bersandiwara.


Laki-laki yang turun dari jok penumpang melepas helm dari kepala. Dia kasih helm kembali ke empunya motor gak lupa sama beberapa lembar uang pas. Dia ditinggal gitu aja, tepat di depan rumah mewah bergaya klasik yang bikin matanya tak berkedip beberapa detik.

Padahal matahari sudah terik di pagi hari, panasnya menyengat kulit, tetapi lelaki yang kerap dipanggil First Kanaphan; si artis baru yang lagi dielu-elukan namanya belum mau beranjak mendekat ke arah pagar. Dia malah taruh barang tentengannya di beton sebatas pinggang.

First benerin tatanan rambutnya yang acak-acakan karna hari ini dia milih gak pakai gel rambut. Dia gak lupa juga kebas-kebasin bajunya dari debu jalanan. Terakhir, semprot parfum di titik-titik tertentu, sebab dia merasa bau parfumnya sudah tersapu angin. Laki-laki ini gak menyangka kalau alamat yang dia dapat ada di salah satu perumahan elit dan rumahnya juga gak kalah besar bikin perutnya mendadak melilit.

Ini sih rumah biasa muncul di sinetron. Rumah orang kaya yang tiap pagi makannya mana pernah diabisin. Tapi bedanya dia belum lihat satpam atau si mbok jawa lugu dengan pakaian super sederhana menyambut kedatangannya di depan pagar. Rumahnya terkesan sepi, malah dia jadi ragu apa bener alamatnya disini.

Kaget, dia kaget juga lega ketika pagar tinggi yang jadi pelindung pertama rumah mewah itu terbuka otomatis dan yang bikin lega dia ternyata gak salah. First sabar menunggu pagarnya bergerak perlahan, kayak tirai acara super deal yang kalau lagi dibuka bikin deg degan. Bedanya disini yang bikin jantungnya tiba-tiba berdegup kencang adalah kala sedikit demi sedikit terbukanya pagar mengungkap paras lelaki yang dia amat kenal tengah tersenyum tepat di seberang dirinya berdiri kini.

Oh, bener berarti ini rumahnya.

First menyambar barang bawaannya setelah dipersilahkan empunya rumah masuk lebih dalam. Dia baru tau kalau rumah kayak gini, kadang ya pemiliknya langsung bukain tamunya. Eh atau Khaotung memang terlalu down to earth orangnya. Mereka melewati taman kecil, ada pancuran juga, berfungsi baik pertanda kalau rumah ini dijaga betul keindahannya. Akhirnya mereka sampai di depan pintu.

Khaotung bergeming, belum mau bukain pintu dominan putih yang di baliknya ada surprise yang akan mereka hadapi hari ini. Di balik pintu jati ini ada misi tersembunyi, ada pikiran dan hati yang akan dibolak-balikkan. Kayak, di balik pintu ini adalah akses masuk dalam permainan yang akan mereka mainkan. Permainan yang disebut sandiwara.

Khaotung berbalik, menghadap pada First. Ekspresinya berubah total dari hangat menjadi penuh khawatir. Dua manik matanya bergerak gelisah mencari kepastian dari milik lawan dihadapannya. Ketika mereka bersitatap, ada pesan yang disampaikan tegas sorot matanya. Jika First ingin mundur, inilah waktunya, gak apa. Jika First ragu inilah saatnya. Sebab, jika pintu telat dibuka, dan sandiwara sudah mulai, tidak ada jalan untuk mundur melainkan selesaikan naskahnya sampai tuntas.

Anggukan First jadi pertanda, senyumannya jadi sebuah respon cepat yang hanya itu sanggup dirinya bagi untuk insan gelisah. First masih pada pendiriannya, lelaki ini masih pada satu tujuannya. Menolong Khaotung, mencarikan lebih banyak waktu. Karena First Kanaphan ini adalah sosok teman yang bisa diajak kompromi. Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja.

Hembusan angin kecil melintas secepat kilat menyapu pipinya kala pintu besar dibuka lebar-lebar. Ada sambutan, dua orang paruh baya. Ada pekikan hangat juga senyum kelewat ramah. Pula, ada raut wajah dipenuhi tanda tanya.

First saat ini seolah tengah diinspeksi, mata tua dari wanita yang tersenyum hangat tidak hanya sekedar menyambut juga memindai parasnya dari ujung rambut hingga kuku kaki.

First Kanaphan hari ini menjadi dirinya sendiri. Mengusung sopan dan sederhana. Rambutnya dia biarkan turun agar tampak lugu, hanya memakai kaos putih dilapisi blazer tipis, juga celana jeans minimalis.

First Kanaphan hari ini menjadi dirinya sendiri. Bingung juga mau berubah menjadi siapa, sebab dia sendiri sebenarnya belum pernah mengalami hal sepenting ini dalam hidupnya. Ini adalah salah satu tingkah nekat, impulsif khas tabiat kawula muda.


Duduk berdampingan dengan pasangan tuh kayak gini ya rasanya. Nervous dikit, padahal pura-pura. Kayaknya berhadapan sama hakim lebih mudah daripada ditatap sama orang tua. Orang tua yang penuh harapan, penuh tuntutan, juga banyak cita-cita.

Terakhir kali First bergaul sama cinta-cintaan tuh waktu SMA, cinta monyet gitu. Isinya cuma gombalan sampis, bucin sana-sini. Pastinya mereka berdua yakin betul kalau cintanya gak serius, bisa putus kapan aja. Waktu kuliah, First jauh banget sama romansa. Belajar, lari proyek satu ke proyek satu lagi, ngumpulin duit, gak sempet sekedar hanging around sama seseorang. Soalnya, dia kuliah sambil kejar-kejaran sama durasi maksimal tahun beasiswa. Empat tahun doang, lebih dari itu dia mana punya materi buat nunjang.

Waktu First ditanya tentang kerjaan, dia gak gugup jawab, “Saya musisi.”

Selanjutnya adalah keheningan yang sudah dia harapkan akan terjadi. Bukan pertanyaan ingin tahu lebih dalam, bukan juga pekikan bangga. Raut wajah nyonya berakhir sama dengan Tuan. Mereka gak jawab, ekspresinya datar menuju kecewa, orang kaya itu gampang dibaca.

Padahal gak semua musisi itu bergantung sama cerita cinta-cintaan remaja. Ada karya inspirasi dari kehidupan. Tetapi mindset orang banyak bilang caranya jadi musisi itu gampang, tinggal jatuh cinta atau pas lagi diputusin pacarnya.

Buat First beda, dia jadi musisi karena cuma itu yang dia bisa. Dia pinter sosialisasi, gampang banget bikin orang terhibur, sebab caranya bertahan hidup cuma mengandalkan kepuasan pelanggan aja dan hiburan jadi jalannya. First mutusin jadi anak band karena cuma gitar tua jadi temennya, cuma gitar itu yang bikin dia tetep inget kalau pernah punya ayah. Bikin dia tetep bangga kalau darah musisi yang mengalir di dalam dirinya berasal dari ayahnya si komposer gak terkenal. Terus, seperempat masa hidupnya dihabiskan dengan menyumpal telinganya, dengerin lagu band indie favoritnya buat hilangin sakit kepala, buat hilangin suara-suara parau ibunya yang sekarat, juga lupain gimana nyarinya suara mesin elektrokardiogram untuk terakhir kali.

Hari ini lebih banyak nyonya rumah yang berbicara, tanya-jawab masalah hidup sehari-hari. Kadang kata-katanya nusuk juga mengetahui fakta kalau First memang belum punya apa-apa. Sedangkan Tuan cuma bisa diem, mungkin shock, gak percaya kalau yang di depannya ini salah satu artis naungannya. Tapi First bodo amat, toh ya ini bukan temu calon beneran. Kewarasannya terus mengingatkan, sekarang ini mereka berdua lagi pura-pura, lagi main peran, lagi sandiwara. Apasih yang harus ditakutkan dari ekspektasi? Setelah hari ini berakhir, gak ada sama sekali harapan yang harus dipenuhi. Gak ada cita-cita yang harus diraih.

Sebab dari pertemuan hari ini tidak akan ada masa depan yang akan terjadi.


`hjkscripts.