yes, we are together.
First melamun bersama hembusan angin bertekanan tinggi. Cowok itu gak tau kenapa lagi pengen menapaki balkon apartemen yang hampir gak pernah dibuka pintunya sejak pertama kali ditinggali. Dia cuma diem, ngelamun ngeliatin gedung gedung yang beberapa lampunya masih menyala. Dari atas sini semuanya terlihat tenang.
Rasanya gak adil, kok bisa dunia sesunyi ini? Kayak mereka emang gak bingung mikir ya? Gak pada punya beban ya? Dunia yang ada di hadapannya sekarang sepi, gak kayak pikirannya yang lagi berisik, kacau balau. Sampai, kotak yang harusnya dia jatah sebulan maksimal dua aja, untuk hari ini hampir habis sudah satu kotak.
First tutup pintu yang jadi pembatas antara rumahnya dan balkon. Dia gak mau di dalam jadi bau tembakau. Biarkan aja dia sesap juga hirup semuanya seperti bau aromaterapi yang dipasang Khaotung di beberapa ruangan.
Terus cowok itu cuma menyesap lalu dihempaskan kasar. Seolah tiap asap kenikmatan yang keluar bersama nafas panjangnya sekaligus mengeluarkan beban di dalam kepalanya tanpa harus dia mengungkapkan. Karena dia gak tau kepada siapa lagi harus mengadu. Ini bukan masalahnya; secara tidak langsung. Namun, segala hal ini menyangkut masa depannya, menyangkut mimpinya. Bukan miliknya sendiri, namun mimpi anak-anak yang udah bareng-bareng lewati susahnya di jalan masing-masing.
Dia sendiri mungkin gak perlu bingung kalau nasib buruk bakal menimpa mimpinya di hari esok. Karena hidupnya sudah terikat dengan milik sang suami. Rumah punya, kendaraan punya, uang bisa dicari, dan karir, mengikat Khaotung sama saja dengan mengikat karir cemerlang yang akan terus berjalan layaknya bayangan.
Tetapi bagaimana sama temen-temennya? Gimana sama Bang Earth yang harus nabung biar ibunya gak susah di masa tua? Bahkan uang hasil kerja kerasnya masih dia sisihkan buat bayar kontrakan minimalis tempat ibunya tinggal. Gimana sama Aou dengan ceritanya yang selalu dilempar sana sini sama keluarga mama dan papanya? Dia secara harfiah gak punya rumah. Gawin lagi...cowok yang cara ngomongnya kayak cewek lagi mens tahunan itu emang suka defensif. Cara ngomongnya buat ngelindungi dirinya dari mara bahaya. Karena dia gak punya siapa-siapa, keluarganya tidak menginginkan kehadirannya.
Suara pintu digeser gak membuat First bereaksi dari posisinya. Namun, ujung matanya masih peduli, melirik sosok yang sudah bergabung bersama menikmati angin yang datang layaknya menampar wajah tanpa ampun. Rambutnya berantakan, matanya jadi sayu.
Khaotung merebut batang yang tinggal seperempat dari tangan First. First sendiri sudah pasrah, batang itu mau dibuang atau diinjek. Tetapi First salah, terheran pula melihat suaminya menyesap batang penuh nikotin itu dengan lihai. Tiga kali dia hisap, lalu dihembuskan dengan gaya yang seakan dia sudah biasa.
“I don't know you smoke.” Ungkap First heran.
Khaotung terkekeh sembari menghembuskan asap terakhir sebelum mematikan sisa apinya sembarangan. “You just don't see me enough.” Balasnya dengan tatapan mengejek.
“Ketauan banget gak pernah merhatiin aku selama ini.” Khaotung mengejek First sekali lagi.
“Iya ya. Masih banyak yang harus dipelajari berarti.” First mengaku menyerah. Cowok itu ubah arah tubuhnya menghadap Khaotung seratus persen. “Habis ini jangan risih kalau aku perhatiin kamu terus. Soalnya aku mau tau tiap detik kamu ngapain. Meskipun kamu cuma bernapas, aku harus tau gimana caranya kamu bernapas. Aku mau denger suara napas kamu, aku pengen denger suara detak jantung kamu. Karena, kayaknya sekarang cuma hal itu yang bikin aku tetep waras.”
First gak lagi bercanda dilihat dari tatapan matanya yang intens dan penuh keseriusan. First gak lagi adu gombal, Khaotung bisa lihat gimana mimik wajah penuh kesedihannya. First gak bohong tentang penyemangat hidupnya saat ini. Sebab kalau saat ini Khaotung gak ada di sampingnya, dia pasti udah panik, emosi, dan lama-lama gila.
Khaotung rasanya menghangat. Dia juga ingin tersenyum centil layaknya remaja masih baru kenal cinta. Namun, First malam ini lagi butuh support, suaminya ini lagi nyari tempat pegangan buat nopang badannya yang bentar lagi mau ambruk. Maka, Khaotung usap lengan besarnya lembut, hati-hati, penuh cinta dan kasih, tak lupa pula perhatian. Lalu, telapaknya bergerak naik mengusap pipi First yang sudah dingin dikuasai suhu udara luar. Memberikan kehangatan sebisa mungkin.
First menutup matanya, bersama pula jatuh butir kelemahan yang dia tahan-tahan biar gak keluar, kalau bisa jangan pernah keluar. Karena kalau sampai keluar, tandanya First kalah. Tapi kayaknya, First bakal pasrah kalah kalau itu di depan suaminya sendiri. Dia gak apa lemah asal dihadapan Khaotung. Khaotung gak mungkin ngejek, dia gak mungkin anggep dirinya lemah.
Buktinya, Khaotung semakin gencar melepaskan afeksi berupa sentuhan lembut miliknya. Gak ada suara, gak ada kata-kata mutiara. Saat menurutnya semua sentuhannya kurang, Khaotung menarik tubuh First yang jauh lebih tinggi untuk menunduk, meletakkan kepalanya yang penuh dan berat di atas pundak sempit milik Khaotung.
“Ssttt... It's okay, husband. Everything is going to be okay.” Bisiknya kecil.
First gak nangis sampai meraung, tanpa suara, tapi derasnya seolah mengeluarkan semua kekhawatiran dan sajak-sajak negatif yang lagi dia pendam. Kayaknya, First harus banyak-banyak cerita tentang suka dukanya sama Khaotung. Sebab, mulai sekarang First butuh Khaotung, dia mulai ketergantungan sama Khaotung.
Khaotung Thanawat itu kunci kehidupan buat First Kanaphan.
`hjkscripts.