broken.
Trigger Warning ; Slightly ๐
Aou Point of View.
Kaki yang berusaha tegak ini, beserta tarikan napas dalam dan hembusan panjang adalah tanda bahwa gak mudah untuk masuk dalam venue acara bahagia. Harusnya, gw ada di dalam sana, bahkan sejak pagi buta. Biasanya begitu kan? Ketika ada saudara dekat akan mengadakan acara penting.
Namun sayangnya, yang di dalam sana lebih dari sekedar saudara dekat-dekat. Yang di dalam sana lebih dari sekedar kita saudara kandung. Ya, mana ada saudara kandung? Kan gw anak tunggal. Jadi, yang sama-sama berbagi warna merah darah dengan gw tentu... orang tua gw sendiri.
Iya, hari ini mereka yang sudah pernah merasakan perpisahan dan membentuk keluarga masing-masing (lagi), bakal disatuin kembali sama pernikahan. Kalau istilahnya sih namanya rujuk.
Tetapi gw yang disebut anak ini, malah datang di saat matahari udah cukup menyingsing, jauh dari ketika prosesi sakral dimulai. Terakhir kali gw ngecek jam tangan, jarumnya udah nunjukin pukul 12.00. Udah kayak tamu gak tau diri yang nyempetin hadir cuma buat makan siang.
Boom, cowok ini emang ya kapan gw gak bergantung hidup sama dia. Bahkan pas masuk venue aja, tangan basah gw digandeng sama dia. Takut jatuh, enggak takutnya gw kabur. Ini keputusan gw sendiri di menit terakhir waktu pertemuan makan malam hari itu, tapi kayaknya gw bakal menyesal setelah ini.
Waktu gw berdiri di atas selasar karpet merah, dengan jarak hanya beberapa bari orang-orang yang mau gantian ngucapin selamat buat yang kedua kalinya, rasanya gw mau muntah di tempat. Semua-semuanya perasaan melebur jadi satu di dalam hati, meluber kemana-mana penuhin rongga yang kosong. Perut gw tiba-tiba melilit, otak gw pening, sehingga tubuh gw menghasilkan begitu banyak peluh yang bikin kemeja di dalam jas mulai menyerap banyak keringat di bagian punggung.
Gw gak suka ngeliat mereka berdua tertawa bahagia kayak hari-hari sebelumnya adalah jalan indah yang mereka jajaki bersama, membangun semuanya dengan kata cinta. Apalagi alasan kuat yang membuat mereka patuh berdiri di atas sana adalah keinginan untuk membahagiakan gw; sang anak yang ditelantarkan sana-sini.
Sumpah gw beneran mau muntah. Persetan sama nikahan, persetan sama janji, persetan sama Boom, dan gw resmi menjadi seorang pengecut yang lari secepat mungkin menuju toilet. Memuntahkan seluruh isi perut, yang seluruhnya hanya cairan bening juga air. Demi Tuhan gw lemah banget, kaki rasanya berubah jadi jeli. Kalau kedua tangan gw gak bergantung dengan wastafel, tubuh gw jatuh gitu aja.
Gw melihat pantulan diri sendiri di kaca yang banyak noda bekas air. Bahkan kaca blur gak bisa nutupin gimana berantakan gw saat ini. Basah, kuyup, beberapa kali gw cuci wajah gw berharap bisa balikin kewarasan seperti semula. Tetapi yang terjadi adalah, gw kembali mual, muntah kosong, setelah memori masa lalu dan kini bertarung membuat kepala gw pusing karena kebingungan.
Linglung, kayak orang gila. Bahkan, pada detik kemudian tangan gw rasanya juga lemes. Sehingga gak bisa nahan semuanya. Gw jatuh terduduk, terjebak di tengah hiruk pikuk isi pikiran gw sendiri.
Boom datang, menangkup wajah basah gw dalam telapak halus yang menenangkan. Matanya menyala, tersirat khawatir di sana. Sedangkan, gw yang udah lemah makin menunduk.
โMaaf...โ Bisik gw kepadanya. โMaaf gw gak bisa.โ Final gw.
Boom ngerti, dia ini cowok paling pengertian. Dia dekap kedua bahu gw. Menopang gw buat sekedar kuat berdiri. Bukan buat lanjutkan apa yang harus dilakukan, tetapi untuk pulang.
โIt's fine. Kita pulang!โ
Apartemen dibuka, menguarkan hawa dingin dari dalamnya. Entah hawanya, atau keadaan mereka yang sudah terhitung satu jam tak ada kata-kata di antaranya. Aou bungkam, sedangkan Boom tau diri.
Boom bukan sosok pemaksa, malah dia ini sosok pemberi. Pemberi segala, dia bisa provides apapun. Namun untuk saat ini, yang dibutuhkan Aou adalah ruang dan sedikit waktu. Boom masuk kamar milih Aou seolah itu adalah ruangan juga. Dia tidak melakukan gerakan tambahan, sok baik, atau sok peduli. Hanya masuk, berdiri bersandar di meja komputer cowok yang lebih muda dari dia. Sembari mengamati gerak-gerik kawannya, hanya memastikan Aou duduk di kasur dengan tenang.
Selepas itu dia beranjak, kala lewat sepuluh menit Aou duduk meratapi lantai. Iya, Aou butuh ruang untuk sendiri.
โMau kemana?โ Sapanya. Ini juga jadi kalimat singkat pertama sejak satu jam tiga puluh menit lalu.
Boom berhenti tepat di depan kepala Aou yang masih belum mau tegar. โAku gak mau ganggu kamu. Aku keluar aja.โ Kata Boom lembut.
Namun, Boom harus membatalkan niatnya setelah sudut matanya menangkap gerakan tepukan lembut di permukaan kasur yang kosong. โSini! Duduk sini aja!โ Pinta Aou.
โKamu mana pernah ganggu, malah aku yang butuh kamu di sini.โ Aou mengungkapkan kata-kata yang terdengar biasa bagi Boom. Clingy, khas Aou sekali. Bahkan, Aou tak segan mengambil kedua tangan Aou untuk diremat lembut. Seolah cowok itu sedang mencari suntikan aliran energi positif yang selalu Boom punya dalam dirinya.
Aou menarik tangan Boom, mengarahkan telapak hangatnya menuju pipinya sendiri bersamaan wajah yang selalu bertatapan dengan tanah, pada akhirnya menatap matanya. Mata penuh kekesalan juga kecewa. Mata penuh sedih juga lelah.
Di mata Boom, Aou hari ini rapuh sekali.
Ekspresi wajah Aou yang penuh kumpulan warna abu-abu menstimulasi empati dalam diri Boom. Dirinya berusaha keras untuk berpikir, afeksi mana lagi yang harus dia keluarkan untuk sekedar menghibur jiwa Aou yang malang. Berpikir, berpikir, dan berpikir disaat begini ternyata tak sama sekali mengeluarkan ide-ide cemerlang. Malah, ada satu hal yang impulsif, dan tanpa Boom sadari dia telah menutup matanya ragu, memajukan wajahnya secepat kilat, dan mendaratkan bibirnya sendiri di atas bibir si cowok sendu.
Satu detik, dua detik, dan detik ketiga adalah waktu penyesalan, mungkin setelah detik kelima nanti persahabatan mereka akan runtuh selanjutnya. Hanya saja, ketika detik keempat, saat Boom mulai sadar akan bodohnya dia, lagi-lagi menciptakan jarak di antara mereka. Pada momen itu, pada detik kelima, Aou menarik tengkuk Boom, menautkan kembali yang baru singgah. Menahan rasa hangat dan basah bersama tekstur kenyal menyenangkan.
Aou menahan diri, berpedoman dengan kata persahabatan. Ketika momen ini muncul, dan cowok yang selalu dia eluh-eluhkan bahkan di dalam bawah sadarnya yang memulai. Aou tidak ada seruan penolakan. Sebab, bibir yang terlalu tersenyum ini, yang selalu terucap kata-kata baik dari didikan orang tuanya ini yang ingin dia cicip sejak lama.
Aou melumatnya, membuat Boom bingung setengah mati di sela-sela terlena pula. Dimana cowok yang kerap dipanggil Bocil belajar bagaimana memperlakukan bibirnya. Bagaimana dia bisa tau kapan harus mengecup bibir Boom, mengutarakan banyak kata-kata yang Aou sulit untuk merangkai kalimatnya. Bagaimana dia melumat dengan ritme konstan, membimbing yang lebih tua dalam permainan baru menyenangkan.
Basah, penuh liur, geli, juga bikin mabuk melayang. Keduanya terlena akan nikmat nafsu dunia. Kewarasannya hilang, nurani lenyap. Hanya ada birahi yang menuntun kedua tubuh bergerak semakin jauh, jauh menuju tilam empuk yang akan menjadi saksi bisu bagaimana liarnya lekuk tubuh kawula muda menduduki teman sebayanya.
`hjkscripts.