hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


kantin gedung utama.

Seperti yang telah direncanakan Haruto menyusul Hyunsuk, Jeongwoo, Doyoung, dan Jaehyuk. Kalau dipikir-pikir bagaimana mereka bisa menjadi teman jawabannya gatau sejak kapan dan gimana. Yang mereka inget cuma suatu hari di jaman kelas satu sekitar semester dua Haruto sedang duduk di bangku kosong kantin seorang diri, sedang menunggu Pangeran Yoshi dan kawanan tengah menikmati makan siang.

Karena hari itu ramai, hanya tempat yang Haruto duduki tersisa. Disanalah geng Hyunsuk makan sambil melempar guyonan receh khas Park Jeongwoo. Haruto tak sengaja mendengar dan tertawa akan ceritanya. Bukannya membentak dengan angkuh mereka berlima semakin tertawa ngakak.

Lambat laun mengenal keempat anak orang berada ini nggak bikin Haruto minder, mereka memang nakalㅡ alkohol, rokok, judi tapi juga baik bukan main. Menghormati apapun keputusan Haruto, tak sekalipun memaksa Haruto ikut menuju jalan neraka dunia. Keempat manusia sahabatnya terlampau dewasa, kadang Haruto banyak belajar baik buruk kehidupan luar dari bibir mereka.

“Besok kembaran lah bawa motor. Baru ganti skin nih gue.” Kata Doyoung disela-sela kegiatan makan.

“Lah gue mah emang bawa motor. Ini nih boss geng mana mau.” Sahut Jaehyuk menimpali.

Memang sejak kelas dua Hyunsuk sudah jarang terlihat bawa motor.

“Bukannya kaga mau, gue kalo berdua sama Jihoon trauma bawa motor. Motor gue kan semua yang belakangnya tinggi, itu pantat semok Jihoon masa pernah ditepok orang.”

Yang diceritakan ketawa geli. Mau kasihan tapi mengingat Jihoon garangnya bukan main.

“Tapi emang sih, Suk. gua perhatiin Jihoon makin berisi.” Sahut Jeongwoo.

Hyunsuk mengangguk membenarkan, “Ya gimana jajan keepsi mekdi boba apalah itu. Kaga dikasih raib jatah gue.”

Tawa ketiganya makin menggelegar, sudah biasa apalagi suara Jeongwoo yang emang kalo ketawa harus all out.

Sedangkan Haruto kali ini menatap dalam diam. Bohong kalau nggak iri, bagaimana mendengar Hyunsuk memanjakan Jihoon layaknya permata yang harus benar dijaga.

Apa dirinya bisa?

Membawa diri kemanapun masih pakai angkutan umum. Mereka berempat sering menyuruh Haruto untuk mengambil salah satu motor koleksi mereka. Tapi Haruto gak bisa, menerima belas kasih tanpa keluar setets keringat itu melenceng dari prinsipnya. Nama kedua orangtuanya dijunjung tinggi-tinggi disini.

Selagi masih cukup dan bisa diusahakan ya usahakan. Nggak semua kemauan kamu harus dipenuhi sekarang, ada yang butuh pengorbanan kamu meskipun satu tetes keringat. Begitu kata Ayahnya.

Haruto menengok kebelakang, dimana ada Junkyu disana. Memandang si manis sedang makan sambil meminum susu pemberiannya dengan wajah lucu. Senyum timbul sedikit dibibir gantengnya. Jadi gini ya bahagianya jatuh cinta?

Pun saat Junkyu tak sengaja menetaskan cairan susu disudut bibirnya jemari tegas Yoshi datang secepat kilat membersihkan. Membuat getaran gembira dalam tubuh Haruto luruh seketika.

Dan ini rasa cemburunya dari jatuh cinta?

Sabar ya, Kyu. Hari ini susu dulu. Soalanya aku mau memantaskan diri buat gantiin Yoshi. ㅡHaruto


`teuhaieyo.


Mari kita perjelas apa yang terjadi disini. Pada kawasan sebuah sekolah menengah elit di tengah hingar bingar kota besar.

SMA Treasure dimana mental yang mententukan siswa/i bisa lulus atau berhenti saat pertama kali menginjakkan kaki di tanahnya. Kebejatan sistemnya sudah menjadi rahasia umum, dimana ada dua gedung di dalamnya.

Gedung utama yang mana paling besar, megah, dan mewah diperuntukkan siswa reguler, anak pemegang sendok emas. Isi otaknya? well, siapa yang peduliㅡ uang bebicara banyak disini.

Gedung B yang terlihat berkali lipat lebih kecil, nampak seperti gedung sekolah biasa pada umumnya. Gedung yang diperuntukkan bagi anak beasiswa, anak orang sederhana. Pintar? maaf yang menentukan kelulusan hanyalah sosok mental baja. Menjadi budak siswa gedung utama sudah biasa, memilih menurutㅡmenahan diri agar beasiswa bertahan hingga hari kelulusan.

Hal ini terjadi pada Watanabe Haruto si rupawan dari gedung B, budak utama sang pemegang kasta tertinggi gedung utama, sosok pemuda berambut ash grey Kanemoto Yoshinori.

Siapa gerangan tidak mengenal Yoshi, pemuda tampan dengan tatapan dingin. Julukan pangeran yang tersemat pada tengah namanya sejak kelas satu memang cocok disandang si murid. Hidup sebagai budak pangeran sekolah, membuat Haruto agaknya sedikit mengenal Yoshi beserta jajarannya.

Termasuk dia..., Kim Junkyu. Pemuda manis pecinta susu stroberi buatan negeri Jepang.


Junkyu berjalan, lumayan cepat di lorong sepi., efek sehabis melarikan diri dari godaan geng Hyunsukㅡ rumornya Hyunsuk ini anak mafia jadi siapapun akan segan dekat dengan Hyunsuk.

Di depan sana jejeran loker siswa mulai tampak. Jemari cantiknya meraba-raba permukaan besi sembari kakinya mendekat pada loker penuh dengan sticky notes, nggak perlu dibaca... isinya cuma kata-kata penuh gombalan sampis dari penggemar.

“Hah...” Junkyu menghela napasnya, menatap jengah pegangan lokernya pun tertutup kertas.

Pun saat pintunya dibuka, kepalanya semakin dibuat pusing. Tubuhnya mematung, menatap tumpukan kotak hadiah, coklat, bunga. Inilah alasan Junkyu enggan meletakkan barang penting, pribadi miliknya. Junkyu seperti tidak punya privasi disini.

Kenyataan beberapa siswa menjual informasi kode lokernya.

Kaki jangkung Junkyu tertekuk..., mari bereskan semua sampah ini karena sumpah setelah ini pelajaran matematika yang mana gurunya anti telat.

“Biar saya bantu...”

Sebuah tangan terulur, tanpa meminta persetujuan lebih lanjut bergegas memunguti kotak. Junkyu sampai kaget sendiri darimana pemuda bersuara rendah ini datang, yang Ia tau Junkyu berjalan sendiri.

Junkyu memberanikan diri mendongak, ingin memastikan lebih lanjut siapa gerangan.

“O-oh? Haruto?” Lirihnya. Yang dipanggil namanya ikut mendongak hingga kedua pasang obsidian mereka bertemu satu sama lain.

Junkyu tersenyum geli, wajah Haruto terlihat konyol, “Makasih loh.”

Diucapkan begitu Haruto gemetar hingga keringat dingin mulai terbentuk di dahi. Haruto lebih dulu memutus kontak mata, melirik arah lain mana saja asal bukan Junkyu. Tujuannya kemari memang bertemu Junkyu, lebih tepatnya ke loker si manis. Layaknya pria tidak gentleman lainnya yang hanya bisa menitipkan harapan melalui makanan yang dimasukkan dalam loker si manis. Mana sangka malah bertemu pujaan hati secara langsung, di lorong sepi, hanya berdua.

Iya hanya Haruto bersama Junkyunya.

“I-ini mau ditaruh di..mana?” Tanyanya gugup. Jujur baru kali ini Haruto berbicara dengan Junkyu.

“Ditata aja disamping loker, biar nanti pulang aku sama temen-temen angkut ke mobil. Sekali lagi makasih ya Haruto.”

Aduh, jangan panggil nama Haruto begitu. Jantungnya sudah berdebar tak karuan. Sekali lagi Junkyu mengatakan Haruto bisa-bisa pingsan ditempat.

Setelah menata semua hadiah, Haruto berdiri kaku di depan pintu kamar mandi. Bener, tadi Haruto sembunyi disitu karena anak gedung B seperti dirinya nggak bisa berkeliaran bebas di gedung utama.

Suasana mendadak canggung, tidak ada yang berkeinginan untuk berbicara terlebih dahulu. Begitupun Haruto, bingung sendiri apa sekarang memberikan susu yang telah dibawa atau seperti biasa dimasukkan dalam loker.

Waktu pelajaran telah memasuki jam ke 4.

Beruntung loudspeaker pusat berbunyi, jadi ada alasan untuk Junkyu pergi.

“Aku duluan ya, Har..” Pamitnya, Junkyu melangkah pergi sebelum...,

“Junkyu!” Panggil Haruto kembali, kali ini suaranya tegas meskipun ada getaran sedikit. Kedua tangannya memegang kotak susu stroberi dijulurkan ke depan.

Junkyu berbalik, kaget juga dibuatnya. Namun, detik kemudian senyum manisnya timbul membuat yang ditatap menunduk. Junkyu paham maksudnya, dengan senang hati diambil kotak berwarna merah hati. Meskipun dalam hatinya dirundung bingung, hanya orang-orang terdekatnya yang tau Junkyu minum susu produk asal Jepang.

Apa Haruto memperhatikanku?inner Junkyu.

“Makasih lagi, nanti aku minum.”


`teuhaieyo.


⚠️trigger warning ⚠️ : married life, angst, act of mental illness, suicide attempt.


Membahas mengenai kisah romansa pasti tumbuh keingintahuan. Bagaimana jalan ceritanya? Terpenting bagaimana akhirnya? Bahagia, sedih seluruh rasa turut ikut meramaikan. Jika membahas mengenai kisah romansa, alurnya jatuh pada seni memilih. Sosok yang tepat, tempat yang cocok, dan seluruhnya dirangkum sempurna oleh waktu jatuh yang tepat.

Sebagai seorang insan tak luput dari pilihan hidup. Menimbang secara abstrak mana yang tepat tanpa bisa memprediksi masa depan. Anggaplah pilihanmu sesuai silahkan nikmati kebahagiaan, jika tidak tercebur dalam kesengsaraan jadi takdirnya. Bagaimana jika jalan yang dipilih melalui paksaan?

Jawabannya hanya ada dua, ikuti liku alurnya atau berbalik arah, menerima setiap lara hingga kau menemukan jalan sebenarnya.

Sama seperti sosok Watanabe Haruto yang saat ini sedang berdiri diambang pilihan sulit. Raganya memilih sosok pendamping hidup namun hati dan pikirannya dibawa melayang jauh menuju sang masa lalu.

Tubuh jangkungnya dibuat lega, setelah kekacauan di malam turun hujan kemarin. Dokter menyatakan Hamada Asahi dalam kondisi baik, panas tinggi yang diderita pria kecil itu hanya efek dari pemberontakan sel tubuh akibat kelelahan. Sedikit tenang akan hal itu otaknya seketika bekerja, mengingatkan si pemilik akan panggilan dari pria bunga matahari. Beres mengurus administrasi semalaman disinilah Haruto berdiri.

Kaki panjangnya bergerak ke kanan dan kiri. Tangan kanannya tepat di depan daun telinga memegang ponsel dan tangan yang lain bergerak sembarang tanda dirinya gugup. Air wajahnya tergambar raut khawatir lengkap dengan kerutan di dahi. Pasalnya sepuluh menit lalu panggilan pada pria bunga matahari menghantarkan dirinya pada pihak rumah sakit. Pada waktu yang sama Junkyu juga jatuh, ditemukan tak berdaya dipinggir jalan terpapar hujan deras. Saat ini, Haruto sedang mencoba meraih bibi Junkyu, meminta validasi lebih berharap apa yang didengar sebelumnya adalah informasi palsu.

“Ah Haruto! Maaf bibi lama menjawab panggilanmu.”

Disebrang sana suara Bibi Kim terdengar lelah, nafasnya putus-putus seperti habis diajak berlari.

“Apa bibi bersama Junkyu?”

“Tentu saja, bibi baru saja menyelesaikan prosedur pemindahan rumah sakit.”

Kerutan di dahi semakin menjadi. Pindah rumah sakit? Memangnya separah apa kondisi Junkyu?

“Pindah rumah sakit? Kenapa?”

“Ahh ituㅡ”

Haruto benci jawaban menggantung, membuat debaran jantungnya meningkat, pikiran negatif mulai bersarang. Menerka-nerka keadaan, Haruto tidak suka.

“Bibi Kim?”

“ㅡitu sebenarnya... Begini, jika kau bertanya apa Junkyu sudah sadar, jawabannya adalah sudah. Tapi Junkyu sadar dalam kondisi yang buruk. Haruto, Junkyu harus dibawa ke rumah sakit jiwa untuk pengobatan. Luka sebenarnya bukan pada fisik namun mentalnya.”

Sunyi, dunia mendadak sepi. Hiruk pikuk rumah sakit di pagi hari tak terdengar lagi. Nafasnya tercekat, telinganya tuli sementara. Mendadak kakinya lemas hingga jemarinya meraba mencari tumpuan, apapun yang penting bisa menahan tubuhnya agar tidak ambruk saat itu juga.

Kim Junkyu, apa yang terjadi padamu semalam?


Satu lenguhan terucap dari bibir si pria kecil yang sejak semalam terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit. Tangan putih sehat itu tak lagi mulus, penuh lubang bekas jarum infus. Mata cantiknya mengerjap, seberkas cahaya mentari perlahan mengisi pupil si pria hingga demi sedikit mengecil.

Jutaan syaraf lengan kananya menangkap sebuah sentuhan. Mengirimkan sinyal pada pandunya sehingga si pemilik memberi respon berjengit terkejut. Pada detik kedua pasang obsidian itu bertemu hanya senyum hangat yang dapat dihantarkan keduanya.

“Haruto.” Hanya panggilan memastikan. Si pemilik nama menjawab dengan anggukan semangat.

Hamada Asahi, bahkan dikondisinya terbaring payah parasnya tetap indah. Bagaimana pipi tirusnya menyemburkan warna merah muda saat tersenyum. Bibir yang selalu mengucap kebaikan setiap tutur katanya, bibir yang selama ini masih belum terjamah oleh Haruto.

Asahi memang indah, Haruto tau fakta satu itu. Tetapi hati seorang insan akan selalu pulang menuju rumah yang tepat, masa bodoh serapuh apapun rumahnya. Pada kasus ini milik Watanabe Haruto telah jatuh sempurna dalam belenggu Kim Junkyu, hidup nyaman di dalamnya seakan amnesia akan jalan keluar.

“Ada yang sakit?”

“I'm good and I'm sorry” Balas Asahi, kedua matanya terpejam sejenak menikmati belaian jemari panjang Haruto pada rambutnya.

Dikecup lembut dahi Asahi lembut. Jujur, jauh dalam lubuk hatinya Asahi berharap akan tetap seperti ini. Jika sakit membawa kebahagiaan dalam bina rumah tangganya, maka Asahi minta dibawakan lebih. Egois memang, nafsu dalam diri meronta hebat mulai timbul rasa ingin memiliki Haruto seutuhnya.

Namun, saat Asahi membuka mata disitulah Ia menatap realita. Sepasang obsidian elang Haruto tak pernah memancarkan binar saat menatap kepunyaannya.

“Lo gaperlu minta maaf, gue suami lo kalo lupa udah jadi tanggung jawab gue. Gue panggil dokter ya biar keadaan lo dicek.”

Asahi tertegun diperlakukan baik seperti ini getaran bahagianya hanya sebentar. Haruto, lelaki yang selalu bisa membawanya jauh ke langit tujuh pun membawanya jatuh menghempas tanah.

Gue suami lo

Udah jadi tanggung jawab gue

Seakan ditampar kuat, disadarkan kembali bahwa pernikahan ini pondasinya memang bukan cinta. Alasan Haruto sebaik ini hanya sebagai formalitas tanggung jawab bukannya menyalurkan benih cinta.

Sebelum telunjuk Haruto memencet tombol panggilan dokter Asahi segera mencegah, menimbulkan kerutan tidak mengerti dari suaminya. Diperhatikan Asahi hanya diam beberapa menit, pandangannya jauh menatap langit-langit. Saat helaan napas berhasil dikeluarkan disitu Asahi mulai menatapnya kembali bersamaan senyuman aneh tak terdefinisi.

“Nggak mau dokter, maunya ngobrol berdua sama kamu.”

Suasana berubah menjadi canggung. Haruto kembali duduk, mengulang kembali perlakuannya seperti membelai puncak kepala Asahi.

“Yaudah ayok ngobrol.” Final Haruto akhirnya. Mungkin sakit yang di derita Asahi tiba akibat beban yang dipikul sendiri dan sekarang Asahi mau membaginya.

“Gue kemaren kemarin pulang kemaleman soalnya ada rapat penting.” Jelasnya memulai pembicaraan.

Haruto memilih menyimak, ber-oh ria saat sang suami membeberkan fakta yang belum Ia ketahui.

“Kalo gue bisa lolosin yang satu ini perusahaan kecil gue jadi punya partner perusahaan gede.”

Bahkan sampai detik ini pun Haruto nggak ngerti, alasan ingin mandiri punya penghasilan sendiri harusnya nggak perlu segigih ini kan? Bekerja layaknya punya tubuh sekuat kuda, pada akhirnya jadi terlalu memaksakan.

“Pelan-pelan aja, gigih boleh tapi jangan sampek maksain. Ini kan hasilnya.” Tutur Haruto khawatir. Asahi membalas dengan kekehan geli.

Nggak bisa Haruto, aku ingin segera keluar dari hubungan sia-sia ini.

Aku takut jatuh terlalu dalam akan perasaan cinta yang mulai tumbuh.

“Gue gabisa pelan-pelan lagi. Ada orang yang nunggu lo. Kalo gue kelamaan perasaan yang udah sakit jadi makin kronis danㅡ”

“ㅡAsahi?!”

Belum selesai menjabarkan, sekali lagi Haruto tau akan dibawa kemana percakapan nonsense kali ini. Lagi, lagi, dan lagi apa yang dilakukan Asahi selama ini hanya mencoba mengembalikan Haruto pada Junkyu.

Haruto kecewa, disini dia mulai menjatuhkan pilihan pada putus asa. Memilih mengikuti alur kehidupan romansanya. Meskipun Haruto tidak bahagia setidaknya yang menjadi pasangan hidupnya adalah Asahi. Sahabatnya sendiri.

“Haruto please listen to me, gueㅡ”

“Gue apa? Apa lagi, Sa? Sumpah lo nggak capek? Gue capek! Bahkan didetik ini gue milih buat pasrah, I will try harder to love you. Gue bakal berusaha bikin rumah tangga kita lebih sehat kedepannya.”

Haruto, aku mau tapi aku gak bisa. Meskipun rasa cinta ini berkembang makin besar tapi aku gabakal bahagia hidup digentayangi janji buat jaga kalian, kawal hubungan kamu sama Junkyu.

“Gue juga capek, Haruto. Aku nggak ngerasa bahagia, kita sampai sini bukan karena cinta. Pernikahan kita cacat! Pernikahan kita ada bukan sebagai sumber kebahagiaan tapi jalan buat membunuh kita bertiga secara perlahan.”

Suara Haruto tercekat, sebanyak apapun emosi yang ingin dikeluarkan mendengar seluruh keluh kesah sosok suaminya ini memukul telak egonya. Haruto seakan sadar bagaimana hampir dua tahun pernikahan dirinya abai akan hadirnya Asahi. Haruto penjahat sesungguhnya disiniㅡTidak! karena memang musuh sesungguhnya adalah takdir.

Pun Haruto paham betul, jika dirinya ditanya apakah ada rasa cinta untuk sosok pasangan hidupnya jawabannya adalah tidak sama sekali. Kejam bukan? Tapi hanya Tuhan yang mampu membolak-balikan perasaan umatnya. Sayang, untuk saat ini Tuhan belum mau mengubahnya.

“Asahi...” Hanya itu yang bisa Haruto ungkapkan. Memanggil Asahi seperti meminta tolong untuk berheti bersikap seperti ini.

Dari sorot mata indah yang berkaca-kaca, Haruto jelas tidak punya pilihan. He wants to try again but he already late.

Dengan tenang Asahi kembali tersenyum, berusaha memamerkan senyum yang paling indah khusus untuk suaminya,

“This is the best scenario that I can do for us. We should divorce, you get Junkyu and I will find my own happiness.”


Perceraian, kiranya Asahi hanya bergurau tentang itu. Terlihat masih bersama dan baik-baik saja, nyatanya disinilah capaian hubungan mereka. Berdiri tepat diujung tebing perpisahan.

Seminggu setelah perawatan, kondisi Asahi kembali normal. Saat ini mereka tengah berjalan menyusuri lorong rumah sakit kesehatan jiwa tempat Junkyu dirawat. Tidak terlalu susah mencari ruangan sebab Bibi Kim telah menunggu tepat di depan ruangan.

“Bibi Kim.” Keduanya membungkuk. Dibalas senyum hangat, tiada rasa canggung sebab Bibi Kim sangat mengenal baik Haruto dan Asahi.

“Silahkan masuk, dia masih terjaga setelah sarapan.”

Haruto masuk setelah Bibi Kim, menoleh bingung tatkala Asahi masih terliat berdiri ditempat.

“Aku mau ke toilet dulu.” Haruto mengangguk, membiarkan Asahi tetap di luar.

Asahi berbohong, kenyataan Ia belum siap bertemu Junkyu setelah apa yang terjadi dua tahun. Asahi butuh waktu sedikit lagi, hari ini jadi yang pertama kali Ia akhirnya berhadapan langsung dengan Junkyu.

Mata cantik itu memandang setiap gerak-geriknya dari kaca pintu. Menjadi saksi mata setiap afeksi yang suaminya bagi pada sang masa lalu. Nampak Junkyu sedikit takut akan kehadiran Haruto, bisa mengerti karena Junkyu jatuh seperti ini akibat ulah Watanabe. Tetapi Asahi kagum bagaimana hanya sebuah dekapan hangat bisa sangat menenangkan ditambah kecupan sayang dialirkan penuh keikhlasan dan..,rasa cinta.

Hatinya berdenyut sakit, Haruto itu suaminya miliknya. Namun Asahi belum pernah mendapatkan afeksi sebegitu tulusnya dari Haruto. Faktanya dari awal Haruto milik Kim Junkyu seorang, terbukti dimana pada fase terpuruknya Junkyu tertawa saat Haruto hadir dan binar sepasang manik Haruto hanya berpendar saat bersitatap dengan milik Junkyu.

“Sepertinya Junkyu sedang memiliki tamu.”

Lamunan Asahi buyar ketika seseorang dari belakang menginterupsi. Asahi menoleh, memastikan siapa.

Tepat disamping berdiri lelaki muda berpakaian khas dokter, lengkap dengan alat pemeriksaan serta kertas berisi catatan kesehatan.

“Maaf dokter, silahkan.” Asahi sedikit memberi ruang, agaknya dokter dihadapannya adalah dokter rawat Junkyu. Bukannya bergerak dokter tersebut hanya tersenyum dengan wajah aneh.

“Saya hanya lewat. Perkenalkan Yoon Jaehyuk, dokter penanggung jawab pasien Kim Junkyu.” Dokter Yoon mengulurkan tangan dibalas lawan bicaranya dengan sikap membungkuk.

Tangan kanannya ditarik kembali, mengusap tengkuknya canggung, “Kenapa tidak masuk?”

“Ah, itu saya mau ke kantin membeli minum.”

Dokter muda membulatkan bibirnya membentuk huruf O. “Kebetulan saya akan kesana, jika tidak keberatan boleh saya mengantar?”

-

Seakan lupa tujuan Asahi dan Dokter Yoon malah duduk pada bangku luar kantin rumah sakit. Semilir angin sejuk berhembus sedang. Rumah sakit ini terletak pada daerah cukup terpencil di kaki gunung. Cocok untuk menenangkan jiwa yang sedang kacau. Pun seorang yang sehat seperti Asahi sangat nyaman berada disini.

Pandangannya jatuh pada sebuah taman hijau rumah sakit tepat di depan. Bagaimana para perawat dengan uletnya merawat pasien. Betapa senangnya, melihat beberapa manusia hidup tanpa beban, berlari bebas tertawa seakan hidup dalam dunia negeri dongeng. Tidak seperti dirinya, bergelimang harta bukan kasih sayang.

“Maaf, kalau boleh saya tau nama anda siapa?” Tanya sang dokter memecah keheningan.

Asahi menyeruput sedikit americano kaleng yang dibeli sebelum menjawab, “Asahi, Hamada Asahi dan tolong jangan terlalu formal berbicara dengan saya.”

“Oh jadi kau Asahi, sahabat yang selalu diceritakan oleh Junkyu dan yang disana pasti Haruto mantan kekasihnya?” Asahi mengangguk membenarkan.

“Jadi dokter, sejak kapan menangani Junkyu?”

Dokter Yoon mengalihkan pandangannya dari menatap Asahi menjadi menerawang ke depan seraya mengulik kembali memorinya. Kapan pertama kali sosok Kim Junkyu datang menjadi pasiennya.

“Hampir dua tahun, dia di rujuk dari rumah sakit umum Seoul. Awalnya saya menjatuhkan vonis depresi sedang hanya minum obat dan sesekali terapi. Dia banyak cerita tentangmu, tentang Haruto juga. Junkyu berterima kasih dipertemukan dengan kalian berdua. Lalu, hari itu dia datang dengan sumringah berteriak gembira bahwa Ia akan sembuh sebentar lagi, obat yang kuresepkan hari itu ditolak. Junkyu sembuh karena Haruto kembaliㅡ”

Asahi tersenyum kecut, sebenarnya usaha yang Ia lakukan bukannya sia-sia. Dalil yang menyatakan Watanabe Haruto adalah dunia Kim Junkyu benar adanya. Datangnya Haruto kembali pada pelukan Junkyu menjadi obat paling mujarab, menyembuhkan mental dan fisik yang lemah seperti semula

“ㅡSayangnya itu tidak berlangsung lama. Entah dihari berapa dia datang dengan tangis, bercerita betapa takutnya dia, betapa semakin tertekannya. Saat itu Junkyu berada pada posisi sulit, melepaskan sakit menahan semakin tersiksa.”

“Lalu, apa yang dokter katakan?”

Dokter Yoon terkekeh, “Tidak ada, aku hanya mendengarkan setiap rentetan keluh kesahnya. Mempersilahkan Junkyu mengambil semua waktuku untuk mendengarkan setiap tangisan pilunya. Setelah puas dia menghapus air matanya, mengucap terima kasih, lalu pergi pulang.”

Lucu bukan dunia yang kita sedang jalani. Mendengar cerita dari Dokter Yoon tentang Kim Junkyu tentu membuat batinnya tertawa. Mereka berdua berusaha saling mengikhlaskan, mendorong Haruto berdiri tepat ditengah drama memuakkan, dibuat bingung oleh keadaan. Asahi kira disini dirinyalah sosok pahlawan, sosok paling tersakiti. Ternyata jauh disebrang, Junkyu lebih menderita. Sejak awal kewarasannya digerus habis oleh berita pernikahan, lalu datanglah ide bodoh Asahi menarik Junkyu pada kesenangan semu hingga Ayah Haruto turut ikut menghantam kejiwaan Junkyu telak, habis tak bersisa wujudnya.

Berkebalikan dari pahlawan, Asahi merasa disini Ialah monster sesungguhnya. Sejak awal Asahi adalah pembuat masalah dan sekarang Asahi telah membuat mereka bertiga jatuh pada jurang neraka hidup paling dalam.


Tepat siang hari keduanya memutuskan pulang. Diantar menuju area parkir oleh Bibi Kim.

“Terima kasih sudah repot hingga datang kemari.” Ungkap wanita paruh baya dengan tulus. Berpisah sejenak dengan keluarga di kota, harus mengurus keponakan pasti beliau sangat lelah.

“Bukan masalah. Kami dan Junkyu sudah seperti saudara.” Balas Asahi tak kalah tulusnya.

Persahabatan mereka sudah sampai taraf seperti saudara sendiri. Kalimat Asahi memang bukan basa-basi semata.

Sorot mata Bibi Kim berbinar menatap kedua sahabat terbaik keponakannya. Meskipun beliau tau kondisi Junkyu begini tak jauh dari masalah cinta segitiga diantara mereka tapi Bibi Kim tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Setiap orang pasti punya alasannya masing-masing pikirnya. Keadaan yang Junkyu alami saat ini beliau anggap murni sebagai cobaan hidup semata dan setiap ujian yang diberikan akan berangsur membaik seiring waktu berjalan.

“Kalian harus bahagia setelah iniㅡ”

Kalimat pendek yang keluar dari bibir wanita paruh baya yang masih terlihat cantik membuat keduanya menatap tidak mengerti.

“Junkyu akan baik-baik saja, kalian berdua tidak perlu berkorban terlalu banyak lagi setelah ini. Apa yang kalian lakukan untuk Junkyu sudah cukup. Pikirkan juga kebahagiaan rumah tangga kalian. Junkyu akan sembuh dengan sendirinya, saat ini yang kalian lihat adalah sebuah proses. Proses seorang Kim Junkyu berdamai dengan dunia.”

Jauh dalam hati kecilnya mereka berdua tertawa. Hubungan sakral pernikahannya akan kandas dalam hitungan hari. Harapan memperbaiki ada di kadar nol persen. Semua sudah sangat terlambat.

Asahi akan mengembalikan sendiri apa yang bukan miliknya.

Apartemen Haasahi

Matahari perlahan menghilang dari ufuk barat, nampak rembulan mulai muncul mengemban tugas menyinari dunia yang menggelap. Sekalian menemani dua makhluk tuhan yang sedang duduk santai pada balkon kamar.

Kapan terakhir kali mereka begini, duduk saling berhadapan tanpa tujuan apapun. Benar-benar sekedar duduk sambil menatap hiruk-pikuk kota dari atas apartemen. Menikmati setiap detik terakhir kebersamaan sebagai sepasang suami yang sah dimata hukum dan agama sebelum dipisahkan oleh tiga kali ketukan palu.

Benar, mereka sudah mantab berpisah. Itu, ditandai akan surat panggilan pengadilan yang datang tepat saat mereka sampai dari kegiatan mengunjungi Junkyu. Seakan dunia ikut mendukung sebuah keputusan pahit yang mereka ambil. Seakan dunia memang mau hal ini cepat terjadi.

“Besok rapat presentasi perusahaan akan dilakukan. Doain gue ya...”

Haruto mengangguk pasti, meletakkan cangkir teh hangat pada tempatnya semula. “Lo pasti bakalan dapet kok, kapan hari nggak sengaja liat hasil akhir powerpoint lo dan udah perfect. Dari pandangan CEO kaya gue sih gak mau mikir kelamaan langsung deal, soalnya proyeknya juga nguntungin secara lifetime.”

Asahi tertawa mendengar jawaban suaminya, iya detik ini Haruto masih suami sahnya. “Makasih.”

“Besok gue yang anter sama jemput, bolehkan?” Tanya Haruto meminta persetujuan.

“Ya boleh dong. Kebetulan lagi males bawa mobil sendiri.”

“Kalo lo dapet kita rayain berdua. Biarin besok jadi tugas gue buat bikin lo seneng.”

Asahi hanya dapat mengangguk meskipun suasanya mulai menjadi canggung dan dingin. Bulu kuduknya dibuat berdiri saat netranya menangkap gerakan Haruto berdiri dari duduknya. Nafasnya semakin tercekat saat dua kaki panjangnya berlutut tepat di depannya, menggenggam kesepuluh jari dingin Asahi, menghantarkan rasa hangat melalui belaiannya.

Detik kemudian obdisian keduanya bertemu, saling menatap tulus.

“Asahi, can I kiss you?

Pada detik yang sama dunia Asahi seakan berhenti. Kedua bola matanya melebar, jantungnya berdebar sepuluh kali lipat kencangnya, serta bibirnya mendadak kelu. Entah akan menjawab apa. Apakah Asahi mengijinkan jawabannya..., tidak tau.

Namun keterdiaman Asahi dianggap Haruto bukan pertanda penolakan. Dalam dinginnya malam bibirnya dihangatkan, bibir tebal milik Haruto menangkup sempurna miliknya. Memberikan kesan basah dan timbul perasaan campur aduk dalam hati. Pada akhirnya Asahi menangis, didetik-detik terakhir perpisahannya Asahi sadar, benih cinta yang Ia tanam atas nama Watanabe Haruto telah berbunga mekar sempurna.

Lewat kecupan yang diberikan malam ini, Haruto mencari kepastian akan keputusan yang diambil sekalian mengucapkan salam perpisahan.


Mobil Haruto berhenti sempurna di depan gedung setinggi lima tingkat tempat Asahi berkerja. Bibirnya menyunggingkan senyum menawan saat netranya menangkap sosok Asahi tengah berdiri pada pelataran kantor, sudah pasti tengah menunggu Haruto datang. Haruto mengambil bucket bunga dibangku samping, menata penampilannya sedikit sebelum keluar menemui sang suami.

Tepat setelah Haruto keluar dari mobil, Asahi sedikit berlari mendekat. Pipinya bersemu merah saat menangkap gestur tangan direntangkan. Seakan mengerti, tanpa ragu Asahi menubrukkan tubuhnya masuk dalam dekapan hangat suaminya.

“Selamat ya, kan gue udah ramal kalo lo pasti dapet partnernya.”

Asahi memukul punggung Haruto gemas, “Dih kepedean banget!”

Keduanya tertawa seakan tak pernah melewati lika liku hidup yang terjadi belakang ini.

Menyudahi pelukannya, Haruto masih menangkap lamat paras cantik dihadapannya. Haruto salut dengan kegigihan Asahi, bisa mendirikan sebuah perusahaan dengan keringatnya sendiri. Harusnya ini yang Haruto lakukan dua tahun lalu. Bukannya pasrah menerima setiap keadaan yang dibuat oleh Ayahnya. Harusnya Haruto lebih berani memperjuangkan kisah cintanya dengan Junkyu, memperjuangkan kedudukan supervisornya dahulu. Hidup mandiri tanpa pengaruh Ayahnya.

Iya ibarat nasi sudah menjadi bubur. Sikap pengecutnya menyeret orang tersayangnya ikut menempuh kesengsaraan.

Ditengah kegiatan saling memandang dering ponsel Haruto menginterupsi. Haruto merogoh sakunya, menerima panggilan tanpa perlu melihat siapa yang berani mengganggu.

“Ha-haru..to?”

Mendengar suara seorang perempuan bergetar membuat Haruto menjauhkan ponsel dari telinga. Sejenak dilihat siapa yang tengah menelpon dengan suara panik bukan main.

Bibi Kim

“Halo, Bibi ada apa?”

“Junkyu.. Jun-kyu!”

Terucap nama Junkyu menjadikan keduanya panik. Mengabaikan perayaan kesuksesan Asahi mereka memilih pergi menuju Junkyu.

-

Panik, satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana malam ini. Satu dokter, dua perawat, dan tiga orang tengah berlari mendorong brangkar pasien dengan raut ketakutan.

Disana terbaring lemah sosok Kim Junkyu dengan wajah pucat pasi. Mata indahnya bersembunyi dibalik kelopak mata yang tertutup, enggan terusik dengan suara tangisan, panggilan penuh asa dari orang-orang disekitarnya.

Disana Haruto, berlari sembari memegangi pergelangan yang terus mengucurkan darah. Kulit wajahnya merah sempurna, rahangnya mengeras hingga uratnya mencuat memanggil si pemilik nama Kim Junkyu sekuat tenaga seakan tiada hari esok.

Terakhir, disanalah Asahi berjalan cepat sambil memegangi tubuh lemah Bibi Kim, turut menangis sendu. Dalam benaknya masih tersimpan sejuta pertanyaan. Apa yang terjadi pada Kim Junkyu?

Bibi Kim pun bingung, entah menjelaskan bagaimana. Pasalnya wanita paruh baya hanya mengantarkan Junkyu pulang setelah hampir 9 hari dirawat. Kejadiannya sangat cepat, beliau keluar membeli sesuatu dan kembali hanya untuk menonton sang keponakan telah jatuh di atas genangan darahnya sendiri. Sebuah cutter berada dalam genggaman tangan yang lain menjadi bukti bahwa Junkyu sedang melakukan percobaan bunuh diri.

01.00 a.m

Tepat pukul satu dini hari Junkyu akhirnya sadarkan diri. Beratus kalimat syukur dihaturkan ketiga manusia yang masih betah terjaga dalam ruang perawatan. Sebenarnya Bibi Kim sudah meminta keduanya pulang sebab kemeja yang dikenakan Haruto penuh dengan darah, namun tak diindahkan. Kenyataan kondisi Bibi Kim yang masih syok dan tidak stabil malah membuatnya khawatir.

Ketika kedua manik Junkyu mulai nampak, hal pertama yang dilakukannya adalah menangis.

“Hiks.. Haruto? Asahi? Aku minta maaf hiks! Aku minta maaf karena masih hidup. Harusnya aku mati aja biar kalian berhenti khawatirin aku hiks... Harusnya aku mati... aku mau mati hiks...”

Tak ada yang bisa dilakukan Haruto dan Asahi selain menggenggam kedua tangan Junkyu, membisikkan kata-kata penenang.

“Ssttt... Junkyu please jangan ngomong gitu, semuanya bukan salah kamu.” Bisik Haruto tepat di samping telinga Junkyu. Sejak tadi Haruto paling menghindari pandangan pada pergelangan kiri Junkyu yang dibalut perban. Hatinya seperti dicubit keras meskipun bukan dirinya yang menorehkan luka.

Asahi masih berdiri disisi lain brangkar, masih juga menautkan jemarinya pada Junkyu erat. Sorot matanya sendu, merekam setiap sikap keputusasaan, setiap penumpahan penyesalan yang terjadi selama kurun waktu dua tahun. Menumpahkan seluruh keluh kesah dengan jujur, enggan dibendung lebih lama.

Hari ini untuk yang kedua kalinya Asahi menjadi saksi betapa rapuhnya Watanabe Haruto jika itu mengenai Kim Junkyu.

Dihadapan Junkyu dan dirinya punggung tegap Haruto bergetar hebat, menandakan pemiliknya pun menangis. Menghaturkan ribuan kata maaf atas apa yang terjadi.

Tepat hari ini dan malam ini, Aku Hamada Asahi bersedia mundur. Mencari tempat yang tepat untuk berdiri, kembali menjadi saksi bagaimana kedua sahabatnya menjalin kasih.

Hamada Asahi secara resmi mengembalikan Watanabe Haruto pada rumah seharusnya yaitu Kim Junkyu.


Epilogue: 10 years later.

Sepasang manik cantik nampak menyipit tatkala pendar cahaya matahari sore menyorot langsung masuk dalam pupilnya. Meskipun begitu iris berwarna karamel memancarkan binar serta refleksi gerakan deburan ombak di depannya. Indah, suaranya pun menenangkan hingga merasuk jiwa. Bagaimana ombak kecil disana pecah terantuk batu pembatas, tepat di atas langit jingga burung perandai berbondong-bondong menuju arah pulang.

Meskipun begitu jauh di depan sana dua sosok manusia yang tak luput dari pengelihatannya sejak tadi enggan beranjak. Berdiri beriringan, membiarkan kaki-kakinya basah dihempas sisa ombak. Terhitung empat jam mereka disana namun tak mengurangi setiap afeksi pun perhatian pada masing-masing, sang dominan tanpa malu mencumbu setiap pahatan sempurna yang telah diciptakan Tuhan seperti tiada hari esok. Seperti dunia yang diciptakan khusus untuk mereka berdua.

Lamunannya buyar ketika lagi-lagi dering ponsel menginterupsi. Si paras manis pemilik nama Hamada Asahi mengembangkan sebuah senyuman geli saat sebuah nama muncul pada layar ponselnya. Kepalanya mendongak, sedikit terkejut bahwa dua insan jauh disana tengah menatapnya. Asahi mengangkat ponselnya tinggi, digoyangkan tanda Ia ijin untuk pergi terlebih dahulu. Hingga lambaian tangan disana sebagai balasan ucapan selamat tinggal.

Berjalan sedikit menuju pintu keluar dirinya dihadapkan pada sosok pria. Berpakaian kemeja cukup sederhana namun wajah tampannya menambah kesan mahal.

“Katanya nggak bisa jemput.” Titah Asahi sambil mendecak.

Si pria terkekeh, masih dengan khas wajah anehnya. Dicubit sedikit pipi tirus Asahi gemas, “Tadi langsung cepet-cepet ngisi data pasiennya.”

Asahi tak habis pikir dengan manusia satu ini. Bukan sekali Ia mengesampingkan pekerjaannya hanya untuk menemuinya.

Keduanya mulai berjalan, menyusuri jalan setapak menuju parkiran kendaraan. Sudah sore, pantai juga telah sepi.

“Kerja tuh yang bener, teliti. Ntar dipecat baru tau rasa.”

“Ya gapapa, asal bukan lisensi dokterku yang dicabut. Kerjaan bisa dicari, tapi kalo kamu kenapa-napa nggak ada gantinya.” Balasnya enteng.

Asahi bukannya tak senang, hanya saja Ia belum terbiasa. Baru kali ini Asahi diperlakukan begitu spesial, berada pada strata tertinggi prioritas si pria dokter yang telah mengubah hidupnya selama 5 tahun belakangan. Baru kali ini Asahi merasa kehadirannya di muka bumi begitu penting.

“Dokter Yoon!”

“Asahi!”

Panggil mereka bersamaan. Saking terkejutnya tanpa sadar langkah keduanya juga berhenti. Di jalan setapak yang sepi dengan langit yang semakin gelap keduanya saling berhadapan. Bola mata keduanya saling menatap memancarkan binar-binar penuh kekaguman.

Jantungnya berdebar, perutnya geli, seperti ada jutaan kupu-kupu bergerak di dalamnya. Selalu seperti ini saat ditatap dengan wajah penuh keseriusan. Asahi mematung, meneguk ludahnya kasar, menunggu dengan cemas kejutan apalagi yang sedang pria ini siapkan untuknya. Dua tahun masa pendekatan dilanjut tiga tahun berkomitmen dengan pria dokter ini tidak membuat Asahi terbiasa dengan seluruh tingkah lakunya.

Yoon Jaehyuk memang sederhana, namun penuh kejutan.

“Tada!”

Asahi semakin dibuat terkejut. Jari manisnya tersemat cincin perak cantik, dipasangkan begitu saja tanpa mengucap kata-kata manis sebagai pembukaan. Dipandangi tangan seputih susu yang sedang disinari lampu penerang, dikecup cepat punggung tangan Asahi. Hanya melalui kecupan ada sejuta perasaan tulus dihaturkan.

“Dengan ini aku mengajakmu melangkah lebih jauh, naik satu tingkat lebih serius daripada sebelumnya.”

Yoon Jaehyuk, pria dengan seribu guyonan sampis. Tetapi keseriusannya selalu terbukti benar bukan bualan semata.

Tepat hari ini, disaksikan jalan setapak diiringi suara deburan ombak. Hamada Asahi siap berdamai dengan rasa sakitnya. Siap mengikhlaskan masa lalunya yang telah bahagia dengan dunianya sendiri. Yakin secara lahir dan batin memulai lembaran baru dengan Yoon Jaehyuk.

Untuk Watanabe Haruto dan Kim Junkyu, sahabatku. Aku harap kalian pun bersama selamanya.

Seperti inilah akhir dari kisah romansa. Terkadang melepaskan adalah jalan terbaik. Karena Tuhan telah menyiapkan akhir bahagia sesuai porsinya masing-masing.

FIN.


by: teuhaieyo


⚠️trigger warning⚠️: act of mental illness, angst, harsh words.


kilas balik

“Sa, kira-kira hubungan gue sama Haruto bakal langgeng nggak sih?”

Ditengah kegiatan menulis laporannya pemuda Asahi itu berhenti sejenak. Angin berhembus lumayan kencang hingga jarinya bergerak reflek menyampirkan rambut yang sedikit panjang kebelakang telinga. Perhatiannya saat ini fokus pada sosok manis tak lain adalah Junkyu, sahabatnya. Hanya berdua, tanpa sosok Haruto.

Asahi menunduk lalu terkekeh geli. Pasalnya Junkyu bukannya mengerjakan laporan yang sama malah terbaring santai di atas rumput lapangan kampus. Bibirnya mengerucut, matanya memandang langit biru yang sedikit terhalang dedaunan pohon beringin. Pemuda jangkung itu pun tak terganggu oleh terik matahari menghempas paras manisnya.

“Hari ini gue dapet lima death note...” Adunya, dilanjutkan tawa garing. Sedangkan Asahi tengah menunjukkan kerutan di kening.

”... Fansnya Haruto tuh bar-bar bener. Apa gue segapantes itu ya?” Lanjutnya.

“Ih tapikan Haruto yang ngejar-ngejar gue. Kok jadi gue yang diteror.” Kedua tangannya bersendekap di dada. Mengingat hari-hari kisah cintanya yang jauh dari kata tenang, Junkyu mendadak marah.

“Tapi lu cinta juga kan sama Haruto?” Asahi kembali fokus menulis deratan kata pada laporan yang sempat ditunda sejenak. Giliran Junkyu mengalihka pandangan pada sahabat kecilnya.

Junkyu merengut, ini Asahi lagi meragukan perasaannya sama Haruto?

“Ya cinta lah, udah cinta mati.”

“Nah, yaudah sih terima aja anceman gajelas gitu. Udah jadi resiko jalan sama prince kampus.” Ujar Asahi; masih tetap fokus pada pekerjaannya.

“Tapi kan- AW!”

Sebelum Junkyu mulai mengeluh kembali Asahi memukul dahi Junkyu dengan bolpoin digenggamannya. Nggak fokus juga makin lama.

“Gapake tapi, selama ada gue hubungan kalian aman sampe nikah. Gue sendiri yang bakal gandeng tangan lo ke Haruto pas acara nikahan. Sekarang kerjain laporannya biar cepet lulus!”

Kalimat itu dahulunya hanya sebuah ancaman agar Kim Junkyu segera mengerjakan laporannya. Kendati begitu tetap membuat pemuda manis bahagia, melekatkan pada hati serta dalam pikirannya. Tanpa sadar ekspektasi hidup kadang tak bekerja sesuai kehendak manusia. Dimana realita yang terjadi bisa berbalik dari apa yang diharapkan.


Dalam sepi sosok manis itu berkutat dengan laptopnya. Hanya suara mengetik bertarung dengan detak jam dinding memenuhi ruangan. Sesekali desahan kecewa terdengar bersamaan jarinya mengetuk tombol backspace dengan ganas.

Tubuh tegaknya Ia jatuhkan pada sandaran kursi. Menatap frustasi layar laptop dengan worksheet terlihat masih bersih, putih. Manik cantik itu berlalu pada jam dinding lalu bergantian mengintip beberapa piring tertata rapih berisi makanan yang telah dingin.

Pukul 10 malam dan suaminya belum juga pulang.

Sudah hampir satu tahun, Asahi hidup dengan kesendirian. Tugasnya sebagai seorang suami dari Watanabe Haruto hanya bangun, sarapan, dan memastikan pria itu pulang walau hingga larut malam. Bahkan terkadang hanya denting ponselnya tanda pesan masuk, pria itu meminta ijin tidak pulang. Terkadang penantian Asahi adalah sebuah kegiatan sia-sia.

Yah beginilah resiko. Tidak menyangka bahwa permainan yang dibuat menjebak dirinya sendiri. Menjadi sosok pahlawan dengan menyerahkan sang suami pada masa lalunya, orang yang sampai sekarang pun lebih membuatnya bahagia ketimbang dirinya.

Ceklek

Lamunannya tersadar saat suara pintu apartemen dibuka. Haruto nampak menghampiri Asahi dengan raut heran.

“Belum tidur? Tadi kan udah kirim pesan kalau gue pulang telat.”

Asahi tertegun, hatinya begitu hangat saat tanpa dosa tangan Haruto membelai rambutnya. Entah apa nama perasaan ini.

Haruto duduk pada salah satu kursi terdekat, meletakkan tas kerjanya hingga menimbulkan suara cukup keras yang mana mengembalikan kesadaran Asahi.

“Eh iya- ya ga liat hp, lagi fokus ini dari tadi.” Elaknya.

Haruto mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat apa yang ada di layar laptop.

“Ngerjain apa? Kan bisa besok aja.”

Asahi tersenyum kecut, bingung ingin memberi tahu suaminya pasal keputusannya atau nanti saja. Toh dirinya masih dalam proses mencari.

“Kalo misalnya gue pengen kerja boleh ga sih?” Ungkap Asahi akhirnya. Meskipun ada rasa takut dan ragu setidaknya Haruto mungkin punya advice.

Haruto menatap Asahi bingung, “Gausah, aku aja yang kerja.”

Miris. Jawaban Haruto seolah menyanjung Asahi layaknya pangeran yang harus Ia jaga. Tidak boleh keluar melakukan hal yang membuatnya kelelahan. Padahal kenyataannya Asahi tak lebih dari anjing penjaga rumah. Menunggu tuannya pulang meskipun waktu menunjukkan dini hari.

“Gue udah kelamaan di rumah, bosen terus mikir sayang banget punya ijazah S1 tapi gak dibuat kerja.”

“Lo tuh emang mau kerja buat apaan? Kalo emang buat kebutuhan, duit yang gue kasih kurang tinggal bilang, gue masih suami lo, Sa jangan sungkan.”

Asahi mengusap tengkuknya canggung. Sebenarnya ada rencana gila yang ingin Ia buat dan mungkin setelah satu tahun lamanya keberanian baru muncul. Memulai hidup mandiri merupakan langkah awal dari semuanya.

“Gue pengen ngumpulin duit, terus merintis usaha sendiri dari nol yah beli saham siapa kek pokoknya pengen usaha, pengen ngehasilin duit sendiri.”

“Sa, ini lo ga lagi bikin rencana aneh-aneh kan?”

Si manis tertawa, lebih dibuat-buat demi menutupi raut yang tegang. Watanabe Haruto ini rupanya sosok cenayang.

“Enggaklah...”

“Kenapa ga minta papa ajasih, pasti dikasih gausah capek-capek kerja analisis sana sini. Atau lu mau kerja sama gue, jadi sekertaris pribadi?”

“Haruto... Untuk yang satu ini aku punya tujuan. Satu aku ingin mandiri dan satu lagi aku gabisa kasih tau sekarang. Pertanyaanku masih di awal aku boleh kerja atau nggak?”

Haruto tertegun. Kedua obsidiannya dikunci si manis dengan kesungguhan. Ada perasaan tak nyaman hadir dalam tubuhnya, inginnya tetap teguh melarang namun yang satu ini Haruto sungguh tidak tahu.

“Kayaknya gue gabisa bilang nggak ya, Sa?”

Dengan begitu Asahi mendesah lega dilanjutkan oleh senyum kemenangan.

“Makasih ya.”

Semenjak keputusan hari itu apartemen menjadi kosong hampir setiap harinya. Haruto yang semakin sibuk ditambah Asahi baru merintis usaha barunya. Asahi bersyukur dirinya begini juga berkat bantuan Haruto. Tak perlu bersusah payah bekerja, Haruto membantu menopang usaha yang masih baru. Memberi saran perusahaan mana yang bagus untuk dijadikan partner bisnis.

Kendati keduanya sibuk, Asahi lebih senang karena punya banyak topik untuk dibahas dengan sang suami saat bersama. Apakah ini menjadi titik awal perjalanan cinta mereka, apa memang begini takdirnya. Entahlah biarkan waktu yang melanjutkan alkisah ini hingga seluruhnya menyentuh titik bahagia sesuai porsinya masing-masing.


Malam ini kota diguyur hujan. Saking lebatnya hingga suara gemuruh dan petir ikut meramaikan. Cuaca mendadak dingin, hawanya cocok dimanfaatkan untuk menempel dengan yang terkasih. Berbagi suhu tubuh, saling menghangatkan.

Tapi tidak dengan Kim Junkyu. Sosok manis itu sedang menatap nanar televisi yang menyala. Menayangkan acara komedi malam hingga guyonannya mampu menghadirkan cairan bening yang terus turun dari kedua binar cantiknya. Tubuh jangkungnya dibungkus hangat dengan selimut, takut-takut ada yang melihat betapa rapuh batinnya saat ini.

Junkyu muak menjadi lemah, terus dikasihani oleh orang disekitarnya. Disamping itu Ia tak kuat berdiri sendiri. Junkyu suka perhatian, masa bodoh tulus atau sekedar iba tapi hatinya menjadi tenang.

Seketika tubuhnya menegang saat deheman berat menyapa indra pendengarnya. Punggungnya diusap lembut, perasaan yang coba dikirimkan sampai walau terbatasi selimut tebal. Setelah itu, pundaknya jadi berat. Beberapa helai rambut sosok disampingnya berhasil menggelitik geli bagian yang tak tertutup selimut.

“Selimutnya lebih hangat hingga enggan memelukku?” Suaranya lebih terdengar seperti geraman. Ditambah alunan rintik hujan membuat semakin merinding.

“Kyu?”

“Kamu ngapain kesini? Pulang aja kemaren kan udah kesini.” Ucapnya dengan nada menahan tangis.

Sosok kamu mengangkat seluruh beban tubuhnya. Menarik paksa selimut yang membungkus cintanya. Menatap Junkyu sedikit jengkel karena malah mendapat tatapan sendu.

“Kamu kenapa? Hmm?” Tanyanya lembut, jemari panjang lelaki Haruto digunakan untuk mengusap air mata yang masih terus mengalir.

Junkyu menggeleng, memilih bungkam. “Kamu pulang aja ya. Aku mau sendiri dulu.”

“Nggak! Aku gak mau pergi sebelum denger alesannya. You need me, Kim Junkyu!”

Nadanya tinggi cukup membuat Junkyu menciut takut. Kedua bahunya digenggam kuat. Jika sudah begini mana ada jalan lain untuk tetap sembunyi.

“Aku udah nggak kuat, Haru. I feel safe when you're around me, tapi pas kamu nggak ada hidup aku gak nyaman. Papa kamu neror aku terus. Aku pengen sembuh, Haru. Aku capek minum obat tapi kalo gini caranya aku makin gabisa bebas.”

Genggaman itu mengendur seiring hatinya muncul rasa tercubit. Perih, belahan jiwanya ternyata lebih sakit daripada sebelumnya. Haruto benci, lebih memilih tutup mata akan setiap ancaman yang ayahnya bagi. Tanpa mengingat ada Junkyu yang harus benar Ia jaga. Ayahnya itu bajingan Ia kira Haruto bisa bebas setelah keinginannya dikabulkan? Tentu tidak. Seluruh gerak giriknya dipantau detail 24/7.

“Aku udah disini aku bisa jaga kamu sekarang.”

“Kamu gabisa, tanggung jawab kamu yang sebenernya bukan aku. Asahi di rumah nungguin kamu, so please go home. You don't need to worry about me, waktu yang bakal bantu aku sembuh dan kamu, aku harap kamu belajar cinta sama Asahi.”

“Maaf yaa... maaf Junkyu...” Tanpa banyak kata pembelaaan Haruto menarik bunga mataharinya dalam sebuah dekapan hangat. Haruto gagal, menjaga dua hati memang tak semudah hanya dibayang.

Sejak awal kisahnya salah, penempatan tokohnya terlampau acak. Pada akhirnya semua yang terlibat harus merasakan sakit, bingung, dan lelah bersamaan. Saling dorong menuju tata letak yang diinginkan dengan menyalahi garis takdir membuat keadaannya runyam.

Haruto memang kaya, dapat menggenggam dunia. Tapi untuk jalan takdirnya sendiri...

Maaf, Haruto tak punya andil untuk itu.


2 bulan kemudian

Bolehkah membenci sebuah perpisahan?

Sebuah perpisahan adalah sebuah konsekuensi perjumpaan. Jika sudah berpisah selalu ada rindu yang sulit ditenangkan.

Beginikah keadaan yang tepat dengan Watanabe Haruto. Ditalak habis-habisan dengan belahan jiwanya membuat hidup agaknya berantakan. Berusaha membenahi barang rusak namun makin menghancurkan, sekarang Ia didorong semakin menjauh.

Haruto marah dengan dunia. Pada ayahnya yang membuat ini terjadi, pada Junkyu yang memaksanya pergi, pada Asahi yang selalu diam. Kenapa begini? Kenapa tak ada satupun yang bisa dijadikan tempatnya pulang, tempatnya mengadu. Haruto itu korban, tapi kenapa rasanya seperti dihukum telak seperti pelaku kejahatan.

“AAAAAAA!!!! AHAHAHAHA HIKS....”

Tubuhnya menggila, seluruh rasa sakit seketika datang menyerang. Batinnya lemah, Watanabe Haruto lemah. Berlagak baik-baik saja saat diluar dan terkapar tak berdaya saat sendiri bersama sepi.

“WATANABE ANJING- HAMADA... FUCK! KIM JUNKYU....” Teriaknya kesetanan. Apapun barang dalam jangkauan dilempar sebagai bentuk pelampiasan.

“Haruto! Haruto! Lo kenapa?”

Asahi baru saja masuk dalam apartemen, sudah menyaksikan tayangan paling epic selama Haruto di rumah. Ya, Haruto belakangan ini sering berada di rumah. Hanya diam seperti semangat hidupnya direnggut habis-habisan. Auranya mendingin, mata tajamnya kembali hingga Asahi sendiri takut tuk sekedar mendekat.

“Haruto please dong kalo ada apa-apa cerita sama gue.”

Bagai bertemu tiang sandaran Haruto memeluk Asahi dengan lemah. Menuntaskan seluruh air matanya dalam dekapan hangat sang suami. Asahi khawatir baru kali ini nampak Haruto begitu tertekan. Mungkin inilah sebuah puncak, Asahi tau Haruto hanyalah manusia yang punya batas kesabaran.

Mau tak mau Asahi ikut larut dalam sedih. Suaminya begini juga akibat campur tangan orang tuanya. Disini Asahi yang paling bersalah.

“Tolong Haruto bertahanlah sebentar lagi. Gue bakal balikin keadaan seperti seharusnya.”

Belum cukup sampai disitu pintu apartemen terbuka paksa. Sosok pria paruh baya berjalan mendekat dengan gaya angkuh. Sepasang manik Asahi membulat dibuatnya.

“Papa Watanabe?”

“Oh, di rumah kau rupanya anak keras kepala.” Tuturnya dengan nada angku.

Haruto membuang muka, muak dengan wajah Ayahnya. Mau apalagi si tua sampai sudi berkunjung.

Obsidian sang ayah berkilat marah. Telapaknya terbuka seperti meminta sesuatu. Si sekertaris yang tengah berdiri dibelakang menyerahkan berkas dokumen. Dengan sedikit tenaga dilemparkan begitu saja dihadapan sang putra

“Kembali ke kantor, kau membuatku rugi ratusan juta.” Titahnya. Nadanya datar nan dingin, Asahi jadi mengerti Haruto pun punya sifat demikian turunan sang ayah.

“Cukup. Aku tidak mau berurusan denganmu.” Balas Haruto, masih enggan menatap ayahnya.

“Anak tak tau diri!”

Tuan Watanabe geram, dengan kedua tangannya kaos kumal Haruto ditarik hingga tubuhnya terangkat. Kedua pasang netra saling menatap sengit.

“Apa? Papa mau pukul Haruto lagi? Pukul Pa! Ayo jatuhin harga diri Haruto dihadapan suami Haruto sendiri...”

”...Kenapa diem? Kemaren enteng aja tuh bikin muka memar. Papa takut harga diri Haruto jatuh di depan menantu Papa atau Papa takut kelakuan busuk Papa terbongkar dihadapan anak kolega Papa?!”

“Diam kamu!” Tubuh Haruto dihempas begitu saja di atas tanah.

Baik Asahi maupun pemuda sekertaris tak ada yang berani bersuara. Anggaplah Asahi pengecut tapi dengan diam setidaknya tak memperkeruh suasana.

“Inilah kenapa Papa tidak merestui hubungan kamu dengan anak gelandangan itu. Pembangkang!”

“APA PAPA BILANG? HARUTO BEGINI ITU KARNA PAPA! PAPA SADAR NGGAK KALO PAPA ITU EGOIS!”

“TERSERAH KAMU MAU BILANG PAPA KEJAM. PAPA MAU KAMU BESOK KERJA.”

“NGGAK! Cukup ya Pa, Haruto capek nurutin semua maunya Papa. Sampai masalah jodoh pun Haruto ikhlas. Haruto udah nikah sama Asahi dan ini akan jadi permintaan terakhir Papa yang bisa Haruto kabulkan sebagai seorang anak. Mulai detik ini Haruto mau hidup sesuai keinginan Haruto, mau sampai Papa nggak anggep Haruto anak pun Haruto udah gak peduli. Silahkan keluar!”

Tuan Watanabe tertawa sarkas lebih kearah meremehkan. Tuan Watanabe membenarkan posisi jas mahalnya yang sedikit berantakan. Bibirnya tersungging senyum kemenangan.

“Haruto.. Haruto... Kamu lupa ya nak, Papa ini orang tua kandung kamu, yang paling ngerti titik terlemah kamu. Kamu berani begini dengan Papa apa tidak takut pacarmu akan terluka?”

Haruto maju mendekat layaknya menantang. Emosinya kembali menggebu. Haruto nggak bodoh, Haruto mengerti betul siapa yang sedang dibicarakan sekarang. Kim Junkyu, memang benar titik lemah bagi Watanabe Haruto.

“Jangan sentuh Junkyu. Junkyu udah jauhin Haruto. Haruto udah nggak ada hubungan apa-apa sama Junkyu.” Jujur Haruto takut; ingatkan Papanya orang paling kejam juga nekat.

Tuan Watanabe tersenyum. Menepuk kedua pundak putranya yang terangkat ke atas. Lantas pergi tanpa patah kata terakhir.


Keesokan paginya kembali menjadi normal. Sepasang suami menikmati sarapan sederhana meskipun dalam suasana cukup awkward lengkap dengan pakaian formal khas orang kantoran. Haruto melirik Asahi dari sudut matanya. Si manis diam sejak kemarin, Haruto juga sempat melihat tubuh kecilnya hampir limbung beberapa kali.

“Asahi?” Panggilnya lembut.

Asahi dipanggil begitu jadi berdebar, menoleh lengkap dengan senyum manis. “Iya?”

“Lo pucet. Lagi sakit ya?”

Pipi putih itu mendadak memerah saat menerima belaian dari jari panjang sang suami. Jujur, satu setengah tahun hidup dengan Haruto pastilah timbul perasaan cinta. Sedikit, perhatian kecil pria itu membuatnya nyaman. Pun Asahi sadar sifat lembut Haruto buah tangan dari sosok masa lalunya.

“Gue nggak papa kok. Lagian hari ini rapat penting gabisa ninggal.”

“Gue anter ya, nanti pulangnya juga gue jemput.”

“Nggak usah, kan kantornya beda arah banget. Gue baik kok jangan khawatir.”

Keadaan diam sejenak, hanya ada suara alat makan sebelum Asahi mengeluarkan suaranya lagi.

“Haruto, kalo lo sama gue udah ga sibuk main yuk, aja Junkyu juga. Kangen main kayak dulu lagi.”

Hampir Haruto tersedak. Tiba-tiba? Main bertiga? Asahi ini gila atau gak waras? Gimana bisa pasangan hidup dan mantan pacar main bersama. Asahi we were far away from the past.

“Nanti gue pikirin lagi ya.”

“Lo sama Junkyu ada masalah ya?” Tanya Asahi penuh hati-hati. Takut malah menyakiti perasaan suaminya.

Haruto menghela napasnya berat, “Maaf ya, Sa. Gue sama dia kayaknya gabisa sama-sama lagi seperti yang lo pengen.”

“Papa nyakitin Junkyu ya? Maafin gue ya karna keluarga gue kita kayak gini.”

“Sa udah ya... Anggep aja gue gini juga karna gue peduli sama Junkyu.”

Masalah kali ini pengecualian, Mereka harus cari jalan keluarnya masing-masing. Jika dengan tak bersama membuatnya jadi baik-baik saja maka lakukan.

Toko Bunga

Malam hari kembali hujan cukup deras hingga pemuda jangkung memilih menunggu di depan tempatnya bekerja. Seluruh toko di daerah satu persatu menjadi gelap. Tiada orang lewat selain si pemuda akibat hujan begitu lebat. Lengan si jangkung diulurkan hingga tiap tetesan menabrak permukaan kulit. Perasaan tenang muncul ketika hidungnya dimanjakan dengan bau petrichor dari tanah. Pemuda Junkyu mengingat sudah berapa lama hidupnya berantakan, tak lagi menganggap kegiatan kecil ini kebahagiaan. Junkyu ingin seperti dahulu, bersenang-senang walaupun hanya ada bayangnya sendiri.

Salahkan sang dewa cinta. Mempertemukan hatinya dengan si pria dingin. Hingga jiwa dan raganya jatuh ke palung paling dasar dalam perasaan yang mereka buat. Hingga Junkyu yang mandiri dibuat tergantung oleh sosoknya.

“Apa kamu bahagia seperti ini?”

Tanpa perlu dilirik pun Junkyu tau suara siapa. Sosok yang sangat dihormati sekaligus sosok yang sangat ditakuti. Pria paruh baya yang menjadi momok dalam hidup percintaannya.

“Apa kamu bahagia hidup berlimpah belas kasih orang-orang?”

Tidak. Junkyu tidak memilih hidup seperti ini.

“Pergilah, kasihani anak dan menantuku. Biarkan mereka hidup dalam ketenangan.”

Cairan bening menetes tanpa berhasil dicegah. Mengalir deras layaknya air hujan yang jatuh dari langit hitam.

Apa kehadirannya benar-benar tak berguna? Sekalipun sampah Ia rasa lebih dihormati daripada harga dirinya. Apa Junkyu benar tidak memiliki hak atas kehidupannya? Apa lagi yang diinginkan orang kaya? Membuatnya menyerah akan cinta pun kurang cukup. Bagaikan Tuhan yang mampu membolak balikkan nasib manusia.

“Aku akan pergi, jauh... jauh dari sini.”

“Pergi jauh sampai ujung dunia pun tak membuat anakku berhenti mengejarmu.”

Dadanya sesak, pandangan mata mendadak kabur. Tubuh yang selama ini telah mampu bangkit jatuh terkulai lemah di atas pelataran toko. Seluruh bagian tubuhnya diserang sakit hingga pikirannya tak mampu lagi diajak kompromi. Kewarasannya direnggut semua. Terima kasih suara hujan, setidaknya tangisan pilu meraung teredam sempurna. Junkyu tak perlu takut seseorang datang dengan rasa iba.

Jika mati adalah pergi yang dimaksud, maka Junkyu janji sebentar lagi malaikat maut datang menghampiri.


Dalam apartemen yang hangat Haruto lari kalang kabut. Hari memasuki tengah malam ditambah hujan enggan berhenti membuat sang suami jatuh sakit. Langkah kaki panjang berjalan masuk keluar kamar dengan panik mengambil obat atau mengganti air kompres. Mengupayakan agar suhu tubuh suaminya turun hingga besok bisa dibawa ke rumah sakit.

“H..ha..ru..to?” Cicitnya lirih dengan mata tertutup. Tangannya coba diangkat seolah ingin meraih sesuatu.

Haruto meletakkan baskom di bawah tempat tidur, mengambil jemari mungil yang terasa panas. Menggenggamnya erat dengan perasaan khawatir.

“Iya kenapa mau apa?”

“Aku.. m..mau.. ngomong..sst..sesuatu..” Ujarnya dengan susah payah.

“Nanti aja ya, Sa. Lo lagi sakit gini ke rumah sakit yuk! Aku takut kamu kenapa-napa.”

“Junkyu... junkyu?” Bisiknya memanggil-manggil.

Asahi ini sudah sakit masih memikirkan orang lain.

“Junkyu baik-baik aja. Ayok udah ke rumah sakit kita.”

Masa bodoh hujan, daripada terjadi sesuatu yang tidak diingkan lebih baik bergerak sekarang. Haruto memposisikan kedua lengannya dibawah tengkuk dan celah lutut Asahi. Menggendongnya ala bridal style, berlari secepat kijang hingga tiada satupun yang dapat menghentikan langkahnya.

Sunflower🌻 is calling...

Gerakannya berhenti sejenak setelah berhasil menancapkan kunci mobil. Menggaruk rambutnya frustasi melihat siapa yang menelepon. Kim Junkyu tolong jangan sekarang.

“Halo?”

“Halo apa benar Tuan-”

“Nanti ya, Kyu. Asahi harus buru-buru dibawa ke rumah sakit. Nanti aku telpon lagi yaa, kamu minum obat dulu. Okey?”

“Halo? Tuan?”

Melempar ponselnya ke bangku belakang, tangan Haruto bergerak cepat mengubah haluan kunci mobil. Kaki panjangnya menekan gas dengan kasar hingga mobil hitam itu berlari menembus hujan.

Sunflower🌻 is calling...

tut..

tut..

tut..

Nomor yang anda tuju sedang sibuk, silahkan coba lagi.

Kepada Junkyu, untuk kali ini Watanabe Haruto harus memilih Asahi.

to be continue....

Part 4. End of Our Story


by: teuhaieyo


⚠️trigger warning ⚠️ : act of mental health, rated 🔞, harsh words.


Malaikat berhati dingin, begitu mereka mendeskripsikan sosok Watanabe Haruto. Pria menawan dengan tubuh tinggi, dada bidang, ditambah mata elang mengintimidasi. Siapa yang tak kenal, satu-satunya pewaris perusahaan properti asal Jepang yang berjalan di Korea. Meskipun begitu tak pernah nampak gelagat sombong dari empunya.

Watanabe Haruto pria dominan diantara kedua sahabat manisnya. Membuat siapapun ingin sekali menjadi bagian dari mereka. Namun bagaimana mensejajarkan derajat saja mereka sudah tak mampu. Dimana ada sosok kecil pemilik nama Asahi disana, pangeran pendiam yang juga anak pemilik perusahaan ternama.

Siapa yang menyangka dari banyaknya orang yang memilih mundur ada Junkyu si sederhana yang tak malu mendekatinya. Junkyu yang ceria tiba-tiba datang melengkapi kelompok sewaktu masa orientasi SMA. Bukan, bukannya Junkyu tak memiliki teman, awalnya Junkyu iba memutuskan meninggalkan anggota kelompoknya demi dua pemuda yang tengah linglung. Mereka hanya bertiga meskipun jumlah yang diinginkan harusnya lima. Junkyu yang positif mengucapkan ada aku sudah cukup ramai seperti lima orang.

Sejak saat itu mereka jadi dekat. Entah Junkyu yang kelewat friendly atau Asahi pun Haruto yang malas bergaul. Hingga tak terasa salah satu dari mereka tumbuh benih cinta. Pangeran es Watanabe Haruto menaruh hati pada si ceria Kim Junkyu. Berterima kasih pada malaikat cinta Hamada Asahi keduanya berhasil mengeratkan benang merah hingga 5 tahun lamanya.

Bagi Haruto, Junkyu itu matahari. Hangat, hingga es dalam tubuhnya perlahan mencair. Senyumnya cerah hingga siapapun yang melihat pasti ikut tersenyum. Dan Junkyu memberikan cahayanya menyinari kehidupan abu-abu milik Haruto. Junkyu adalah titik poros dunia Watanabe Haruto.

Mulai hari ini dunia Haruto dilanda kegelapan semenjak perginya sang matahari.

Haruto tersenyum remeh sembari menatap plakat keramik bertuliskan nama serta jabatan barunya. Sungguh lucu mengingat bagaimana dunia membuat sebuah skenario cerita. Beberapa orang diluar bekerja keras demi sepeser won hingga tak terpikir naik pangkat akibat tau akan susahnya. Coba lihat dirinya, hanya dengan menikah sekejap bisa menggenggam dunia.

Masih jelas dalam bayangnya si anak nakal Haruto melarikan diri dari rumah, menghindari papanya yang terus menuntut menjadikan penerus perusahaan. Haruto jelas menolak, kuliahnya belum selesai dan lagi Haruto ingin mandiri. Mengusung usahanya sendiri dari nol tanpa campur tangan papanya. Disanalah mereka, rumah sewa sederhana milik Junkyunya tersimpan tekad bagaimana sosok Haruto mencari jati diri, hidup bersama sang support system tempat hatinya berlabuh.

Masih jelas diingatannya bagaimana sang kekasih tak kenal lelah membantu menulis beratus resume, memberinya pelukan sayang saat melihat tulisan BELUM DITERIMA. Saat pekerjaan itu datang Junkyunya adalah orang pertama yang menangis bahagia. Haruto masih ingat sebulan yang lalu dirinya baru diangkat menjadi supervisor dan itu atas kerja kerasnya. Pulang ke rumah sederhana dengan dua bungkus ayam dan beberapa kaleng beer. Merayakan bersama, begitu bahagia ditengah kesederhanaan, terlampau nyaman hingga tak pernah terbayang akhir cerita cintanya bukan dengan Junkyu.


Asahi berjalan ditengah teriknya mentari. Hari ini entah mengapa matahari sedang ingin memamerkan sinarnya. Membuat siapapun termasuk Asahi agaknya malas berlama-lama diluar. Tidak boleh, malam ini ada acara cukup penting yang harus Ia hadiri. Perayaan pergantian CEO perusahaan yang mana jabatannya telah digantikan suaminya sendiri. Sebagai pasangan sah Watanabe Haruto dirinya harus datang bukan?

Asahi mendorong pintu salah satu toko bunga bernuansa baby blue. Tersenyum, ikut membungkuk saat salah satu karyawan menyapanya.

“Silahkan, Tuan!” Sahut wanita kasir ramah.

Asahi pun mendekat, agaknya heran setahunya sang sahabat yang bekerja dibalik mesin kasir. Apa mungkin Junkyu tak bekerja di shift pagi?

“Kim Junkyu?”

Seolah paham wanita muda itu menunjukkan pintu belakang. Pintu pembatas toko dan tempat dimana bunga-bunga dirawat.

“Apakah boleh?”

“Tentu saja, jika ada bunga yang diinginkan rekan saya Junkyu adalah ahlinya.”

Asahi mengucapkan terima kasih lantas pergi menuju balik pintu. Senyumannya mengembang tipis, tubuhnya mendadak menghadirkan perasaan lega melihat sahabatnya masih kerja dengan baik. Jemari cantiknya yang lihai bermain dengan pot, pupuk dan bibit bunga. Parasnya semakin cantik saat dikelilingi macam warna kupu-kupu yang mampir sesaat untuk melakukan penyerbukan.

“Junkyu?” Panggilnya. Si pemuda yang tengah fokus dengan pekerjaannya sontak menoleh.

“O-oh? Kau kemari? Ada apa?”

Junkyu berdiri dari kursi kecilnya, melepas sarung tangan, membersihkan telapaknya sedikit sebelum berjalan mendekati sahabat kecilnya yang tiba saja datang.

“Lo sehat?” Tanya Asahi basa-basi. Agak canggung sebenarnya bahkan detak jantung Asahi bergerak lebih kencang. Sedang Junkyu hanya tersenyum kecil tanda dirinya baik; atau tidak.

“Butuh bunga? Untuk siapa? Pilih aja biar gue yang hiasin, paling bagus khusus buat lo.” Sahut Junkyu mencoba mencairkan suasana. Sejenak memanggil si ceria Junkyu agar yang lebih kecil berhenti memasang wajah bersalahnya. Junkyu benci dikasihani meskipun rasanya ingin mengemis cintanya kembali.

“Buat Haruto dia diangkat jadi CEO perusahaan. Nanti malem pesta perayaan gitu, gue pengen ngasih bunga.”

“A-ah gi,-tu?”

Kenyataannya sebesar apa sosok Junkyu berusaha. Sang pemilik nama itu selalu bisa meluluhlantakkan perasaannya. Hancur lebur tersisa abu.

“Kayaknya bunga matahari bagus deh, Kyu. Kan jarang ya acara formal gitu ngasih bunga matahari.”

Bunga matahari, memiliki arti kesetiaan pasangan tanpa batas. Warna kuningnya melambangkan kehangatan sama seperti namanya matahari yang selalu memberi kehangatan pada tiap insan. Begitupun sosok Haruto mendeskripsikan seorang Kim Junkyu.

“Kalo aku jadi bunga, menurut kamu cocok jadi bunga apa?” Tanya si manis ditengah kegiatan menanam bunga dengan kekasih.

Sang dominan berpikir sebentar, tak ingin melempar jawaban ngawur. Takut-takut dilempar pupuk, “Bunga matahari?”

“Kenapa?”

Haruto mengendikkan bahu, hanya saja bunga itu yang sedang Ia coba tanam. Sedangkan Junkyu tengah dirundung malu. dua tahun bekerja di toko bunga membuatnya mengenal bunga jauh daripada dirinya sendiri.

“Karna Haruto gabisa hidup tanpa Junkyu. Sama kayak bumi gabisa hidup tanpa matahari. Tapi matahari itu jauh gabisa digapai, jadi digantiin bunga matahari. Ini lagi aku pegang sekarang.”

“JUNKYU?!”

“Eh- iya? Eh.. bentar ya gue siapin.” Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Junkyu bergerak menyibukkan dirinya. Mencoba tetap tenang meskipun hatinya sedikit terguncang.

Sekitar 20 menit Junkyu menghampiri Asahi yang tengah menunggu di depan kasir. Perlahan dan pasti bucket bunga indah berpindah tangan. Asahi tersenyum puas, memasukkan surat kecil di dalamnya dan semuanya sempurna. Namun, kerutan di dahinya muncul saat menangkap dua tangkai bunga lain yang juga telah dibungkus rapih. Sontak kedua maniknya menatap Junkyu.

“Buat lo sama Haruto. Maaf pas itu dateng ga bawa apa-apa. Selamat juga buat Haruto dan kerjaannya. Gue tinggal kebelakang ya ati-ati dijalan!”

Bunga Iris dimana kecantikannya melambangkan harapan. Harapan baik dari Kim Junkyu untuk dua sahabatnya.


Begitu meriah acara perayaan malam ini. Digelar mewah pada ballroom salah satu hotel bintang lima. Seluruh kolega berdatangan dengan berbagai tujuannya. Ada yang datang karena tak sempat hadir saat pernikahan sang CEO atau mencari kesempatan bisnis di dalamnya. Tak terkecuali media massa, berlomba-lomba masuk demi secuil berita picisan untuk disiarkan.

Sang pemilik acara sedang berdiri, berbincang dengan salah satu tamu yang mana sahabat dekat ayahnya sendiri. Sesekali mata elangnya menatap jam tangan bergantian pada pintu utama. Seharusnya Asahi sudah tiba sejak awal acara, sampai hampir penghujung acarapun belum nampak.

“Selamat malam, maaf saya terlambat. Perkenalkan, Hamada Asahi.” Sapa Asahi lantas membungkuk pada tamu yang ada.

Asahi juga tak lupa menyerahkan dua bucket bunga cantik sebagai ucapan selamat. Bunga matahari dan bunga mawar putih. Haruto terkekeh kecil dengan sikap Asahi. Lengan besarnya menarik pinggang ramping suaminya agar lebih mendekat, dikecup pelan puncak kepala yang lebih pendek. Menghadirkan sorak-sorai dari saksi mata yang melihat.

Tak ada gemuruh bahagia dalam diri Asahi, hanya kaget dan malu. Karena Asahi sendiri yang dapat merasakan bahwa tidak ada sedikitpun perasaan Haruto yang tersalur lewat kecupannya.

“Sepertinya pengantin baru butuh space berdua. Kalau begitu kami permisi.”

Tinggalah mereka berdua, dengan Haruto yang mulai meneliti bunga pemberian suaminya. Sedangkan Asahi mendadak dilanda khawatir mengingat dirinya datang ada maksud yang ingin disampaikan. Sepertinya Asahi harus sedikit lebih sabar, tamu masih banyak berdatangan tak enak mengajak suaminya pergi begitu saja.

“Repot banget sampai beli dua. Satu saja harusnya cukup.” Ujar Haruto, fokusnya saat ini sibuk membaca kalimat selamat yang Asahi sampirkan melalui kertas kecil di dalamnya.

“Yang satu titipan, sih.” Balasnya singkat namun cukup membuat Haruto penasaran.

“Baca aja sendiri.”

Haruto mengambil bucket bunga matahari. Alisnya menyatu, sedikit bingung siapa gerangan yang mengirim bunga matahari diacara formal begini. Saat Haruto membuka surat kecil didalamnya Ia tertegun. Tak lama kemudian senyum kecilnya muncul, tak dapat ditahan. Dirinya tak pernah salah menandai sosok dalam kertas kecil itu dengan bunga matahari. Nyatanya hanya coretan nama mampu membuat hatinya kembali hangat. Meskipun raganya tak lagi hadir dalam pandangan, Haruto bersyukur perasaan milik Kim Junkyu padanya masih disini bersamaan dengan datangnya rangkaian bunga ini.

Asahi melihatnya, bagaimana belah bibir milik pria dingin ini perlahan terangkat. Senyuman tulus sosok Haruto setelah bertemu tambatan hatinya. Senyuman yang tak bisa dilihat oleh siapapun kecuali pria manis kesayangannya. Dan itu jelas bukan Asahi. Asahi bukan pemilik penuh Watanabe Haruto diatas status sahnya.

“Haruto, gue mau cerita ke lo, tentang Junkyu.”

Apartemen Haasahi

Keduanya telah di rumah, tepatnya duduk berdua di meja makan dengan segelas teh hangat masing-masing. Haruto tengah sibuk mengusap rambutnya yang basah sehabis mandi. Sedangkan yang lebih kecil termenung, sedikit gelisah memikirkan mulai dari mana Ia menjelaskan.

“Sa, gimana?” Panggil Haruto seperti menarik Asahi kembali dari dunianya menuju realita. Asahi terkesiap, buru-buru mengeluarkan kantung kecil. Diserahkan perlahan agar Haruto dapat melihat dengan jelas.

Haruto memasang wajah tak terdefinisikan. Bingung, pasalnya yang diserahkan Asahi adalah kantung plastik kecil berisi macam obat. Jadi siapa yang sakit?

“Gue nemuin itu jatuh dari saku Junkyu.” Ungkapnya lirih.

Asahi terdiam selama beberapa detik, memberikan kesempatan suaminya untuk menanggapi. Haruto diam seribu bahasa, masih menelisik obat-obatan berbagai warna dan ukuran.

“Gue sebenernya gak mau ganggu privasi dia, but I was too curious. Akhirnya, gue pergi ke rumah sakit itu juga alasan kenapa gue telat dateng...”

“Junkyu sakit,To... dan gue gatau sejak kapan. Dia harusnya gaboleh tinggal sendiri, and now what? Kita temennya gatau apa-apa.”

Asahi kecewa, sejak saat itu hingga resmi menikah mereka memang belum menemui Junkyu untuk sekedar bersua. Berakhir, tak ada yang tau bahwa Junkyu terdiagnosis gangguan depresi sedang. Belum parah, tapi jika empunya tak ada niatan untuk sembuh maka petaka menunggu di depan mata.

“Terus apa, Sa? Dengan nunjukkin ini ke gue emang bisa merubah apa?!” Tukas Haruto dengan nada tinggi, seolah tau kemana alur pembicaraan mereka. Ia kecewa, harapnya Asahi telah menyerah akan usul bodohnya. Nyatanya kesungguhan Asahi tak terganggu gugat.

“Junkyu butuh lo.”

Brak!

Haruto berdiri mendelik tajam ke arah suaminya yang masih duduk. Yang lebih kecil mencoba tegar, tak gentar akan tatapan menghunus milik Haruto yang tengah dilanda amarah. Kali ini Asahi sekeras batu, tujuannya mengembalikan Haruto pada pemilik sebenarnya mutlak seberapa keras Haruto menolak. Kim Junkyu butuh Haruto saat ini and that's all what Asahi can do as a friend.

“Asahi?”

Asahi geram, lantas ikut berdiri. Wajahnya keras juga menatap Haruto. Keduanya berseteru saling melempar emosi.

You sure?” Sekali lagi Haruto memastikan. Ia tak ingin menjadi lebih bajingan tapi jika Asahi mengiyakan dia tak punya pilihan lain selain pergi mendua.

Asahi kaku, sebagian wajahnya memerah. Jujur, Asahi juga mana ingin begini. Fakta bahwa Junkyu sakit karena dunianya telah direnggutnya menumbuhkan perasaan bersalah semakin hebat.

Dengan berat hati, Asahi mengangguk perlahan. Asahi ikhlas berbagi Haruto dengan sahabatnya sendiri, tanpa memikirkan bagaimana hari-harinya kelak.


Pesta meriah digelar pada malam Sabtu (19/06). Perayaan tersebut dilaksanakan untuk menyambut CEO baru perusahaan properti terbesar Watanabe corp.

Junkyu menatap nanar TV dihadapannya. Tubuhnya lemas lelah setelah pulang bekerja akibat banyaknya pesanan bunga hari ini. Ingin merefresh otaknya dengan acara TV malah dihadirkan siaran yang paling dibenci. Bukan siarannya, tapi orang dalam berita. Entah hari ini dunia sedang tenang atau apa hingga seluruh TV menyiarkan acara megah pergantian CEO perusahaan Jepang itu.

Junkyu duduk memeluk lulutnya, masih lurus melihat TV yang sekarang menyorot si wajah baru perusahaan. CEO muda yang digadang memiliki keuletan dalam bidang bisnis. Hatinya berdetak berantakan, perasaannya pada visual itu masih tergambar jelas. Hingga pria kecil itu muncul di layar dengan bucket bunga matahari. Pria tinggi itu menerima dengan tulus, Junkyu bisa merasakannya. Saat adegan romantis disajikan Junkyu tak sanggup.

Dadanya mendadak nyeri hingga batuk mulai mendera. Nafasnya tak beraturan seperti tiada oksigen dalam ruangan. Junkyu memukul dadanya berulang, berharap saluran napasnya kembali normal. Namun nihil, tubuhnya saat ini jatuh merosot diatas lantai.

“Hhhhaaah...aggghh”

Junkyu panik hingga menangis. Menyesal karena gagal mengendalikan tubuhnya. Dokter telah memperingatkan agar selalu tenang sehingga Junkyu tidak butuh lagi obat penenang.

“AAAARRRHHH... Jun-k..yu te..nang...Ti..dak!”

Junkyu bangkit, berjalan tertatih. Satu tangannya meraba apapun yang dapat Ia jadikan tumpuan. Sedangkan yang satunya terus memukul dadanya yang semakin sesak.

“Obat? Mana obat.... Aggghh,”

Junkyu meraih tas kerjanya. Obat penenang yang selalu Ia bawa kemanapun. Junkyu benci jadi seperti ini, seperti bukan dirinya. Sialan, seberapa besar Junkyu mencoba bahagia perasaannya enggan diajak demikian. Seakan seluruh komponen dalam tubuhnya tau sumber kebahagiaannya telah melenggang pergi dan tak akan kembali.

Panik, pikirannya semakin kalut saat tak menemukan bungkusan itu ada disana. Dirinya harus gimana? Itu bungkusan terakhir sampai waktu terapi selanjutnya. Junkyu kesal, kepalanya pusing, pandangan mengabur. Seluruh barang dibanting ke lantai. Perasaannya makin bercampur tak karuan. Semua kenangan pahitnya memutar bak sebuah film membawa Junkyu kedalam ruangan hitam pekat. Junkyu dan kesendiriannya.

“HAAAA... Sssshhh.. Kursi, jam dinding, televi ahhh tidak kursi, tas, buku, Arrggh sialan!”

Junkyu duduk lemah diatas dinginnya lantai tak beralas. Kedua tangannya menutup telinganya ketakutan, badannya bergetar hebat. Bibirnya masih berusaha menyebutkan benda disekitar agar kesadarannya masih ada meskipun sulit. Junkyu pasrah, jika akhir hidupnya memang harus begini. Menjadi sebatang kara dengan gangguan kejiwaan. Ia hanya berharap ada orang yang menemukan jasadnya dan menguburkan dengan layak. Bolehkah untuk satu kali saja sebelum nafasnya semakin direnggut Ia bertemu Haruto. Setidaknya kematian Junkyu tidak begitu mengenaskan. Junkyu ingin melihat wajahnya, mengucapkan betapa Junkyu sangat berterima kasih telah dipertemukan dengan sosoknya. Menerima begitu banyak kasih sayang yang bahkan tak pernah Ia bayangkan.

“Junkyu?”

Dunia seakan berhenti berputar. Sepertinya Junkyu semakin gila, buktinya suara yang Ia sangat rindukan hadir. Yah, Tuhan sangat cepat mengabulkan doa hambanya yang tak memiliki harapan. Menghadirkan sosok itu sejenak berikut malaikat maut.

“Junkyu! Junkyu liat aku, hei!” Tubuhnya lemas diguncang hebat hingga dagunya terangkat. Saat itu pula manik mereka bertemu. Raut khawatir lelaki kecintaannya tergambar jelas dalam pandangnya meskipun begitu tetap menawan seperti biasa. Sedangkan si tampan panik bukan main, bibir merah muda itu pucat, kelopak matanya hanya sedikit terbuka. Tubuhnya banyak lebam.

Ada apa denganmu Junkyu? Kenapa kamu melakukan semua ini?

“Ha-haru..to?” Titahnya lemah.

Hatinya sakit, bunga mataharinya layu hampir gugur.

Tanpa sepatah kata lagi Haruto menarik tubuh kurusnya dalam dekapan hangat. Menyalurkan rindu selama ini terpendam. Tak berkurang sedikitpun rasa cintanya pada sosok dalam dekapannya. Merasa menjadi manusia paling jahat telah menghiraukan si manis demi kebahagiaan orang tuanya.

“Junkyu inhale...” Perintah Haruto sembari mengusap punggung yang sama lebar dengan miliknya.

Junkyu memang tidak melebih-lebihkan saat berkata bahwa seluruh komponen tubuhnya hanya patuh pada satu komando. Terbukti, rasa paniknya mereda, paru-parunya mulai berfungsi. Meskipun jantungnya masih sangat berdebar.

Exhale...”

Haruto ikut menghela napas lega. Junkyunya kembali tenang. Untung dirinya datang tepat waktu. Kalau tidak, Haruto pun Asahi akan dilanda rasa bersalah seumur hidup.

“Haruto?” Bisiknya.

Haruto semakin mengeratkan rengkuhannya, mengecup puncak kepala Junkyu sayang. “Sssshhh... aku disini. Mulai sekarang aku disini sama kamu.”


Junkyu beranjak dari hangatnya rengkuhan Haruto. Sudah 30 menit mereka berada pada posisi saling memberi kehangatan setelah prahara yang terjadi. Ajaib, tanpa obat sialan itu Junkyu cepat tenang. Namun Junkyu sadar ini salah, tak seharusnya Haruto disini, Haruto bukan lagi hak milik Junkyu.

“Aku udah gapapa, kamu pulang.” Cicit Junkyu. Jemari panjangnya Ia gunakan untuk mengusap sisa air mata di wajah. Junkyu beranjak menjauh, tak peduli akan Haruto. Ia memilih untuk menyibukkan diri membereskan istana kecilnya yang kacau.

“Ayo perbaiki hubungan kita. Kembali seperti dulu.”

Junkyu mematung, betapa entengnya lelaki yang telah menorehkan luka. Setelah memaksanya menyerah sekarang ingin memungutnya kembali.

“Aku nggak mau.” Balasnya tegas.

Junkyu mana peduli bahkan jika Asahi mengijinkan pun dirinya menolak. Junkyu lelaki memiliki kehormatan, tak seharusnya Ia mengiyakan ajakan bodoh semacam ini.

“Kamu harus mau!” Suaranya meninggi. Haruto bingung dengan dirinya sendiri. Niat datang hanya melihat keadaan Junkyu agar suaminya puas. Tetapi, melihat masa lalunya selemah ini Haruto ingin menjaganya. Inilah cinta atau sekedar iba?

“Haru, you're married already. Dengan kamu disini aja udah salah. Pulang, your husband there, he's waiting for you.”

“ARRRRRGGG! KAMU ITU GATAU SUSAHNYA JADI AKU. ASAHI DORONG AKU KE KAMU, KAMU DORONG AKU PERGI. MAU KALIAN APA HAH?!”

Haruto capek, dia cuma mau ikutin apa maunya orang-orang. Dia kira dengan diem, nurut bikin semuanya baik-baik aja, tapi nyatanya. Hancur, lebur, berantakan. Nggak ada yang bisa dia selamatkan, sahabatnya, mantan pacarnya, bahkan perasaannya sendiri. Cuma orang tuanya yang seneng, sedangkan mereka bertiga seakan dihukum sakit hingga tak tentu kapan akan berakhir.

Haruto bingung, Asahi nolak dia, diem-diem mau mempersatukan Haruto sama Junkyu lagi. Sedangkan Junkyu juga mukul dia mundur, ingin terbiasa sendiri walaupun nggak kuat. Haruto harus gimana? rumah mana yang menjadi tempatnya pulang sekarang?

“Junkyu kamu butuh aku.”

Haruto mendekati Junkyu, menggenggam erat pundaknya dengan tatapan dingin mengancam. Junkyu takut, menghiraukan pundaknya mulai nyeri. Junkyu sangat tau Haruto yang marah itu menakutkan.

“Haru, please sakit.” Tegurnya lembut.

“Kamu sakit. Dan aku obat yang kamu butuh kan.”

Haruto kalap, menarik paksa Junkyu mendekat. Ditarik pula dagunya, tanpa aba-aba bibir pucat Junkyu diraup habis, dihisap penuh nafsu hingga liurnya meluber. Gerakannya rusuh, tak tentu arah namun ada emosi yang disampaikan disana. Junkyu membeku, membiarkan apapun yang dilakukan Haruto pun saat Haruto menarik paksa tubuh tinggi kurusnya. Dibawa lelaki itu menuju kamar.

Saat itu juga tembok ringkih yang telah dibangun roboh menjadi serpihan tak bertuan.

Haruto benar, Junkyu butuh Haruto. Bahkan tubuhnya tak menolak setiap sentuhannya. Nyaman, seperti dibawa pada masa lalu indahnya. Dimana hanya ada Junkyu dan Haruto menyatukan hasrat mereka. Tak seorangpun dapat menghentikan. Termasuk Asahi sendiri.


Sejak hari itu Haruto berubah. Menjadi sosok hangat seperti semula. Haruto dingin kembali menemukan atap hangat untuk berteduh. Perlahan Haruto meninggalkan kewajiban seharusnya.

Haruto seperti menjauh dari Asahi, nggak salah. Toh Asahi sendiri yang mendorong suaminya pergi. Lupa bahwa Junkyu rumah sebenarnya bagi Haruto. Haruto tetap menafkahi Asahi secara finansial namun raganya jarang nampak. Sekali Haruto pulang akan sangat larut tentunya sudah makan malam di rumah sederhana Junkyu. Jadi jika sudah begini siapa yang jahat?

Pun dihari libur, harusnya menjadi hari keluarga. Yah, they're not in a good way to be called a family but still mereka sah secara hukum dan agama. Asahi tengah sibuk berperang dengan dapur, masak. Meskipun baru liat dari YouTube. Asahi akui dia gak jago masak, dia hidup tidak sepenuhnya mandiri sebelumnya. Tapi Asahi mau nyoba masak buat Haruto.

Telinganya melebar seketika bersamaan suara baritone suaminya menyapa seseorang disebrang panggilan. Detik kemudian, langkah rusuh Haruto berlarian disekitar rumah mengambil kunci mobil dan jaket. Asahi mencuri lihat, ada apa dengan suaminya.

“Mau kemana? Belom sarapan juga.”

Haruto berhenti sejenak menatap Asahi, cowok itu berdiri lucu dengan apron kebesaran.

“Gue ke rumah Junkyu dulu ya, dadanya sesek. Takut kumat.”

Belum Asahi mengijinkan, Haruto melenggang pergi. Well, selalu kayak gini.

Asahi nggak tau ini udah jadi jalan yang bener atau malah menjatuhkannya dalam lubang penyesalan. Asahi seneng Haruto jadi Haruto sebagaimana harusnya. Tapi dalam lubuk hatinya ada yang mengganjal. Ada gejolak amarah, hati kecilnya meronta bahwa ini kesalahan besar.

Namun, Asahi tak lagi bisa mundur.

to be continue....

part 3. Hamada Asahi


by: teuhaieyo


⚠️trigger warning⚠️ : angst, harsh words.


Pagi ini begitu cerah, cocok sekali dengan suasana hati pemuda tinggi nan lucu yang sedang duduk pada salah satu bangku kafe memangku dagunya. Bibirnya menampilkan senyuman malu malu hingga pipi berisinya sedikit terangkat. Pikiran pemuda itu berlari kesana kemari, sudah membayangkan apa yang akan dilakukan hari ini dengan kekasihnya. Terhitung satu minggu tepat mereka tak bersua akibat pekerjaan sang kekasih yang memang baru diangkat menjadi supervisor di perusahaan.

Cling

Lonceng selamat datang berbunyi menandakan ada pelanggan yang datang. Bukti itu diperkuat dengan teriakan salah satu pegawai seraya mempersilahkan. Bola mata si pemuda itu mendelik lucu ke arah pintu masuk. Lalu, senyumannya mengembang semakin lebar saat berhasil menangkap visual sosok kekasih yang ditunggu.

“Haruto, sini!” Teriaknya penuh semangat dengan tangan diangkat tinggi-tinggi. Bahkan siapapun yang melihat menunjukkan ekspresi gemas.

Pemuda Haruto itu tersenyum tipis menanggapi. Kaki jenjangnya Ia bawa mendekat pada bangku kekasih lucunya, tak lupa mencubit sebentar sebelum mendudukkan dirinya pada bangku yang tersedia.

“Junkyu?” Panggilnya dengan suara bassnya, mencoba mengambil seluruh atensi sosok lucu dihadapannya yang masih fokus memainkan tangannya.

Si lucu bernama Junkyu ini nampak sangat merindukan Haruto. Berakhir tangan Haruto dimainkan, sesekali diciumi dan ditempelkan pada pipinya. “Tangan Haruto itu anget, wangi juga” begitu katanya.

Cling

Kegiatan Junkyu memainkan tangan Haruto harus terhenti saat satu lagi pemuda yang lebih kecil perawakannya ikut duduk di bangku mereka. Peluh memenuhi sekitar wajahnya, dadanya masih naik turun sepertinya memang habis berlari.

“Maaf maaf telat.” Ujarnya setelah nafasnya kembali normal.

Junkyu mengernyit bingung, menatap kekasihnya lalu pemuda baru diantara mereka bergantian. Seingatnya Haruto mengajak Junkyu keluar melalui pesan pribadi bukan grup persahabatan mereka yang mana artinya Haruto mengajak Junkyu ngedate, BERDUA.

Iya, pemuda yang baru saja datang ini Asahi. Mereka bertiga sudah jadi sahabat sejak bertemu saat masa orientasi SMA. Jujur, Junkyu bukannya benci akan kedatangan Asahi. Jika harus berterus terang presentase mereka ngedate hanya berdua dan pergi bertiga itu lebih banyak mereka main bertiga. Tapi jika memang begitu harusnya Haruto membicarakan acaranya lewat grup khusus yang hanya ada mereka bertiga disana.

“Loh, ada Asa juga?” Tanya Junkyu hanya dijawabi dengan senyuman kecil. Ada perasaan bersalah dalam diri Asahi.

“Gapapa kok, terus hari ini kita main kemana? Kangen banget main sama kalian!” Junkyu melanjutkan dengan nada penuh semangat. Manik matanya seperti memancarkan binar bahagia menatap dua manusia dihadapannya yang malah diam mengatupkan belah bibirnya.

Junkyu mengerucutkan bibirnya, hal biasa jika mood merajuknya muncul. Kedua alisnya menekuk dibuat marah. Junkyu ngambek, biasanya mereka bertiga bakal rame ngasih rekomendasi tempat main. Namun, kali ini Haruto pun Asahi hanya menatap Junkyu dengan sendu.

Di bawah sana kaki Asahi dan Haruto saling memberi isyarat. Berkelahi dalam diam siapa yang harus mengutarakan maksud kedatangannya berkumpul.

“Kyu kita gabakal kemana-mana buat hari ini. Ada yang mau aku sama Asahi sampein ke kamu. Penting.” Ucap Haruto Akhirnya. Disini air wajah Asahi beranjak memerah, tak sanggup lagi meneliti setiap perubahan raut Junkyu.

Senyum manis Junkyu berangsur pudar. Perasaannya mendadak cemas. Dirinya semakin dibuat penasaran saat kekasihnya mengeluarkan sebuah kertas cantik dari dalam tasnya. Haruto menyerahkan kertas berwarna putih, masih bersampul plastik cantik ke hadapan Junkyu.

“Ini apa?” Tanya Junkyu menatap manik Haruto yang memandangnya sedih. Perasaan Junkyu semakin tak terkendali saat indra pendengarannya menangkap suara isakan pelan milik Asahi. Padahal Asahi sudah menahannya dengan mengeratkan genggaman pada ujung bajunya. Namun, sesak di dadanya jauh lebih kuat hingga sulit bernafas.

“Asahi kok nangis? Kalian kenapa? Ada apasih?” Cerca Junkyu penuh tanya. Sumpah, Junkyu nggak ngira bakal gini akhirnya. Seminggu tak berjumpa memang membuatnya jadi manusia purba yang nggak tau apa-apa.

Mengabaikan Asahi yang terus menunduk dengan terisak. Netra si pria manis itu memfokuskan atensinya pada kertas cantik dari kekasihnya, membaca tiap kata yang telah disusun apik dengan tinta emas.

deg

Junkyu diam tertegun, otaknya masih mencerna setiap kata yang berhasil masuk.

“Ini undangan pernikahan..”

Asahi beranjak mengambil paksa tangan Junkyu dengan wajah sembabnya. “Junkyu, Junkyu please gue minta maaf. Sumpah gue ga mak-”

Ucapan Asahi terhenti saat kedua tangannya dihempaskan begitu saja oleh Junkyu. Asahi hanya sanggup terus menumpahkan air mata bersalahnya sedangkan Haruto masih diam tak tau harus berbuat apa.

“Bentar! Ini gue gasalah ya baca namanya?”

“Haruto... Asahi...?”

“Terus gue gimana?” Tanya Junkyu penuh syarat kekecewaan. Suaranya diangkat, matanya berhasil memerah dengan genangan menenuhi pelupuknya.

“TERUS GUE GIMANA HARUTO? LIMA TAHUN LO KIRA LUCU YA DIMAININ KAYAK GINI?!”

Junkyu menatap nyalang pada sosok dihadapannya yang hanya diam tanpa berusaha menenangkannya. Seperti memang tak ada jalan lain dari masalah ini. Junkyu kecewa dengan keduanya, bagaimana sosok sahabat yang dieluh eluhan menikungnya begini hebat. Sahabat yang berperan menajadi sosok cupid telah berubah tujuan, mengambil paksa kekasihnya, menukar kartu persahabatan demi egonya sendiri.

“Junkyu dengerin aku dulu...” Haruto mengambil jemari Junkyu untuk diusap lembut. Sedangkan empunya mulai mempersilahkan cairan bening jatuh melewati pipi gembilnya, enggan menatap kedua manusia yang telah berubah status menjadi penghianat dihidupnya.

“Ini semua ulah papa sama papa Asahi. Sumpah kita berdua gatau, dan semuanya kejadian gitu aja.”

Junkyu menutup bibirnya yang semakin keras terisak. Sakit, seperti ulu hatinya ditusuk dengan sebilah pisau. Bahunya semakin bergetar saat tubuhnya merasakan bagaimana genggaman sosok dicintainya begitu erat. Otaknya ingin percaya pada Haruto pun Asahi memang tak memiliki jalan keluar lain selain terpaksa menyakitinya. Namun hatinya terlanjur meradang hingga tak ada alasan logis apapun yang mampu menjelaskan keadaan saat ini.

“Perusahaan papanya Asahi lagi dibawah dan dia butuh keluargaku yang bantu. Papa papa kita sepakat agar kontraknya bisa bertahan lama ya dengan...” Lanjutnya.

Junkyu mengambil napas, perlahan mengambil tangannya kembali tak peduli Haruto yang berusaha menggapainya.

“Udah ya, gue capek.” Junkyu berdiri, menyampirkan tasnya. Tanpa mau melihat keduanya Junkyu melepas cincin tanda keseriusan seorang Haruto Watanabe, diletakkan begitu saja. Lalu keluar menandakan dirinya mengalah, memberikan sumber kebahagiaan, dunianya pada sosok yang juga sahabatnya.

“JUNKYU! JUNKYU!” Panggil Asahi meraung putus asa, tanpa peduli pada tiap pandangan mata yang sejak tadi memperhatikan layaknya menonton sinetron murahan di TV.

Haruto menahan tubuh Asahi dalam dekapannya. Tubuhnya juga lelah, hatinya banyak sakit namun tetap memberikan sisa energinya untuk menenangkan Asahi.

“Junkyu, To... Junkyu...”

“Sttt... biarin Junkyu sendiri dulu ya. Udah udah tenang.” Kata-katanya menenangkan, masih dengan kedua maniknya tak melepas pandang pada cincin malang yang dikembalikan oleh pemiliknya.

Kim Junkyu, maaf.


Entah apa yang harus Junkyu lakukan selain mengurung dirinya dalam kamar minimalis tempatnya selama ini tinggal. Sudah tiga hari Junkyu begini, air matanya telah mengering tinggal mata sendunya tersisa dihiasi kantung mata menghitam. Ketukan pintu dari hari ke hari dihiraukannya bahkan tak sesuap nasi-pun masuk dalam perut kosongnya.

Harusnya Junkyu tau diri, sejak awal kedua orang tua Haruto memang kurang menyetujui hubungan mereka. Inilah karma baginya tak mengindahkan tiap larangan yang sering dilontarkan papa atau mama Haruto. Raganya, hatinya hanya patuh pada satu komando yaitu suara rendah nan menghipnotis milik kekasihnya.

Harusnya Junkyu sadar diri, dirinya hanyalah anak yatim piatu sederhana yang tak pantas bahkan hanya jalan bersanding dengan kedua sahabatnya. Hidupnya serba kemalangan, tak seperti Haruto dan Asahi yang lahir sudah diselimuti emas.

Harusnya Junkyu ikhlas dan paham betul bahwa kisah cinta si miskin dan si kaya tak akan berakhir bahagia layaknya sinetron romansa. Junkyu malu, sikap acuhnya pada gunjingan teman sekolahnya dulu tak pernah didengar. Seolah tak peduli, toh Junkyu memang bertakdir dipertemukan dengan Haruto dan Asahi bukan karena harta. Tapi memang catatan Tuhan begitu adanya.

5 hari kemudian

Langit sudah menjadi sore saat Haruto sampai rumahnya. Bahunya turun, langkahnya lesu berjalan menuju taman rumahnya dimana Asahi pun menunggu dengan harap-harap cemas.

Belum sempat Haruto duduk sekedar mengistirahatkan kakinya sudah dicerca cowok mungil itu dengan berbagai pertanyaan yang sama sejak 5 hari belakangan.

“Gimana, udah ketemu Junkyu?” Pertanyaan Asahi sama, juga tetap dihadiahi gelengan lemas yang lebih tinggi.

Lagi-lagi helaan nafas kekecewaan Asahi tunjukkan, kelewat khawatir akan nasib sahabat yang seketika menghilang dari peradaban.

“Maaf ya Sa, aku udah datengin semua tempat yang biasanya dia datengin tapi nihil. Bahkan tiap hari dari pagi pulang sore buat nunggu di toko bunga juga gak muncul. Bibi pemilik nya juga gatau.” Jelas Haruto lirih. Rasanya ingin menyerah, tapi melihat Asahi segigih ini dan hipotesis Junkyu bisa jadi tak baik-baik saja membuat Haruto ikut overthinking dibuatnya.

“Udah ke apartnya?” Haruto mengangguk. Apart Junkyu layaknya rumah tak berpenghuni.

“Bibinya gimana?” Salah satu sanak keluarga milik Junkyu hanyalah keluarga bibinya. Bibi yang mengasuh Junkyu sejak kedua orang tuanya meninggal.

“Udah, Sa. Kata Bibi Kim, Junkyu belum pernah berkunjung satu bulan ini. Kemarin sempet gue minta tolong anterin makan siapa tau dia menghindar dari kita katanya juga masih gantung di pintu besoknya.”

Asahi benar lemas, kakinya mendadak tak sanggup berdiri hingga dirinya jatuh terduduk dilantai dengan mengusap wajahnya frustasi. Kalau begini bakal jadinya rencana pernikahan harus diundur kalau bisa ditiadakan. Apa gunanya berbahagia jika ada satu insan yang sangat menderita akibat pernikahannya.

“Gue gak mau nikah, To kalo keadaannya kek gini. Apa gunanya nikah kalo nyakitin temen sendiri. Gue gabisa kalo harus berdiri diambang iya dan nggaknya Junkyu. At least Junkyu disini, nampar muka gue, maki maki gue sampai dia puas, dan bilang kalo dia benci sama gue.”

Haruto juga sama, masih berharap adanya secercah cahaya dimana ada jalan untuk mereka bertiga. Bayang-bayang wajah lain yang akan mengucapkan janji suci bersamanya membuat hidupnya semakin berantakan. Haruto mau Junkyu, nggak ada yang lain. Cuma Junkyu.


1 bulan kemudian

Hari ini tepat sebulan setelah kejadian pengakuan Asahi dan Haruto pasal perjodohannya. Hari dimana hancurnya 6 tahun persahabatan mereka bertiga. Junkyu berhasil menghindar setidaknya sampai Haruto maupun Asahi lelah mencoba menggapainya. Junkyu bukanlah Junkyu yang dulu, Junkyu yang ceria dan penuh tawa hilang diterpa kegelapan. Kehidupannya berubah 180 derajat seperti dunianya direnggut habis-habisan oleh semesta.

Baiknya Junkyu masih sadar dirinya manusia. Manusia penuh nafsu akan lapar dan dahaga dimana apapun yang dibutuhkan di dunia perlu sepeser uang untuk membelinya. Setelah dirasa tak ada lagi dari oknum pemecah belah hatinya yang menerus datang, Junkyu kembali pada hidup normalnya. Bekerja, meskipun dipindah pada bagian merakit bunga tatkala banyak pengunjung mengajukan komplain akan pelayanan kasir kurang ramah. Junkyu masih bersyukur tak langsung didepak dari pekerjaan yang membuatnya bisa menopang tubuh sebatang karanya.

Ting!

suara satu pesan masuk membuat kegiatan mengepel pemuda jangkung terhenti sejenak.

1 message from Asahi😽

Junkyu tertegun, sungguh dirinya masih tak sanggup bahkan hanya membaca namanya saja membuat dadanya kian sesak. Ibu jarinya bergetar, hatinya bimbang akan membuka atau mengabaikan saja. Tapi Junkyu telah berjanji apapun yang terjadi life must go on sebanyak apapun rasa sakitnya.

Dengan perasaan yang ragu Junkyu membuka pesannya perlahan.

Junkyu, gimana kabar? Baik-baik aja ya kan? Lo ga sakit kan? Ya Tuhan gue kangen banget sama lo. Kyu, besok gue sama Haruto jadi nikah. Gue boleh ga sih berharap lo dateng dan hancurin nikahan gue? Karena sumpah gue sama Haruto juga gamau nikah kek gini. Kyu, dateng ya... gue pengen ketemu sama lo, gue pengen lo nampar gue, marah ke gue, pokoknya gue ikhlas lo lakuin apa aja asal lo nggak diemin gue kayak gini. It's tortured me... Gue bakal tunggu lo dateng dan lo harus tau kalo Haruto bakal tetep cinta dan sayang sama lo :)

Junkyu kembali lemah, kenyataan dirinya masih belum sepenuhnya menerima. Tubuhnya perlahan jatuh, kepalanya pusing terlalu banyak menangis. Junkyu tau nggak cuma dirinya yang tersakiti disini, Junkyu tau gimana kejamnya dunia bisnis. Tapi Junkyu sendirian, He was filled with love before and suddenly they're gone. Tubuhnya kopong, seluruh isinya telah diambil tak tersisa. Bayang-bayang percakapannya dulu dengan Asahi merasuki pikirannya, bagaimana Asahi bersumpah dirinya sendiri yang akan menggandeng lengan Junkyu menghantarkannya pada Haruto di hari bahagia mereka kelak. Sebelum, realita itu sendiri yang memutarbalikkan keadaan.

Scenario alam itu lucu, dimana manusia cuma sanggup halu. Begitupun yang dilakukan pada isi hati manusia. Sempat terpikir Junkyu akan menghancurkan pesta pernikahan mereka, menjadi orang paling gila karena ditinggal cinta. Selepasnya Junkyu sadar, mana tega orang serendah dirinya melakukan itu dihari bahagia sahabatnya. Cukup hidup Junkyu yang sekarang telah menderita, dirinya tak ingin jatuh tersiksa lebih dalam lagi. Soal permohonan Asahi, entahlah apa Junkyu sanggup datang, sekedar mengucapkan selamat, lalu pergi dengan terus tersenyum seolah dirinya ikhlas dan bahagia.

Biarlah besok berlalu sesuai jalannya. Junkyu hanya manusia yang turut hanyut akan alurnya.


Berdirinya Asahi dan Haruto di atas pelaminan menandakan dua insan setara kasta itu sah sebagai pasangan suami. Riuh tamu undangan dibuat terpukau atas pesona keduanya. Bibir ke bibir tak henti memuji pada dua orang tua yang tak malu membanggakan sosok sang anak. Lain di bawah, Haruto hanya berdiri dengan tatapan dinginnya. Tak ada siratan suka sedikitpun, siapapun yang melihat dengan jeli akan tau bahwa pernikahan ini tak pernah ada dalam mimpi indahnya.

Sedangkan sosok kecil disampingnya mencoba ramah sebaik mungkin, menanggapi setiap ucapan selamat yang terlampir. Sesekali fokusnya mengedarkan pada seluruh gedung luas tempat mereka berpijak. Hatinya terus berharap, pemuda sahabatnya akan datang. Setidaknya Asahi tau bagaimana keadaan Junkyu saat ini. Apa sehat? Apa cukup makan dan tidur? Apa sudah kembali bekerja?

Sampai dua jam berlalu dimana pesta resepsi sebentar lagi selesai tak ada tanda tanda manusia lucu itu hadir diantara mereka.

“Junkyu benci banget pasti sama gue.” Monolog Asahi lirih masih bisa di dengar Haruto yang duduk disampingnya.

“Percaya sama gue, Junkyu gabisa benci sama orang apalagi kamu sahabatnya sendiri.”

Haruto mengambil satu tangan Asahi untuk digenggam, memberikan sedikit kekuatan. Asahi sudah cukup lelah melalangbuana mempersiapkan pernikahan sambil setengah jiwanya memikirkan keadaan Junkyu. Bukan, bukan Haruto tak lagi memikirkan Junkyu hanya saja salah satu diantara mereka harus ada yang lebih kuat. Mengesampingkan urusan hatinya Haruto mencoba terus berjalan maju. Memang benar, hidup ditengah perasaan bersalah seperti dibunuh secara perlahan.

Asahi sontak berdiri, matanya membulat dengan degub jantung berdetak tak beraturan. Itu Junkyu, sosok yang ditunggu tengah memberi hormat pada papa dan mama Watanabe.

Haruto hanya sanggup memandang dari kejauhan dengan tatapan sakit juga merindu. Pemuda cantik tambatan hatinya tak nampak bersinar kembali, tubuhnya berangsur kurus, senyum keceriaan yang bisa mempesona siapapun disembunyikan dengan baik. Hanya dari jauh Haruto tak lagi merasakan kehangatan disekitarnya.

Asahi turun pun dengan Haruto setelahnya, menghampiri Junkyu yang juga sedang berjalan ingin menyapa sebentar sang pemilik hari bahagia. Di waktu para sahabat yang akhirnya dipertemukan kembali suasana mendadak sunyi, seluruh atensi tamu tersisa ada pada ketiganya dengan tatapan bertanya siapa pemuda sederhana ini sampai kedua mempelai lebih dulu menghampiri.

“Junkyu...” Satu kata keluar dari bibir Asahi bersamaan setetes air mata turun bebas melewati pipinya yang telah memerah.

Junkyu tersenyum kecil, sahabatnya menangis tersiksa karena dirinya. Junkyu membungkuk sebentar, tak sanggup menatap manik Haruto yang sedang menatapnya penuh kesakitan apalagi Asahi yang tengah dibanjiri air mata. Junkyu sudah lelah menangis, kedatangannya kesini hanya untuk mengikhlaskan.

“Kalian...” Ucap Junkyu tercekat, namun berusaha tersenyum meskipun bibir sialannya mulai bergetar.

“Ss..selamat ya.” Lanjutnya.

“Bahagia terus. Gue gapapa hiks.. sumpah gu-e gapapa HIKS.” Junkyu menyesal, dirinya sosok pria dewasa harusnya tak selemah ini. Kenyataan seberapa kuat tangannya menahan bibirnya yang terus terisak semakin membuat dadanya sesak.

“Junkyu....” Asahi menghambur memeluk Junkyu erat, mengadu bahwa dirinya benar merindukan sosoknya. Mengatakan bahwa sejujurnya Asahi teramat menyesal telah membuat mereka menjadi tersakiti begini.

“Maafin gue sumpah, Yatuhan gue harus gimana biar kita kayak dulu lagi. Maaf maafin gue.” Kata-kata Asahi ditengah tangisnya, tak peduli lagi akan riasan atau tatapan aneh seluruh orang disana. tak peduli seberapa kata maaf yang dikeluarkan bahkan jika Junkyu menyuruhnya untuk berlutut Asahi sanggup melakukannya. Melihat sahabatnya begini rapuhnya membuatnya menjadi manusia paling kejam di dunia. Karena Asahi tau hanya Haruto dunia yang Junkyu punya begitu sebaliknya dan Asahi adalah saksi mata bagaimana benih-benih cinta itu muncul hingga berbunga indah.

Junkyu menjauhkan tautan tubuhnya dengan Asahi, menatap sahabat kecilnya iba. Jemari panjangnya Ia usapkan pada tiap air mata yang terus menetes tak peduli akan rupa miliknya yang tak jauh beda.

“Asahi, gue gapapa. Udah, gue ikhlas.”

Junkyu tersenyum, berusaha meyakinkan keduanya bahwa dirinya tak apa. Junkyu melirik Haruto sejenak, ganteng seperti biasa. Sedangkan yang ditatap memalingkan maniknya ke arah lain. Ingat kan? Harus ada yang lebih kuat diantara mereka. Haruto takut, Haruto tak sanggup menatap netra cantik yang sekarang sendu. Haruto ingin sekali merengkuh tubuh ringkih itu, memberikan tempat istirahat ternyaman seperti yang dilakukan sedari dulu, membiarkan bibir lucu itu terus mengadu tentang hari-harinya dimarahi pelanggan toko bunga atau tangannya hampir disengat lebah. Dimana akhirnya mereka saling memberikan afeksi, mengucap kata-kata penenang seolah hari esok akan lebih baik lagi.

Tubuh tegap Haruto mengang saat syaraf tangannya menerima sentuhan lembut. Junkyu menggenggam tangannya sesekali memberi usapan menenangkan. Tangannya yang lain juga mengambil milik Asahi. Haruto maupun Asahi menatap Junkyu, lebih tepatnya menantikan apa yang akan dilakukan lelaki itu.

Junkyu menyatukan tangan Haruto dan Asahi. Ditatapnya nanar keduanya dimana tersemat cincin cantik yang mana dirinya tak memiliki itu. Junkyu seperti ditampar akan keadaan, sudah tidak ada lagi cela baginya.

Junkyu menatap kedua wajah sahabatnya bergantian. Disematkan senyum paling indah untuk keduanya.

Tepat detik ini Kim Junkyu memilih mundur dan mengikhlaskan sang dunia berputar pada matahari barunya. Haruto untuk Asahi, bukan Haruto untuk Junkyu.


Haruto baru menyelesaikan kegiatan mandinya, mengusap-usap rambut basahnya sejenak. Netranya reflek berubah layaknya mesin scan saat dirasa suasana menjadi sepi. Asahi, terakhir dia melihatnya sedang duduk termenung pada pinggir tempat tidur. Dimana pria mungil yang telah sah menjadi suaminya.

Tujuan terakhir Haruto tepat sasaran, disanalah Asahi, bersandar pada balkon menerawang entah apa sembari memainkan cincin kawinnya.

“Sa? Masuk ayok, disini dingin!” Haruto menyampirkan selimut tebal. Asahi ini bodoh atau apa berdiri menantang cuaca dingin dengan hanya kaus tipis.

“Menurut lo kita jahat banget nggak sih sama Junkyu?”

Haruto menghela napas kuat-kuat, Junkyu lagi. “Sa udah, Junkyu udah ikhlas, dia bakal baik-baik aja kok cuma butuh waktu. Katanya kamu bakal berhenti bersikap kayak gini pas udah ketemu Junkyu. Please, gue gak mau lo malah jatuh sakit.”

Asahi bergeming tak sama sekali mengindahkan kata-kata Haruto yang menurut Asahi hanya sebagai umpan aja biar Asahi bisa lupain semuanya. Padahal jauh dilubuk hatinya Haruto lebih menderita.

“Enggak, To ternyata gue salah. Gue kira dengan datengnya Junkyu bikin gue lega. Tapi ngeliat Junkyu dengan keadaan mencoba baik-baik aja demi kita buat gue semakin merasa bersalah.”

Haruto geram, dirinya memasaksa tubuh Asahi menghadap padanya. Mata elang nan tajam itu menusuk manik lemah milik Asahi. Meskipun begitu Asahi semakin sedih dibuatnya, Haruto itu sosok hangat dibalik gaya dinginnya dan moment ini pertama kali Asahi tak menangkap aura hangat ada pada dalam diri lelaki di depannya.

“Dengerin gue. Hidup gue, hidup lo ga cuma tentang Junkyu. Berhenti mikirin Junkyu, jalanin apa yang ada. Gue sama lo, Junkyu sama dirinya sendiri.” Ungkapnya dengan penuh penekanan.

Asahi meringis, Haruto kelewat emosi hingga meremat bahunya terlalu kuat. Asahi bisa rasain seberapa banyak emosi yang Haruto pendam. Mengesampingkan hatinya demi Asahi, demi kedua orang tua mereka, demi orang banyak di pesta tadi.

“Haruto...” Panggil Asahi lirih. Telapak tangannya yang hangat berhasil menangkup rahang tegas milik suaminya. Obsidiannya menatap lurus hingga masuk dalam iris hitam kelam.

I know how hurt you're. Lepasin jangan ditahan.”

Pertahanan Haruto runtuh, tembok kokoh yang telah dibangunnya sejak satu bulan lalu hancur seiring satu cairan bening yang akhirnya tumpah juga.

To make you better, kalau kamu masih mau lanjutin hubungan kamu sama Junkyu. Aku terima, aku juga gapapa.”

Haruto menatap Asahi tak suka, bola mata memerahnya menatap nyalang. Bukan begini jalan keluar yang dimaksud. Jujur, ada sebuah euforia menyenangkan dalam hatinya namun tetap dirundung kekecewaan. Bagaimana bisa Haruto menjaga dua hati terlebih dipersilahkan oleh pasangannya sendiri.

“Gila kamu.”

“Engga, Haruto dengerin gue dulu.”

“Diem!”

Asahi tersentak akan suara rendah milik Haruto. Tak pernah tau bahwa Haruto semengerikan ini saat marah.

“Gue tau kita desperate sampek mau gila tapi ga gitu caranya. Mending lo tidur, biar otak lo jernih. Kita ngomong lagi pas kita sama sama udah baik.”

“Haruto!”

“HARUTO!”

BLAM!!!

Asahi paham dirinya gila, tapi jika dengan cara ini mereka bisa bahagia maka Asahi akan lakukan.

to be continue....

Part 2. Watanabe Haruto


by: teuhaieyo


Malam ini sosok tinggi itu tengah bersiap dengan jas hitam formalnya. Haruto Watanabe, pria baru dewasa berumur 25 tahun itu berdiri tepat menghadap standing mirror. Mata elangnya menatap pantulan dirinya tajam, namun pendar cahayanya redup seolah dunianya sedang dilanda prahara. Kesepuluh jari-jarinya bergerak tanpa semangat hingga tepat dua puluh menit dirinya berdiri, dasi merah miliknya belum juga berbentuk.

“Haruto? Sudah?”

Atensinya beralih saat wanita paruh baya berhasil memasuki kamarnya yang memang tak terkunci. Mata elangnya hanya menatap wanita itu dengan tatapan sendu. Wanita yang ternyata menjabat sebagai Ibunda memalingkan pandangannya, takut jika rasa belas kasihannya muncul begitu saja.

“Ma? Haruto beneran gaboleh nolak ya?” Pintanya lirih, sedangkan Ibundanya hanya diam tersenyum sambil membenahi dasi anak semata wayangnya.

Haruto menghela napasnya berat, beberapa kali dirinya bertanya apakah ada cara lain untuk menghindar dari perjodohan dan selalu dijawab dengan keterdiaman. Pikirannya kalut, menjelajah pada skenario setelah malam ini saat dirinya harus memberitahu sang kekasih bahwa hubungannya diharuskan berhenti sampai disini. Rongga dadanya mendadak sesak diikuti ulu hatinya yang sakit saat bayangan wajah sendu Junkyu, kekasihnya hadir dalam pikirannya.

“Ayo! Keluarganya Asahi udah dateng, gabaik bikin mereka nunggu.” Ucap Mama sembari membenahi jas milik putranya.

Jujur, wanita paruh baya itu tak menginginkan ini terjadi. Melihat putranya tak bahagia terpisah dengan dunianya yang telah mereka bina sejak satu SMA. Menurutnya apapun pilihan Haruto asalkan pemuda itu bahagia sudah cukup bagi seorang ibu, namun bagi suaminya keuntungan bisnis adalah yang utama.


“Sa...?” Suara berat menginterupsi sosok kecil yang tengah menatap gejolak kolam didepannya. Maniknya basah meskipun tak ada suara yang keluar.

Pria yang dipanggil lantas berbalik, masuk dalam dekapan dada sang sahabat. “To, maafin gue ya...” Kata pertama yang keluar dari bibir sosok kecil dengan nada yang bergetar.

Haruto tertegun namun tangannya terus memberikan ketenangan pada punggung sempit milik Asahi. “Udah, Sa. Lo gasalah, gaada yang salah.”

“Terus Junkyu gimana? Terus kalian gimana?”

“Ssstt, udah besok kita jelasin semuanya ke Junkyu.” Kata-kata Haruto menenangkan.

Haruto, Asahi, Junkyu. Tiga insan yang dipertemukan lewat takdir. Bertemu pada masa orientasi SMA dan berlanjut menjadi sahabat setia. Haruto si pria idaman, Asahi yang hangat dan pendiam, serta Junkyu si lucu dan sederhana kombinasi cocok membuat siapapun iri dibuatnya. Hingga suatu ketika Haruto menaburkan benih-benih cintanya pada Junkyu dan dengan bantuan Asahi, Junkyu menjadi yakin untuk melabuhkan hatinya pada sosok bermata elang kelahiran Jepang itu.

Dan inilah kisah, tentang bagaimana hubungan suci persahabatan harus beradu dengan takdir keadaan yang tak terduga.


by : teuhaieyo

bahkan saat aku tertidur, bayangmu hadir di bawah alam sadarku.

a poddgawin alternative universe.


Pockey! Write On prompt : dream ⚠️trigger warning⚠️ angst, depression.


Bangkok Health Center BKK, Thailand

“Podd, kamu udah siap?”

Sosok itu bertanya saat kembali menempati kursi yang telah menemani lima tahun dalam berkarir. Sosok jangkung dengan bahu lebar dan rambut yang selalu ditata rapi klimis berbalut jas putih khas profesi dokter. Kacamata bulatnya sesekali Ia benahi letaknya, mata sipitnya masih fokus membaca riwayat kesehatan milik pasien dihadapannya.

Suphakorn Siriphotong, pria dewasa campuran thai-chinese datang jauh dari surga Nakhon Sawan dengan masalah depresinya. Si pria dan kantung mata yang telah menghitam sedang duduk menerawang ruangan serba putih berbau obat-obatan dengan tatapan linglung.

“Apa kau cukup tidur semalam?” Podd terkesiap dengan pertanyaan itu, seperti kesadarannya baru ditarik kembali dari dunia tak terdefinisikan yang terus membuatnya melamun.

Podd menatap sang dokter muda dengan sendu, lalu hanya gelengan yang diberikan. Jujur, terhitung dua hari ini matanya tak terpejam barang satu menit.

Dokter muda beranjak dari kursi kerjanya, kakinya bergerak mengajak pula tubuh jangkung menuju sebuah kursi yang lebih mewah daripada sebelumnya. Meskipun begitu tiada insan di dunia ini yang akan bahagia bisa duduk di atas sana. “Silahkan, buat tubuhmu senyaman mungkin.”

Podd duduk, punggungnya nyaman saat bertemu dengan sandaran empuk. Tubuhnya dibuat serileks mungkin, berharap bahwa tujuannya datang ke tempat ini akan membawanya pada kesembuhan. Podd menarik napas lalu dibuang perlahan, begitu diulang beberapa kali sebelum kedua kelopak lelah itu akhirnya tertutup rapat.

“Tenangkan pikiran dan hati kamu. Fokuskan pendengaran kamu pada satu tujuan, yaitu suara saya. Rasakan tubuhmu mulai lemas, perlahan-lahan kantuk datang. Dalam hitungan ke tiga kamu akan tidur pulas.”

satu

dua

tiga

Suasana berangsur sunyi, hanya detakan jarum jam sebagai pengisi suara. Sang ahli psikis muda itu terus memperhatikan setiap perubahan raut wajah pasiennya dari gelisah hingga beranjak tenang. Kerutan di dahinya memudar dibarengi dengkuran halus khas orang tidur.

“Podd bisa dengar suara saya?”

Senyap, tak ada respon pasti dari gerak-gerik pasiennya.

“Podd kamu bisa dengar suara saya?” Ulangnya sekali lagi.

Kali ini manik sang dokter dapat melihat gerakan mengangguk dari si pasien. Gerakan-gerakan reflek tak nyaman terjadi pria yang berprofesi sebagai dokter memberi jeda sejenak saat dirasa pasiennya telah hidup kembali di alam bawah sadarnya.

“Bisa deskripsikan tidak saat ini kamu sedang dimana?”

Dahi milik Podd mengkerut seraya berfikir, sedangkan raganya yang terjebak di bawah sana sedang berputar pada padang rumput luas tak berujung. Dirinya mencari petunjuk tepatnya dimana kakinya saat ini berpijak. Langit tampak biru cerah ditemani sinar mentari terlewat terik hingga dirinya harus melindungi kedua manik coklat saat hendak menatap. Saat tubuhnya dibawa berbalik sekali lagi baru dirinya punya jawaban ada dimana lokasinya sekarang.

“Nakhon Sawan, ini cabang kafe ketiga saya.” Balasnya pelan.

“Bisa ceritakan tentang kafe kamu di Nakhon Sawan?”

Kembali, tak ada jawaban apapun selain air mata yang mulai turun pelahan dari ujung mata sosok yang tengah tertidur. Entah mulutnya sudah terbuka lalu tertutup rapat kembali seperti ingin mengungkap semua namun enggan mengingat kembali. Kejadian malam itu, akar dari traumanya sekarang. Sulit, tubuhnya lelah harus terus terbangun namun saat tidur seluruh bongkahan kejadian itu terus hadir dalam mimpinya.

“Hiks...” Tubuh Podd mulai bergetar, jari-jarinya telah membentuk genggaman demi menahan seluruhnya agar tak tumpah saat ini juga.

“Semua ini berawal dari hari itu...”

Kilas Balik

“Siang itu harusnya aku tak pergi saat Gawin memintaku tetap tinggal hingga memohon. Gawin, kekasihku yang malang. Hari itu kafe ditutup sejak pagi karena awalnya kami memang ingin pergi ke pesta pernikahan sahabat kami. Namun, Gawinku jatuh sakit maagnya kumat karena terlalu larut bekerja hingga lupa jam makan.”

Podd berhenti sejenak, menarik hampir sebagian oksigen dalam ruangan karena sungguh dadanya jadi sesak. Bulir-bulir bening miliknya menolak untuk membiarkan empunya menyelesaikan cerita musabab dirinya bisa sampai disini.

“Gawin itu sangat manja saat sakit, hari itu sejak pagi hingga siang Gawin tak melepaskan pelukannya. Bahkan dia berkali-kali meminta padaku untuk jangan pergi. Sayang, bagiku dia bukan prioritas di hari itu. Gawin masih bisa sakit dan manja dilain hari tapi pernikahan hanya sekali seumur hidup.”

“Hiks, haa- Ga... win maaf- maafkan aku.” Tangisan Podd hingga tergugu. Dalam tidurnya kilas balik pada malam tragis terputar jelas, rinci layaknya film dalam bioskop. Tapi apa? Podd tak sanggup bangun untuk menyudahi semuanya, sel-sel tubuhnya hanya patuh pada satu komando suara sang dokter. Podd seperti jatuh tepat di neraka, kepingan kejadian yang tersaji tak kalah menyakitkan dari hukum cambuk seribu kali.

Sang dokter hanya sanggup terdiam, tangan kekarnya dengan lihai menorehkan tinta hitam pada tiap kolom catatan di atas pahanya.

“Setelah acara, aku berjanji langsung pulang secepat mungkin. Bodohnya diriku terbuai pada beberapa alkohol hingga larut malam. Aku begitu hancur malam itu, saat sampai kafe telah hancur berantakan. Dan Gawin...”

“Podd, kamu bisa simpan untuk yang satu itu.” Ujar sang dokter muda mulai khawatir.

Podd menggeleng, inilah hukuman yang harus diterima. Tersiksa batin dengan menceritakan sendiri bagaimana mata kepalamu menatap sosok kekasih yang terbujur kaku di atas genangan darahnya sendiri. Kekasih dan sakitnya berusaha mencegah kawanan perampok yang menyerang kafenya. Podd menyesal, harusnya dia disana menahan Gawin dan tangan entengnya untuk merelakan saja daripada bertaruh nyawa.


Dokter muda itu beranjak cepat dari kursi empuknya tatkala tanpa sadar Podd mulai memukuli dirinya sendiri. Kedua bogemnya Ia layangkan pada wajah yang telah tak berupa akibat banyaknya air mata yang Ia kerahkan.

“Podd! Bangun, udah selesai ayo bangun!” Teriakan panik si dokter tak diindahkan. Fokusnya telah hilang arah entah kemana.

“Gawin?”

Satu nama yang terucap dari bibir tebal milik Podd membuat sang dokter tertegun. Tubuh yang semula bergerak rusuh berangsur tenang.

“Gawin?” Panggilnya sekali lagi masih dengan mata terpejam.

“Kamu bertemu Gawin?” Tanya si dokter meyakinkan juga dibalas dengan anggukan mantab.

“Selalu, dia selalu hadir disini... dengan senyum manisnya.”

Di bawah sana Gawin benar tersenyum, duduk pada bangku yang memang mereka sediakan di samping bangunan kafe, tempat mereka melepas segala lelah dan gundah. Saksi bagaimana emosi keduanya terkadang diombang-ambing oleh keadaan.

Gawin menarik lengan berurat milik Podd lembut, diajaknya untuk duduk santai seperti sediakala. Gawin tersenyum, semakin manis ditambah binar cahaya yang mengelilingi tubuhnya.

“Demi Tuhan aku kangen banget sama kamu...” Ucap Podd dengan segala rasa rindunya.

Gawin tersenyum, lucu batinnya melihat sosok kuat dihadapannya jadi rapuh. “Aku gapapa. Aku baik-baik aja disini.”

“But, I'm not okay without you.”

Gawin lagi-lagi terkekeh geli, jemari panjangnya beberapa kali ikut menahan air mata milik dominannya yang turun. “Kamu bakal gapapa, Podd. Kamu sehat, badan kamu gede, kuat juga. All you have to do just set me free.”

Podd mengangguk ribut, seratus persen tidak setuju dengan apa kata-kata yang dilontarkan sang kekasih. Podd masih ingin mengenang Gawin. Menurutnya, masa lalunya bersama pemuda jangkung nan lucu ini terlalu indah untuk dilupakan.

“Aku juga ingin bebas, tapi cuma kamu yang bisa bikin aku bebas. Kamu yang bikin aku terjebak dalam alam sadarmu, bikin diri kamu sendiri tersiksa. I want you to be happy, I want to see your silly smile from there.”

“Enggak, Win... jika suatu saat aku kangen sama kamu aku harus gimana?” Tanyanya penuh keputusasaan.

“Aku selalu ada sama kamu. Bahkan saat kamu menemukan pengganti yang lebih baik, aku akan jadi orang pertama yang tau. Karena aku akan selalu disini sama kamu.”

Pada detik ini Podd yang tangguh hanya sanggup menuaikan jutaan cairan bening. Sekujur tubuhnya lemas, lelah entah terlalu banyak menangis atau memang sudah saatnya beristirahat. Semua yang dikatakan Gawin membuatnya tertampar, Podd terbelenggu dalam penyesalan tanpa tahu Gawin sudah ikhlas dengan nasibnya.

“Bangun ya, pelan-pelan lupain aku biar kamu bisa sembuh.” Ucap Gawin lembut sembari mengelus punggung bergetar kekasihnya perlahan, memberi seluruh kenyamanan yangmana Podd hampir lupa rasanya.

“Please, stay with me.” Balasnya parau. Pikirannya kacau saat tak menemukan satu cara pun untuk mengambil Gawin kembali pulang dalam rengkuhannya.

“I will.”

Detik itu pula Podd terbangun dari tidur singkat yang melelahkan, menyerahkan raganya pada dunia nyata. Podd sadar jauh di bawah alam sadarnya Gawin juga tersiksa. Terkadang, saling melepaskan adalah cara yang paling membahagiakan dalam sebuah tautan romansa. Karena seluruh insan di dunia punya cara tersendiri untuk mencari jalan menuju “tidak apa-apa” sampai bertemu bahagianya.

END


au ini dibuat spesial bagi orang-orang kuat dalam dunia per poddgawin/poddfluke-an.

I'm afraid being alone in the morning. – PP Krit.

a billkinpp alternative universe


a/n : seluruh kilas kejadian pada cerita ini murni fiksi, bukan berdasarkan kejadian sebenarnya.


Dua pemuda itu berlari, saling mengejar diatas hamparan rerumputan hijau dikelilingi bunga. Rautnya bahagia, bak terjebak di negeri dongeng dengan cerita akhir happy ending. Keduanya pun jatuh dengan saling menindih, saat salah satunya berhasil tertangkap. Tak ada erangan sakit, hanya gelak tawa seakan jatuh pada tumpukan kapas lembut. Hanya sekilas menilik, kita dibuat tahu betapa indahnya dunia yang mereka genggam.

Deru napasnya terdengar, kedua manik indah milik keduanya saling bersitatap saling membaca perasaan masing-masing melalui binar netra. Tak berselang lama garis bibirnya melengkung ke atas.

“Apa jadinya diriku tanpa kehadiranmu?”

Ujar yang dibawah sembari membelai anak rambut yang jatuh dipelipis dominannya. Jemari lentiknya bergerak, menjamah setiap sudut rupa menawan nan tegas. Manik matanya pun begitu, terpaku pada mata sendu yang kian bersinar diterpa mentari.

“Masih tetap dirimu. Namun tak sebahagia ini.” Balas si dominan penuh percaya diri. Seakan seluruh sumber kebahagiaan pemuda di bawahnya murni karena dirinya.

Bukan hanya bualan, namun benar itu realitanya. Billkin Assaratanakul adalah penyangga hidupnya, sumber kekuatannya, mataharinya dikala gelap mampir dan PP Krit tak sanggup hidup tanpa sosoknya.

Billkin bergerak turun membuat tubuhnya semakin menghimpit pemuda manis di bawahnya. Satu lengan kekar digunakan untuk menyangga berat tubuhnya, sedangkan yang bebas mencengkram tengkuk pucat milik PP. Dua pahatan paras sempurna itu saling mendekat, beradu deru napas. PP menutup maniknya, tatkalah hidung dan hidung sudah saling menempel. Pemuda manis itu hanya mengalungkan kedua lengan ringkihnya, menunggu sang dominan menjamah si benda kenyal.

Belum sempat milik keduanya bertemu, hembusan angin dasyat melintas. Langit biru berlapis kapas putih telah berganti dengan keabu-abuan. Kilat menyambar disertai hujan lebat tiba-tiba. Rentetan bunga penuh warna disekitarnya berubah menjadi hitam.

“Billkin, aku takut.”

PP bergetar, tubuh kurusnya berlindung meringkuk dibawah kungkungan Billkin. Kedua telinganya ditutup, tak ingin mendengar suara menggelegar dari guntur.

“PP, tolong lihat aku!”

Suara Billkin tinggi nan tegas. Kedua tangannya menarik paksa tubuh lemah itu untuk menghadapnya. PP menggeleng, dirinya kepalang takut hingga tak sanggup menyaksikan kegelapan disekitarnya.

“PP Krit!” Bentakan Billkin mengudara. PP sontak menatap tepat pada mata sendu kesukaannya itu. PP masih bergetar, pandangannya kabur akibat lelehan air mata ditambah derasnya air hujan menerpa kulit lembutnya.

“Aku harus pergi, menghentikan semua ini.” Ujar Billkin perlahan, mencoba meyakinkan sosok dihadapannya.

PP menggeleng ribut, tangisannya pecah menjadi-jadi. “Nggak, Kin. Kamu disini aja. Aku takut sendirian.”

“Kamu harus bisa hidup sendiri.”

“Nggak... Billkin,.”

“I have to go.” Itulah kalimat terakhir yang Billkin sematkan pada PP. Seakan egois, Billkin melepaskan rengkuhannya. Berlari menembus kegelapan tanpa menoleh sedikitpun.

“BILLKIN!...BILLKIN!....”

Tak peduli seberapa hebat PP mencoba untuk menggapainya kembali.


“BILLKIN!”

PP terbangun dari mimpinya dengan napas memburu. Jantungnya berdegup tak karuan dilanjutkan terproduksi peluh sebesar biji jagung ikut memenuhi pelipis putihnya. PP terduduk, bola matanya bergerak kesana kemari. Dia masih di kamar dengan lampu putih terang.

PP menarik napas perlahan, sesekali menutup matanya guna menenangkan. Atensinya lalu menuju pada space disampingnya. Ucapan syukur dirapalkan kala masih mendapati seonggok daging terbungkus bedcover hingga menutupi setengah wajahnya. Billkinnya masih disini.

PP turun menuju dapur. Suasananya sepi, namun seluruh ruangan terang membuat hatinya nyaman. Ya, PP punya gangguan kecemasan saat sendirian dan berada di ruangan gelap. PP benci waktu malam, seluruh ruangan termasuk kamar lampunya menyala saat langit menjadi gelap.

Sebuah lengan melingkar apik pada pinggang ramping PP, membuatnya sedikit tersedak air yang tengah diteguknya.

“Apa terjadi sesuatu?” Tanya Billkin, suami PP dalam suara serak.

PP hanya tersenyum, Billkin selalu peka jika PP butuh penenenang. “Tidak. Hanya mimpi buruk.”

PP memilih untuk tak menceritakan mimpi buruknya kali ini. Terlalu mengerikan.

“Tentang apa? Mau bercerita? Akan kusiapkan teh ha-”

Belum selesai Billkin berucap, PP berbalik. Pemuda manis itu mengecup sekilas rahang tegas milik Billkin. “I'm ok. Ayo tidur, besok kamu penerbangan pagi bukan?”

PP meletakkan gelasnya, menggandeng Billkin yang masih dipenuhi dengan rasa penasaran tuk kembali melanjutkan tidur.

06.00 a.m

Pagi menjelang, langit hari ini benar cerah. Mendung dan hujan nampaknya kalah bersaing dengan panasnya matahari. Udaranya sejuk, sangat pas untuk sekedar duduk ditemani teh hangat.

Seperti yang dilakukan pemilik nama PP Krit. Ia hanya duduk di balik jendela sembari melamun menatap taman kecil miliknya. Tangan dinginnya sibuk mencari kehangatan pada badan cangkir berisi teh hangat. Kulit putih pucatnya sedikit memerah diterpa sinar mentari.

“Sayang.”

Lamunannya buyar seiring suara halus menyapa gendang telinganya. PP tersenyum tipis, perasaannya hari ini tak sebagus cuaca diluaran. Namun, PP dengan sebaik mungkin mengatur mimik wajahnya agar tampak bahagia.

PP meletakkan cangkirnya, secepat kilat berdiri dihadapan sang suami yang telah rapih dengan seragam kebanggaannya. Jemari indah itu dengan cekatan merapihkan kemeja putih hingga lusuhnya tak nampak. Billkin gagah seperti biasa.

“Aku akan pulang dijam seperti biasa, jangan cemberut seperti ini.” Tangan jahil Billkin menarik bibir PP yang memang sedikit maju.

PP menatap lelaki itu tak semangat. Hari ini mood-nya begitu buruk. “Jujur, ada perasaan nggak enak. Aneh gitu.”

Billkin tersenyum, lelaki yang telah dinikahi selama 2 tahun ini kadang memang terlalu khawatir berlebih. “Mungkin karena masih terbawa mimpi buruk semalam. Aku sudah menawarkan untuk cerita tapi kamu menolak. Inilah akibatnya.”

“Haahh...” PP menghela napas berat, berusaha mengeluarkan gundah dalam dirinya.

“Aku mau ikut nganterin kamu ke bandara.” Lanjutnya.

Billkin cukup terkejut dengan kalimat yang baru saja terlontar dari bibir si manis. PP tidak pernah mengantarnya sampai bandara karena itu cukup jauh.

“Kamu yakin? Apa tidak lelah menyetir pulang lalu kembali menjemput di sore hari?”

PP mengangguk tegas. Hari ini dia ingin bersama Billkin lebih lama. Meskipun hanya satu detik tersisa, PP ingin menggenggam tangan hangat milik Billkin.


Suvarnabhumi Airport 09.20

Dua pria itu memasuki kawasan bandara. Bak model profesional, keduanya mencuri atensi hampir seluruh pengunjung. Yang satu gagah berani dibalut kemeja pengemudi kapal terbang, yang tengah digandeng anggun hanya dengan balutan kemeja oversized ditambah celana kain hitam.

Si gagah, Billkin sesekali memamerkan senyum ramahnya pada rekan penerbangan lain yang terlihat telah selesai bertugas.

“Pak Billkin.” Sapa sosok lelaki. Tiba-tiba saja sudah berjalan berdampingan disebelah Billkin.

“Pond. Gimana?”

Fit banget pak hari ini.” Jawab lelaki yang memang terlihat jauh lebih muda daripada Billkin.

Pond ketprapakorn, lulusan termuda sekolah penerbangan yang juga menjadi institusi Billkin. Diumur belia ini Pond sudah menemani Billkin menjadi co pilot, melalang buana membelah langit.

*Pengumuman bagi seluruh pegawai yang bertugas dengan penerbangan Thai Airlines tujuan Chiangmai agar berkumpul untuk pelaksanaan apel keberangkatan*.

Billkin berhenti saat di depannya adalah pintu boarding. Cukup sampai disini saja PP mengantar. Billkin sejenak menghadap suaminya, menggeleng pelan saat rengkuhan jemarinya tak longgar sedikitpun, seperti enggan melepas Billkin pergi. Billkin jadi setengah hati bertugas, namun Ia mana boleh egois. Ada banyak anggota keluarga yang harus diantar pulang ke rumah dengan selamat.

Billkin membawa PP pada sebuah dekapan hangat. Bersentuhan dengan dada bidang Billkin, PP menjadi sedikit nyaman. PP tersenyum kecil saat berhasil menangkap irama degup milik Billkin. PP lantas menutup matanya, menikmati setiap detik yang tersisa. Ia harus yakin, nanti sore Billkin akan kembali memeluknya seperti ini.

“Yaampun kayak masih pengantin baru.” Ujaran Pond menyahuti.

PP melepas terlebih dahulu, dirinya lupa masih ada orang ketiga diantara mereka. Malu. “Pond...”

Pond selain dekat dengan Billkin juga dekat dengan PP.

“Hayuk Pak, ga bakal berangkat kalau kaptennya belum join apel.”

Billkin menatap suaminya lekat sekali lagi. Membelai pipinya yang sedikit memerah jika dipagi hari. Dari sorot mata sosok tegas itu, Ia memberikan pengertian bahwa PP tak perlu khawatir.

Billkin bergerak mendekat. Seakan paham, PP menutup netra cantiknya. Alis berkerut saat merasakan basah pada dahi bukan bibirnya yang suaminya jamah.

“Aku berangkat ya...” Pamitnya.

PP mengangguk tak rela, “Hati-hati, nanti aku jemput.”

“Tunggu aku telpon saja baru otw biar nggak kelamaan nunggu. Soalnya dari Chiangmai suka delay.”

“Iya, udah sana berangkat keburu aku nggak ikhlas lagi.” Balas PP bercanda, pemuda manis itu sedikit mendorong suaminya pergi.

Billkin tergelak, seiring langkahnya menjauh diikuti Pond yang hampir muntah melihat adegan uwu selama lebih dari 15 menit.

“Nanti bibir kamu, aku tagihnya pas pulang!” PP mendelik tak percaya. Bagaimana bisa suaminya tak tahu malu berteriak seperti itu.

PP berhenti melambaikan tangannya saat punggung lebar itu hilang dibalik pintu. “Ya Tuhan, lindungilah dia.”

Sky, 30000 ft.

Di atas hamparan langit biru yang luas, burung besar itu melayang. Membelah setiap gumpalan putih tak pantang takut. Pengemudinya pun begitu, penuh konsentrasi dan keseriusan. Tak ada sedetik mata jelinya beralih menatap yang lain selain jalan biru di depannya.

“Mulus Pak.” Puji Pond saat pesawat berhasil naik diketinggian 30000 kaki dengan cantik.

Billkin bisa lega sekarang, armadanya telah terbang stabil dan cuaca masih mendukung.

Pond menyerahkan sebungkus permen jeli tepat di depan mulut Billkin yang tertutup rapat. Billkin melirik sedikit, lantas membuka mulut. Segar, saat rasa manis berhasil dikecap lidahnya.

“Santai, Pak. Cuaca kayaknya dengerin doa suami bapak biar cepet pulang.”

Billkin terkekeh, tetapi maniknya masih menatap lurus ke depan. “Bagus kalau begitu. Saya juga sudah kangen sama dia.”

Pond menanggapi dengan gestur ingin muntah. Senior di sampingnya ini bualannya seperti orang tua. “Jadi pengen nikah juga.”

“Sudah ada calonnya?” Billkin bertanya sembari jemarinya bermain pada alat kendali.

“Belum, tapi mau yang bucin kayak suami bapak.”

“Waktu saya dibucinin tinggal sedikit lagi.” Balasan Billkin membuat Pond sontak menengok, menatap seniornya dengan pandangan horor.

“Bapak ada masalah sama...” Tanyanya dengan nada lirih.

“Iya, abis ini dia bucinin anaknya bukan saya lagi.”

Pond mendelik, kabar bahagia lagi-lagi dihaturkan. Sepertinya dunia sedang ada di titik terbahagiannya.

Tower pada kapten TA 065, ganti.”

Pond mengambil alat komunikasi dengan secepat kilat, mendekatkan bibirnya sambil memencet tombol disebelah kanan. Co-pilot masuk, silahkan bicara.”

Belum selesai menyampaikan, burung besi terbang itu seketika dikelilingi warna abu-abu. Bak masuk di negeri antah berantah yang tadinya berwarna seketika menjadi suram.

“Ba..,ha-ti., naik 10-...”

Panik melanda, namun Pond dan Billkin masih berusaha tenang. Lengan kekar Billkin menggenggam erat kendali hingga uratnya mencuat.

“Halo.. halo... Co-Pilot pada tower, ganti.”

Tak ada jawaban, hanya suara gemerisik disebrang sana.

“Tenang, sepertinya sinyal agak terganggu karena mendung.” Ujar Billkin menenangkan, meskipun dirinya sendiri bingung memilah-milah pengalaman memegang kendali guna menemukan tindakan yang tepat. Menghindari badai tanpa bantuan tower lalu lintas sangat sulit dan riskan.

Zzzzsaaassszzz

Hujan datang menerjang tubuh kokoh berlapis besi, seluruh debu yang menempel mendadak luntur. Suara gemuruh mulai terdengar ribut, kilatan-kilatan cahaya nampak seperti berada di tengah-tengah jutaan flash kamera, memotret betapa ketakutannya raut wajah yang tersampir.

Co-pilot pada tower, ganti.”

“Kita naik menghindari badai. Beri pengumuman pada penumpang akan terjadi turbulensi.” Putus Billkin.

“Riskan, Pak. Nggak ada panduan dari tower untuk naik.”

“Tidak ada pilihan lain, kita di tengah-tengah samudra, pendaratan darurat sama dengan bunuh diri.”

Pond mengambil napas perlahan seraya berdoa semoga pilihan mereka kali ini benar. Pond mengambil mikrofon pengumuman, mengaktifkannya lalu memberi pengumuman dengan suara tenang.

Billkin lebih fokus, begitupula dengan Pond yang siap mengikuti apapun keputusan seniornya. Billkin mulai menarik kemudinya erat, menghiraukan guncangan yang terjadi. Telapak tangannya berkeringat, namun tak bisa dilepaskan meskipun urat nadinya putus begitu saja.

Jdarrr

Pesawat terbang miring ke kiri, teriakan panik dan memilukan terdengar hingga kursi kendali pilot. Tangisan bayi diikuti rapalan doa-doa dilantunkan dalam berbagai keyakinan. Suara nafas tercekik dari orang-orang tua ikut meriuhkan suasana.

“Pak sayap kanan patah sebagian. Kita jatuh Pak!” Pond menangis, entah mengapa jalan pikirannya keruh. Lembaran ilmu yang Ia berhasil serap dalam waktu singkat hilang begitu saja.

Billkin masih kukuh memegang kendali, tubuhnya basah kuyup diterjang keringat dingin. Nafasnya sesak akibat saturasi oksigen mulai menurun. Pesawat hilang kendali, namun tak satu jarinya pun sempat mengambil kantung oksigen.

“PAK! GUNUNG!”

Terlambat, apapun tindakan yang akan dilakukannya tiada guna. Percobaan pendaratan pada hamparan air samudra untuk menaikkan angka kelulusan hidup tak pernah terjadi. Badan besi kokoh itu rusak remuk terbelah menabrak kokohnya gunung di ujung samudra.

Keadaan sunyi senyap, tak ada teriakan kepanikan disana selain suara debuman berkali-kali dari mesin yang meledak. Kobaran merah dari api bercampur darah menjadi pemandangan paling tragis.

“Sh.. sakit...”

“Billkin?”

Sebuah suara masuk dalam dunia gelapnya. Seonggok daging yang tak lengkap lagi bagiannya masih dibiarkan hidup pada ambang kematian.

“Billkin”

“P..p., a-akh-u pu-l-a..ng.”

Ke rumah yang lebih indah dimana aku akan menunggumu disana.


Epilogue

Matahari perlahan naik ke permukaan. Kilaunya memancar tanpa malu-malu menghapus kegelapan yang sebelumnya ada. Hembusan angin disertai suara deburan ombak begitu mencerminkan bagaimana indahnya suasana pantai.

Dua sosok lelaki itu saling bercengkrama, di asta tebing sepi menghadap pada hamparan air biru seperti tiada ujung. Suara candaan sesekali terdengar meskipun kecil akibat diredam angin kencang.

“Kok pesawatnya warna hijau sih.” Ujar sosok yang lebih dewasa diantara mereka.

“Ini pesawatnya pasukan perang, Pah.” Sosok kecil itu membalas, namun konsentrasinya penuh pada buku gambar dipangkuannya.

PP, sosok dewasa itu membelai surai lebat, mencium puncak kepala kecilnya. Menghirup aroma sampo khas anak-anak.

“Pah..” Panggil si kecil, saat ini tangan si kecil bergerak mencoretkan warna kuning pada gambar matahari.

“Kenapa namaku Arthit? Arthit kan matahari ya, Pah?”

PP menerawang ke depan, kulit putihnya diterpa sinar mentari. “Karena Papa suka matahari. Papa nggak suka gelap dan kamu yang jadi mataharinya Papa.”

Kepala kecil itu mengangguk lucu. Tangan yang sedari tadi sibuk jadi berhenti. Binar mata indah mirip milik seseorang di masa lalunya menatap milik PP lamat. “Kalau Papa jadi bumi, terus Arthit jadi matahari, berarti Ayah yang jadi bulan ya Pah?”

PP Tertegun, hanya menatap dalam pada manik si kecil sudah cukup untuk memutar kenangan-kenangan indah beberapa tahun lalu. Suaminya seperti terlahir kembali menjadi sosok Arthit.

“Bukan. Ayah juga mataharinya Papa, tapi dulu sebelum kamu lahir.” PP tersenyum melihat raut yang sepertinya tak mengerti satupun yang dijelaskan PP.

“Berarti Arthit sekarang gantiin Ayah ya, Pah?”

PP mau tak mau tergelak. Anak semata wayangnya ini tingkat keingintahuannya tinggi. Dia akan menanyakan pertanyaan sampai akarnya, terkadang membuat PP pusing sendiri.

“Iya, Arthit gantian Ayah jagain Papah ya?”

Arthit tersenyum, mengangguk dengan semangat lalu memeluk Papanya erat. “Aku janji sama Ayah akan jaga Papa.”

Phrathity Assaratanakul, matahari terbit ditengah gelapnya dunia PP Krit.

Kepada Billkin matahariku yang telah pergi, terima kasih karena telah menitipkan sosok pengganti untuk terus menerangi duniaku. Si kecil yang selalu ingin tahu kehidupanmu di masa lalu. Malaikat kecil obat penenang PP Krit yang rapuh. ㅡ PP Krit

END


Selalu berterima kasih kepada mbak 𝙘𝙞𝙣 @scintillaaa00, karena dia yang selalu ngingetin aku tentang Billkinpp.

SAN

“siapa gerangan si rupawan itu, sekali memandang jatuh hatiku dibuatnya.”

a billkinpp alternative universe

Image


a/n : cerita ini dibuat untuk kebutuhan hiburan semata. segala kesamaan nama cast, nama tempat, kesalahan penulisan, atau ada hal yang offensive, dll kritik saran di dm akan selalu terbuka :)


Kya kya, Surabaya Billkin point of view

Langkah demi langkah kaki panjang ini beradu dengan aspal kasar. Teriknya sang mentari menjadi pengiring setia sejak raga ini memasuki pilar besar berukir naga. Kya kya, sebuah lokasi pecinan tua ditengah Kota Surabaya. Maksud saya bertandang kemari tak lain demi memenuhi catatan nilai tugas. Biasalah, apa lagi yang dikerjakan oleh mahasiswa semester 4 jurusan seni selain menjadi budak project.

Kemeja santai berwarna dasar merah dengan celana kain selutut menjadi pelapis kulit kecoklatan khas pemuda jawa. Menambah kesan modis pada diri ini dengan menggantung gagah kamera analog kesayangan pada leher jenjang yang bebas terlihat.

Sesekali kamera kuangkat, membidik objek apapun yang tertangkap iris legam. Terkadang senyum dibibir muncul saat hasil yang didapat memuaskan.

Tepat pukul 12 siang aku memutuskan tuk menyerah melawan terik matahari. Mendekat pada gerobak kecil penjual es gudir. Gerobaknya tua sama dengan pemiliknya, namun si mbah tetap memberi senyum terbaiknya hingga mau tak mau bibir ini membalas miliknya yang telah keriput.

Matur nuwun.” Ujarku bersamaan dengan menyerahkan selembar lima ribu.

Kakiku sedikit berlari kembali pada pelataran toko mencari pelindung teduh. Berjalan sedikit terlambat sesekali memperhatikan jualan toko. Bau khas pecinan berlomba-lomba ingin menunjukkan eksistensinya pada indra penciuman. Langkahku akhirnya berakhir pada pemberhentiannya saat mendapat sebuah kursi kayu lawas kosong diantara dua toko. Seakan tak sabar, bokongku telah mendarat sempurna dibarengi bunyi berdecit.

Tatapanku terpaku pada lalu lalang sibuk di jalanan sebrang. Hawa dingin menyapa saat es gudir berhasil melewati tenggorokan. Tangan bebas sesekali terangkat tatkala keringat bercucuran memenuhi dahi sembari hidung lapar ini tergoda akan bau harum restoran sederhana disebelah.

Ér zi, guò lái!

Hampir copot jantung satu-satunya, tubuh juga terperanjat kaget. Suara wanita paruh baya yang entah berkata apa menggelegar luar biasa. Tak henti sampai disitu, alisnya menukik dan bibir tebalnya terus bergerak, dagunya terangkat tinggi hingga arah netranya tertuju pada balkon yang lebih tinggi di atas.

Berselang sekian detik tatapan penuh kilat kekesalan menatap lurus ke dalam restoran. Kedua tangan sosok wanita oriental itu malang kerik dipinggang.

“Nah, tidur terus pekerjaanmu. Punya anak lanang kok ga isa disuruh-suruh.” Tanpa sadar aku terkikik. Ucapannya percis milik ibu di rumah.

Sosok pria muda itu muncul dengan gaya acak-acakan khas bangun tidur. Rambutnya morat-marit dengan bekas peta Pulau Jawa tersampir putih di pipi sedikit bersemunya. Pria manis, bentuk matanya lebar tak seperti chinese kebanyakan ditambah alis lentiknya nampak dari jauh. Bibir merah muda yang mengerucut menambah pesona lucunya.

Atensiku semakin direnggutnya tatkala si pria muda berjalan dengan menghentakkan kakinya, menyalurkan kekesalannya pada bumi yang tak bersalah. Tatapanku lamat, memperhatikan bagaimana jemari lentiknya menyiapkan dupa. Mimiknya merengut sebab korek api ditanggankan tak segera menyala.

Bagaimana bisa menghadap Tuhanmu dengan wajah kesal itu.” Pikirku lucu saat sosok disana mulai merapalkan doa-doa namun disisipi cebikan.

Aku baru tahu bahwa memandang dengan netra asli jauh lebih menyenangkan daripada melalui lensa kamera.


Kedai Chénggōng PP point of view

PP Krit, manusia yang tampan dan juga terkenal. Begitulah kedua orang tuaku memberi nama. Sosok pemuda oriental yang hadir ditengah-tengah keluargaku 21 tahun yang lalu. Hidup di pecinan tepatnya di atas kedai makanan Tionghoa usaha kedua orang tua. Baba telah tiada dan hanya kedai tua ini harta berharga yang beliau tinggalkan padaku dan Mama.

Ér zi! untuk meja 5.” Teriak Mama dari balik dapur kecilnya.

Ya, beginilah keseharianku, membantu jalannya kedai dari buka hingga tutup di malam hari. Tak ada pelayan, maka Mama memperkerjakan aku.

Hari yang cukup melelahkan. Tentu, ini akhir pekan dan kedai tua kami memiliki banyak pengunjung. Aku duduk bersantai dibalik meja kasir. Mengamati satu-satu pengunjung yang dengan santai memakan menu pilihan masing-masing. Tak ada yang berbeda, hampir semua pengunjung aku pernah melihatnya. Iya, kebanyakan yang makan disini pekerja atau pemilik toko di pecinan.

Tanpa sadar senyuman mengembang, merasa puas melihat pelanggan yang nampak menikmati resep masakan Mama. Suasana hangat pun menyelimuti seiring samar-samar terdengar berbagai obrolan orang tua mengenai cerita hidupnya.

Aku tertegun, saat tak sengaja menangkap objek sosok pemuda di kursi paling belakang. Seketika, otakku seperti membuka seluruh memori tentang orang-orang yang selama ini kukenal. Nihil, seberapapun mencoba mengingat paras pemuda itu, aku tak dapat menemukannya.

“Mungkin pelanggan baru.” Ujarku lirih.

Aku menumpukan dagu diatas kedua telapak tangan. Seluruh atensi ini telah direnggut dengan tingkah konyolnya. Aku terkikik melihat betapa frustasinya air wajah itu saat mencoba menggapai satu helai kwetiau dengan sumpit. Pegangannya kaku, aku yakin pemuda itu tak pernah memakai sumpit sebelumnya. Kenapa tak minta? Padahal ada banyak garpu di dapur.

Cukup, kwetiau akan jadi tidak enak jika terlalu lama dibiarkan dalam kuah kaldu.

“Mama, tolong ambilkan garpu dan sendok.”

Setelah itu, aku membawa tubuhku mendekati sosoknya. Sudah cukup menyerah sepertinya, si dia hanya bermain dengan ponsel pintar sambil menyeruput gelas berisi teh tawar dingin.

Aku meletakkan garpu dan sendok tepat disebelah mangkuk kwetiau yang isinya sudah berantakan. Kedatanganku nampaknya menyita minatnya dan detik itu juga kedua iris kami bertemu. Aku menyunggingkan senyum terbaik sedangkan pemuda ini malah menatapku tertegun.

“Kedai kami punya banyak garpu jika kau merasa kesulitan.”

Pemuda itu meletakkan ponselnya keras. Ia menegakkan duduknya, lalu merapikan sedikit kemeja yang dikenakan.

“Te-terima kasih.” Jawabnya gugup.

Aku kembali ke tempat asal, namun hasrat untuk memandangnya masih besar bersarang di dada. Pemuda itu nampak bahagia, seperti garpu dan sendok adalah sobat lamanya. Pandangan kami lagi-lagi bertemu, kali ini dari jarak yang cukup jauh. Boleh jujur, si pemuda itu diberkati dengan wajah rupawan dengan mata legam sendunya.

Hào chī ma?” Tanyaku tanpa suara yang ditanggapi dengan kerutan di dahi.

Enak? Ulangku sekali lagi.

“MANTAP JIWA”

Dua jempolnya terangkat keatas membiarkan atensi seluruh pengunjung menuju arahnya. Aku tertawa, bagaimana ada sosok semenggelikan ini.

Kalau boleh, Aku ingin mengenalnya lebih jauh.


1 bulan kemudian Billkin point of view

Nĭ hăo, wò shì Billkin.”

Hanya itu kata yang mampu teringat dalam semalam. Entah otakku sudah dititik overload karena seminggu lalu menghadapi Ujian Tengah Semester.

Aku tengah berdiri, 20 meter dari tempat yang akhir-akhir ini sering kusinggahi. Sudah satu bulan, tak sekalipun aku absen datang kemari. Entah bodoh atau terlampau goblok yang kulakukan hanya datang, pesan kwetiau, duduk di bangku paling ujung dan memandangi si manis anak pemilik kedai, selalu lupa menanyakan sekedar nama. Jika ditanya apa menu favorit disini dengan tegas aku menjawab 'kwetiau basah topping senyuman mas kasir.'

“Eh, kalo nanya siapa namamu gimana ya...” Monologku sambil mengingat kata dalam buku bahasa mandarin yang dibeli seminggu yang lalu.

”.... Ah masa sopo jenengmu?”

Bodo amat, yang terpenting sekarang masuk ke sana dulu. Aku merapihkan sedikit kemeja merah dengan parfum khas toko alias baru beli kemarin.

“Ini sudah yang ke lima kalinya kamu kemari.” Sebuah suara segera menginterupsi bersamaan dengan langkah pertama kakiku memasuki kedai.

Aku tersenyum kikuk, menghampiri meja kasir yang disana sudah dijaga makhluk manis.

“A-ah...”

Lihat dia tersenyum, Aku suka bagaimana benda kenyal berwarna merah muda itu terangkat ke atas.“Pesan apa hari ini?”

“Tolong, seperti biasa.” Pintaku.

“Dengan garpu dan sendok.” Ujarnya menyakinkan.

Aku mengangguk sembari terkekeh geli, “Tepat sekali.”

Pemuda manis itu mengarahkan lengannya seraya mempersilahkanku duduk. Seperti biasa, bangku paling belakang akan selalu kosong saat Aku tiba.

Pelajaran paling berharga pada hari ini adalah Aku lagi-lagi lupa menanyakan nama si manis. Iras menawan itu seolah memanipulasi isi pikiran. Memandangi parasnya tanpa mengenal bosan seperti tak ada hal yang lebih indah dibanding dirinya. Lalu, raga ini bergerak pergi dengan membawa berbagai macam bunga dengan banyak warna.

Tolong, ingatkan si bodoh ini untuk menanyakan namanya lain kali.


Chinese New Year Festival PP point of view

Gema keramaian terdengar nyaring dari jalanan sekitar. Suara petasan diiringi musik menandakan bahwa pertunjukkan utama sedang berlangsung. Lampu-lampu dominasi warna merah tertata apik dari ujung gapura naga hingga ujung gapura yang lain. Kepulan asap berbagai bau tercium sedap hingga ke hidung. Hari ini tepat malam perayaan Tahun Baru China dan Aku hanya menopang dagu memperhatikan hingar bingar dari balkon kamar.

Aku tidak punya alasan khusus untuk tak ikut menceburkan diri di tengah keramaian. Hanya saja, melakukan semua sendiri itu tidak menyenangkan.

“TOLONG KWETIAU BASAH SATU!” Teriak sosok pemuda dari bawah. Sangat memekikkan telinga, namun langsung tau siapa pelakunya.

Pemuda gila, apa yang dilakukannya pada malam hari disini? Apa dia sudah menentukan untuk pindah di salah satu ruko?

“Kedai tidak buka sejak siang. Apa yang kamu lakukan disini?!” Tanyaku dengan suara yang tak kalah tinggi.

Pemuda itu hanya menunjukkan senyum konyolnya. Memberikan gestur menyuruhku menemuinya dengan lambaian tangan. Aku masih menatapnya ragu, hanya saja detik kemudian rasa penasaran itu semakin besar.

Zǒu!” Katanya tepat ketika Aku telah berdiri dihadapannya.

Aku menatapnya curiga.“Kemana?”

Pemuda itu menatapku gemas. Seperti tak ingin mengulangi ajakannya sekali lagi, dia langsung mengambil pergelangan tanganku. Ditarik lembut menuju lautan manusia.

Aku masih setia disampingnya. Berjalan dengan tempo sedang menuju pelan. Tanpa sadar jemariku sejak tadi berpegangan pada ujung bajunya. Takut terpisah, walau suasana masih kondusif meskipun ramai padat. Manik milikku tak henti mengedar pada keindahan malam hari ini, terlalu kagum hingga kedua telinga mendadak tuli.

“Hei, aku mengajakmu kesini bukan hanya untuk melihat-lihat. Ayo rekomendasikan jajanan selain kwetiau.”

Aku terkesiap, namun dengan cepat meneliti satu persatu stan penjual makan.

“Apa ada makanan yang tidak kamu suka atau kamu tidak boleh makan? Eum.. Seperti babi?” Entah mengapa pertanyaan itu muncul. Tak ada salahnya kan? Kami berada di suku bangsa yang berbeda, mungkin juga berbeda dikepercayaan...

Dia menatapku, tepat di mata dengan manik sendunya. “Aku suka...”

Suka kamu.” Inner Billkin

“Suka... Babi.”

“Serius?!” Aku cukup terkejut dengan jawabannya. Puluhan ribu kunang-kungan seperti keluar mengelilingi tubuhku dengan cahayanya. Ada rasa lega dan bahagia membuncah dalam raga.

Aku punya banyak kesempatan kan?

Author point of view

Billkin mengantar PP kembali pulang. Hampir tengah malam namun populasi manusia semakin meningkat. Sayang jikalau bukan perutnya yang hampir meledak kekenyangan mereka masih berada di tengah khalayak.

PP melepaskan genggaman nyamannya pada ujung kemeja Billkin. Kusut dibuatnya sebab tak dilepas sedetikpun saat berada disana. Suasana mendadak canggung. PP mengulum bibirnya, bingung. Billkin masih berdiam tanpa berniat untuk mengucap selamat tinggal.

“Aku-”

“Eh..”

Ucap mereka bersamaan.

“Kamu dulu.” Billkin menengahi.

PP berfikir sejenak, “Eum.. Aku masuk ya?” Katanya canggung.

Billkin hanya tersenyum sambil mengusap tengkuknya. Ada suatu hal yang masih tertahan, tak tahu bagaimana mengungkapkannya. Saat langkah PP sudah mulai menjauh, Billkin kelabakan. Bagaimana jika Ia akan menyesal dikemudian hari?

“Hey!” Panggilnya. Lalu si pemuda manis berhenti.

Wò., Wò shì Billkin. Nǐ jiào.. shén-me míngzì?” Ucap Billkin dengan nada terbata.

PP tertawa, betapa lucunya lelaki dihadapannya.

“PP. Wò shì PP.”


Epilogue

Kedua lelaki itu menutup masing-masing bukunya saat telah sampai pada lembar terakhir. Kedua buku yang tanpa sengaja digunakan untuk mencurahkan hati yang masih terpisah berpuluh-puluh tahun lalu. Tak ada yang spesial, hanya berisi pujian-pujian berlebihan, saling mengangumi satu sama lain.

Mereka lantas menyimpan buku lusuh yang sebagian lembarnya telah menguning di atas nakas. Hari sudah larut, dan keduanya masih terjaga ditengah kamar temaram. Padahal 30 menit yang lalu masih berisik ocehan sosok lelaki kecil.

PP dan Billkin saling menatap. Detik kemudian kekehan pelan keluar begitu saja melihat gumpalan daging tertidur pulas dengan posisi meringkuk diantara mereka. Billkin mengusap kepala kecilnya sayang, lalu menaikkan selimut lebih keatas diikuti PP dan Billkin setelahnya.

“Dia tidur sangat pulas, padahal tadi terserang mimpi buruk.” PP memainkan bibir kecil yang sedikit terbuka gemas.

“Dia hanya mencari alasan untuk tidur bersamamu.” Billkin menanggapi. Malaikat kecil penyempurna kehidupan mereka memang lebih menempel pada PP.

PP mengangguk setuju. “Tutup matamu, besok bukannya launching pameran pertamamu?”

“Huum...”

Dua puluh tahun hidup sebagai seniman fotografi, besok adalah achievement terbesarnya.

“Maaf aku tak bisa menyematkan sebuah kecupan lagi. Selamat malam, aku mencintaimu.”

“Aku juga...”

Sangat mencintaimu.

END


special thanks to mbak cin alias @scintillaaa00 atas asupannya tiap hari perkara BillkinPP.

SAN