bertanya-tanya.


First kayaknya harus segera menuju dapur, setelah dia rasa Khaotung menghilang dari pandangannya selama hampir tiga puluh menit. Padahal hidup cuma berdua, padahal sebelum dia pergi bertemu dengan kawannya, dia pastikan wastafel kosong melompong. Tetapi, Khaotung yang permisi mau cuci piring, gak serta keluar kayak ibu-ibu yang lagi kerja di hajatan bagian dapur.

Khaotung lagi bengong, First berhenti sejenak dari langkahnya sembari menghela napas berat. Gimana ya, suaminya berdiri sambil megangin piring bersih dan sponge cuci, sedangkan air mengucur deras dari tap wastafel.

Cowok jangkung itu gak mau langsung memberikan sentuhan yang mungkin sekecil apapun bisa mengagetkan Khaotung. Dia memilih berdisi di sisi yang lebih pendek, diam-diam mematikan keran air, dan mengambil satu persatu barang yang berada di genggaman suaminya. Bersamaan dengan itu juga, Khaotung sadar dari pikiran-pikiran ruwet di kepalanya.

“Eh? Ehㅡ Aduh!” Respon Khaotung sedikit kebingungan. Cowok satu itu menyalahkan kembali keran air sebentar untuk membilas tangannya dari sisa sabun.

First Kanaphan tersenyum maklum. Lengan kirinya, Ia sandarkan di pinggang si suami, mengusap kecil punggungnya seraya menyuruh Khaotung pelan-pelan.

Cowok dengan kaus hijau kebanggaannya tanggap bukan main. Ia menyerahkan dua lembar tisu dapur untuk suaminya mengeringkan tangannya dengan benar. Lucunya, kesadaran Khaotung itu kayak lagi bulak balik pergi dan kembali. Sehingga, langkah yang lelaki itu ambil hanya untuk mencapai tempat sampah saja tidak sepenuhnya sempurna.

Beruntung suaminya ada di sana, badan kecil itu gak perlu timbul memar akibat berinteraksi dengan barang yang sebagian besar berbahaya.

“Sini deh! Sini, kamu berdiri di sini!”

First Kanaphan gemas sendiri. Antara dirinya yang kelewat penasaran dengan Khaotung yang memasukkan semua-muanya dalam pikiran. Cowok yang lebih tua beberapa bulan saja, kini telah memposisikan diri di hadapan Khaotung, mengapit si kecil di antara keramik dapur.

First melakukan sentuhan pertamanya, mengambil dagu milik sang suami agar matanya terangkat, berjajar tepat dengan miliknya. “Kenapa? Hmm?” Dia bertanya, sedang Khaotung masih sibuk memilah-milah isi kepalanya. “Apa? Coba diungkapkan aja!” Pintanya lembut.

“Jane ke sini. Ke rumah ini.” Cicitnya ragu.

“She's weird, you know?” Ungkapnya lagi kali ini dengan kebingungan. “She looked for you, but actually she didn't. And she was happy to met me?” Pungkasnya.

Gongnya adalah, First Kanaphan sendiri gak tau mau jawab gimana, soalnya pernyataan Khaotung tentang kedatangan Jane diluar ekspektasinya. Cowok ini udah nyiapin berbagai silat lidah untuk membuat Khaotung percaya bahwa dia benar-benar tidak berhubungan kembali dengan Jane semenjak hari itu. And he wasn't intended too.

First tau bahwa masalah yang menyangkut dirinya, Khaotung, dan Jane belum sepenuhnya berakhir. Tidak ada penjelasan secara resmi antara dirinya dan Jane secara empat mata. Bahkan mungkin, satu dunia masih menganggap ada hubungan spesial antara First dan Jane.

Yang First tau dia sedang tidak punya jawaban apapun untuk membalas kebingungan di kepala kecil milik Khaotung. First hanya tau dia butuh ketenangan untuk menenangkan suaminya, menghindarkan pikirannya dari remahan masa lalu yang sedang dia coba untuk sapu bersih menghilang dari tengah rumah yang dia bangun dengan susah payah.

Cowok yang lebih tinggi, kini menarik yang lebih pendek dalam dekapannya. Memberikan suara degup jantungnya yang berdetak konstan, juga suhu tubuh yang dia atur sehangat mungkin.

“Aku gak ada hubungan apapun sama Jane, kamu tau kan?” Kalimat pertamanya yang entah kenapa dia ingin utarakan. Padahal, tidak ada tatapan curiga, tidak ada ungkapan sanki. Hanya saja, traumanya muncul membentuk kalimat itu.

Khaotung tak menjawab di depannya, hanya anggukan kepala tanda percaya.

“Bukan aku yang hubungi Jane, dan suruh dia datangi kamu.” Lagi, kalimat hilang percaya diri membentuk satu lapisan kembali.

Lelaki dalam pelukannya berdehem seraya setuju.

“Aku gak tau kenapa Jane bisa datang keㅡ”

Hingga lapisan-lapisan kurang percaya diri yang dibangun First Kanaphan seketika luluh lantak oleh sebuah kecupan hangat, tidak menuntut, yang diberikan Khaotung sebagai bentuk validasi. Sebab, dirinya akan selalu punya rasa percaya terhadap suaminya, First Kanaphan dan harusnya First juga punya kepercayaan seperti itu.

“Iya, aku percaya. Kalau ini yang ingin kamu dengar.”


`hjkscripts.