make up in the morning.


First point of view.

Gua gak punya persiapan apa-apa, sebab yang gua tau harus berangkat pagi-pagi ke tempat tinggal Mba Ciize. Harusnya gak ada tekanan untuk berangkat jam berapa. Namun, karena menurut gua ini hari yang penting jadi gua ya gak mau buang-buang waktu untuk sekedar nanti-nanti.

Iya, sebab urusan yang menyangkut sama Khaotung itu prioritas wahid. Harus segera, apalagi keadaan kita lagi kurang baik.

Hari ini itu sebenernya sudah gua nanti, bahkan sejak hari pertama Khaotung memutuskan buat mengambil seluruh ruang kosong untuk dirinya sendiri. Gua menahan diri, gak mau gegabah ambil langkah. Kita ini benar manusia-manusia butuh istirahat. Hubungan seumur hidup ini stress levelnya bukan main.

Nikah itu gak seperti orang menjalin hubungan seperti pacaran. Putus dibarengi emosi, kembali turut rindu katanya. Orang menikah prosesnya panjang, sudah bersama ya sulit untuk dipisahkan. Bahkan, orang-orang pengadilan agama, yang gak tau menahu urusan rumah tangga orang lain harus ikut campur buat berusaha mengembalikan harmonisasi keluarga.

Kalau menikah itu gampang, mungkin keadaan kita sekarang lebih baik untuk pisah. Tetapi, resiko pisah rumah tangga itu adalah kehilangan selama-lamanya. Pisah rumah tangga itu gak selamanya bisa kembali hanya karena masih sama-sama cinta. Kalau hanya cinta bisa pusing orang Dispenduk sama Kementerian Agama yang ngurus dokumennya. Yang makmur cuma bapak-bapak calo di luar gedung instansi.

Maka dari itu daripada gua sama Khaotung mencoba bertahan di tengah situasi yang makin hari gak masuk akal. Gua mengiyakan kita istirahat. Mungkin, kalau gua memaksakan pun, jika ada badai sekecil tiupan angin sebelum hujan sore hari. Kita berdua akan kacau berantakan, berpisah tanpa tau jalan untuk kembali.

Gua hanya bermain mata kala Mba Ciize menyapa. Gak mau menghasilkan suara berlebih yang bakal mengganggu eksistensi Khaotung. Rumah yang lebih tepatnya kos-kosan ini lumayan luas. Kayaknya lebih tepat disebut rumah sewa sih karena ini lebih dari sekedar kamar tiga petak.

Mba Ciize mengintruksikan kepada gua buat langsung ke kamar yang tertutup. Khaotung masih belum menampakkan diri katanya, walaupun dapur Mba Ciize sudah mengeluarkan aroma. Well, that's good, gua gak perlu dapet drama terkejut, bertengkar, dan akhirnya diusir.

Mba Ciize pergi kembali ke dapur membawa begitu banyak kresek ditangan gua. Meninggalkan gua dan Khaotung tanpa mau ikut campur lebih banyak.

Ketika gua masuk perlahan ke kamar Khaotung, gua bisa melihat punggungnya. Sedangkan, wajahnya berpaling menatap tembok. Suara dengkuran halus masih terdengar, napasnya juga kasar. Mba Ciize cerita kalau keadaan cowok ini lagi gak baik-baik aja. Terlihat dari selimut yang hampir menutupi satu kepala. Gua tau Khaotung itu cuma pakai selimut sampai di pusar.

Gua gak mau cuma sekedar duduk di tepian kasur dan menunggu kehadiran gua dia rasakan. Karena itu akan membuat nafsu emosi yang udah gua pendam akan bergejolak layaknya gunung tengah erupsi.

Gua singkap selimutnya perlahan, gua beranikan diri berbaring di belakang tubuhnya yang menghantar suhu tinggi di antara kamar dingin. Gak apa untuk ini aja gua menghancurkan perjanjian untuk istirahat sejenak. Sebab, istirahat bagi gua adalah berada di sampingnya meskipun tanpa usaha berlebihan, afeksi, dan kata-kata pemanis.

Istirahat dalam kamus gua adalah kita yang tidur di malam penuh kebingungan dan bangun dengan posisi saling menguatkan. Tanpa cela, tanpa batas, tubuh kita berdua tertaut kulit satu dan lainnya. Gua yang mendekap tubuh tenang, empunya terganggu jadi tegang.

Anehnya, entah mungkin Khaotung masih belum seratus persen sadar, cowok itu bergeming. Padahal, yang gua pikirkan adalah potongan imajinasi negatif di kepala. Entah Khaotung harusnya terperanjat dan berakhir gua babak belur dibuat.

Namun, inilah pagi kita. Agak lain karena yang sedang kita berdua tatap adalah tembok keras bukan jendela yang menampakkan langit juga memancar cahaya matahari. Inilah pagi kita, gua yang memeluk jasadnya yang termenung dengan napas konstan. Inilah pagi kita yang bungkam tanpa suara.

Maka gua, meringkuk semakin mengeratkan dekapan. Menanamkan hidung dicela-cela tengkuknya yang bebas liar. Menghirup candu bau tubuh polosnya yang serupa oksigen buatan Tuhan.

“Khaotung milikku, selama Khaotung milikku, aku akan tetap hidup.”


`hjkscripts.