first family trip.


Henry Point of View.

Selamat pagi dari Texas dimana sebagian dunia empat musim udara masih dingin, tapi kalau disini lebih banyak panas yet still bearable at least. Aku bisa melihat matahari bersinar menerangi bumi kapanpun sebab lingkungan terbuka disini definisi terbuka tanpa dilindungi pohon-pohon besar. Tempat nyaman berteduh dari panas hanya atap rumah.

Sekarang aku paham darimana suamiku bisa dapat kulit tan seindah itu. He's burning, fresh from the oven. Well i love him anyway, more while he dominate me and ruin me over and over untill we reached Himalaya.

But guys, look kita tidak tiba di Austin hanya untuk mencari suasana baru atau tempat baru untuk membangkitkan nafsu birahi. Namun kita sampai disini untuk mempertemukan yang sudah lama menanti. Dua orang tua dan dua cucunya yang datangnya sudah lama diharapkan sejak kemarin hari.

Pagi kedua di Texas, pagi kedua juga aku harus memaksakan tubuhku bangun meskipun diikuti rasa sakit sana sini. Salahkan lelaki gila dengan penis tidak beradab yang bodohnya luar biasa, menganggap rumah besar ini hanya milik berdua. Dia yang tengah tertawa, duduk santai di pekarangan belakang dengan ayahnya dan morning coffee-nya.

Rasanya pengen aku pukul sampai dia minta ampun. Tetapi, mengingat sekarang lagi di rumah mom dan dad harus diurungkan niat buruk sejenak. Apalagi badan capek ini harus bergerak cepat memindahkan sarapan dari alat masak ke piring saji dan menghidangkan di meja makan dimana sudah ditunggu oleh beberapa penghuni rumah.

“Breakfast ready!!!” Aku sedikit meninggikan suara agar yang tengah berbincang di luar segera ikut bergabung untuk sarapan yang sepertinya tidak dihiraukan entah seberapa penting pembahasan pagi dua alpha dewasa.

Aku duduk setelah menghidangkan masing-masing piring berisi full breakfast pada mom dan anak-anak yang sejak tadi menunggu di meja makan.

“Thank you, honey. That is so sweet of you.” Mom tersenyum hangat. Beberapa kali memuji hidangan sederhana yang kubuat.

“Henry, sweetheart maaf gara-gara mom kalian jadi batal honeymoon ke Greece.”

“Alex cerita ke mom ya?” Ellen mengangguk. Henry tersenyum maklum. “Henry sebenarnya juga bingung kok waktu Alex bilang dia bisa ambil cuti. Greece atau Texas, dua duanya Henry belum pernah datang. Di Greece Henry hanya jadi turis asing, tapi di Texas Henry punya keluarga. Mom dan dad seneng, anak-anak juga seneng, apalagi Henry sama Alex. This is honeymoon that i've been dreaming of.” Aku melanjutkan.

Memang benar dasarnya bulan madu bukan tentang tempat tapi bagaimana kita membuat banyak-banyak memori bahagia untuk dikenang selamanya.

“Mom bersyukur sekali kamu jodoh yang tepat untuk anak mom. Lebih lagi mom masih hidup, jadi bisa menyambut kalian di rumah mom ini.”

“Mom masih bisa ketemu Henry sama cucu-cucu mom bahkan berpuluh-puluh tahun kedepan asal selalu minum obat dan cek kesehatan.”

“Iya, kalau begini kan mom jadi semangat mau cek bulanan.”

Kita tertawa akan manis dunia juga dari alami gula. Memasukkan satu persatu potong pancake dalam mulut dengan obrolan seringan awan. Hingga aku berdiri juga mom yang berjalan beriringan menuju wastafel untuk meletakkan piring yang nampak bersih seolah belum dipakai sebab habis tak bersisa hidangan di atasnya.

Aku berdiri menetap, ingin membereskan lebih dahulu perkakas kotor sebelum melanjutkan kegiatan lain. Sedangkan mom hanya berdiam di samping mengamati dengan seksama bagaimana ragaku bergerak.

“Henry sayang?” Panggilnya.

Aku meletakkan piring bersih terakhir, mencuci tangan sebelum mematikan keran wastafel dan mengusap dua tangan dengan serbet kering.

“Ya, mom?” Jawabku memperhatikan beliau.

“Ada yang sebenarnya ingin sekali mom tanyakan ke kamu tapi selalu ragu.” Beliau mengusap lenganku lembut, wajahnya terpancar ekpresi khawatir.

“Ada apa?”

“Have your husband tells you about he was taking vasectomy before? I mean, Henry your husband have good intention andㅡ”

“Mom, gak ada yang Henry gak tahu tentang Alex maupun sebaliknya. Alex sudah cerita ke Henry waktu akhirnya kita ketemu lagi dan Henry malah terharu dengernya.”

“Suami kamu cuma laki-laki biasa. Dia hampir gila di tahun-tahun pertama kalian berpisah. Setiap hari keluar masuk tempat minum. Namun dalam hatinya dia takut berbuat kesalahan lagi, dia takut menyakiti kalian, dia sadar jauh disana ada kamu dan anak-anaknya. He was taking it for good. He believe in you but he was too reckless for himself.”

“Mom, I get him. I'm proud of him and i will always love him just the way he is.”


Author Point of View.

“Ini foto dad kamu waktu grandma pertama kali ikut pemilu. Masih polos, dia baru lulus sekolah menengah akhir waktu itu.”

Viscount selalu terkekeh geli setiap lembar-lembar kehidupan tentang dadnya dibuka satu persatu. Berbeda dari milik papanya yang terkesan sangat sakral dan kaku, buku kenangan masa lalu milik Alex lebih fleksibel seperti buku kenangan pada umumnya.

Pesta ulang tahun sederhana hanya dikerubungi ayah dan ibu. Pesta perayaan keberhasilan yang diambil dengan baju seadanya tapi dengan senyum luar biasa sempurna.

“Dad dulu kenapa keliatan anak nakal banget.” Celetuk Viscount membuahkan kelakar dari neneknya.

“He was indeed. Dad kamu itu nakal sampai grandpa sama grandma pusing sama kelakuannya.”

“Mirip banget dong sama papa aku. Papa juga sering bilang gak tau lah dek papa pusing sama kamu soalnya aku nakal.” Balasnya. “Ternyata sekarang aku tau, aku nakal turunannya siapa.” Lanjutnya.

“Oh, keluarga kita gak akan semeriah ini tanpa anak seperti kamu sayang.” Ellen memeluk cucunya gemas, memberikan serangan ciuman hingga cucunya menggeliat geli.

Yang basah dan berkeringat akhirnya datang menghampiri. Mereka duduk di bangku seberang yang kosong dengan napas tak beraturan apalagi yang jauh lebih tua.

“Hufft! Anak remaja ini tenaganya luar biasa.”

“Hei, kenapa kamu gak ikut main sama grandpa dan kakak?”

“Enggak ah, grandpa kan aku gak boleh capek. Nanti kalau kambuh dimarahin sama papa. Katanya rumah sakit jauh.” Jawab yang paling kecil.

Di rumah seluas ini penghuninya hanya tinggal empat sebab dua orang dewasa lainnya berhasil diusir sejak pagi dari dalam rumah. Yah, setidaknya satu hari benar-benar terasa seperti liburan bulan madu bagi mereka. Jika tidak begitu, mereka berdua akan terus memikirkan kesehatan orang tua dan kesenangan anak-anaknya saja.

Itupun sangat sulit membuat mereka pergi berdua. Takut merepotkan lah mom dan dad lah, takut anak-anaknya nakal lah. Dua orang itu benar-benar diusir dengan ancaman kekanakan yang dibuat oleh Ellen sehingga akhirnya menurut. Jadilah tersisa kakek nenek dan dua cucunya.

Semakin lama menghabiskan waktu, Oscar dan Ellen semakin yakin bahwa mereka anak-anak Alex dan Henry. Nicholas secara fisik luar nampak sangat Henry tetapi banyak menuruni perangai Alex. Viscount dengan senyum tengil dan cara bicara nakal seperti Alex tetapi dalamnya serapuh Henry. Alex dan Henry membuat mereka seolah bukan tidak sengaja tetapi sudah diperhitungkan dengan matang.

“Grandpa bersyukur kalian dengan dewasa mau menerima kehadiran anak Granpa dan Grandma satu-satunya.” Oscar membelai satu persatu rambut cucu-cucunya.

“He was very convincing terus papa sama dad kayak lega akhirnya bisa ketemu satu sama lain. Meskipun dad yang memilih mereka harus berpisah, tapi papa gak ada sedikit pun dendam. Jadi, apalagi yang membuat kita harus benci sama dad.” Nicholas yang pertama meyakinkan bahwa semua penderitaan dan kekhawatiran sudah berakhir. Tidak boleh ada yang mengganjal di hati, biarlah yang sudah terjadi berlalu begitu saja.

Viscount mengangguk setuju, “Dad tuh dad yang paling baik. Dia tegas tapi gampang lunaknya. Dia kadang nyebelin sih tapi dia seru juga. Pokoknya aku seneng punya dad sama papa.”

Ya sudah memang hari buruk mereka telah berlalu. Tidak ada lagi sengsara hanya tinggal menjalani saja yang ada di depan selanjutnya. Setidaknya, mereka sekarang bersama sebagai keluarga besar bukan bercerai berai seperti dahulu.


`hjkscripts.