is it love?
First Point of View.
Seinget gua, awalnya itu dari hari kunjungan ke rumah mama akhir tahun lalu. Kalau gak salah, hari itu giliran gua sama Khaotung yang anterin mama buat check up bulanan. Kita bertiga termasuk papap udah bikin jadwal ke rumah sakit. Intinya biar semua yang lagi usahain kesembuhan mama jadi tau perkembangannya gimana, atau ada masalah apa.
Turns out setelah pulang dari rumah sakit, gua sama Khaotung dikejutkan sama masakan yang luar biasa banyak dan gak biasa di meja makan. Lampu agak dibuat temaram, ada lilin-lilin yang dinyalakan mengelilingi meja bikin visual masakan yang udah cantik kelihatan makin menggugah.
Mama nyuruh gua gak berhenti dorong kursi rodanya. Kita bertiga jalan sampai ruang makan dan beliau minta dipindahkan ke salah satu kursi. Terus, gua sama suami disuruh gabung masih dengan kebingungan. Mama cuma senyum-senyum kecil, belum sama sekali mau ungkapin semua ini untuk apa. Pastinya kita semua diem beberapa menit sampai papa datang dan jadi orang terakhir yang bergabung.
Makanan hari itu enak, saking enaknya sampai lupa udah berapa kali nambah. Sebab, selama makan malam suasananya dibuat nyaman dengan diisi obrolan-obrolan ringan menghangatkan. Gua si gak punya keluarga jadi bisa inget rasanya punya keluarga. Gua si gak punya keluarga jadi punya lagi memori tentang gimana rasanya jadi seorang anak dari orang tua. Meskipun gua tau yang lagi bersama gua ini cuma mertua.
Ah, shit! Hal-hal menyentuh hati gini ini yang selalu gua hindari selama empat tahun main rumah-rumahan sama suami gua. Hal-hal menyenangkan kayak gini bikin gua selalu jatuh dalam rasa bersalah seumur hidup. Karena kita ini lagi bohong, dan mereka berdua yang berakhir baik, menerima gua sebagai bagian dari keluarga mereka adalah korban dari tindak penipuan.
Empat tahun ya? Oh, gua baru inget kalau hari ini tepat empat tahun gua sama Khaotung bertahan jadi lakon di sinetron kita sendiri. Sekarang semuanya jadi make sense, masakan dan dekorasinya. Orang nikah boongan mana paham sih konsep perayaan anniversary. Mangkanya sama-sama kelihatan bodoh, mukanya clueless banget. Sebab selama ini kita berdua masih berputar sendiri di dalam lingkaran hidup masing-masing. Gak ada campur tangan, gak ada berbagi, gak ada cerita-cerita. Kita itu temen yang makin jauh bahkan setelah menikah.
Mungkin hari ini udah waktunya deh, kebohongan terungkap. Ketahuan banget apalagi waktu ditanyain ada rencana apa buat rayain tahun pernikahan. Cuman ya bagusnya ini, hasil dari bertahun-tahun jadi pembohong. Sudah handal, sudah lebih tenang hadapi situasi kayak gini. Maka hari ini kita masih selamat.
Setelah makan malam, kita gak bisa langsung pulang. Karena papap manggil suami gua ke ruangan kerjanya buat diskusi sesuatu. Lama banget, makan waktu berjam-jam. Sampai akhirnya mama keluar lagi dari kamar di anter sama suster jaganya.
Beliau membuat gestur yang mengajak gua berpindah tempat dari ruang keluarga ke beranda kecil di belakang rumah. Kita berdua disekat meja yang di atasnya sudah tersedia teh hangat kesukaan mama. Kita berdua yang larut dalam suara binatang malam. Kita berdua yang dihempas halus hembusan angin. Juga, kita berdua yang melebur bersama pancaran sinar bulan.
Malam itu mama bersuara lebih lembut daripada biasanya. Inilah beliau yang menerima keberadaan gua apa adanya. Malam itu gua bisa lihat sisi lain mama yang hanya seorang ibu dari satu putra. Seorang ibu yang tulus, banyak cinta kasih agar sematawayangnya bahagia.
Khaotung sejak kecil cuma punya sedikit cinta. Sedikit sekali dibandingkan lengkap dua orang tua. Papanya cuma tau bisnis, anak hanya sekedar ini anak saya. Sedangkan, ibunya gila kerja demi terlihat sepadan dia berdampingan dengan suaminya. Rumahnya terlalu besar untuk Khaotung kecil. Orang tuanya hanya berpikir Khaotung bisa bermain lari-larian, bisa berenang, atau main bola di sana, sehingga dia tetap jadi anak yang terpenuhi masa kecilnya.
Ternyata orang tuanya salah. Ruangan yang cukup belum tentu dapat memenuhi kebutuhannya. Gimana bisa lari-lari jika tidak ada yang menjadi pengejar? Gimana bisa berenang tanpa ada yang menjaga dari tenggelam? Gimana bisa bola bergerak maju jika tidak ada yang mengumpan?
Khaotung sendirian dan anak itu amat kesepian.
Puncaknya adalah ketika Khaotung menang dalam lomba tingkat SMA yang menghantarkan dia bisa kuliah di universitasnya. Orang tuanya udah janji, dan Khaotung yang saat itu begitu positif dia percaya mereka akan datang lihat dia naik panggung. Khaotung ingin kasih tau, kalau yang lagi dia lakukan itu adalah bagian perjalanan mimpinya. Dia juga ingin buktikan ke semua orang kalau bakatnya di bidang entertainment berasal dari papapnya yang banyak kasih dia pelajaran.
Namun anak itu terlalu percaya diri. Berharap pada manusia itu tempatnya sakit hati. Dan Khaotung terjebak dalam perangkap yang ia buat sendiri.
Kata mama, malam itu Khaotung meledak sebab banyak kecewa. Semua emosi yang entah sejak kapan dipupuk meluap semua. Mama terlambat sadar, dan papap sampai sekarang masih kuat terjebak. Meskipun mama ikhlas melepas semua yang beliau punya. Tetapi, Khaotung sudah lepas lebih dahulu dari dekapannya.
Khaotung pergi dari rumah, memilih tinggal sendiri. Setidaknya dia tinggal sendiri. Setidaknya dia gak perlu tunggu anggota keluarga yang gak pasti bergabung waktu makan malam. Setidaknya dia gak perlu tunggu orang tuanya pulang cuma buat pamer achievement yang dia dapat di luar sana. Setidaknya dia gak perlu tunggu untuk memejamkan mata hanya untuk sebuah kecupan dan ucapan selamat malam. Setidaknya dia gak perlu berharap-harap kehadiran manusia yang menawarkan kasih sayang ataupun cinta.
Mama nangis, intinya mama menyesal dan penyesalan itu sekarang cuma bisa buat dikenang aja. Gak bisa diubah karena banyak terlambat. Khaotung sudah bertumbuh sebagaimana orang tuanya membesarkan dia. Banyak kurang, banyak celah, banyak cacatnya. Bahkan, mama itu terlalu sombong. Melepaskan seluruh yang dia punya demi memperbaiki hubungan dengan anaknya malah jadi ajang balas dendam. Khaotung harus bisa mengabulkan seluruh permintaan mama, Khaotung harus nurut atas apa kata mama sebab mama sudah rela jadi seorang ibu tanpa apa-apa. Tidak punya pekerjaan, gak ada karir yang dikejar, ada mimpir yang harus dihentikan. Untuk melunasi itu semua, Khaotung yang harus bayar dengan hidupnya.
“Harusnya mama itu ikhlas. Karena jadi seorang ibu kuncinya ya cuma ikhlas. Ikhlas kasih semuanya, tidak terhingga. Cintanya, kasihnya, sayangnya. Tetapi mama ini yang nggak paham konsep jadi orang tua. Mama ini belum siap, dan ketidaksiapan ini merusak anak mama. Umur mama sudah nggak lama, nggak cukup lagi untuk perbaiki kesalahan mama yang begitu banyak untuk anak mama.”
Mama cuma bisa pegang kedua tangan gua. Pegangannya lemah sekali hampir gak terasa. Tetapi, ada getaran hebat dari keluarnya air mata. Ada banyak penyesalan yang sedang coba diikhlaskan.
“Umur mama sudah nggak lama, sayang. Hanya dengan ini, merestui hubungan kalian yang sempat mama tentang berharap kalian bahagia. Sebab, Khaotung yang bilang kamu orangnya. Kamu yang anak mama pilih sendiri untuk temani melanjutkan hidupnya sama-sama. Mama yakin kamu bisa kasih cinta ke anak mama yang nggak sempat mama tunjukkan. Mama yakin kamu bisa sayangi anak mama yang nggak sempat mama berikan.”
“Anak mama itu rapuh dalamnya. Sebab rapuh tolong dipegang erat-erat. Jangan jatuh, sebab jatuh nanti dia hancur berantakan.”
Gua baru sadar kalau kita ini salah, ya emang salah. Sebab salah harusnya kita bukan malah memperburuk. Kita itu kenal sebagai temen, bisa ngobrol ngalor ngidul, ketawa bareng. Harusnya kita tetep jadi temen, bukan bergerak mundur semakin asing. Harusnya nikah bikin kita makin deket, seenggaknya satu tingkat di atas jadi sekedar temen. Meskipun ada kontrak yang jadi batasan.
Sejak saat itu, entah kenapa gua jadi ingin bergerak. Ada perasaan meletup-letup yang membuat gua ingin membuat intensi-intensi kecil saat ada didekatnya. Mulai dari kita yang duduk di satu ruang, berakhir sarapan bareng. Mulai dari kita yang saling lempar percakapan gak penting, berakhir kita yang saling cerita apapun. Ternyata semuanya cuma butuh dimulai, dari hal-hal kecil timbul hal yang lebih besar dan lebih besar lagi.
Mulai dari permintaan, menjadi rasa kasihan, dan berakhir jadi kebiasaan. Yang kayak gini tuh namanya apa ya? Perasaan-perasaan aneh yang mulai muncul karena kebiasaan. Apa ya ini yang orang-orang bilang kalau cinta itu bisa tumbuh karena terbiasa?
`hjkscripts.