body talk.
Khaotung Point of View.
TRIGGER WARNING ; SEXUAL CONTENT, HARSH WORDS, WORD DEGRADING ๐
Cowok gila, terkuras nalar, mati otak, bergerak naluri. Begitu yang menyala birahinya. Dia yang menatapku dari tempatnya berdiri. Tidak ada ruang untuk lari karena aku terjebak dengan permainanku sendiri.
Aku hanya mengajaknya bercakap, yang lama-lama menjadi berganti suara syahdu. Tanganku tidak bisa diam, bergerak menyentuh entah berapa banyak bagian tubuhnya. Cerewet sekali sama seperti bibirku yang terus berucap. Banyak cerita yang ingin aku sampaikan, sama dengan tangan ini juga banyak keingintahuan.
Lepas dari dia terhitung mingguan. Sudah kalap tubuh ini ingin merasakan sentuhan. Yang marah adalah aku, yang kecewa adalah hatiku, yang pening adalah pikiranku. Sisanya, berteriak meronta ingin dipuaskan. Sebab, mereka tau ada yang bersedia, mereka tau siapa pemiliknya.
Aku tidak tersenyum malu-malu seperti dulu. Karena ini bukan aku yang lalu. Buat apa aku berlagak tak tau, kalau tatapan mataku ketika melihat gerakannya melepas kancing satu persatu seperti sosok pecandu. Kurang ajar, campur ekspresi goblok, dan penuh nafsu.
Ini adalah puncak dimana aku tidak mampu lagi menahan diri. Kalau bisa kemarin, aku langsung akan loncat ke atas tubuhnya dan bermain dengan hebat seperti besok datang kiamat. Namun, sayang area bermainku diinvasi penuh.
Aku hanya mampu menatapnya yang tertawa terbahak dari kursi ruang makan. Bersama pikiran liar yang terus memutar adegan dewasa, dimana lubangku dihujam terus menerus di atas meja yang harusnya diperuntukkan menyantap makan malam. Aku hanya mampu melipat kedua kakiku. Berharap mata-mata mereka tak terdistraksi atas batang pohon yang mulai tumbuh.
Sudah mati semua syaraf-syaraf waras. Apalagi liur ini juga ikut turun melihat celana panjang yang dia kenakan akhirnya jatuh menyentuh bumi. Aku suka bagaimana dia merangsangku tanpa satu jengkal kulitnya menyentuh badan. Hanya dia yang berdiri dengan wajah kelewat sange, dan jemari-jemari dibuat sok gagah tengah melucuti dirinya sendiri dari lembar pakaian yang melekat.
Dia melepas lapis terakhirnya... dia tersenyum menggoda, oh bukan sekarang rupanya. Dia yang tinggi kakinya, panjang tanganya, bagus bidang dadanya berjalan perlahan mendekat tilam. Cowok mesum! Berani-beraninya dia tak cepat ikut jatuh dalam belenggu sprei yang akan rusak tatanannya. Dia masih disana, berdiri dihadapanku bak penguasa. Sengaja mengeluarkan urat-urat hasilnya mengangkat beban hanya untuk memainkan penisnya dari luar celana.
Kamu itu menggoda ya? Jangan... jangan sampai habis kesabaranku. Jika aku gila, aku tak segan menyobek dalaman mahal hanya untuk menyentuh kontolnya yang murahan itu.
Aku ini masih sabar, duduk layaknya bayi gula penurut menunggu om-om telanjang yang entah kapan akan merusak pertahanan demi tas koleksi baru. Aku harus sabar ya kan? Bukan demi harta, bukan demi paksaan. Tapi demi hasrat dalam tubuh yang sudah kering, kosong melompong minta diisi.
Laki-laki brengsek ini malah mengusak lembaran-lembaran suraiku, bukannya menjamah tubuh dingin yang sudah sepenuhnya telanjang. Tangan itu turun, hangat telapaknya menyentuh pipiku yang merah kedinginan. Dia usap pelan, gerakannya konstan, tak tak lupa sesekali menamparnya.
Makin merah, makin menggila. Aku tidak berteriak kesakitan, malah menatap matanya dari bawah dengan ekspresi tolol. โMau apa? Coba bilang mau apa?โ Dia bertanya. Nadanya aku gak suka, nyatanya nada itu seolah mantra yang membuat mulutku terbuka.
โApa? Mulutnya mau diisi apa?โ Aku terdiam. Kepalaku sudah tak berisik berisi caci maki. Isi kepalaku kopong seperti televisi diujung waktu siaran terakhir. Yang terisi hanya mulutku yang dihujam dua jari panjangnya. Bergerak liar gak karuan, hingga menyentuh tenggorokan. Aku mengulumnya seakan itu adalah permen masa kecil favoritku, menjilatnya posesif agar tak ada orang lain yang ingin mencicipi.
Jemari ini milikku seorang, tiada satupun yang boleh menyentuhnya. Meskipun dia bebas liar dari perangkap bibirku yang kebas dan basah akibat ulahnya.
โUdah kan cuma minta jari. Puas?โ Aku menggeleng cepat. Cowok tolol! Tapi, aku lebih tolol sebab mengikuti alur permainannya. Aku lebih tolol sebab inilah keinginanku sebenarnya.
โCepet jawab! Mulut pelacur kamu ini mau apa? Jangan nganga terus kayak orang bego!โ
โMauใ กโ
โMau apa, hah?! Mau kontol, iya?โ
Aku mengangguk. Akulah si pelacur tolol itu yang isi otaknya hanya ingin bergerak liar bersama batang besar miliknya menekanku dari dalam.
Ketika tubuhku akhirnya jatuh terlentang di atas awan empuk, tak ada keraguan sama sekali. Hanya ada bayangan-bayangan kotor tentang berapa panjang malam ini. Tak ada perlawanan, sebab tubuhku menggeliat pasrah, ada senyuman kemenangan ketika dadaku akhirnya dikecup bibirnya yang sejak tadi sok tidak peduli.
Lelaki ini sama gobloknya denganku. Mengulum puting layaknya bayi yang butuh asupan asi dari seorang ibu. Kanan sudah berganti kiri, sembari ditimang-timang dengan lenguhan yang membuatnya makin gencar bergerak. Bayi besar ini bukannya tertidur, namun menancapkan giginya sesekali menggesek putingku hingga mau putus rasanya.
Hhaaahhggg...
Suara itu tak ku hitung lepas beberapa kali. Rasa geli, darah berdesir membuat kuduk berdiri merinding. Namun tenaga tak lagi mampu mendorongnya menjauh. Aku menikmatinya, dipacu birahi yang makin meninggi, melampiaskan hanya dengan meremat helai rambut-rambut yang sebenarnya makin membuat kepalanya terbenam menginvasi. Bengkak pentil ini aku tak peduli, terpenting malam ini nafusku terpenuhi.
Aku menarik rambutnya, menarik wajahnya yang berantakan. Membimbing bibirnya yang sama basahnya agar bisa sama-sama bercumbu. Kita berdua saling mengecup, tertawa gila setelah kecupan tak hingga. Aku menggodanya dengan menjulur lidah, menarik lidahnya keluar dari rongga. Aku bisa merasakan papila yang kasar namun menggairahkan, aliran ludahnya yang menetes juga tertelan. Miliknya yang dominan mendorong milik sang lawan masuk dalam peraduan, berperang dalam gua kesyahduan, bertukar rasa kenikmatan. Mengecap tiap dinding-dinding pertahanan, mengabsen pasukan penjaga yang kokoh melindungi.
Tubuh habis kesadaran, melayang-layang di atas birahi tak tertahan meninggalkan kewarasan yang tersisa setetes saja. Kita digerogoti nafsu kotor yang kuat tiada tanding. Saling melepaskan ikatan hanya untuk melucuti celana dalam yang ukurannya semakin sesak, membebaskan mara bahaya yang menyenangkan.
Aku yang memekik kegirangan kala badan ditarik paksa mendekat ke ujung batang kegembiraan. Ditekan paksa menuju mulut kebas tanpa perlawanan, layaknya pelacur yang sudah hafal akan tugasnya. Aku mengulumnya seperti ini adalah hidangan yang aku cari-cari sejak seratus tahun lamanya. Menjilat kontol biadab miliknya dengan gerakan sensual sembari mendongak memastikan empunya terbang melayang ke surga. Konstan, sedikit menggoda dan semakin semangat ketika muncul gestur gelisah. Urat-urat ketegangannya muncul, badannya yang bergerak tak nyaman, namun tangan besarnya mendorong kepalaku gak sabaran.
Aku melepasnya, menatap wajah sayunya pasca pelepasan sejajar. Menunjukkan cairan penuh kasih sayang yang dia berikan. Dia harus melihatnya kala ku pastikan semuanya tertelan tanpa sisa. Tersenyum lucu ketika dia yang dadanya masih bergerak naik turun berusah meraih sisa-sisa peju yang mengalir di dagu dengan bibirnya.
โIni kan yang kamu mau dari tadi? Iya?โ Dia bertanya ketika tubuhku kembali dalam pandunya. Dan anggukan berantakanku menjadi tiket masuk langsung dalam tahta tertinggi bersetubuh.
Diriku yang sudah tolol ini, yang sudah kosong melompong otaknya ini cuma tau ngangkang, selebar mungkin. Diriku yang begonya udah gak bisa ditolong ini, merengek frustasi meminta kontol milik si bajingan yang sejak semenit tadi hanya menggesek pintu masuk tanpa mau menerobos langsung.
Hhhhggmmnn... Ahhhhhgg!!!
Ingatkanku untuk menampar wajah bajingan ini nanti, nanti setelah dia selesai mengisi bagian bawahku dengan jutaan pejunya sebab menerobos tanpa aba-aba. Jangan salahkan jemariku yang meninggalkan luka tepat di lengan besarnya. Namun, lelaki brengsek ini seakan tak kenal hari esok, seakan tak peduli aku ini suaminya yang paling dia sayang. Dia dan bersama energinya yang semakin malam datang semakin meluap, menghujam dinding rektum milikku tanpa kenal ampun.
Kita bersenggama, menautkan tubuh seraya bercerita. Gerakan-gerakan yang tak memiliki ritme pasti seakan menandakan banyaknya emosi dan perasaan yang belum bisa tersampaikan lewat kata. Kita yang bercumbu, menautkan lidah dan bibir seraya berbicara. Liur dan keringat yang mengalir deras menggantikan jutaan diksi ungkapan rindu juga cinta.
Kita yang sama-sama bergerak mencari kepuasan duniawi. Menautkan kaki-kaki melingakari, memerangkap tubuhnya yang tengah gila melancarkan aksi agar tak pernah lari dan tertancap dalam diri. Tidak ada amnesti, begitupula grasi. Lubang serupa penjara yang aku buat hanya mengampuni jika rasa puasnya terpenuhi.
Jika First Kanaphan adalah manusia bangsat, aku akan jadi iblis yang terus menuntunnya menuju lubang neraka penuh cinta. Jika First Kanaphan adalah iblis tak takut dosa, aku akan menjadi raja kegelapan yang akan menarik dirinya, menutup cela pengeliatannya dan hanya ada aku yang mendesah keenakan, meraung mencari kebebasan, dan berteriak penuh kelegaan di atas api neraka yang kekal.
Kita akan menari lagi menginjak bara-bara yang akan terus membakar kulit dan tulang. Menangis kepayahan dengan mulut menganga atas rasa sakit menyenangkan akibat gesekan kontol lelaki bejat di dalam anal jalang goblok yang tengah duduk di pangkuannya.
Ini dia kemenangan yang kita cari selama ini. Getaran-getaran tubuh pasca pelepasan, juga suara-suara nafas tanda kelelahan. Mata sayu itu, aku mengecupnya. Dia tersenyum, menyingkap helai demi helai lepek yang menutupi mataku. Dia mengecup tiap jengkal titik di wajahku, menyematkan kecupan panjang tanpa lagi nafsu di bibir yang akhirnya bisa berhenti berteriak di malam yang sunyi. Lalu, kita jatuh di atas tilam yang berantakan, berselimut seadanya.
Basah sebab keringat, tubuh panas sebab tipu muslihat. Desir darah yang tak bisa aku perintahkan melambat. Juga, peju yang mengalir hangat. Kita yang berjalan di atas tanah penuh dosa. Pula, kita yang saling menuntut atas kepuasan semata. Terpenting malam ini, bersama bajingan sinar purnama yang mengintip dari celah selambu jendela, kita tertaut menjadi satu, dan akan selamanya begitu.
`hjkscripts.