kafe, that day.
Hari itu lagi panas-panasnya. Ada kali suhu capai 34 derajat celcius, dan mereka memutuskan untuk tetap melaksanakan agenda yang sudah dipersiapkan baru semalam.
Dateng ke tempat dengan konsep rustics gini ternyata gak buruk juga. Malah Khaotung berdua sibuk lihat-lihat furnitur yang pihak kafe pasang acak. Sesekali mereka ngefotoin juga sekiranya enak dipandang. Sedangkan First, dia kurang tertarik sama interior kayak gini. Bagi dia semua kafe tuh sama, yaitu tempat ngopi. Malah, kepalanya lagi penuh tentang skenario yang mau dia amalkan pas nanti udah duduk.
Kafe hari itu sepi banget. Gimana gak sepi ya kalo datengnya siang bolong di hari orang-orang masih pada gawe. Cuma ada beberapa staf sama dua orang yang kayaknya lagi work from cafe. Ini sih yang namanya keberuntungan, pas banget sama intensi mereka.
Gawin tuh ternyata pinter banget milihin tempat. First sama Khaotung milih duduk di kursi outdoor yang ternyata sama sejuknya dari indoor. Bedanya, di sini sejuk karena tepat di atasnya pohon gede yang lagi bergerak sebab ditiup angin.
Dalam keadaan kayak gini, keadaan dimana untuk pertama kali mereka mau saling buka suara, First gak bisa langsung paksain Khaotung buat fokus sama tujuannya. Di hadapannya, Khaotung lagi duduk namun pandangannya masih asik sama fasilitas yang dikasih kafe. Entah dia lagi ngeliatin apa, yang pasti First kasih waktu sebanyak yang Khaotung butuh. Gak ada buru-buru.
Toh, First bodohnya juga malah mandangin suaminya. Rasanya adem gitu, wajah tenang Khaotung juga rambutnya yang lagi bergerak dihempas angin sepoi-sepoi yang gak berhenti lewat. Indah, begitu kata batinnya. Terus, badan First mendadak tegak kala Khaotung telah berpaling dari kegiatan memandang dan malah bersitatap dengan mata First Kanaphan yang tengah memuja.
Khaotung tersipu malu, menyembunyikannya dengan senyuman kecil. First yang kepergok ganti menatap sekitar canggung yang berakhir dia tertawa geli sebab dia tau dirinya bersikap bodoh.
“Puas ngeliatinnya?” Goda Khaotung.
First mengangkat bahunya, membuat gestur untuk menenangkan rasa malunya. “Sorry, can't help it.” Dia mengakui.
Mereka berdua yang lagi berhadapan ini gak bisa gambarin perasaannya sendiri. Mixed feelings banget dan penuh pertanyaan. Dalam pikirannya yang lagi coba disembunyikan erat-erat pakai gerakan menyesap minuman masing-masing ada harapan tersendiri dari hasil ngobrol hari ini.
First yang mulai. Cowok itu merasa dia yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah di antara merekaㅡ yang mana, dia sendiri sebenarnya masih menerka mana yang jadi titik retak komunikasi mereka yang telah membaik belakangan. First merasa dia sudah mengawali dengan dia yang mengoreksi diri. Pula, dia rasa feedback yang diberikan Khaotung cukup baik meskipun di awal, suaminya masih banyak sanksi. Namun, semua usahanya seperti hancur sia-sia dalam satu malam pada peristiwa perginya mama.
First Kanaphan membuat debaran jantung Khaotung meningkat. Seperti cowok ini benar jodohnya yang bisa membaca jalan pikirannya yang rumit. Bergeming, kaku, dan ekspresi terkejut tidak percaya atas keluarnya surat perjanjian tertulis yang mereka setujui hampir lima tahun lalu ada di atas meja kafe, di tengah-tengah keduanya. Seperti dejavu satu malam itu, tepat setelah acara pernikahan selesai, surat berisi gambaran ego keduanya disepakati.
Khaotung mau lari aja, sejauh mungkin yang pasti dia mendadak gak mau bahas apapun yang berkaitan dengan surat ini. Hanya ada satu kemungkinan dengan habisnya masa berlaku dari surat tersebut, yaitu perpisahan. Surat ini dibuat pada hari pertama mereka bersama dan berakhir saat mereka memutuskan untuk berpisah.
“Waktu berjalan begitu cepat bukan?” Khaotung bergumam, masih bisa didengar suaranya yang kecil sebab kafe semakin sepi. First mengangguk setuju, memang waktu semakin bergerak lebih cepat.
Tangan Khaotung bergerak lembut, mengambil surat bertulis tangan yang sama sekali gak lecek menandakan dijaga betul-betul oleh suaminya. Dia membaca satu persatu poin kalimat yang menurutnya gak masuk akal sama hubungan mereka menuju akhir.
Cowok itu mengangguk seolah kerumitan di kepalnya mulai membentuk gulungan rapih yang membuat dirinya perlahan paham.
“Now it's all makes sense.” Katanya.
Namun, First sama sekali gak paham sama kalimat Khaotung barusan. “Aku gak paham. Apanya yang make sense?” Dia bertanya.
Khaotung yang sekarang gak paham. Bukannya mereka di sini satu pemikiran ya? Terus, emosi Khaotung mendadak meningkat liat muka bingung bodoh suaminya. Dia menganggap bahwa First gak serius, padahal udah jelas surat perjanjian ini dia yang keluarkan.
“Kamu mau kita selesai, kan? Ya udah ayo kita selesai!”
First makin bingung dengan kesimpulan yang keluar dari mulut Khaotung. Dia juga kurang suka nadanya yang terkesan memojokkan dirinya. Lalu, First berkata membela diri sekaligus meluruskan, “Bentar Khao, maksud aku ngajak kamu kesini bukan ituㅡ”
“Terus apa? Kamu ga perlu merasa bersalah buat punya pikiran pergi ninggalin aku dalam kondisi aku yang lagi kayak gini. Semuanya udah disepakati. Aku paham kok. Ga apa, kalau mau pergi ga apa.” Suaranya lantang, namun berangsur kecil seiring dengan getaran yang menandakan bahwa emosinya berantakan di dalam.
“Mama udah pergi, udah saatnya kamu juga ikut pergi. Aku ga mau jadi beban kamu juga buat terus tutup-tutupi. Hidup kamu ga tenang kalo terus bertahan sama aku. Kamu punya karir cemerlang, penggemar yang nunggu kamu. Aku juga ga mau kamu bohong terus sama media. Surat iniㅡ” Khaotung mengangkat surat perjanjian sekali lagi. Lalu, dia menyobeknya jadi beberapa bagian.
“ㅡ Surat ini, dengan surat ini aku melepas kamu pergi.” Pamungkasnya bersama tetes pertama air mata merelakan.
Sekarang First paham kenapa Khaotung menjadi diam. Berapa banyak jumlah pemikiran-pemikiran negatif yang dipaksa masuk bersamaan yang seharusnya dia fokus mengenang mamanya. First merasa semakin bersalah, harusnya dia lebih cepat peka. Harusnya masa-masa berduka, dia sudah melompati batasan yang mereka buat. Harusnya dia tidak menahan diri dan banyak-banyak menyediakan tempat ternyaman untuk suaminya.
“Sayang dengarkan aku!” First cepat-cepat mengambil kedua tangan Khaotung. Persetan dengan surat yang sudah gak berbentuk. Toh, memang ini tujuannya.
“Aku ajak kamu kesini memang karena surat ini. Tujuanku memang untuk membuat surat ini menghilangkan di antara kita. Iya, suratnya harus menghilang kalau mau memulai semuanya dari nol. Sayang, aku mau kita jadi individu baru, menjadi pasangan yang sehat karena perjalanan kita dimulai dari hal baik. Aku ingin kita melupakan masa lalu yang menyatukan kita. Lupakan hari itu, ingat saja tentang hari ini, anggap hari ini, di jam ini, menit ini, detik ini, di tempat ini, menjadi awal pertemuan kita dan kita yang menjalani hari selanjutnya bersama sampai takdir yang memisahkan.”
First Kanaphan salah karena baru sadar bahwa rasa tanggung jawabnya sedikit demi sedikit terkonversi jadi rasa cinta.
First Kanaphan ingin lepas dari tanggungjawab karena janjinya pada mama. Menjadikan dia mandiri yang bisa mengurus perasaannya sendiri. First Kanaphan ingin mulai menyayangi Khaotung karena dirinya sendiri. First Kanaphan ingin mencintai Khaotung karena tanggung jawabnya kepada Tuhan semata sebab Khaotung Thanawat adalah makhluk yang Dia ciptakan dengan rasa cinta.
`hjkscripts.