menggapai dirinya.
Berada di bangku tamu, duduk diam termenung. Lalu, perasaan bersalah muncul silih berganti. Dia harusnya menjadi penjamu, bukan ikut dijamu. Dia seharusnya ikut menyapa khalayak yang datang dari orang besar, media, hingga kerabat. Dia harusnya yang bertanggung jawab, sebab dia juga salah satu kepala keluarga.
Harusnya, semuanya hanya tentang angan-angan. Hari lalu mereka sedekat helai-helai rambut. Lihat sekarang jauh dipisah keadaan, sembunyi menentang pilu.
First tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya, tatkala suara Khaotung makin bergetar. Hidungnya memerah, matanya yang sudah lelah. Gila, First sungguh mana tega. Sempat tidur kah dia? Makan bagaimana? Beribu pertanyaan seluruhnya berhenti diujung lidah.
Ingin rasanya dia berdiri, persetan dengan pura-pura. Dia akan berlari, secepat mungkin, merentangkan tangannya dan memberikan isyarat untuk suaminya datang dalam pelukannya. Dia akan jadi tempat istirahat singkat terbaik untuknya. Dia akan mulai luncurkan jutaan pertanyaan khawatir sampai dirinya sendiri puas.
Khaotung pasti tidak baik-baik saja. Namun, dia begitu pengecut. Meskipun dia berlinang air mata di samping temannya yang menatap dirinya bingung. Dia sama sakitnya dengan Khaotung yang tengah tergugu tanpa malu dihadapan tamu. Dia ingin berada di sampingnya, setidaknya ada usapan penuh energi yang mengalir dari ketulusannya.
Aduh, First Kanaphan merasa dirinya sekarang penjahat. Sebab, tubuhnya hanya sanggup bergeming kala tubuh lemah Khaotung dipinggirkan karena hilang sudah kesadarannya. Dia khawatir setengah mati.
“Jenazah sebentar lagi akan diberangkatkan ke tanah pemakaman. Tetapi keadaan putranya tidak memungkinkan. Bagaimana, pak?” Sayup-sayup petugas pemakaman meminta kepastian kepada suami mendiang.
Papap nampak berpikir. Keluarga intinya hanya tinggal dirinya dan sang putra. Tidak mungkin meninggalkan Khaotung yang tengah tidak sadar dan menguburkan ibunda begitu saja. Dia dan anaknya pasti ingin menyaksikan untuk terakhir kali.
First Kanaphan itu kadang impulsif, gak dipikir. Cowok itu berdiri tanpa permisi bergabung dalam diskusi orang-orang dewasa. Dia menyela, “Maaf kalau saya lancang. Mungkin bapak-bapak sekalian bisa berangkat menggiring mobil jenazah. Saya akan menemani anak bapak di sini. Setelah dia sadar, saya yang akan bawa ke lokasi pemakaman.”
Peti mati kini bergerak perlahan, seolah telah selesai tugas di dunia dan saatnya kembali ke pelukan bumi. Disaksikan banyak kerabat yang sedang mengucapkan selamat tinggal juga selingan doa-doa pengantar. Suasana hening, tidak ada riuh tangis, hanya ada kicau burung yang tiba-tiba ikut menjadi saksi juga angin berhembus lembut tanda melepasnya pergi.
First juga menyaksikan, berdiri lebih tegar daripada siapapun. Tubuhnya dipersiapkan untuk menjaga Khaotung yang baru sadar dari mimpi buruk semalam suntuk. Dia akhirnya bisa berdiri tanpa harus takut mata media. Menuntaskan sedikit tanggung jawab sebagai suami yang menjaga pasangannya, pula sebagai menantu dalam keluarga.
Kedua pasang matanya tidak bisa lepas dari kekhawatiran. Padahal Khaotung tepat di sampingnya. Cowok yang lebih pendek tidak lagi menangis, kakinya kuat untuk sekedar berdiri. Tetap saja rasanya masih amat jauh, First mau memberi afeksi lebih dari sekedar menemani.
Dia ingin menggapai tubuh kecilnya. Berkata semua akan baik-baik saja. Karena Khaotung tidak perlu takut akan kehilangan. Sebab, First Kanaphan akan ada selalu bersamanya.
`hjkscripts.