⚠️trigger warning ⚠️ : married life, angst, act of mental illness, suicide attempt.
Membahas mengenai kisah romansa pasti tumbuh keingintahuan. Bagaimana jalan ceritanya? Terpenting bagaimana akhirnya? Bahagia, sedih seluruh rasa turut ikut meramaikan. Jika membahas mengenai kisah romansa, alurnya jatuh pada seni memilih. Sosok yang tepat, tempat yang cocok, dan seluruhnya dirangkum sempurna oleh waktu jatuh yang tepat.
Sebagai seorang insan tak luput dari pilihan hidup. Menimbang secara abstrak mana yang tepat tanpa bisa memprediksi masa depan. Anggaplah pilihanmu sesuai silahkan nikmati kebahagiaan, jika tidak tercebur dalam kesengsaraan jadi takdirnya. Bagaimana jika jalan yang dipilih melalui paksaan?
Jawabannya hanya ada dua, ikuti liku alurnya atau berbalik arah, menerima setiap lara hingga kau menemukan jalan sebenarnya.
Sama seperti sosok Watanabe Haruto yang saat ini sedang berdiri diambang pilihan sulit. Raganya memilih sosok pendamping hidup namun hati dan pikirannya dibawa melayang jauh menuju sang masa lalu.
Tubuh jangkungnya dibuat lega, setelah kekacauan di malam turun hujan kemarin. Dokter menyatakan Hamada Asahi dalam kondisi baik, panas tinggi yang diderita pria kecil itu hanya efek dari pemberontakan sel tubuh akibat kelelahan. Sedikit tenang akan hal itu otaknya seketika bekerja, mengingatkan si pemilik akan panggilan dari pria bunga matahari. Beres mengurus administrasi semalaman disinilah Haruto berdiri.
Kaki panjangnya bergerak ke kanan dan kiri. Tangan kanannya tepat di depan daun telinga memegang ponsel dan tangan yang lain bergerak sembarang tanda dirinya gugup. Air wajahnya tergambar raut khawatir lengkap dengan kerutan di dahi. Pasalnya sepuluh menit lalu panggilan pada pria bunga matahari menghantarkan dirinya pada pihak rumah sakit. Pada waktu yang sama Junkyu juga jatuh, ditemukan tak berdaya dipinggir jalan terpapar hujan deras. Saat ini, Haruto sedang mencoba meraih bibi Junkyu, meminta validasi lebih berharap apa yang didengar sebelumnya adalah informasi palsu.
“Ah Haruto! Maaf bibi lama menjawab panggilanmu.”
Disebrang sana suara Bibi Kim terdengar lelah, nafasnya putus-putus seperti habis diajak berlari.
“Apa bibi bersama Junkyu?”
“Tentu saja, bibi baru saja menyelesaikan prosedur pemindahan rumah sakit.”
Kerutan di dahi semakin menjadi. Pindah rumah sakit? Memangnya separah apa kondisi Junkyu?
“Pindah rumah sakit? Kenapa?”
“Ahh ituㅡ”
Haruto benci jawaban menggantung, membuat debaran jantungnya meningkat, pikiran negatif mulai bersarang. Menerka-nerka keadaan, Haruto tidak suka.
“Bibi Kim?”
“ㅡitu sebenarnya... Begini, jika kau bertanya apa Junkyu sudah sadar, jawabannya adalah sudah. Tapi Junkyu sadar dalam kondisi yang buruk. Haruto, Junkyu harus dibawa ke rumah sakit jiwa untuk pengobatan. Luka sebenarnya bukan pada fisik namun mentalnya.”
Sunyi, dunia mendadak sepi. Hiruk pikuk rumah sakit di pagi hari tak terdengar lagi. Nafasnya tercekat, telinganya tuli sementara. Mendadak kakinya lemas hingga jemarinya meraba mencari tumpuan, apapun yang penting bisa menahan tubuhnya agar tidak ambruk saat itu juga.
Kim Junkyu, apa yang terjadi padamu semalam?
Satu lenguhan terucap dari bibir si pria kecil yang sejak semalam terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit. Tangan putih sehat itu tak lagi mulus, penuh lubang bekas jarum infus. Mata cantiknya mengerjap, seberkas cahaya mentari perlahan mengisi pupil si pria hingga demi sedikit mengecil.
Jutaan syaraf lengan kananya menangkap sebuah sentuhan. Mengirimkan sinyal pada pandunya sehingga si pemilik memberi respon berjengit terkejut. Pada detik kedua pasang obsidian itu bertemu hanya senyum hangat yang dapat dihantarkan keduanya.
“Haruto.” Hanya panggilan memastikan. Si pemilik nama menjawab dengan anggukan semangat.
Hamada Asahi, bahkan dikondisinya terbaring payah parasnya tetap indah. Bagaimana pipi tirusnya menyemburkan warna merah muda saat tersenyum. Bibir yang selalu mengucap kebaikan setiap tutur katanya, bibir yang selama ini masih belum terjamah oleh Haruto.
Asahi memang indah, Haruto tau fakta satu itu. Tetapi hati seorang insan akan selalu pulang menuju rumah yang tepat, masa bodoh serapuh apapun rumahnya. Pada kasus ini milik Watanabe Haruto telah jatuh sempurna dalam belenggu Kim Junkyu, hidup nyaman di dalamnya seakan amnesia akan jalan keluar.
“Ada yang sakit?”
“I'm good and I'm sorry” Balas Asahi, kedua matanya terpejam sejenak menikmati belaian jemari panjang Haruto pada rambutnya.
Dikecup lembut dahi Asahi lembut. Jujur, jauh dalam lubuk hatinya Asahi berharap akan tetap seperti ini. Jika sakit membawa kebahagiaan dalam bina rumah tangganya, maka Asahi minta dibawakan lebih. Egois memang, nafsu dalam diri meronta hebat mulai timbul rasa ingin memiliki Haruto seutuhnya.
Namun, saat Asahi membuka mata disitulah Ia menatap realita. Sepasang obsidian elang Haruto tak pernah memancarkan binar saat menatap kepunyaannya.
“Lo gaperlu minta maaf, gue suami lo kalo lupa udah jadi tanggung jawab gue. Gue panggil dokter ya biar keadaan lo dicek.”
Asahi tertegun diperlakukan baik seperti ini getaran bahagianya hanya sebentar. Haruto, lelaki yang selalu bisa membawanya jauh ke langit tujuh pun membawanya jatuh menghempas tanah.
Gue suami lo
Udah jadi tanggung jawab gue
Seakan ditampar kuat, disadarkan kembali bahwa pernikahan ini pondasinya memang bukan cinta. Alasan Haruto sebaik ini hanya sebagai formalitas tanggung jawab bukannya menyalurkan benih cinta.
Sebelum telunjuk Haruto memencet tombol panggilan dokter Asahi segera mencegah, menimbulkan kerutan tidak mengerti dari suaminya. Diperhatikan Asahi hanya diam beberapa menit, pandangannya jauh menatap langit-langit. Saat helaan napas berhasil dikeluarkan disitu Asahi mulai menatapnya kembali bersamaan senyuman aneh tak terdefinisi.
“Nggak mau dokter, maunya ngobrol berdua sama kamu.”
Suasana berubah menjadi canggung. Haruto kembali duduk, mengulang kembali perlakuannya seperti membelai puncak kepala Asahi.
“Yaudah ayok ngobrol.” Final Haruto akhirnya. Mungkin sakit yang di derita Asahi tiba akibat beban yang dipikul sendiri dan sekarang Asahi mau membaginya.
“Gue kemaren kemarin pulang kemaleman soalnya ada rapat penting.” Jelasnya memulai pembicaraan.
Haruto memilih menyimak, ber-oh ria saat sang suami membeberkan fakta yang belum Ia ketahui.
“Kalo gue bisa lolosin yang satu ini perusahaan kecil gue jadi punya partner perusahaan gede.”
Bahkan sampai detik ini pun Haruto nggak ngerti, alasan ingin mandiri punya penghasilan sendiri harusnya nggak perlu segigih ini kan? Bekerja layaknya punya tubuh sekuat kuda, pada akhirnya jadi terlalu memaksakan.
“Pelan-pelan aja, gigih boleh tapi jangan sampek maksain. Ini kan hasilnya.” Tutur Haruto khawatir. Asahi membalas dengan kekehan geli.
Nggak bisa Haruto, aku ingin segera keluar dari hubungan sia-sia ini.
Aku takut jatuh terlalu dalam akan perasaan cinta yang mulai tumbuh.
“Gue gabisa pelan-pelan lagi. Ada orang yang nunggu lo. Kalo gue kelamaan perasaan yang udah sakit jadi makin kronis danㅡ”
“ㅡAsahi?!”
Belum selesai menjabarkan, sekali lagi Haruto tau akan dibawa kemana percakapan nonsense kali ini. Lagi, lagi, dan lagi apa yang dilakukan Asahi selama ini hanya mencoba mengembalikan Haruto pada Junkyu.
Haruto kecewa, disini dia mulai menjatuhkan pilihan pada putus asa. Memilih mengikuti alur kehidupan romansanya. Meskipun Haruto tidak bahagia setidaknya yang menjadi pasangan hidupnya adalah Asahi. Sahabatnya sendiri.
“Haruto please listen to me, gueㅡ”
“Gue apa? Apa lagi, Sa? Sumpah lo nggak capek? Gue capek! Bahkan didetik ini gue milih buat pasrah, I will try harder to love you. Gue bakal berusaha bikin rumah tangga kita lebih sehat kedepannya.”
Haruto, aku mau tapi aku gak bisa. Meskipun rasa cinta ini berkembang makin besar tapi aku gabakal bahagia hidup digentayangi janji buat jaga kalian, kawal hubungan kamu sama Junkyu.
“Gue juga capek, Haruto. Aku nggak ngerasa bahagia, kita sampai sini bukan karena cinta. Pernikahan kita cacat! Pernikahan kita ada bukan sebagai sumber kebahagiaan tapi jalan buat membunuh kita bertiga secara perlahan.”
Suara Haruto tercekat, sebanyak apapun emosi yang ingin dikeluarkan mendengar seluruh keluh kesah sosok suaminya ini memukul telak egonya. Haruto seakan sadar bagaimana hampir dua tahun pernikahan dirinya abai akan hadirnya Asahi. Haruto penjahat sesungguhnya disiniㅡTidak! karena memang musuh sesungguhnya adalah takdir.
Pun Haruto paham betul, jika dirinya ditanya apakah ada rasa cinta untuk sosok pasangan hidupnya jawabannya adalah tidak sama sekali. Kejam bukan? Tapi hanya Tuhan yang mampu membolak-balikan perasaan umatnya. Sayang, untuk saat ini Tuhan belum mau mengubahnya.
“Asahi...” Hanya itu yang bisa Haruto ungkapkan. Memanggil Asahi seperti meminta tolong untuk berheti bersikap seperti ini.
Dari sorot mata indah yang berkaca-kaca, Haruto jelas tidak punya pilihan. He wants to try again but he already late.
Dengan tenang Asahi kembali tersenyum, berusaha memamerkan senyum yang paling indah khusus untuk suaminya,
“This is the best scenario that I can do for us. We should divorce, you get Junkyu and I will find my own happiness.”
Perceraian, kiranya Asahi hanya bergurau tentang itu. Terlihat masih bersama dan baik-baik saja, nyatanya disinilah capaian hubungan mereka. Berdiri tepat diujung tebing perpisahan.
Seminggu setelah perawatan, kondisi Asahi kembali normal. Saat ini mereka tengah berjalan menyusuri lorong rumah sakit kesehatan jiwa tempat Junkyu dirawat. Tidak terlalu susah mencari ruangan sebab Bibi Kim telah menunggu tepat di depan ruangan.
“Bibi Kim.” Keduanya membungkuk. Dibalas senyum hangat, tiada rasa canggung sebab Bibi Kim sangat mengenal baik Haruto dan Asahi.
“Silahkan masuk, dia masih terjaga setelah sarapan.”
Haruto masuk setelah Bibi Kim, menoleh bingung tatkala Asahi masih terliat berdiri ditempat.
“Aku mau ke toilet dulu.” Haruto mengangguk, membiarkan Asahi tetap di luar.
Asahi berbohong, kenyataan Ia belum siap bertemu Junkyu setelah apa yang terjadi dua tahun. Asahi butuh waktu sedikit lagi, hari ini jadi yang pertama kali Ia akhirnya berhadapan langsung dengan Junkyu.
Mata cantik itu memandang setiap gerak-geriknya dari kaca pintu. Menjadi saksi mata setiap afeksi yang suaminya bagi pada sang masa lalu. Nampak Junkyu sedikit takut akan kehadiran Haruto, bisa mengerti karena Junkyu jatuh seperti ini akibat ulah Watanabe. Tetapi Asahi kagum bagaimana hanya sebuah dekapan hangat bisa sangat menenangkan ditambah kecupan sayang dialirkan penuh keikhlasan dan..,rasa cinta.
Hatinya berdenyut sakit, Haruto itu suaminya miliknya. Namun Asahi belum pernah mendapatkan afeksi sebegitu tulusnya dari Haruto. Faktanya dari awal Haruto milik Kim Junkyu seorang, terbukti dimana pada fase terpuruknya Junkyu tertawa saat Haruto hadir dan binar sepasang manik Haruto hanya berpendar saat bersitatap dengan milik Junkyu.
“Sepertinya Junkyu sedang memiliki tamu.”
Lamunan Asahi buyar ketika seseorang dari belakang menginterupsi. Asahi menoleh, memastikan siapa.
Tepat disamping berdiri lelaki muda berpakaian khas dokter, lengkap dengan alat pemeriksaan serta kertas berisi catatan kesehatan.
“Maaf dokter, silahkan.” Asahi sedikit memberi ruang, agaknya dokter dihadapannya adalah dokter rawat Junkyu. Bukannya bergerak dokter tersebut hanya tersenyum dengan wajah aneh.
“Saya hanya lewat. Perkenalkan Yoon Jaehyuk, dokter penanggung jawab pasien Kim Junkyu.” Dokter Yoon mengulurkan tangan dibalas lawan bicaranya dengan sikap membungkuk.
Tangan kanannya ditarik kembali, mengusap tengkuknya canggung, “Kenapa tidak masuk?”
“Ah, itu saya mau ke kantin membeli minum.”
Dokter muda membulatkan bibirnya membentuk huruf O. “Kebetulan saya akan kesana, jika tidak keberatan boleh saya mengantar?”
-
Seakan lupa tujuan Asahi dan Dokter Yoon malah duduk pada bangku luar kantin rumah sakit. Semilir angin sejuk berhembus sedang. Rumah sakit ini terletak pada daerah cukup terpencil di kaki gunung. Cocok untuk menenangkan jiwa yang sedang kacau. Pun seorang yang sehat seperti Asahi sangat nyaman berada disini.
Pandangannya jatuh pada sebuah taman hijau rumah sakit tepat di depan. Bagaimana para perawat dengan uletnya merawat pasien. Betapa senangnya, melihat beberapa manusia hidup tanpa beban, berlari bebas tertawa seakan hidup dalam dunia negeri dongeng. Tidak seperti dirinya, bergelimang harta bukan kasih sayang.
“Maaf, kalau boleh saya tau nama anda siapa?” Tanya sang dokter memecah keheningan.
Asahi menyeruput sedikit americano kaleng yang dibeli sebelum menjawab, “Asahi, Hamada Asahi dan tolong jangan terlalu formal berbicara dengan saya.”
“Oh jadi kau Asahi, sahabat yang selalu diceritakan oleh Junkyu dan yang disana pasti Haruto mantan kekasihnya?” Asahi mengangguk membenarkan.
“Jadi dokter, sejak kapan menangani Junkyu?”
Dokter Yoon mengalihkan pandangannya dari menatap Asahi menjadi menerawang ke depan seraya mengulik kembali memorinya. Kapan pertama kali sosok Kim Junkyu datang menjadi pasiennya.
“Hampir dua tahun, dia di rujuk dari rumah sakit umum Seoul. Awalnya saya menjatuhkan vonis depresi sedang hanya minum obat dan sesekali terapi. Dia banyak cerita tentangmu, tentang Haruto juga. Junkyu berterima kasih dipertemukan dengan kalian berdua. Lalu, hari itu dia datang dengan sumringah berteriak gembira bahwa Ia akan sembuh sebentar lagi, obat yang kuresepkan hari itu ditolak. Junkyu sembuh karena Haruto kembaliㅡ”
Asahi tersenyum kecut, sebenarnya usaha yang Ia lakukan bukannya sia-sia. Dalil yang menyatakan Watanabe Haruto adalah dunia Kim Junkyu benar adanya. Datangnya Haruto kembali pada pelukan Junkyu menjadi obat paling mujarab, menyembuhkan mental dan fisik yang lemah seperti semula
“ㅡSayangnya itu tidak berlangsung lama. Entah dihari berapa dia datang dengan tangis, bercerita betapa takutnya dia, betapa semakin tertekannya. Saat itu Junkyu berada pada posisi sulit, melepaskan sakit menahan semakin tersiksa.”
“Lalu, apa yang dokter katakan?”
Dokter Yoon terkekeh, “Tidak ada, aku hanya mendengarkan setiap rentetan keluh kesahnya. Mempersilahkan Junkyu mengambil semua waktuku untuk mendengarkan setiap tangisan pilunya. Setelah puas dia menghapus air matanya, mengucap terima kasih, lalu pergi pulang.”
Lucu bukan dunia yang kita sedang jalani. Mendengar cerita dari Dokter Yoon tentang Kim Junkyu tentu membuat batinnya tertawa. Mereka berdua berusaha saling mengikhlaskan, mendorong Haruto berdiri tepat ditengah drama memuakkan, dibuat bingung oleh keadaan. Asahi kira disini dirinyalah sosok pahlawan, sosok paling tersakiti. Ternyata jauh disebrang, Junkyu lebih menderita. Sejak awal kewarasannya digerus habis oleh berita pernikahan, lalu datanglah ide bodoh Asahi menarik Junkyu pada kesenangan semu hingga Ayah Haruto turut ikut menghantam kejiwaan Junkyu telak, habis tak bersisa wujudnya.
Berkebalikan dari pahlawan, Asahi merasa disini Ialah monster sesungguhnya. Sejak awal Asahi adalah pembuat masalah dan sekarang Asahi telah membuat mereka bertiga jatuh pada jurang neraka hidup paling dalam.
Tepat siang hari keduanya memutuskan pulang. Diantar menuju area parkir oleh Bibi Kim.
“Terima kasih sudah repot hingga datang kemari.” Ungkap wanita paruh baya dengan tulus. Berpisah sejenak dengan keluarga di kota, harus mengurus keponakan pasti beliau sangat lelah.
“Bukan masalah. Kami dan Junkyu sudah seperti saudara.” Balas Asahi tak kalah tulusnya.
Persahabatan mereka sudah sampai taraf seperti saudara sendiri. Kalimat Asahi memang bukan basa-basi semata.
Sorot mata Bibi Kim berbinar menatap kedua sahabat terbaik keponakannya. Meskipun beliau tau kondisi Junkyu begini tak jauh dari masalah cinta segitiga diantara mereka tapi Bibi Kim tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Setiap orang pasti punya alasannya masing-masing pikirnya. Keadaan yang Junkyu alami saat ini beliau anggap murni sebagai cobaan hidup semata dan setiap ujian yang diberikan akan berangsur membaik seiring waktu berjalan.
“Kalian harus bahagia setelah iniㅡ”
Kalimat pendek yang keluar dari bibir wanita paruh baya yang masih terlihat cantik membuat keduanya menatap tidak mengerti.
“Junkyu akan baik-baik saja, kalian berdua tidak perlu berkorban terlalu banyak lagi setelah ini. Apa yang kalian lakukan untuk Junkyu sudah cukup. Pikirkan juga kebahagiaan rumah tangga kalian. Junkyu akan sembuh dengan sendirinya, saat ini yang kalian lihat adalah sebuah proses. Proses seorang Kim Junkyu berdamai dengan dunia.”
Jauh dalam hati kecilnya mereka berdua tertawa. Hubungan sakral pernikahannya akan kandas dalam hitungan hari. Harapan memperbaiki ada di kadar nol persen. Semua sudah sangat terlambat.
Asahi akan mengembalikan sendiri apa yang bukan miliknya.
Apartemen Haasahi
Matahari perlahan menghilang dari ufuk barat, nampak rembulan mulai muncul mengemban tugas menyinari dunia yang menggelap. Sekalian menemani dua makhluk tuhan yang sedang duduk santai pada balkon kamar.
Kapan terakhir kali mereka begini, duduk saling berhadapan tanpa tujuan apapun. Benar-benar sekedar duduk sambil menatap hiruk-pikuk kota dari atas apartemen. Menikmati setiap detik terakhir kebersamaan sebagai sepasang suami yang sah dimata hukum dan agama sebelum dipisahkan oleh tiga kali ketukan palu.
Benar, mereka sudah mantab berpisah. Itu, ditandai akan surat panggilan pengadilan yang datang tepat saat mereka sampai dari kegiatan mengunjungi Junkyu. Seakan dunia ikut mendukung sebuah keputusan pahit yang mereka ambil. Seakan dunia memang mau hal ini cepat terjadi.
“Besok rapat presentasi perusahaan akan dilakukan. Doain gue ya...”
Haruto mengangguk pasti, meletakkan cangkir teh hangat pada tempatnya semula. “Lo pasti bakalan dapet kok, kapan hari nggak sengaja liat hasil akhir powerpoint lo dan udah perfect. Dari pandangan CEO kaya gue sih gak mau mikir kelamaan langsung deal, soalnya proyeknya juga nguntungin secara lifetime.”
Asahi tertawa mendengar jawaban suaminya, iya detik ini Haruto masih suami sahnya. “Makasih.”
“Besok gue yang anter sama jemput, bolehkan?” Tanya Haruto meminta persetujuan.
“Ya boleh dong. Kebetulan lagi males bawa mobil sendiri.”
“Kalo lo dapet kita rayain berdua. Biarin besok jadi tugas gue buat bikin lo seneng.”
Asahi hanya dapat mengangguk meskipun suasanya mulai menjadi canggung dan dingin. Bulu kuduknya dibuat berdiri saat netranya menangkap gerakan Haruto berdiri dari duduknya. Nafasnya semakin tercekat saat dua kaki panjangnya berlutut tepat di depannya, menggenggam kesepuluh jari dingin Asahi, menghantarkan rasa hangat melalui belaiannya.
Detik kemudian obdisian keduanya bertemu, saling menatap tulus.
“Asahi, can I kiss you?“
Pada detik yang sama dunia Asahi seakan berhenti. Kedua bola matanya melebar, jantungnya berdebar sepuluh kali lipat kencangnya, serta bibirnya mendadak kelu. Entah akan menjawab apa. Apakah Asahi mengijinkan jawabannya..., tidak tau.
Namun keterdiaman Asahi dianggap Haruto bukan pertanda penolakan. Dalam dinginnya malam bibirnya dihangatkan, bibir tebal milik Haruto menangkup sempurna miliknya. Memberikan kesan basah dan timbul perasaan campur aduk dalam hati. Pada akhirnya Asahi menangis, didetik-detik terakhir perpisahannya Asahi sadar, benih cinta yang Ia tanam atas nama Watanabe Haruto telah berbunga mekar sempurna.
Lewat kecupan yang diberikan malam ini, Haruto mencari kepastian akan keputusan yang diambil sekalian mengucapkan salam perpisahan.
Mobil Haruto berhenti sempurna di depan gedung setinggi lima tingkat tempat Asahi berkerja. Bibirnya menyunggingkan senyum menawan saat netranya menangkap sosok Asahi tengah berdiri pada pelataran kantor, sudah pasti tengah menunggu Haruto datang. Haruto mengambil bucket bunga dibangku samping, menata penampilannya sedikit sebelum keluar menemui sang suami.
Tepat setelah Haruto keluar dari mobil, Asahi sedikit berlari mendekat. Pipinya bersemu merah saat menangkap gestur tangan direntangkan. Seakan mengerti, tanpa ragu Asahi menubrukkan tubuhnya masuk dalam dekapan hangat suaminya.
“Selamat ya, kan gue udah ramal kalo lo pasti dapet partnernya.”
Asahi memukul punggung Haruto gemas, “Dih kepedean banget!”
Keduanya tertawa seakan tak pernah melewati lika liku hidup yang terjadi belakang ini.
Menyudahi pelukannya, Haruto masih menangkap lamat paras cantik dihadapannya. Haruto salut dengan kegigihan Asahi, bisa mendirikan sebuah perusahaan dengan keringatnya sendiri. Harusnya ini yang Haruto lakukan dua tahun lalu. Bukannya pasrah menerima setiap keadaan yang dibuat oleh Ayahnya. Harusnya Haruto lebih berani memperjuangkan kisah cintanya dengan Junkyu, memperjuangkan kedudukan supervisornya dahulu. Hidup mandiri tanpa pengaruh Ayahnya.
Iya ibarat nasi sudah menjadi bubur. Sikap pengecutnya menyeret orang tersayangnya ikut menempuh kesengsaraan.
Ditengah kegiatan saling memandang dering ponsel Haruto menginterupsi. Haruto merogoh sakunya, menerima panggilan tanpa perlu melihat siapa yang berani mengganggu.
“Ha-haru..to?”
Mendengar suara seorang perempuan bergetar membuat Haruto menjauhkan ponsel dari telinga. Sejenak dilihat siapa yang tengah menelpon dengan suara panik bukan main.
Bibi Kim
“Halo, Bibi ada apa?”
“Junkyu.. Jun-kyu!”
Terucap nama Junkyu menjadikan keduanya panik. Mengabaikan perayaan kesuksesan Asahi mereka memilih pergi menuju Junkyu.
-
Panik, satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana malam ini. Satu dokter, dua perawat, dan tiga orang tengah berlari mendorong brangkar pasien dengan raut ketakutan.
Disana terbaring lemah sosok Kim Junkyu dengan wajah pucat pasi. Mata indahnya bersembunyi dibalik kelopak mata yang tertutup, enggan terusik dengan suara tangisan, panggilan penuh asa dari orang-orang disekitarnya.
Disana Haruto, berlari sembari memegangi pergelangan yang terus mengucurkan darah. Kulit wajahnya merah sempurna, rahangnya mengeras hingga uratnya mencuat memanggil si pemilik nama Kim Junkyu sekuat tenaga seakan tiada hari esok.
Terakhir, disanalah Asahi berjalan cepat sambil memegangi tubuh lemah Bibi Kim, turut menangis sendu. Dalam benaknya masih tersimpan sejuta pertanyaan. Apa yang terjadi pada Kim Junkyu?
Bibi Kim pun bingung, entah menjelaskan bagaimana. Pasalnya wanita paruh baya hanya mengantarkan Junkyu pulang setelah hampir 9 hari dirawat. Kejadiannya sangat cepat, beliau keluar membeli sesuatu dan kembali hanya untuk menonton sang keponakan telah jatuh di atas genangan darahnya sendiri. Sebuah cutter berada dalam genggaman tangan yang lain menjadi bukti bahwa Junkyu sedang melakukan percobaan bunuh diri.
01.00 a.m
Tepat pukul satu dini hari Junkyu akhirnya sadarkan diri. Beratus kalimat syukur dihaturkan ketiga manusia yang masih betah terjaga dalam ruang perawatan. Sebenarnya Bibi Kim sudah meminta keduanya pulang sebab kemeja yang dikenakan Haruto penuh dengan darah, namun tak diindahkan. Kenyataan kondisi Bibi Kim yang masih syok dan tidak stabil malah membuatnya khawatir.
Ketika kedua manik Junkyu mulai nampak, hal pertama yang dilakukannya adalah menangis.
“Hiks.. Haruto? Asahi? Aku minta maaf hiks! Aku minta maaf karena masih hidup. Harusnya aku mati aja biar kalian berhenti khawatirin aku hiks... Harusnya aku mati... aku mau mati hiks...”
Tak ada yang bisa dilakukan Haruto dan Asahi selain menggenggam kedua tangan Junkyu, membisikkan kata-kata penenang.
“Ssttt... Junkyu please jangan ngomong gitu, semuanya bukan salah kamu.” Bisik Haruto tepat di samping telinga Junkyu. Sejak tadi Haruto paling menghindari pandangan pada pergelangan kiri Junkyu yang dibalut perban. Hatinya seperti dicubit keras meskipun bukan dirinya yang menorehkan luka.
Asahi masih berdiri disisi lain brangkar, masih juga menautkan jemarinya pada Junkyu erat. Sorot matanya sendu, merekam setiap sikap keputusasaan, setiap penumpahan penyesalan yang terjadi selama kurun waktu dua tahun. Menumpahkan seluruh keluh kesah dengan jujur, enggan dibendung lebih lama.
Hari ini untuk yang kedua kalinya Asahi menjadi saksi betapa rapuhnya Watanabe Haruto jika itu mengenai Kim Junkyu.
Dihadapan Junkyu dan dirinya punggung tegap Haruto bergetar hebat, menandakan pemiliknya pun menangis. Menghaturkan ribuan kata maaf atas apa yang terjadi.
Tepat hari ini dan malam ini, Aku Hamada Asahi bersedia mundur. Mencari tempat yang tepat untuk berdiri, kembali menjadi saksi bagaimana kedua sahabatnya menjalin kasih.
Hamada Asahi secara resmi mengembalikan Watanabe Haruto pada rumah seharusnya yaitu Kim Junkyu.
Epilogue: 10 years later.
Sepasang manik cantik nampak menyipit tatkala pendar cahaya matahari sore menyorot langsung masuk dalam pupilnya. Meskipun begitu iris berwarna karamel memancarkan binar serta refleksi gerakan deburan ombak di depannya. Indah, suaranya pun menenangkan hingga merasuk jiwa. Bagaimana ombak kecil disana pecah terantuk batu pembatas, tepat di atas langit jingga burung perandai berbondong-bondong menuju arah pulang.
Meskipun begitu jauh di depan sana dua sosok manusia yang tak luput dari pengelihatannya sejak tadi enggan beranjak. Berdiri beriringan, membiarkan kaki-kakinya basah dihempas sisa ombak. Terhitung empat jam mereka disana namun tak mengurangi setiap afeksi pun perhatian pada masing-masing, sang dominan tanpa malu mencumbu setiap pahatan sempurna yang telah diciptakan Tuhan seperti tiada hari esok. Seperti dunia yang diciptakan khusus untuk mereka berdua.
Lamunannya buyar ketika lagi-lagi dering ponsel menginterupsi. Si paras manis pemilik nama Hamada Asahi mengembangkan sebuah senyuman geli saat sebuah nama muncul pada layar ponselnya. Kepalanya mendongak, sedikit terkejut bahwa dua insan jauh disana tengah menatapnya. Asahi mengangkat ponselnya tinggi, digoyangkan tanda Ia ijin untuk pergi terlebih dahulu. Hingga lambaian tangan disana sebagai balasan ucapan selamat tinggal.
Berjalan sedikit menuju pintu keluar dirinya dihadapkan pada sosok pria. Berpakaian kemeja cukup sederhana namun wajah tampannya menambah kesan mahal.
“Katanya nggak bisa jemput.” Titah Asahi sambil mendecak.
Si pria terkekeh, masih dengan khas wajah anehnya. Dicubit sedikit pipi tirus Asahi gemas, “Tadi langsung cepet-cepet ngisi data pasiennya.”
Asahi tak habis pikir dengan manusia satu ini. Bukan sekali Ia mengesampingkan pekerjaannya hanya untuk menemuinya.
Keduanya mulai berjalan, menyusuri jalan setapak menuju parkiran kendaraan. Sudah sore, pantai juga telah sepi.
“Kerja tuh yang bener, teliti. Ntar dipecat baru tau rasa.”
“Ya gapapa, asal bukan lisensi dokterku yang dicabut. Kerjaan bisa dicari, tapi kalo kamu kenapa-napa nggak ada gantinya.” Balasnya enteng.
Asahi bukannya tak senang, hanya saja Ia belum terbiasa. Baru kali ini Asahi diperlakukan begitu spesial, berada pada strata tertinggi prioritas si pria dokter yang telah mengubah hidupnya selama 5 tahun belakangan. Baru kali ini Asahi merasa kehadirannya di muka bumi begitu penting.
“Dokter Yoon!”
“Asahi!”
Panggil mereka bersamaan. Saking terkejutnya tanpa sadar langkah keduanya juga berhenti. Di jalan setapak yang sepi dengan langit yang semakin gelap keduanya saling berhadapan. Bola mata keduanya saling menatap memancarkan binar-binar penuh kekaguman.
Jantungnya berdebar, perutnya geli, seperti ada jutaan kupu-kupu bergerak di dalamnya. Selalu seperti ini saat ditatap dengan wajah penuh keseriusan. Asahi mematung, meneguk ludahnya kasar, menunggu dengan cemas kejutan apalagi yang sedang pria ini siapkan untuknya. Dua tahun masa pendekatan dilanjut tiga tahun berkomitmen dengan pria dokter ini tidak membuat Asahi terbiasa dengan seluruh tingkah lakunya.
Yoon Jaehyuk memang sederhana, namun penuh kejutan.
“Tada!”
Asahi semakin dibuat terkejut. Jari manisnya tersemat cincin perak cantik, dipasangkan begitu saja tanpa mengucap kata-kata manis sebagai pembukaan. Dipandangi tangan seputih susu yang sedang disinari lampu penerang, dikecup cepat punggung tangan Asahi. Hanya melalui kecupan ada sejuta perasaan tulus dihaturkan.
“Dengan ini aku mengajakmu melangkah lebih jauh, naik satu tingkat lebih serius daripada sebelumnya.”
Yoon Jaehyuk, pria dengan seribu guyonan sampis. Tetapi keseriusannya selalu terbukti benar bukan bualan semata.
Tepat hari ini, disaksikan jalan setapak diiringi suara deburan ombak. Hamada Asahi siap berdamai dengan rasa sakitnya. Siap mengikhlaskan masa lalunya yang telah bahagia dengan dunianya sendiri. Yakin secara lahir dan batin memulai lembaran baru dengan Yoon Jaehyuk.
Untuk Watanabe Haruto dan Kim Junkyu, sahabatku. Aku harap kalian pun bersama selamanya.
Seperti inilah akhir dari kisah romansa. Terkadang melepaskan adalah jalan terbaik. Karena Tuhan telah menyiapkan akhir bahagia sesuai porsinya masing-masing.
FIN.
by: teuhaieyo