chapter six.
trigger warning//harsh words.
Haruto diam diri dalam kelas sepi. Sejak istirahat dimulai tubuhnya tak bergerak sama sekali dari bangku tempat duduknya. Yedam sudah pergi ke kantin bersama teman yang lain.
Helaan napas putus asa lagi-lagi terdengar. Sorot mata dan jari telunjuk fokus pada sosial media. Batin serta pikirannya dibuat kalang kabut akan berita yang satu jam lalu telah disebar. Foto kebersamaannya dengan Junkyu hari kemarin.
Haruto tertawa, menertawakan betapa bodoh dirinya. Dengan angkuh berjalan memasuki gedung utama, lalu berbelok menuju lapangan belakang tanpa rasa was-was. Saat ini kecerobohan yang Ia perbuat menuai kesalahpahaman.
Siapa yang musti disalahkan? Memang begitu rentetan kejadiannya. Namun, apa yang terjadi setelahnya sangat jauh dari fakta. Ciuman? Hampir, tapi Haruto tidak semudah itu mengikuti nafsunya. Kemarin murni hanya menolong.
Hahaha, sial Haruto siapa yang mau percaya?
Haruto mendesah, kali ini lebih memilih meletakkan ponsel pintarnya setelah membalas satu dari puluhan pesan berisi pernyataan. Hanya satu yang bisa Ia percaya, teman-temannya.
Pusing hingga Haruto memijit pelipisnya pelan. Mengucapkan beberapa kalimat penenang untuk dirinya sendiri hingga bel selesai istirahat pun berbunyi.
Kelas mendadak gaduh, teman-temannya satu persatu datang dari kantin. Namun, kali ini seluruh mata tajam membidik Haruto dengan mimik benci.
“Haruto, lo tuh ya. Gue tau lo ganteng tapi tolong dong jaga kelakuan lo.” Satu anak perempuan datang menghampiri bersama dengan ekspresi marah.
“Gara-gara lo anjir, anak sini jadi makin susah buat napas. Sekolah udah anjing ditambahin lagi anak modelan kek lo. Tolong lah ya, gausah banyak tingkah sok ngedeketin anak gedung utama dan bikin masalah. Kita semua mau lulus dengan tenang!” Kali ini ujaran kebencian datang dari bangku depan paling pojok.
Iya tau, Haruto mengaku salah. Tapi apa begini caranya? Apa memang begini nasib si miskin?
Mengejar cinta si kaya pun dilarang. Harus tau diri akan keadaan. Lucu, kehidupan begitu tidak adilnya padahal manusia diciptakan oleh tangan yang sama.
Kali ini Haruto memilih abai, karena semakin dipikirkan semakin membuatnya pening. Benar kata temannya, Haruto setidaknya harus membuat klarifikasi meskipun itu tidak membuahkan hasil. Setidaknya Haruto bukan lari dari masalah.
tiba-tiba ponsel pintarnya bergetar, membuatnya sedikit terkesiap. Dengan hati-hati Haruto mengintip siapa yang menghubungi.
Yoshi is calling...
“Gue pikir masalah ini bakal stuck sampai disini, tapi ternyata ujung tombaknya baru mau nusuk sekarang.”
Haruto, semoga kamu baik-baik saja.
`teuhaieyo.