akhir drama bersandiwara.


“Saya nggak setuju.”

Satu kata penolakan yang menjadi akhir drama bersandiwara. Tidak ada kata maaf, artikulasinya tegas. Gesturnya tanpa sungkan mendorong kembali buah tangan pada pemilik pertama.

Beliau tidak menerima apapun, walaupun hanya sekedar basa-basi. Seluruh upaya, panjang cerita tentang dirinya ditolak mentah-mentah akhirnya. First tersenyum, ya pasrah memang harus gimana lagi. Apapun keputusannya bukan jadi masalah.

Khaotung gak demikian. Dia tegang, dia kecewa, dia kebingungan. Kalau First ditolak maka artinya tidak ada jalan yang terbuka. Waktu yang dia harapkan, ketenangan duniawi sementara yang dia impikan hilang begitu saja. Setelah ini masih ada daftar nama-nama manusia yang harus dia temui dan ajak basa-basi.

Enggak, dia gak mau. Kerja itu capek, tetapi daripada harus menghadapi ngobrol yang gak jauh dari nama sama background keluarga kerja jadi tampak kegiatan menyenangkan.

“Mam, ya ga bisa begitu dong!” Khaotung berdiri, mendadak emosi, juga suaranya jadi tinggi.

“Sayangnya mama, dia itu gak pantas buat kamu. Dia gak pantas buat keluarga kita.”

Orang kaya kenapa template banget ya jawabannya. Emang kriterianya gimana yang pantas? Padahal dihadapan Tuhan semua manusia sama. Manusia-manusia macem gini aja yang suka mengkotak-kotakkan derajat manusia.

Giliran First diem, sakit hati sih dikit, bukan karena ditolak melainkan ada harga diri yang lagi diinjak meskipun ini cuma sandiwara. Kok ya kenapa gak nanti aja ngomong begitu waktu dia udah gak ada. Kayak sengaja banget biar First tahu dia seharusnya gak lagi duduk di sofa import rumah mewah. Harusnya dia tidur aja di apartemen, dengerin lagu sambil scroll sosial media. Membanjiri dirinya sama pujian-pujian yang penggemar di luar sana bagi buat dirinya.

“Pantas itu bagi mama yang seperti apa?” Khaotung menyahut kembali, suaranya geter mulai panik. “First itu pantas buat aku. Cuma dia yang pantas, ga ada lagi. First ini yang terbaik, pilihanku sendiri.” Lanjutnya.

Hanya saja seberapa keras argumentasi yang dia lontarkan, selalu dimentahkan sama mamanya. Ada banyak alasan kenapa First gak cocok dan First sadar akan hal itu. Khaotung cuma gak mau nyerah, sebab kalau hari ini gagal habis sudah hidupnya.

Suara makin tinggi, hawa juga tak terkendali. Kalimat-kalimat yang semula masih ada unsur hormat, telah berubah kasar menjadi-jadi. First gak bisa diem terus disini, sebab semakin lama dia bertahan, semakin habis harga diri.

Maka First berdiri, memotong debat kusir antar ibu dan anak dan pamit undur diri. “Nyonya, Tuan maaf kedatangan saya menbuat keadaan semula nyaman jadi runyam. Jika memang anda berdua sudah tidak berkenan akan kehadiran saya, saya pamit pulang sekarang.”

“Tapi... First?!” Lengan First dicekal sebelum dirinya menginjak langkah ketiga. Ada ekspresi sedih dan juga bingung dari empunya.

Namun First tersenyum getir, yang ini First yakin bukan sandiwara. Ini adalah akumulasi dari emosi miliknya yang valid.

“Khao, udah ya. Gak apa, aku pergi aja.” Katanya sembari melepaskan genggaman di lengannya.

Sekali lagi dia berikan ucapan terima kasih sebagai bentuk kesopanan sebelum dirinya pergi menghilang dari balik pintu jati bersama hati yang harus dilindungi.


`hjkscripts.