bittersweet.
Khaotung baru tau kalau lagi ada diposisi serba khawatir gini, kedatangan suaminya adalah hadiah terindah yang dia belum pernah rasakan sebelumnya. Meskipun dia gak bisa peluk, dia gak bisa dekap erat sambil menghirup aroma khas tubuhnya. Eksistensinya, aura positifnya membawa perubahan besar memerangi energi negatif yang sedang menari-nari di dalam kepalanya.
Bak seekor kucing, Khaotung menyambutnya, langsung di depan pintu kemegahan tepat setelah deru mobil yang dia kenali masuk dalam pekarangan istananya. Dia menunggu dengan sabar, bersama degup jantungnya yang gak sabaran. Senyum itu merekah tatkala First masuk dengan banyak tentengan dalam genggaman jari-jarinya.
“Mama lagi tidur abis makan siang dan minum obat.” Kata Khaotung sembari tangannya cekatan membantu suaminya mengeluarkan berbagai makanan dari kantong kresek warna-warni.
Cowok matang itu mengangguk paham. Dia memanggil salah satu helper di rumah agar menyampaikan pada yang lain bahwa sejumlah makanan di atas meja ini boleh diambil siapapun. Dia lantas mengambil yang masih utuh dalam balut tas lumayan bagus, dia tuntun pula Khaotung untuk ikut bersamanya menuju beranda kecil belakang rumah.
Pikirannya yang carut marut membuat Khaotung pasrah setengah diseret. Dia bagian yang menerima saja, ya mostly begitu sih. Kayaknya dia ini mulai nyaman jadi penerima, diperlakukan kayak pangeran, dielu elukan namanya menggunakan kata-kata sayang. He is completely falling for his own husband.
Mereka berdua duduk di pinggir kolam renang. Ada sensasi tersendiri memang dari beberapa spot kecil yang tersedia pada minimalis desainnya. Suara gemericik angin yang tengah menerpa dedaunan juga suara air halus sebab ombak kecil yang dibuat angin pecah. Bersama helaan demi helaan nafas juga irama degup jantung jadi pengiringnya pula. Menurutnya, ini adalah terapi setres mudah, menyentuh, dan menenangkan.
Khaotung ketawa gak percaya sama yang dikeluarkan First dari bawaannya. Dari ulang tahun anak siapa dia? Kok bisa mengeluarkan satu paket cepat saji toko ayam lengkap dengan mainan anak-anak.
“Buat aku?” Khaotung masih gak percaya. First ngangguk jahil. Cowok itu mulai melahap bagiannya di porsi dewasa.
Khaotung berdecak sebal, “Emang aku anak kecil apa?” Lanjutnya. Namun, gestur yang ditunjukkan jelas berbeda. Dia dengan telaten membuka hadiah mainan seolah penasaran apa yang dia dapat.
“Gua nurut google ajasih. Katanya, kalo anak gak mau makan kebanyakan minta dibeliin ini.” First menjelaskan.
“Aku bukan anak kamu ya!”
First ikut ketawa geli. “What's so different between a kid and anxious hubby?”
“Am I your husband?” Pertanyaan konyol sih. Tapi Khaotung selalu penasaran sama jawabannya. Dia yakin tapi dia juga ragu.
“Coba liat buku nikah di rumah sana! Terus perhatiin lamat-lamat foto cowok yang di sebelah gue, elu apa Ryan Reynolds? Tapi kayaknya elu sih, soalnya Ryan Reynolds udah punya istri.”
Kalah dia, telak. Ngobrol sama First Kanaphan sekarang tuh rasanya pengen meleleh mulu. Tiap hari gak usah pakai pemerah pipi biar muka kelihatan cerah. Ngobrol aja nih sama First Kanaphan lima menit. Kayak segala-galanya yang dia temukan di bumi, dia lempar semuanya ke atas Khaotung. It's an extraordinary pleasant yet bitter. Sebab, Khaotung harus sadar bahwa hubungannya tergantung sama keadaan orang lain.
First ngajak Khaotung pulang setelah beberapa kali meyakinkan suaminya, bahwa di rumah, mama akan baik-baik aja. Bahkan First terkesan buru-buru. Gak biarin Khaotung buat pamit ke mama yang masih tidur.
Sampai di apart yang bikin bingung itu malah First. Khaotung udah mandi, udah rapi pakai baju rumahannya. Tetapi, First ini mondar-mandir di dalam rumah kayak lagi mempersiapkan diri atau dia gak ingin apa yang akan dia lakukan setelah ini terjadi begitu cepat. Cowok jangkung itu kebingungan, menyibukkan dirinya sendiri.
Hal-hal kayak gitu bikin Khaotung makin cemas, makin gak karuan isi kepalanya. Ini pasti bukan sesuatu yang baik. Khaotung kayak dikasih kesempatan juga buat persiapan diri. Maka Khaotung harus bersiap pula.
“Kamu tuh bisa diem ga? Aku capek lihat kamu mondar mandir gitu.” Langkah First berhenti seketika seolah tubuhnya patuh terhadap mandat suara Khaotung.
Dia menghela napas panjang. Inilah saatnya, gak ada yang harus ditunda lebih lama. Sebab, cepat atau lambat semua akan terjadi seiring waktu bertambah. Jika semakin lambat, First tau dampak kecewa yang akan ditimbulkan dan First belum mempersiapkan diri atas reaksi itu nanti.
Keduanya duduk nyaman berhadapan di atas sofa. Televisi seolah menatap mereka diam-diam dengan layar hitam. Dunia seolah mendukung suasana dengan tidak ada suara yang tercipta selain napas dan degup jantung berantakan manusia.
First gak langsung bicara. Dia tatap mata lawan bicaranya lamat, lembut, namun penuh kekhawatiran dan keraguan. Sedangkan mata yang sedang ditatap begitu bergerak tak nyaman.
“First kamuㅡ” Kalimat Khaotung tak pernah selesai, tatkala kedua lengannya diremat halus.
Suaminya kini mengusap lembut, naik turun memberikan banyak banyak kekuatan. Dia akhirnya bersuara, “Kamu tau kan kemarin jadwal mama check up ke dokter?” Mulainya begitu.
Khaotung menelan ludah, gak berniat menyahut juga. Cowok yang lebih kecil itu mau fokus dengerin suaminya yang lagi nata kalimat selanjutnya sambil terbuai sama sentuhan tangan besarnya.
“Dokter bilangㅡ” First lagi-lagi berhenti. Kali ini dia mau pastikan betul gestur yang dibuat Khaotung. “Dokter bilang kanker yang ada di dalam tubuh mama sudah menyebar ke seluruh tubuhnya.”
Khaotung masih diam, sebab dia tau akan hal itu. Kanker yang diderita mama memang sudah parah, menyebar, susah disembuhkan. Mama sampai di sini karena kemauannya buat tetep hidup, maka dari itu mama rajin ke dokter untuk cek kesehatan dan berobat. Lantas apa yang bikin First mendramatisir?
“Dokter juga bilang, treatment apapun yang dilakukan saat ini sudah gak ada gunanya lagi, Khao. Kankernya tumbuh agresif, obat dan kemoterapi udah gak sanggup bikin mereka melambat. Mama memang terlihat sehat, tapi dalamnya sudah hancur, rusak semua. Dokter sudah gak bisa apa-apa selain menyarankan sama semua keluarga buat kasih hari-hari terbaik untuk mama.”
Maka satu butir akumulasi ribuan emosi Khaotung luruh tidak dapat dibendung. Kepalnya yang dari tadi pusing, mendadak berdenyut semakin nyeri. Dadanya sesak, dia gak sanggup bernapas normal. Otaknya malfungsi, sehingga logika saat ini dipendam oleh emosi yang seluruhnya dibuat hati.
Khaotung marah, kecewa, sedih, penuh penyesalah. Semuanya dia kumpulkan, dia konversikan perasaannya sampai tubuhnya bergetar hebat. Lelehan bening yang semula luruh konstan menjadi deras seketika. Dia gak mau nahan-nahan, karena terlalu banyak yang ada di dalam. Dia luapkan semuanya, gak peduli seberapa keras dia berteriak, meraung, dan mengadu betapa dia belum siap kehilangan mama.
Meskipun dia sudah menjalani, sudah diberkahi waktu tambahan. Namun, bagi seorang anak kalau bisa selamanya dia akan usahakan.
Raungan pilu tak membuat First mengambil keputusan. Cowok itu juga sama hancurnya. Terima kasih pada mama, dia jadi punya kesempatan untuk melakukan apa yang harus dia lakukan dulu terhadap ibundanya. Cowok itu juga sama rapuhnya. Jadi dia biarkan suaminya menangis tak terima. Dia tetap duduk di sana, bersama air mata kecil tanda adanya peperangan antara kesedihan dan ketegaran. Harus ada yang lebih kuat, kalau sama jatuhnya siapa yang akan menarik untuk kembali berdiri tegak.
First masih di sana, kali ini berbagai kenyamanan tubuhnya melalui sebuah dekapan hangat. Dia balut tubuh yang semakin lemah, memberikan jutaan tepukan menenangkan pada bahu yang bergetar. Mereka habiskan beberapa jam untuk saling melepaskan sengsara.
Bagi Khaotung, mempunyai First Kanaphan disaat terpuruknya ini dia amat bersyukur. Jika dia sendiri, Khaotung gak akan sanggup. Bisa jadi buruk, depresi, dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Mixed feeling hits, perasaan nyaman ini gak sejalan sama keadaan yang dirasakan.
Hal terpenting sekarang ini tentang mama, juga tentang hal yang akan terjadi dengan hubungan mereka.
`hjkscripts.