setres mudah, menyentuh, dan menenangkan.

Khaotung ketawa gak percaya sama yang dikeluarkan First dari bawaannya. Dari ulang tahun anak siapa dia? Kok bisa mengeluarkan satu paket cepat saji toko ayam lengkap dengan mainan anak-anak.

“Buat aku?” Khaotung masih gak percaya. First ngangguk jahil. Cowok itu mulai melahap bagiannya di porsi dewasa.

Khaotung berdecak sebal, “Emang aku anak kecil apa?” Lanjutnya. Namun, gestur yang ditunjukkan jelas berbeda. Dia dengan telaten membuka hadiah mainan seolah penasaran apa yang dia dapat.

“Gua nurut google ajasih. Katanya, kalo anak gak mau makan kebanyakan minta dibeliin ini.” First menjelaskan.

“Aku bukan anak kamu ya!”

First ikut ketawa geli. “What's so different between a kid and anxious hubby?”

“Am I your husband?” Pertanyaan konyol sih. Tapi Khaotung selalu penasaran sama jawabannya. Dia yakin tapi dia juga ragu.

“Coba liat buku nikah di rumah sana! Terus perhatiin lamat-lamat foto cowok yang di sebelah gue, elu apa Ryan Reynolds? Tapi kayaknya elu sih, soalnya Ryan Reynolds udah punya istri.”

Kalah dia, telak. Ngobrol sama First Kanaphan sekarang tuh rasanya pengen meleleh mulu. Tiap hari gak usah pakai pemerah pipi biar muka kelihatan cerah. Ngobrol aja nih sama First Kanaphan lima menit. Kayak segala-galanya yang dia temukan di bumi, dia lempar semuanya ke atas Khaotung. It's an extraordinary pleasant yet bitter. Sebab, Khaotung harus sadar bahwa hubungannya tergantung sama keadaan orang lain.


First ngajak Khaotung pulang setelah beberapa kali meyakinkan suaminya, bahwa di rumah, mama akan baik-baik aja. Bahkan First terkesan buru-buru. Gak biarin Khaotung buat pamit ke mama yang masih tidur.

Sampai di apart yang bikin bingung itu malah First. Khaotung udah mandi, udah rapi pakai baju rumahannya. Tetapi, First ini mondar-mandir di dalam rumah kayak lagi mempersiapkan diri atau dia gak ingin apa yang akan dia lakukan setelah ini terjadi begitu cepat. Cowok jangkung itu kebingungan, menyibukkan dirinya sendiri.

Hal-hal kayak gitu bikin Khaotung makin cemas, makin gak karuan isi kepalanya. Ini pasti bukan sesuatu yang baik. Khaotung kayak dikasih kesempatan juga buat persiapan diri. Maka Khaotung harus bersiap pula.

“Kamu tuh bisa diem ga? Aku capek lihat kamu mondar mandir gitu.” Langkah First berhenti seketika seolah tubuhnya patuh terhadap mandat suara Khaotung.

Dia menghela napas panjang. Inilah saatnya, gak ada yang harus ditunda lebih lama. Sebab, cepat atau lambat semua akan terjadi seiring waktu bertambah. Jika semakin lambat, First tau dampak kecewa yang akan ditimbulkan dan First belum mempersiapkan diri atas reaksi itu nanti.

Keduanya duduk nyaman berhadapan di atas sofa. Televisi seolah menatap mereka diam-diam dengan layar hitam. Dunia seolah mendukung suasana dengan tidak ada suara yang tercipta selain napas dan degup jantung berantakan manusia.

First gak langsung bicara. Dia tatap mata lawan bicaranya lamat, lembut, namun penuh kekhawatiran dan keraguan. Sedangkan mata yang sedang ditatap begitu bergerak tak nyaman.

“First kamuㅡ” Kalimat Khaotung tak pernah selesai, tatkala kedua lengannya diremat halus.

Suaminya kini mengusap lembut, naik turun memberikan banyak banyak kekuatan. Dia akhirnya bersuara, “Kamu tau kan kemarin jadwal mama check up ke dokter?” Mulainya begitu.

Khaotung menelan ludah, gak berniat menyahut juga. Cowok yang lebih kecil itu mau fokus dengerin suaminya yang lagi nata kalimat selanjutnya sambil terbuai sama sentuhan tangan besarnya.

“Dokter bilangㅡ” First lagi-lagi berhenti. Kali ini dia mau pastikan betul gestur yang dibuat Khaotung. “Dokter bilang kanker yang ada di dalam tubuh mama sudah menyebar ke seluruh tubuhnya.”

Khaotung masih diam, sebab dia tau akan hal itu. Kanker yang diderita mama memang sudah parah, menyebar, susah disembuhkan. Mama sampai di sini karena kemauannya buat tetep hidup, maka dari itu mama rajin ke dokter untuk cek kesehatan dan berobat. Lantas apa yang bikin First mendramatisir?

“Dokter juga bilang, treatment apapun yang dilakukan saat ini sudah gak ada gunanya lagi, Khao. Kankernya tumbuh agresif, obat dan kemoterapi udah gak sanggup bikin mereka melambat. Mama memang terlihat sehat, tapi dalamnya sudah hancur, rusak semua. Dokter sudah gak bisa apa-apa selain menyarankan sama semua keluarga buat kasih hari-hari terbaik untuk mama.”

Maka satu butir akumulasi ribuan emosi Khaotung luruh tidak dapat dibendung. Kepalnya yang dari tadi pusing, mendadak berdenyut semakin nyeri. Dadanya sesak, dia gak sanggup bernapas normal. Otaknya malfungsi, sehingga logika saat ini dipendam oleh emosi yang seluruhnya dibuat hati.

Khaotung marah, kecewa, sedih, penuh penyesalah. Semuanya dia kumpulkan, dia konversikan perasaannya sampai tubuhnya bergetar hebat. Lelehan bening yang semula luruh konstan menjadi deras seketika. Dia gak mau nahan-nahan, karena terlalu banyak yang ada di dalam. Dia luapkan semuanya, gak peduli seberapa keras dia berteriak, meraung, dan mengadu betapa dia belum siap kehilangan mama.

Meskipun dia sudah menjalani, sudah diberkahi waktu tambahan. Namun, bagi seorang anak kalau bisa selamanya dia akan usahakan.

Raungan pilu tak membuat First mengambil keputusan. Cowok itu juga sama hancurnya. Terima kasih pada mama, dia jadi punya kesempatan untuk melakukan apa yang harus dia lakukan dulu terhadap ibundanya. Cowok itu juga sama rapuhnya. Jadi dia biarkan suaminya menangis tak terima. Dia tetap duduk di sana, bersama air mata kecil tanda adanya peperangan antara kesedihan dan ketegaran. Harus ada yang lebih kuat, kalau sama jatuhnya siapa yang akan menarik untuk kembali berdiri tegak.

First masih di sana, kali ini berbagai kenyamanan tubuhnya melalui sebuah dekapan hangat. Dia balut tubuh yang semakin lemah, memberikan jutaan tepukan menenangkan pada bahu yang bergetar. Mereka habiskan beberapa jam untuk saling melepaskan sengsara.

Bagi Khaotung, mempunyai First Kanaphan disaat terpuruknya ini dia amat bersyukur. Jika dia sendiri, Khaotung gak akan sanggup. Bisa jadi buruk, depresi, dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Mixed feeling hits, perasaan nyaman ini gak sejalan sama keadaan yang dirasakan.

Hal terpenting sekarang ini tentang mama, juga tentang hal yang akan terjadi dengan hubungan mereka.


`hjkscripts.


Khaotung Point of View.

First udah siapin semuanya. Roti lapis yang dia beli dibuka setengah bungkusnya, sedotan tertancap di dalam minuman berkarbonasi, dan ga lupa cookie sebagai pencuci mulut.

Selepas aku duduk, dia keluarin sapu tangannya. Dia buka sampai maksimal berbentuk persegi besar terus di letakkan di atas paha aku. Setelah itu baru dia taruh roti lapis di atasnya. Ada tisu, hand sanitizer, pokoknya lengkap.

Cowok di samping aku ini belum ngomong satu katapun. Bahkan pas aku masuk ke mobil, dia cuma kasih sekilas senyum terus sibuk sendiri. Sekarang dia lagi nyalain mesin mobil, atur-atur posisi AC biar ga kepanasan. Terus, yaudah ga dilanjutkan basa-basi, dia malah meluk setir dan ngelamun liatin jalan di depan.

Di dalem mobil sunyi banget. Cuma ada suara deru mobil dan dari mulutku yang lagi kunyah makanan. First itu suara hati dan pikirannya aja yang lantang. Tapi bibirnya masih sama, bungkam. Well, that's okay though terpenting dia ini udah banyak berubah.

“Mama tadi telfon gua.” Akhirnya, satu kalimat pemecah keheningan. Sebenernya ga ada rasa canggung dalam suasana kayak gini. Mungkin pertama kali, waktu keadaan belum kembali jadi sedekat ini.

“Hmm..” Aku jawab seadaanya aja. Lagi proses ngunyah jadi susah ngomong. Ada jeda lumayan lama, ada wajah yang juga berpaling, pun ada binar kedua mata yang saling bertemu. “Emang mama ada butuh apa?” Aku melanjutkan setelah makanan hilang dari dalam mulut.

“Minta ditemenin kontrol bulan ini.”

“Ohh. Kapan?”

“Kamis...” Dia jawab ragu. “Kalo gak salah denger. Nanti gua tanya mama lagi.”

Aku menimbang sesuatu, mencari berkas-berkas jadwal kerja yang masuk dalam ingatan. “Kamis ya?”

“Kayaknya ga bisa deh.”

Dia ngangguk paham. “Gak apa, gua bisa. Nanti gua yang nganter sendirian.”

Terus dia tetep pada posisinya. Matanya ga berpaling liatin jalan lagi. Kayak udah di kunci permanen jadi ngeliatin aku lanjut makan. Mau ga mau aku ketawa kecil, nutupin muka yang ga bisa terkontrol sebab salting mampus. Kayak orang bego, kayak anak baru gede tau cinta-cintaan.

Padahal cuma dilihat, cuma diperhatikan. Rasanya pengen terbang. Jangan gitu tolong! Perutku rasanya geli, kayak ada yang bergerak di dalem terus bikin mual. Sumpah takut banget tiba-tiba muntah. Biarin aja, semaunya dia aja, aku lanjut makan sampai habis ga bersisa.

First buru-buru ambil paper bag. Pokoknya dia dengan cekatan bantu banyak banget. Sehingga aku bisa makan dengan nyaman, mudah, ga ribet. Duduk di mobil rasanya udah kayak reservasi di restoran bintang lima. Rasanya kayak jadi raja.

“Makasih udah kesini.” Kata aku. Dia kayak pahlawan kesiangan yang berhasil memecahkan masalah menu makan siang. Ga perlu mikir, tinggal duduk aja terima apa adanya.

“Hmm..”

“Makasih udah dibawain makanan.”

“Iya.” Dia jawab singkat. Tangannya maju, refleks mungkin bersihin ujung bibirku yang aku sendiri ga kerasa kalau kotor.

“Aku balik kerja lagi ya!”

“Oke. Gua juga balik ke rumah.” Dia senyum, aku pun begitu. “Maaf gak bisa bukain pintunya.” Lanjutnya, bikin aku terkekeh.

“Iya ga apa. Kan bisa sendiri. Hati-hati di jalan!”

“Oke.”

Aku keluar dari mobil, jalan pelan-pelan sambil nungguin Land Rover pergi ngelewatin. Apa ya? Ada banyak emosi positif yang pengen aku luapkan, tapi ga bisa. Dia tuh nyebelin, dia tuh susah dibaca. Aku tuh masih ga paham tujuannya dia kasih seluruh atensi dan afeksi ini apa. Sayangnya aku ga bisa tanya, sebab aku suka, aku nyaman, dan aku pasrah terima segala perlakuan yang dia kasih.

Aku suka perhatian. Aku suka diliatin sampai salah tingkah. Aku suka dipanggil pakai nama-nama kesayangan. Aku suka disayang. Sebab hal-hal yang berkaitan sama romansa ini yang aku mimpikan sejak lama. Karena itu aku merasa dicintai.


`hjkscripts.


First Point of View.

Seinget gua, awalnya itu dari hari kunjungan ke rumah mama akhir tahun lalu. Kalau gak salah, hari itu giliran gua sama Khaotung yang anterin mama buat check up bulanan. Kita bertiga termasuk papap udah bikin jadwal ke rumah sakit. Intinya biar semua yang lagi usahain kesembuhan mama jadi tau perkembangannya gimana, atau ada masalah apa.

Turns out setelah pulang dari rumah sakit, gua sama Khaotung dikejutkan sama masakan yang luar biasa banyak dan gak biasa di meja makan. Lampu agak dibuat temaram, ada lilin-lilin yang dinyalakan mengelilingi meja bikin visual masakan yang udah cantik kelihatan makin menggugah.

Mama nyuruh gua gak berhenti dorong kursi rodanya. Kita bertiga jalan sampai ruang makan dan beliau minta dipindahkan ke salah satu kursi. Terus, gua sama suami disuruh gabung masih dengan kebingungan. Mama cuma senyum-senyum kecil, belum sama sekali mau ungkapin semua ini untuk apa. Pastinya kita semua diem beberapa menit sampai papa datang dan jadi orang terakhir yang bergabung.

Makanan hari itu enak, saking enaknya sampai lupa udah berapa kali nambah. Sebab, selama makan malam suasananya dibuat nyaman dengan diisi obrolan-obrolan ringan menghangatkan. Gua si gak punya keluarga jadi bisa inget rasanya punya keluarga. Gua si gak punya keluarga jadi punya lagi memori tentang gimana rasanya jadi seorang anak dari orang tua. Meskipun gua tau yang lagi bersama gua ini cuma mertua.

Ah, shit! Hal-hal menyentuh hati gini ini yang selalu gua hindari selama empat tahun main rumah-rumahan sama suami gua. Hal-hal menyenangkan kayak gini bikin gua selalu jatuh dalam rasa bersalah seumur hidup. Karena kita ini lagi bohong, dan mereka berdua yang berakhir baik, menerima gua sebagai bagian dari keluarga mereka adalah korban dari tindak penipuan.

Empat tahun ya? Oh, gua baru inget kalau hari ini tepat empat tahun gua sama Khaotung bertahan jadi lakon di sinetron kita sendiri. Sekarang semuanya jadi make sense, masakan dan dekorasinya. Orang nikah boongan mana paham sih konsep perayaan anniversary. Mangkanya sama-sama kelihatan bodoh, mukanya clueless banget. Sebab selama ini kita berdua masih berputar sendiri di dalam lingkaran hidup masing-masing. Gak ada campur tangan, gak ada berbagi, gak ada cerita-cerita. Kita itu temen yang makin jauh bahkan setelah menikah.

Mungkin hari ini udah waktunya deh, kebohongan terungkap. Ketahuan banget apalagi waktu ditanyain ada rencana apa buat rayain tahun pernikahan. Cuman ya bagusnya ini, hasil dari bertahun-tahun jadi pembohong. Sudah handal, sudah lebih tenang hadapi situasi kayak gini. Maka hari ini kita masih selamat.

Setelah makan malam, kita gak bisa langsung pulang. Karena papap manggil suami gua ke ruangan kerjanya buat diskusi sesuatu. Lama banget, makan waktu berjam-jam. Sampai akhirnya mama keluar lagi dari kamar di anter sama suster jaganya.

Beliau membuat gestur yang mengajak gua berpindah tempat dari ruang keluarga ke beranda kecil di belakang rumah. Kita berdua disekat meja yang di atasnya sudah tersedia teh hangat kesukaan mama. Kita berdua yang larut dalam suara binatang malam. Kita berdua yang dihempas halus hembusan angin. Juga, kita berdua yang melebur bersama pancaran sinar bulan.

Malam itu mama bersuara lebih lembut daripada biasanya. Inilah beliau yang menerima keberadaan gua apa adanya. Malam itu gua bisa lihat sisi lain mama yang hanya seorang ibu dari satu putra. Seorang ibu yang tulus, banyak cinta kasih agar sematawayangnya bahagia.

Khaotung sejak kecil cuma punya sedikit cinta. Sedikit sekali dibandingkan lengkap dua orang tua. Papanya cuma tau bisnis, anak hanya sekedar ini anak saya. Sedangkan, ibunya gila kerja demi terlihat sepadan dia berdampingan dengan suaminya. Rumahnya terlalu besar untuk Khaotung kecil. Orang tuanya hanya berpikir Khaotung bisa bermain lari-larian, bisa berenang, atau main bola di sana, sehingga dia tetap jadi anak yang terpenuhi masa kecilnya.

Ternyata orang tuanya salah. Ruangan yang cukup belum tentu dapat memenuhi kebutuhannya. Gimana bisa lari-lari jika tidak ada yang menjadi pengejar? Gimana bisa berenang tanpa ada yang menjaga dari tenggelam? Gimana bisa bola bergerak maju jika tidak ada yang mengumpan?

Khaotung sendirian dan anak itu amat kesepian.

Puncaknya adalah ketika Khaotung menang dalam lomba tingkat SMA yang menghantarkan dia bisa kuliah di universitasnya. Orang tuanya udah janji, dan Khaotung yang saat itu begitu positif dia percaya mereka akan datang lihat dia naik panggung. Khaotung ingin kasih tau, kalau yang lagi dia lakukan itu adalah bagian perjalanan mimpinya. Dia juga ingin buktikan ke semua orang kalau bakatnya di bidang entertainment berasal dari papapnya yang banyak kasih dia pelajaran.

Namun anak itu terlalu percaya diri. Berharap pada manusia itu tempatnya sakit hati. Dan Khaotung terjebak dalam perangkap yang ia buat sendiri.

Kata mama, malam itu Khaotung meledak sebab banyak kecewa. Semua emosi yang entah sejak kapan dipupuk meluap semua. Mama terlambat sadar, dan papap sampai sekarang masih kuat terjebak. Meskipun mama ikhlas melepas semua yang beliau punya. Tetapi, Khaotung sudah lepas lebih dahulu dari dekapannya.

Khaotung pergi dari rumah, memilih tinggal sendiri. Setidaknya dia tinggal sendiri. Setidaknya dia gak perlu tunggu anggota keluarga yang gak pasti bergabung waktu makan malam. Setidaknya dia gak perlu tunggu orang tuanya pulang cuma buat pamer achievement yang dia dapat di luar sana. Setidaknya dia gak perlu tunggu untuk memejamkan mata hanya untuk sebuah kecupan dan ucapan selamat malam. Setidaknya dia gak perlu berharap-harap kehadiran manusia yang menawarkan kasih sayang ataupun cinta.

Mama nangis, intinya mama menyesal dan penyesalan itu sekarang cuma bisa buat dikenang aja. Gak bisa diubah karena banyak terlambat. Khaotung sudah bertumbuh sebagaimana orang tuanya membesarkan dia. Banyak kurang, banyak celah, banyak cacatnya. Bahkan, mama itu terlalu sombong. Melepaskan seluruh yang dia punya demi memperbaiki hubungan dengan anaknya malah jadi ajang balas dendam. Khaotung harus bisa mengabulkan seluruh permintaan mama, Khaotung harus nurut atas apa kata mama sebab mama sudah rela jadi seorang ibu tanpa apa-apa. Tidak punya pekerjaan, gak ada karir yang dikejar, ada mimpir yang harus dihentikan. Untuk melunasi itu semua, Khaotung yang harus bayar dengan hidupnya.

“Harusnya mama itu ikhlas. Karena jadi seorang ibu kuncinya ya cuma ikhlas. Ikhlas kasih semuanya, tidak terhingga. Cintanya, kasihnya, sayangnya. Tetapi mama ini yang nggak paham konsep jadi orang tua. Mama ini belum siap, dan ketidaksiapan ini merusak anak mama. Umur mama sudah nggak lama, nggak cukup lagi untuk perbaiki kesalahan mama yang begitu banyak untuk anak mama.”

Mama cuma bisa pegang kedua tangan gua. Pegangannya lemah sekali hampir gak terasa. Tetapi, ada getaran hebat dari keluarnya air mata. Ada banyak penyesalan yang sedang coba diikhlaskan.

“Umur mama sudah nggak lama, sayang. Hanya dengan ini, merestui hubungan kalian yang sempat mama tentang berharap kalian bahagia. Sebab, Khaotung yang bilang kamu orangnya. Kamu yang anak mama pilih sendiri untuk temani melanjutkan hidupnya sama-sama. Mama yakin kamu bisa kasih cinta ke anak mama yang nggak sempat mama tunjukkan. Mama yakin kamu bisa sayangi anak mama yang nggak sempat mama berikan.”

“Anak mama itu rapuh dalamnya. Sebab rapuh tolong dipegang erat-erat. Jangan jatuh, sebab jatuh nanti dia hancur berantakan.”

Gua baru sadar kalau kita ini salah, ya emang salah. Sebab salah harusnya kita bukan malah memperburuk. Kita itu kenal sebagai temen, bisa ngobrol ngalor ngidul, ketawa bareng. Harusnya kita tetep jadi temen, bukan bergerak mundur semakin asing. Harusnya nikah bikin kita makin deket, seenggaknya satu tingkat di atas jadi sekedar temen. Meskipun ada kontrak yang jadi batasan.

Sejak saat itu, entah kenapa gua jadi ingin bergerak. Ada perasaan meletup-letup yang membuat gua ingin membuat intensi-intensi kecil saat ada didekatnya. Mulai dari kita yang duduk di satu ruang, berakhir sarapan bareng. Mulai dari kita yang saling lempar percakapan gak penting, berakhir kita yang saling cerita apapun. Ternyata semuanya cuma butuh dimulai, dari hal-hal kecil timbul hal yang lebih besar dan lebih besar lagi.

Mulai dari permintaan, menjadi rasa kasihan, dan berakhir jadi kebiasaan. Yang kayak gini tuh namanya apa ya? Perasaan-perasaan aneh yang mulai muncul karena kebiasaan. Apa ya ini yang orang-orang bilang kalau cinta itu bisa tumbuh karena terbiasa?


`hjkscripts.