hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


“Happy birthday to you...”

Suara tepuk tangan gembira menjadi pengiring acara di sore hari. Acara sederhana, hari bahagia Watanabe Haruto. Hari ini, disaksikan kedua orang tua dan Junkyu, Haruto resmi berusia 18 tahun.

Perempuan cantik paruh baya beranjak mendekati putra semata wayangnya. Diciumi seluruh wajah tampan itu penuh kasih seperti tiada hari esok.

“Mama...” Haruto menggeliat minta dilepaskan, tentunya mengundang tawa dari dua lelaki berbeda usia yang menjadi saksi keuwuan antara ibu dan anak.

Sang ibu pun begitu, ikut tertawa geli melihat wajah kesal anaknya. Biasanya Haruto akan diam saja, tapi sang ibu tentu paham jika Haruto malu diperlakukan seperti itu di depan sosok yang sedang Ia usahakan.

“Udah udah ayo makan. Junkyu ini ambil yang banyak, itu Haruto yang minta masakin katanya buat Junkyu.” Ujar sang Ayah.

Junkyu tertegun, menoleh pada Haruto yang tengah menatap Ayahnya dengan pandangan kesal.

“Saya coba ya tante,om.”

Junkyu memasukkan beberapa potong daging. Entah mengapa hingga rasanya menyentuh lidah membuat hatinya menghangat. Rasanya enak, anggaplah Junkyu lebay tapi Ia ingin menangis. Sudah lama Ia tak lagi makan masakan ibundanya.

Jadi begini ya rasanya masakan dengan bumbu sentuhan tangan ibu.

“Gimana? Enak nggak?” Tanya mama Haruto yang dibalas anggukan semangat.

“Tante seneng kalo gitu. Nanti kalo Junkyu main kesini lagi tante masakin yang lebih enak.”

Junkyu lagi-lagi mengangguk semangat. Baru kali ini Ia diperhatikan sebegitunya. Keluarga Haruto boleh sederhana namun kaya akan afeksi. Keluarganya boleh kelebihan harta, namun minim perhatian. Rumahnya besar, tampak ramai dengan banyak maid tapi Junkyu merasa Ia hidup sendiri.

Junkyu baru tau meja makan yang kecil ternyata dapat mendekatkan hati, berbagi kehangatan lewat gesekan yang terjadi.

Disini Junkyu benci mengetahui fakta bahwa Haruto menjadi korban perundungan di sekolah. Pasti Haruto menyembunyikan rasa sakitnya sendiri. Haruto dijunjung tinggi di rumah namun direndahkan, serendah tanah diluar.

Mengesampingkan fakta itu Junkyu terlampau iri. Keluarga Haruto sangat hangat. Kini Junkyu tau darimana segala sifat luar biasa yang tertanam apik dalam diri sosok Haruto.

“Bahagia terus ya Haruto, semoga dunia luar berbaik hati sama kamu suatu hari nanti.” Doa Junkyu dalam hati.


Malam semakin larut saat kegiatan makan-makan usai. Kini Haruto tengah ditutup kedua matanya. Saatnya pemberian hadiah.

Mama Haruto dan Junkyu menuntun si mata elang menuju luar dimana sang ayah sudah menunggu.

“Ma, ini mas mau dibawa kemana?” Gerutu Haruto karena sejak tadi matanya sedang ditutup rapat. Curiga dirinya tengah dikerjai.

Detik kemudia jalannya berhenti, pegangannya juga dilepas.

“Mas, nanti kalo Ayah udah bilang angka tiga dibuka ya!” Titah sang Ayah yang entah ada dimana.

satu

dua

tiga

Haruto melepas penutup mata. Mengedipkankan sedikit guna membiasakan matanya dengan cahaya. Begitu terkejut dengan apa yang ada dihadapannya. Sebuah motor matic, motor yang selalu Ia idam-idamkan.

“Ini... ini beneran?” Ucapnya masih enggan percaya. Haruto tak mengira bahwa impiannya akan terwujud begini cepat, padahal terhitung masih beberapa bulan Ia menabung.

“Mas, mama sama ayah baru bisa beliin yang bekas, tapi masih oke kok.”

Haruto menggeleng, mau barang baru atau bekas Haruto tidak peduli. Terpenting sekarang Ia punya motor, bisa melenggang kesana kesini bersama kawan sejawatnya.

“Makasih ya ma, yah. Haruto sayang sama kalian berdua. Haruto nggak janji bisa balikin pakai materi, tapi Haruto bakal berusaha lebih berprestasi.”

Pemuda jangkung memeluk kedua orangtuanya bergantian.

Junkyu hanya sanggup berdiri, memperhatikan setiap momen demi momen yang dibuat oleh sebuah keluarga sederhana. Sesekali hatinya terenyuh terbawa suasana. Bagaimana hanya dengan sebuah motor bekas mampu menumbuhkan perasaan berbunga begitu hebat. Sedangkan dilingkungannya sebuah apartemen atau mobil sport keluaran paling baru yang mampu menghadirkan decakan bangga. Jika dibawah itu, malu keluarga dibuatnya.

Hanya beberapa jam saja, Junkyu banyak belajar. Tentang hidup manusia pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Junkyu mungkin terlihat punya segalanya, namun masih tamak menginginkan hangatnya rumah Haruto.


Semilir angin malam berhembus menerpa kulit putih yang memang tak ditutup oleh kaca helm, memang sengaja dibuka, ingin melihat kelap kelip lampu pada malam hari. Dagunya diletakkan nyaman pada pundak pemuda yang tengah fokus mengendarai motor barunya.

Iya, selepas berbagai rangkaian acara perayaan ulang tahunnya Haruto memutuskan untuk mengantar Junkyu pulang sembari mencoba motor baru pemberi orang tuanya. Mereka berdua sejak tadi diam, menikmati pikiran masing-masing. Bukan, hanya Junkyu yang memang mendadak diam. Haruto hanya takut untuk memulai.

“Kyu kamu nggak papa kan? Kok diem daritadi?” Ujar Haruto akhirnya.

Junkyu menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Kamu baik, keluarga kamu apalagi. Kok bisa ya orang-orang nyakitin kamu.” Balas Junkyu lirih, sedikit terhalang angin namun Haruto masih bisa mendengar seluruhnya.

“Semua yang dilakukan orang-orang itu ada alesannya, Kyu. Aku gapapa kok, toh bukan masalah yang serius.”

Junkyu mendengus, coba pikir alasan apa yang tepat untuk seseorang yang melakukan tindakan perundungan? Menurutnya nggak ada, hanya untuk mengikuti nafsu.

Keduanya pun kembali terdiam. Hingga sepeda motor matic berhenti tepat di depan rumah megah.

Kedatangan mereka telah ditunggu pemuda lainnya. Pemuda tampan dengan surai ash grey sebagai ciri khas. Tengah berdiri bersandar angkuh pada buggati hitam.

“Yoshi?” Panggil Junkyu memastikan. Pemuda pemilik nama Yoshi mendekat lengkap bersama tatapan tajam menusuk.

“Masuk!” Titahnya datar namun mengintimidasi.

“Bentar belum pamit sama Harㅡ”

“Masuk Kim Junkyu.” Perintahnya sekali lagi. Junkyu berdecak kesal, ketimbang mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal saja nggak boleh.

“Haruto makasih.” Kata Junkyu singkat. Lelaki menggemaskan itu hanya menurut, melangkah masuk menuju dalam rumah.

Haruto pun begitu, ingin bergegas pergi, menghindari tatapan tajam yang Yoshi layangkan padanya. Memilih diam enggan membuat perkara.

“Saya duluan...” Pamitnya singkat.

Yoshi membalas dengan cibiran remeh, tatapannya sama menjatuhkan.

“Lo pikir dengan modal segini cukup buat deketin Junkyuㅡ”

Haruto sibuk memasang pelindung kepala, namun telingannya jelas mendengar. ini apa maksudnya?

“ㅡGue emang gak bisa ikut campur tangan lagi. Tapi bukan berarti lo bakal segampang itu dapetin Junkyu. Harusnya dari awal lo nyadar lo siapa, Junkyu siapa.”

Haruto tak peduli, memilih memutar kunci dan menyalakan motornya. Ingin cepat pergi sebelum keyakinannya diobrak-abrik oleh kenyataan yang diungkap Yoshi.

“Coba pikir apa Junkyu bisa hidup miskin sama manusia rendahan. Seenggaknya lo punya modal, ngandelin tampang doang banyak yang bisa.”

Terakhir, ucapan Yoshi satu itu memukul telak Haruto. Suaranya jelas terngiang dalam pikirannya. Yoshi tak sepenuhnya salah.

Gimana kalo Junkyu merana bersamanya?

Apa Junkyu sanggup kencan ditempat nggak elit dan murahan?

Gimana omongan orang-orang terhadap Junkyu nantinya? Punya pacar miskin, nggak berkelas.

Haruto pikir dirinya terlampau percaya diri. Yoshi benar, Ia belum punya apa-apa selain kemauan. Haruto nggak mikir kedepannya akan menjadi seperti apa. Dilihat dari segala aspek Haruto kalah telak. Hingga pikiran untuk mundur terus membayangi dirinya.

Ya Tuhan, Haruto harus bagaimana sekarang?


`teuhaieyo.


Saat bel telah berbunyi si mata elang sebisa mungkin pergi dari lingkungan sekolah. Daripada waktu senggang lainnya, waktu pulang jadi waktu yang pas untuk memulai perundungan. Tanpa ampun, tanpa limit waktu.

Kaki berlapis sepatu yang telah usang beradu cepat dengan bumi. Sedikit berlari melintasi setiap siswa yang juga berjalan menuju tujuan yang sama. Gerbang masih sepi, mungkin Haruto jadi yang pertama melewati gerbang.

Langkah kakinya baru berhenti saat dirasa jauh beberapa meter dari sekolah. Mulai berjalan santai menuju halte bus terdekat sambil mengatur napas. Halte timur yang jadi tempatnya menunggu bis selama dua tahunan ini memang lebih sepi. Biasanya Haruto akan bersama dua anak lain, tapi lebih sering sendiri.

Terkejut dibuatnya, dimana mata elang Haruto dihadapkan pada kejadian paling langka. Kaget akan kehadiran sosok manis yang tengah duduk linglung pada salah satu kursi halte.

Itu Kim Junkyu kan?

Haruto bergegas mendekat, sumpah masih nggak ngerti kenapa makhluk manis yang menjadi tambatan hatinya ada disini, di halte sepi, tua yang kondisinya jauh dari kata layak.

“Kim Junkyu?”

Panggilan Haruto berhasil mengambil seluruh atensi si manis. Mimik bingung yang tadinya terus bersarang tergantikan dengan raut lega. Peluh sebesar biji jagung penuh membasahi dahinya yang putih. Memang, hari sedang sedikit panas.

“Ngapain disini?” Tanyan Haruto. Si mata elang ikut duduk tepat mengambil kursi disamping si manis.

“Mau pulang.”

Jawaban Junkyu membuat Haruto menautkan alisnya.

“Mau nyoba naik bis.”

“Memangnya tau nomor bisnya?”

Skak mat, Junkyu terdiam antara nggak tau mau jawab apa atau malu karena Ia memang belum tau nomor bis yang akan ditumpangi. Detik kemudian senyum kecut Junkyu muncul sebagai jawaban. Haruto terkekeh geli seakan tau situasi saat ini.

Belum selesai, bis bernomor 53 berhenti di depan mereka. Haruto mengambil lengan Junkyu dan dibawa menuju dalam bis. Di dalamnya lumayan lenggang padahal jam jam ini banyak orang telah menuntaskan hari-harinya diluar rumah.

Junkyu seperti anak anjing bagi Haruto. Hanya memperhatikan yang dilakukan si tuan. Dari menyapa pak supir, menggesekkan kartu bis dua kali dan sekarang mengikuti di belakang pemuda yang tengah mencari bangku kosong. Sebenernya banyak bangku kosong, tapi kali ini Haruto mencari yang pas.

Langkah si pemuda berhenti pada dua bangku kosong hampir belakang. Tak langsung duduk, namun mengambil tissue basah kepunyaannya dalam tas, lalu pemuda jangkung itu mengelap sedikit.

“Duduk disini!” Titahnya mempersilahkan.

“Eh-oh iya makasih, Har.” Junkyu duduk tepat menempel pada jendela. Semilir angin beserta sinar senja menerpa wajah putihnya. Matanya enggan lepas dari pemandangan sibuk ibukota. Gedung tinggi terlihat sempurna dari dalam.

Junkyu baru tau ada sensasi seperti ini. Melihat dengan bebas bagaimana sibuknya manusia. Harus berebut kendaraan umum meskipun capek. Menghabiskan waktu untuk mengobrol sembari menunggu. Bagi Junkyu sejak kecil hidupnya dilakukan dengan mudah dan instan, namun bagi orang lain untuk mendapatkan hal kecil harus dilalui dengan kerja keras.

Kesadaran Junkyu berhasil dibawa kembali saat daun telinganya bergesekan dengan kulit hangat milik Haruto. Junkyu menoleh sedikit, mendapati Haruto sedang fokus memasangkan salah satu earphone pada telinganya.

Junkyu lagi-lagi diam, tak menolak sedikitpun. Hatinya hangat, debaran aneh itu kembali muncul hanya dengan setiap perlakuan kecil dari si pemuda sederhana. Seperti, dunianya sedang dibawa tinggi, melayang senang bersama jutaan kupu-kupu yang juga terbang menggelitik dalam perutnya.

“Lagunya genre indie, gapapa kan?”

Junkyu tersenyum teduh lalu mengangguk.

Apapun musiknya Junkyu suka, terpenting adalah kebersamaannya dengan Haruto.


“Sana masuk.”

Hari telah menjadi gelap saat kedua anak adam sampai rumah Junkyu. Rumah megah terletak juga pada komplek perumahan mewah. Haruto pusing dibuatnya, berjalan dari gapura utama saja kakinya capek bukan main.

Haruto bingung sendiri, Junkyu ini banyak energi atau apa sejak tadi binar suka citanya tak luntur sama sekali. Seperti anak kecil yang baru saja merasakan dunia luar. Berjalan menyusuri komplek besar dengan semangat hingga Haruto sendiri kesusahan menyamakan langkah mereka.

“Haruto makasih, maaf juga kalo ngerepotin. Kamu jadi harus bolak-balik.”

Haruto menggeleng, daripada merepotkan, Haruto malah dibuat senang. Kapan lagi dapat kesempatan berduaan dengan seseorang yang kamu sukai?

“Aku yang harusnya makasih karena udah ditemenin.”

Junkyu memerah dibuatnya, malu.

“Aku pamit dulu ya...”

“Iya, kalau udah di rumah jangan lupa chat aku.”


`teuhaieyo.


Minggu pagi cerah dua anak remaja dengan vespa biru telah sampai selamat pada salah satu rumah sederhana. Junkyu dan Jeongwoo seperti janjinya semalam berkunjung ke rumah Haruto. Lingkungannya ramai namun hangat, penuh suara berisik khas pagi hari dari ibu-ibu dan tukang sayur atau suara batuk bapak yang sedang melakukan hobinya hingga anak kecil bermain. Junkyu suka, di dekat rumahnya mana pernah seperti ini.

Jeongwoo pun begitu ikut menyapa warga yang lewat dengan ramah, seperti keluarga sendiri.

“Harutonya ada, Woo?” Tanya Junkyu ragu tatkala nampak rumah di depannya sepi.

“Ada, rumahnya emang gini tiap hari soalnya nyokap bokapnya jaga toko, jadi kek gada orang.”

Junkyu mengangguk mengerti bersamaan dengan Jeongwoo meletakkan helm pada kaca spion.

“SUSU!” Teriak Jeongwoo lantang di depan pagar.

“KORAN!!!” Teriaknya lagi, kali ini dengan jualan yang berbeda.

Tak payah menunggu lama pemilik rumahnya keluar dengan raut malas. Rambutnya acak-acakan dengan kaus putih belel dan celana boxer pendek. Sudah sepenuhnya bangun mungkin belum mandi.

“Ngapain lu, njing?” Sahut pemilik rumah tidak ramah. Tapi Jeongwoo malah meringis dengan wajah sok lugu.

Junkyu hanya menggeleng melihat kelakuan dua sahabat ini. Lucu, Junkyu dibuat iri akan kedekatannya.

“Ngapel lah, ayok ah ini di buka! Laper anjir.”

Junkyu bisa dengar suara gerutuan Haruto, mengatai Jeongwoo dengan ribuan kosa kata penuh dosa. Meskipun begitu tangannya cekatan membuka gembok pagar. Tampaknya juga si pemuda belum sadar akan kehadiran Junkyu.

“Loh Junkyu?!” Pekikan Haruto kaget.

Haruto buru-buru merapikan tatanan rambutnya, mengelap wajah yang masih kumal, serta pakaiannya.

“Maaf ya, Har dateng pagi-pagi banget.”

Haruto menggeleng, membuka pagar lebar agar tamunya bisa masuk.

“Masuk dulu!”

Setelah Junkyu masuk, keduanya dibuat bingung. Jeongwoo tetap tegap di luar pagar.

“Hayuk!”

“Gua tugasnya disuruh nganter doang sama Hyunsuk, jadi gua balik aja ntar kalo udah mau pulang telfon nomor gua ya, Kyu.”

Saat Jeongwoo berlalu, Haruto mulai panik. Bersama dengan Junkyu, hanya berdua Ia tak yakin mampu. Sekolah yang ramai saja bibirnya gagu apalagi empat mata. Jeongwoo sialan.

“Gua pamit yeㅡ” Kata Jeongwoo sembari mengecek gas motornya.

“ㅡpintunya jangan ditutup, Junkyu kalo diajak ke kamarnya jangan mau, sempit!” Lengkap dengan tawa anehnya Jeongwoo buru-buru membawa vespa-nya melaju kencang sebelum dilempar sandal.

“Mulutnya heran.” Gerutu Haruto, sedangkan Junkyu hanya menanggapi dengan kekehan geli.


Hening, dalam kondisi rumah yang hampir kosong kedatangan pemuda manis enggan mengubah suasana. Terhitung dari sepuluh menit semenjak pantatnya bertemu sofa nyaman tak satu katapun terucap dari kedua bibir.

Sama seperti pertemuan terakhir mereka, dimana keterdiaman menjadi topik yang cocok. Saling menguntai kata dalam batin, berakhir tertahan menetap di dada.

“Gimana keadaan kamu, Har?”

Basa-basi, padahal jelas di depan mata bahwa lelaki pemilik mata elang sudah sehat meskipun bekas luka masih bersarang pada wajah tampannya.

“Udah baik kok. Tadi kesini kok bisa sama Jeongwoo? Jauh nggak dari rumah?”

Junkyu tersenyum cerah, merasa pertanyaan pancingannya ternyata berhasil membangun interaksi diantara suasana canggung yang terjadi.

“Kemaren nanya ke Jihoon terus dia nyuruh Jeongwoo buat nganterin, maaf ya nggak bilang-bilang. Ternyata rumah kamu nggak jauh cuma sepuluh menit, lama nunggu Jeongwoonya.”

Haruto mau nggak mau ikut larut dalam percakapan. Nggak penting, tapi melihat betapa cerewetnya Junkyu saat menjelaskan membuat menarik apalagi ekspresi mukanya yang berubah-ubah tergantung jalan ceritanya. Lucu bukan main, pengen nyubit pipinya tapi takut keterusan.

Haruto dibuat hadir dalam dimensi aneh yang dibuat otaknya. Menatap mimik wajah Junkyu, membayangkan parasnya namun pada alur yang berbeda, tanpa menyadari bahwa Junkyu tengah menyodorkan beberapa bungkusan makanan yang Ia bawa.

“HarㅡHaruto!”

“Eh..,oh iya?”

Junkyu merengut sejak tadi diabaikan. “Ini aku bawa dari rumah. Kuenya bikin sendiri, cobain ya...”

Sang tuan rumah menerima bungkusan dengan pelan. Isinya beberapa camilan dan ada obat untuk luka. Hatinya menghangat, terpenting pada kata bikin sendiri. Haruto merasa spesial.

“Repot banget.”

Junkyu menolak dikata demikian. Masih ada campur tangan mamanya 60% dari kegiatan membuat kue. Kemarin malam dapur ditutup rapat, Junkyu menggeret tangan mamanya, diminita untuk membuat kue coklat. Seluruh maid dilarang masuk dan membantu.

“Nggak kok, lagian aku yang banyak bikin repot kamu. Maafin ya.”

Haruto tersenyum kecil, telinganya mendengar setiap ucapan Junkyu sedangkan mata dan hatinya membaca rentetan kalimat yang ditulis dalam secarik kertas lucu.

Sekarang Haruto paham maksud kedatangan si pria manis ini. Ingin meluruskan masalah yang membuat Haruto sendiri pusing selama seminggu. Masalah yang keputusannya memang masih ragu dan abu.

“Udah kejadian, buat apa dijadikan dendam juga. Saya maafin.” Balas Haruto tulus.

Haruto itu memang begini, enggan menyimpan dendam sedikitpun. Jengkel dilampiaskan diawal, jadikan esok hari sebagai hari yang baru. Mengerjakan sesuatu yang baru tanpa melihat masa lalu.

Junkyu lagi-lagi tersenyum lega. Jika sudah begini maka semuanya akan terasa mudah. “Besok mau ya balik ke sekolah?”


Sekitar tengah hari Jeongwoo telah hadir kembali di tengah Haruto dan Junkyu. Mereka bertiga sedang berada di pagar rumah Haruto.

“Oh iya Haruto! Nomor hp aku jangan diblock.”

Telak, rasa malu akan kebodohan yang telah berjalan seminggu mulai menyeruak kembali. Jeongwoo ngakak, sedangkan Haruto mengusap tengkuknya gugup.

“Eh iya ya.., maaf.”

“Tuh jangan lupa dibuka.”

Tanpa aba-aba lebih lanjut helm Jeongwoo dipukul dari luar. Sialan emang si Jeongwoo, Haruto makin malu.

“Yaudah Haruto aku sama Jeongwoo pamit ya! Titip salam sama mama papa kamu.”

“Duluan sob!”

“Iya, ati-ati lu bawa anak orang.”

“Ya beres, mangkanya punya motor sana biar bisa nganterin!”

Lagi, Park Jeongwoo dan mulut tanpa remnya. Vespa biru muda dibawa melaju kencang menghindari amukan Haruto.

Entah ini perasaan lega atau bukan. Yang pasti bebannya berangsur menipis. Ia tak lagi bingung mencari kalimat yang tepat guna menjelaskan pada orang tuanya mengenai alasan Haruto harus angkat kaki dari tempatnya menuntut ilmu. Setidaknya sekarang Haruto selamat. Tapi apakah Haruto menyerah akan kisah cintanya? Jawabannya tentu saja tidak. Terpujilah Haruto beserta kegigihannya.


`teuhaieyo.


Malam minggu kelabu bagi Yoshi, pemuda 18 tahun bersurai ash grey. Menjadi anak seorang menteri negara tidak melulu membuatnya hidup bahagia. Kurang perhatian, penuh tekanan, perilaku dijaga serta diatur, jika sudah mengemban sebuah tugas maka lakukan dengan perfect. Jika tidak? Pilih hukuman mana yang kau mau.

Buggati hitam itu berhenti pada halaman rumah luas. Kedatangannya disambut baik oleh seluruh maid disana. Tidak perlu berbasa-basi, pintu kayu yang gagangnya berlapis emas dibuka selebar-lebarnya seperti sudah biasa pemuda ini datang.

Langkahnya berhenti sejenak di depan pintu. Mata setajam pisau meneliti setiap ruangan yang tampak, kosong melompong.

“Tuan Kanemoto.” Perempuan sekitar setengah abad menghampiri lalu membungkuk hormat. Pakaiannya paling bagus karena memang beliau ketua maid, paling lama mengabdi.

“Dimana dia?”

“Sejak pulang dari sekolah Tuan berdiam diri di taman belakang.”

Yoshi tersenyum miris, perasaan bersalah muncul. Lalu, Yoshi berdehem sekaligus mengeratkan kembali jemarinya pada paper bag dan bucket bunga dikedua genggamannya sebelum tubuh jangkung itu melangkah menuju bagian belakang rumah.

Sampainya disana, Ia bisa melihat pemuda lain bertubuh kecil tengah duduk merenung menatap gerakan air kolam renang. Sepertinya tidak terusik dengan kedatangannya.

Yoshi tersenyum, meletakkan bunga dan kantong berisi makanan pada meja terdekat. Ia melepaskan leather jacket pelapis kemejanya.

“Cuaca sedang dingin, apa yang kamu lakukan diluar?” Tanya Yoshi sembari menyampirkan jaketnya. Membungkus si kecil agar hangat.

Diperlakukan begitu membuat yang lebih kecil terkejut. Lebih kaget lagi saat tau siapa gerangan yang datang.

“Yoshi?”

Yoshi mengangguk membenarkan. Memberikan senyum gantengnya tak lupa mencuri kecup pada kening si kecil.

“Ngapain kamu kesini?!” Teriaknya ketus. Ia berdiri, melepaskan jaket pada tubuhnya. Wajahnya dibuat segalak mungkin berharap lelaki dihadapannya takut.

Hanya mendapat tatapan membuatnya lebih kesal. Si kecil mendengus, kakinya membawa tubuh kecilnya pergi.

“Mau kemana kamu?” Belum lima langkah lengan kurusnya dicekal.

Namun, hatinya telah dihinggapi rasa kesal bukan main akan semua perilaku pria yang lebih tinggi. Helaan nafas berat terdengar, tubuhnya lelah pun pikirannya. Jika pria ini datang hanya untuk mengajak berdebat lebih lanjut maaf Ia tak lagi sanggup.

Mengumpulkan tenaga tersisa, lengannya ditarik kembali hingga terlepas dan berjalan pergi.

“Kanemoto Mashi!”

Lagi, si kecil kembali berhenti. Dalam hati meruntuki kenapa bisa dirinya selemah ini. Paling benci dipanggil begitu oleh pria bermarga Kanemoto.

Kanemoto Yoshinori aku benci kamu, tapi aku lebih benci sama diri sendiri. Kenapa aku lemah jika berhadapan denganmu?

“SIAPA KAㅡ”

Si kecil pemilik nama Mashiho berbalik. Belum sempat melayangkan protes pada pria yang dengan entengnya merubah marga keluarganya, tubuh kecil itu ditubruk keras hingga hampir oleng kebelakang.

Tubuh si kecil sukses direngkuh, bersandar pada dada yang lebih lebar. Yoshi mencari kenyamanan, menghirup dalam aroma wangi khas milik Mashi.

“Lepas! Kamu siapa bisa peluk-peluk sembarangan?!” Katanya dengan nada tinggi sembari menggeliat minta dilepaskan.

Your fiancé.” Balasnya enteng, tepat sasaran. Detik itu Mashi berhenti, menyerah untuk pergi dan membiarkan Yoshi terus merengkuhnya. Karena jika dilepaskan, tubuhnya jatuh saat itu juga.

“Aku masih marah sama kamu.” Cicitnya, tengkuknya geli akibat pergerakan kepala si dominan.

“Jangan, Junkyu udah benci sama aku. Kamu gak boleh.”

Yoshi memang terlihat galak, kejam, mengintimidasi di sekolah. Tapi Yoshi hanyalah manusia biasa, punya titik lemah yang hanya Ia perlihatkan pada Takata Mashiho.

Pria bertubuh kecil yang mampu menghadirkan getaran-getaran aneh dalam dirinya. Pria yang berhasil mengenalkan pangeran dingin akan indahnya kisah romansa. Yoshi mampu membuat siapapun tunduk, namun jika sudah berhadapan dengan marahnya sang pasangan maka Yoshi tidak segan berlutut.

Mereka berdua lemah akan kehadiran masing-masing.


Malam semakin gelap, ditemani lampu taman temaram keduanya masih terdiam, diatas kursi ayunan dengan Yoshi meletakkan kepalanya nyaman dipangkuan sang kekasih. Nyaman, sudah berapa lama mereka tidak menikmati waktu berdua, sibuk dengan kegiatan keluarga ikut menghadiri pertemuan memuakkan.

“Junkyu block chatㅡku.” Ujar Yoshi mulai membangun komunikasi.

“You deserve it.”

Jawaban Mashi singkat. Yoshi tertampar dibuatnya..,Apa perilakunya seburuk itu?.

“Sayang...”

Mau tak mau Mashi mencubit gemas pipi dominannya. Gimana jadinya kalau orang sekolah tau pangeran mereka hobi merengek.

You've done enough,Yosh. Udah saatnya kamu lepasin Junkyu, biarin Junkyu milih jalan hidupnya sendiri.”

Yoshi tertegun, dia bingung. Setengah tubuhnya ingin, tapi yang lain masih berat. Rasa takut akan kejadian beberapa tahun silam terus menghantui. Kejadian dimana dia hampir gagal lagi menjaga orang tersayang. Yoshi telah kehilangan adik kembarnya, dipertemukan dengan Junkyu kecil berhasil menyembuhkan setiap luka hingga dia berjanji akan selalu menjaga Junkyu.

“Aku nggak tau apa aku bisa?” Bisiknya lirih. Mengingat nyawa Junkyu hampir hilang dengan cara yang sama dengan saudara kembarnya membuat dirinya hampir gila.

“Kamu bisa, tapi kamu nggak mau. Kejadian dulu biarlah jadi kenangan, toh itu bukan salah kamuㅡ”

“ㅡTerlebih kalau kamu kayak gini terus, aku nggak yakin hatiku cukup kuat buat terus bertahan sama kamu. I'm your last priority. Jujur aku sakit disini.”

Yoshi mengubah posisinya jadi menghadap wajah kekasihnya. Bahkan dilihat dari bawah, rasa sedihnya terasa. Kedua obsidian cantik itu berkaca-kaca menatap depan dengan pandangan kosong.

Yoshi turut sakit, meruntuki diri sendiri merasa menjadi pria paling bajingan di dunia. Mengikat Takata Mashiho dengan cincin pertunangan setelah itu diabaikan begitu saja.

“Sekarang kamu pilih antara aku atau Junkyu..” Pertanyaan kekanakan. Tetapi, dalam keadaan seperti ini apapun jawaban yang akan dilantunkan Yoshi nantinya akan mengubah semua yang telah dibangun.

Yoshi memilih bisu, otak dan hati nuraninya beradu. Memilih jawaban paling tepat agar tidak kehilangan keduanya.

Mashi jengah, lama menunggu kekasihnya berpikir...,sesulit itu ya?

Diangkat kepala Yoshi pada pahanya, memilih beranjak berasumsi bahwa jawaban Yoshi jatuh pada Junkyu.

Yoshi kelimpungan sendiriㅡjangan, Mashi jangan pergi.

Dengan tegas Yoshi berdiri, berjalan cepat menyusul langkah kekasihnya. Dipeluk tubuh kecilnya dari belakang.

“Aku memilihmu, sejak awal aku memilihmu.” Bisiknya penuh kesungguhan.


`teuhaieyo.


Desahan putus asa mengisi ruangan kamar berukuran 3×3. Datangnya langsung dari si pemilik kamar yang tengah dilanda frustasi. Salah sendiri, siapa suruh gegabah menanggapi pesan masuk yang datang langsung dari si manis.

Haruto, si pemeran utama akhirnya melempar ponsel pintarnya di kasur. Kalau dibuang ke lantai tolong, Haruto masih sayang benda persegi panjang itu. Rambutnya diusak hingga berantakan. Meringis sakit tatkala tak sengaja menyenggol luka yang belum mengering.

“Aarrgghh..., Haruto kok lu bego banget sih!” Erangnya frustasi.

Tok... Tok...

“Haru, ini mama.”

Sial, gimana bisa keluar dengan wajah babak belur?

Selama ini Haruto selalu bisa menyembunyikan luka fisik maupun batin dari sikap perundungan anak orang-orang berada di sekolahnya. Menjadi anak paling bahagia di rumah.

Haruto beranjak, membuka pintu kamar untuk mamanya dengan wajah polos. Mama Watanabe yang awalnya memancarkan senyuman merubah ekspresinya secepat kilat melihat rupa anak lanangnya.

“Ayah! Haruto..., sini ini Haruto!” Bukannya tenang, Mamanya malah panik.

Tentu saja, Haruto anak satu-satunya. Sedari dulu dirawat dan dibesarkan penuh afeksi kasih sayang, hingga membentuk pribadi Haruto sekarang. Wajah rupawan yang sejak dahulu dieluh-eluhkan mendadak rusak berantakan.

“Mah-”

“Kenapa? Loh, Haru kenapa muka kamu?”

Haruto menyerah, setelah ini tidak ada jalan untuknya berkilah.


“Ssshh... Ma, pelan-pelan.”

Haruto boleh terlihat pemberani diluar, menjaga harga dirinya agar tidak jatuh meskipun harus dipukuli sedemikian rupa. Namun, jika sudah berhadapan dengan kedua orangtuanya, Haruto hanya sosok anak lemah, cinta akan perhatian dari Mama pun Ayahnya.

Sang kepala rumah tangga tersenyum maklum. Merasa gemas dengan kelakuan anak lelaki yang tengah merasakan hormon remaja. Ingin memukulnya lebih tapi dilihat dari keadaan yang sudah babak belur membuatnya turut prihatin.

“Cie anak Ayah udah gede, udah tau cowok manis..” Goda sang Ayah gemas.

Haruto merengut, bukannya membantu menaikkan mood malah mengacau. “Ayah mah..”

Haruto berhasil, menceritakan setiap kejadian yang terjadiㅡminus segala tindakan perundungan yang Ia dapat sejak kelas satu. Hanya masalah hati, mengejar si pria manis yang ternyata punya pawang galak.

“Emang secakep apa anaknya Sampek kamu rela bonyok kayak gini?” Tanya sang Ayah penasaran.

Haruto tersenyum malu, semburat merah muda hadir menghiasi pipinya, “Nanti kalau Haruto udah dapet dibawa kesini. Ayah sama Mama pasti bangga.”

Sang Mama geram, tadi diobati meringis saat diajak membahas yang katanya calon mantu mendadak jadi orang sehat.

“Iya deh iya gemes, tapi nggak usah sampek berantem gini, mas kan nggak baik. Nih muka anak Mama tadi ganteng terus jadi jelek, emang mau gebetan kamu punya cowok jelek?”

Haruto tersenyum kecut. Teringat kembali kebodohannya berapa menit lalu.

Haduh..., gimana bisa dapetin nomor Junkyu lagi?


`teuhaieyo.


trigger warning// harsh words, violent act.


Haruto menyusuri lorong penghubung gedung B dan gedung utama. Tak memperdulikan bahwa saat ini jam pelajaran telah dimulai kembali. Yoshi memanggilnya, yang mana Ia tidak bisa menolak setelah apa yang terjadi.

Haruto yakin riwayatnya tamat setelah ini. Namun, Haruto harus menghadapi.

Dalam langkah kaki kecilnya bayangan kedua orang tuanya tergambar. Haruto merasa durhaka, bertindak bodoh tanpa memikirkan nasib keluarganya. Siapapun tau, yang berbuat semena-mena dengan Yoshi pasti akan keluar dari sekolah dengan citra buruk.

Hahㅡ gimana nasibnya sekarang.

Haruto benci situasi ini, dimana Ia harus merendahkan tubuhnya, menjual harga dirinya dan menukar dengan ampunan. Beginilah nasib, hidupnya bukan Haruto sendiri yang menentukan melainkan ada dalam genggaman orang lain.

Demi orang tuanya, sebagai bakti pada dua orang tuanya yang saat ini menggantungkan seluruh asa pada anak semata wayangnya.

Disuruh berlutut pun Haruto tiada jalan tuk menolak.


Haruto berbelok menuju bagian belakang gedung utama. Kedua maniknya menangkap siluet dua lelaki dalam ruangan gudang. Berhenti sejenak untuk mengambil napas, lalu Haruto masuk.

Yoshi dan Junghwan disana, dua sifat manusia yang paling Haruto benci. Kasar, arogan, perundung, tanpa ampun.

Keduanya tengah tertawa sembari bertepuk tangan. Cukup kagum dengan keberanian si pemuda yang hampir dua tahun dijadikan budak.

“Berlutut.” Titahnya.

Haruto benci menjadi lemah, tidak punya pilihan selain menurut. Meksipun Ia bisa menjelaskan apa yang terjadi, jika keadaannya sudah seperti ini semua hal akan sia-sia.

Haruto memang berlutut, namun tatapan matanya tajam seolah menantang, enggan menunduk sedikit pun hingga mampu menaikkan seluruh emosi pemuda di depannya.

“Liat apa lo bangsat!”

Bugh

Satu tendangan dilayangkan. Haruto tersungkur bersamaan sepatu mahal Yoshi beradu dengan dadanya. Sesak, hingga Haruto terbatuk hebat.

“BERLUTUT LO SAMPAH!” Perintahnya lagi kali ini emosi sudah mengisi hampir seluruh bagian tubuh Yoshi. Wajah memerah, gigi bergemelatuk dengan tatapan mata seperti pisau yang siap membelah apapun, buku jarinya memutih hingga urat lengannya tergambar jelas di permukaan.

Sedangkan Haruto sudah kembali pada posisi berlutut dengan mimik wajah datar, tak gentar akan apapun. Haruto seolah siap dengan konsekuensi yang dituai.

“Lo yaㅡ” Yoshi mendengus, menatap dengan ekspresi remeh. Telunjuknya diangkat tak santai tepat menyentuh dahi Haruto.

“ㅡbudak nggak tau diri. Lo pikir siapa yang nanggung semua biaya sekolah lo disini, huh? Lo siapa biasa berbuat seenaknya? Lo nggak mikir apa yang bakal gue lakuin nanti bakal bikin orang tua lo kecewa?”

Haruto bergeming, memilih diam menerima semua caci maki menyakitkan.

Yoshi kembali menertawakannya. Puas melihat bagaimana si korban hanya bisa diam dibawah kendalinya.

“Jelasin. Hari ini gue mau liat orang memohon.”

Yoshi berjalan memutari Haruto yang masih bisu. Gudang luas dengan debu menjadi sepi, hanya terdengar gema sol sepatu mahal milik Yoshi.

“Sa-say..., sayaㅡ” Bersamaan satu kata terucap, Yoshi berhenti. Mempersiapkan diri menerima ucapan meminta pengampunan.

“Saya tau apa yang saya lakukan dan saya tidak berbuat suatu hal yang salah. Saya memang disana, berniat sendiri menemui Junkyu.” Jawabnya lantang.

Yoshi yang semula tenang kembali terpancing emosinya. Kesepuluh jarinya lagi-lagi mengerat.

Bugh

Satu bogeman kali ini tepat menyentuh hidung bangirnya. Membuatnya retak hingga mengeluarkan darah.

“Junghwan pegangi si bajingan.”

Junghwan dengan senang hati mengulurkan bantuan. Memaksa tubuh yang telah jatuh kembali berdiri. Kedua tangannya dipegangi kuat di belakang.

“Lo sendiri yang minta, lo sendiri yang bikin ini susah dan gue Yoshi nggak akan segan bikin lo menderita!”

Kejadian selanjutnya adalah hanya suara debuman saat tubuh beradu dengan barang diikuti sejuta umpatan menyakitkan. Memberikan setiap pelajaran melalui emosi menggebu hingga korbannya terkapar lemah tanpa daya.


`teuhaieyo.


trigger warning//harsh words.


Haruto diam diri dalam kelas sepi. Sejak istirahat dimulai tubuhnya tak bergerak sama sekali dari bangku tempat duduknya. Yedam sudah pergi ke kantin bersama teman yang lain.

Helaan napas putus asa lagi-lagi terdengar. Sorot mata dan jari telunjuk fokus pada sosial media. Batin serta pikirannya dibuat kalang kabut akan berita yang satu jam lalu telah disebar. Foto kebersamaannya dengan Junkyu hari kemarin.

Haruto tertawa, menertawakan betapa bodoh dirinya. Dengan angkuh berjalan memasuki gedung utama, lalu berbelok menuju lapangan belakang tanpa rasa was-was. Saat ini kecerobohan yang Ia perbuat menuai kesalahpahaman.

Siapa yang musti disalahkan? Memang begitu rentetan kejadiannya. Namun, apa yang terjadi setelahnya sangat jauh dari fakta. Ciuman? Hampir, tapi Haruto tidak semudah itu mengikuti nafsunya. Kemarin murni hanya menolong.

Hahaha, sial Haruto siapa yang mau percaya?


Haruto mendesah, kali ini lebih memilih meletakkan ponsel pintarnya setelah membalas satu dari puluhan pesan berisi pernyataan. Hanya satu yang bisa Ia percaya, teman-temannya.

Pusing hingga Haruto memijit pelipisnya pelan. Mengucapkan beberapa kalimat penenang untuk dirinya sendiri hingga bel selesai istirahat pun berbunyi.

Kelas mendadak gaduh, teman-temannya satu persatu datang dari kantin. Namun, kali ini seluruh mata tajam membidik Haruto dengan mimik benci.

“Haruto, lo tuh ya. Gue tau lo ganteng tapi tolong dong jaga kelakuan lo.” Satu anak perempuan datang menghampiri bersama dengan ekspresi marah.

“Gara-gara lo anjir, anak sini jadi makin susah buat napas. Sekolah udah anjing ditambahin lagi anak modelan kek lo. Tolong lah ya, gausah banyak tingkah sok ngedeketin anak gedung utama dan bikin masalah. Kita semua mau lulus dengan tenang!” Kali ini ujaran kebencian datang dari bangku depan paling pojok.

Iya tau, Haruto mengaku salah. Tapi apa begini caranya? Apa memang begini nasib si miskin?

Mengejar cinta si kaya pun dilarang. Harus tau diri akan keadaan. Lucu, kehidupan begitu tidak adilnya padahal manusia diciptakan oleh tangan yang sama.

Kali ini Haruto memilih abai, karena semakin dipikirkan semakin membuatnya pening. Benar kata temannya, Haruto setidaknya harus membuat klarifikasi meskipun itu tidak membuahkan hasil. Setidaknya Haruto bukan lari dari masalah.

tiba-tiba ponsel pintarnya bergetar, membuatnya sedikit terkesiap. Dengan hati-hati Haruto mengintip siapa yang menghubungi.

Yoshi is calling...

“Gue pikir masalah ini bakal stuck sampai disini, tapi ternyata ujung tombaknya baru mau nusuk sekarang.”

Haruto, semoga kamu baik-baik saja.


`teuhaieyo.


Junkyu point of view

Thank God i'm finally alone. Berlari sejenak dari rutinitas hidup melelahkan yang terjadi kurang dari seminggu setelah dimulainya semester baru.

Aku Kim Junkyu, anak pemilik yayasan sekolah. Lahir normal ditengah keluarga kaya raya. Menjadi anak tunggal membuatku merasakan kasih sayang luar biasa dari kedua orang tua. Seperti, hidupku akan berjalan dengan baik sampai kapanpun.

Sebelum hari itu keluarga Pak Menteri datang, aku tidak tau perihal apa karena kala itu umurku masih 5 tahun. Dan pada hari itu juga sosok Yoshi mulai hadir dalam hidupku.

Hah...lucu jika diingat kembali. Yoshi yang dulu sepuluh kali lipat lebih menyenangkan dengan Yoshi besar sekarang. Murah senyum, penuh afeksi, dan sisi positif lainnya. Bukan Yoshi dengan tempramen tinggi, perundung, dan yang paling aku benci adalah sifat posesif berlebihannya.

Merubahku menjadi seekor binatang dalam kandang kebun binatang. Keanggunan hanya untuk dilihat bukan disentuh, takut-takut sentuhan akan merusakku. Menjadikan seluruh tubuh hak miliknya seorang. Tidak bebas kesana-kemari dan yang ingin datang menghampiri diberi batas, selalu diawasi.

In the end of the day, aku sendirian dalam sepi.


Srak!

Kelopak cantik Junkyu terbuka, menghentikan sejenak kegiatan merasakan semilir angin tatkala gendang telinganya menangkap suara langkah kaki beradu daun kering.

Disinilah Junkyu menyendiri dengan bayanganya. Duduk di bawah naungan pohon beringin tua yang ditanam pada lapangan tak lagi terpakai. Sebenarnya Junkyu tidak yakin kenapa sekolah tidak menggunakan lapangan ini lagi bahkan enggan merawat. Desas-desus pernah terjadi pembunuhan siswi dan arwahnya gentayangan disini.., yahㅡ cerita klise semua sekolah.

Junkyu mengedarkan pandangan ke depan, sedikit menyipit karena wajah lelaki yang tengah mendekat terpapar teriknya matahari siang. Pandangannya kembali normal saat tubuh jangkung sampai 5 meter tepat di depannya.

“O-oh, Haruto?”

Benar Haruto, awalnya Junkyu bingung kenapa pemuda ini bisa sampai disini namun, saat Haruto menyodorkan lagi kotak susu berwarna merah jambu, Junkyu kembali ingat tentang ajakannya kemarin.

“Terima kasih, sini duduk!” Ajaknya.

Junkyu menepuk rerumputan yang menjadi alasnya duduk. Terkekeh geli saat sudut matanya menyadari betawa lebarnya jarak yang dibuat.

Satu yang menjadi first impressionㅡnya pada pemuda satu ini, Haruto sangat sopan.

Lama mereka diam sendiri, lebih banyak membuat pertanyaan dalam pikiran daripada diutarakan. Sama-sama penakut dalam hal mengungkapkan, pada akhirnya mereka sendiri terjebak dalam lingkaran kecanggungan.

“Eh..,eum.. Junkyu, saya permisi dulu.”

Memilih berlari menjauh daripada mencoba lebih keras tuk mendekat.

Ketika Haruto tegap berdiri meskipun dirundung kecewa akan sikap pengecutnya. Junkyu dengan segenap keberanian mencekal pergelangan tangan si pemuda. Mengambil atensinya kembali hingga kedua pasang manik mereka bertemu.

“Aku boleh minta tolong?”

Haruto memilih diam membiarkan Junkyu mengutarakan maksudnya dalam kata tolong.

“ㅡdisini aja, temenin aku.”


Sekarang Junkyu paham ramai bukan berarti bersama, dan diam bukan berarti kesepian. Junkyu baru tau akan sebuah perasaan. Dimana dia merasa tak lagi sendirian meskipun tanpa sepatah kata.

“Haruto, bagaimana rasanya memiliki teman?” Suara Junkyu akhirnya.

Haruto melirik pada si manis, pemuda yang sedang diusahakan. Wajahnya masih lurus ke depan menerawang entah apa.

“Tidak terdefinisi.” Balasnya penuh kejujuran.

Sejak hari pertama Haruto masuk pikirnya hanya fokus belajar dan bertahan akan tindasan, sampai akhirnya takdir mempertemukan dengan keempat sahabatnya.

Seperti semua rasa bercampur menjadi satu hingga kita bingung sendiri perasaan mana yang tepat untuk mendeskripsikan arti sebuah ikatan persahabatan.

Junkyu tertawa, hambar. Karena Ia belum pernah merasakan salah satunya. Hidupnya hampa, kosong melompong layaknya membawa raga tanpa isi.

Seketika angin berhembus kencang, hingga daun kering ikut terbang.

“Akh-” Junkyu memekik, telapak tangannya nampak menutupi sebelah mata.

Mendengar itu Haruto panik, menggeser tubuh jangkungnya. Menabrak sendiri tembok yang Ia bangun diantara dia dan Junkyu.

“Perih...” Lirih Junkyu, bibirnya mengerucut lucu hingga Haruto ikut gemas sendiri.

“Maafㅡ” Haruto ijin untuk mencekal pergelangan tangan Junkyu, mencegah si manis untuk mengucek bola matanya.

Selanjutnya, jemari Haruto jatuh menyentuh kulit sebersih kapas. Mengusap lembut kelopak mata yang masih tertutup.

Aneh, sentuhan yang dirasa malah membuat Junkyu tenang. Batinnya Haruto hanyalah orang asing tapi Junkyu seakan pasrah menerima setiap belaian yang diberikan pemuda itu. Pikirannya pun begitu, sama sekali lupa akan segala perintah yang Yoshi telah tanam akan bahaya orang baru.

“Buka mata kamu pelan-pelan.” Perintahnya.

Junkyu menurut, mengerjapkan matanya perlahan, membiasakan lagi akan cahaya yang mulai masuk.

Saat keduanya terbuka sempurna, hal yang pertama Ia lihat adalah wajah rupawan Haruto. Sangat dekat, mengamati dengan raut khawatir. Hanya berhadapan seperti ini debaran jantungnya dibuat tak beraturan, baru pertama kali tubuhnya bereaksi demikian.

Mungkin ini salah satu rasa yang tak terdefinisi.

“Maaf saya boleh tiup mata kamu?”

Seperti sebuah perintah padahal hanya sebuah pertanyaan, Junkyu mengangguk pasrah. Membiarkan si pemuda meniup kedua matanya bergantian.

Membiarkan dirinya merasakan lebih lama perasaan aneh namun menyenangkan yang hadir diantara dia dan Haruto.


`teuhaieyo.


trigger warning// harsh words and bullying


Haruto duduk diam, memangku dagu seorang diri. Mata elangnya menatap malas mengamati Yoshi dan kawan-kawan tengah menyantap makan siang. Ia kira Yoshi sudah malas mempermainkannya maka dari itu tiga hari belakangan Haruto hidup bebas berkeliaran di sekolah. Nyatanya, hari ini Yoshi mengirim pesan tiba-tiba.

Kantin cukup sepi, ya mungkin karena nggak ada geng hyunsuk disini. Entah mereka kemana yang pasti sejak bel istirahat berbunyi batang hidungnya belum sama sekali nampak. Juga, Haruto mana berani bermain hp saat terbelenggu dalam permainan Yoshi. Cari mati namanya.

Beberapa menit kemudian satu persatu siswa masuk kantin, padahal jam sudah mendekati masuk. Kiranya mereka memang anak yang pandai, mengerjakan tugas dahulu baru makan. Tapi yang aneh semua anak datang membawa buku dari tipis maupun tebal.

Perpustakaan ada di lantai tiga bukan?

Kedua bola mata Haruto bergerak, bergantian pada gerombolan siswa dan sekarang Yoshi yang berdiri. Seperti tengah menyambut tamu kebangsaan.

Haruto bergidik dibuatnya lantaran Yoshi malah menatap dirinya dengan senyum yang nggak bisa Ia artikan. Jika sudah begini, sesuatu akan terjadi bukan?

“Pangeran Yoshi ini mana yang mau ngerjain tugas kita?” Seruan salah satu gerombolan.

Yoshi cukup diam, mengarahkan telapak tangannya kearah tempat duduk Haruto seperti mempersilahkan.

“Taruh aja disitu, nanti dia yang ngerjain semua. Kalo kalian gak puas sama nilainya hukuman gue serahin ke kalian.”

Sinting, permainan macam apa yang sedang terjadi. Rasanya Haruto sudah menurut dan tidak membuat kesalahan apapun. Ya Tuhan siapapun tolong Haruto!

“Yosh, kamu nggak bisa seenaknya kayak gitu dong!” Junkyu kali ini berdiri, menyampaikan ketidaksukaan pada Yoshi.

Senyuman dibibir tampannya luntur, digantikan kilatan marah. Yoshi nggak habis pikir, selama ini apapun yang dilakukan Yoshi pada si budak Haruto tidak ada yang melarang termasuk Junkyu.

Untuk yang pertama kalinya Yoshi dibuat kecewa. Terlebih orang itu adalah Kim Junkyu sendiri. Lelaki yang selalu Ia jaga sejak kecil.

“Bagus... bagus Kim Junkyu!”

Atmosfer mendingin bersamaan seluruh suara berangsur teredam. Kantin berubah sunyi senyap. Hanya suara tawa kecewa dari sosok pangeran. Bahkan ketiga temannya yang lain hanya diam, enggan peduli.

Yoshi beranjak dari mejanya, berjalan pasti hingga suara ketukan sol sepatu mahalnya menggema. Hingga tujuannya jatuh pada Haruto.

Brak!

Dipukul keras meja terbuat dari kayu import hingga retak bagiannya. Selanjutnya, tanpa persiapan ditarik seragam Haruto sembarangan hingga tubuhnya ikut terangkat.

“YOSHI!” Teriak Junkyu memperingati untuk stop sampai disini.

Haruto takut? Tidak, ini hal yang lumrah kalau Yoshi marah. Kedua pasang obsidian itu beradu, Haruto menatap Yoshi datar sedangkan milik Yoshi telah memerah.

Yoshi mendengus,“Bajinganㅡ” Lirihnya.

“Lo harusnya inget gue siapa dan lo siapa. Anak rendahan kayak lo jangan main-main.” Titahnya datar namun menusuk. Detik kemudian tubuh jangkung Haruto dihempas bebas jatuh di atas lantai dingin.

Haruto memang sudah terbiasa begini, diinjak-injak layaknya sampah tak berguna. Seperti teman sejatinya adalah tanah. Tapi Haruto benci tiap kali Yoshi mengucapkan kalimat itu. Dimana Ia diingatkan tentang sebuah posisi.., gue siapa dan lo siapa?.

Selayaknya Tuhan yang mengatur bahwa hidup tidak diperuntukkan manusia dengan strata sosial rendah.

“KERJAIN SEMUA TUGAS TEMEN-TEMEN GUE!”

Tanpa belas kasihan Yoshi keluar membiarkan Haruto dengan tumpukan buku berisi tugas yang bahkan tidak Ia pelajari.

Jika tiga hari yang lalu adalah keberuntungannya maka hari ini dan entah sampai kapan Haruto akan ditimpa kesialan.


`teuhaieyo


Berbicara tentang Haruto pasti timbul rasa penasaran. Siapa dia? darimana keluarganya? Terlahir dengan wajah rupawan ternyata tidak membuatnya diterima baik dalam lingkup masyarakat khusunya sekolah.

Percuma ganteng tapi nggak kaya. Begitu katanya. Mau gimana lagi? Toh yang terucap memang fakta.

Watanabe Haruto, anak pertama dan satu-satunya dikeluarga kecil Watanabe. Diboyong langsung dari pedesaan kecil Jepang tidak membuatnya spesial.

Ayah ibunya pemilik toko roti biasa, bukan ternama seperti milik artis diluaran. Sejak kecil Haruto dididik secara sederhana lebih ditujukan pada moral dan tata krama hingga membentuk pribadi Haruto sekarang.

Haruto itu ganteng, pinter, pribadinya baik, dan satu lagi Haruto itu gigih bukan main.

Saat tekadnya bulat dengan cara apapun Haruto akan berusaha untuk menggapainya. Termasuk mengejar hati si manis anak pemilik yayasan sekolah, Kim Junkyu.


“Haruto?”

Tubuhnya berjengit, hampir saja menjatuhkan piring berisi makanan pada tangan kanannya.

Beginilah tugasnya sehari-hari, diperbudak oleh yang lebih tinggi. Sekarang Ia tengah menunggu pesanan Yoshi dan Junghwan sebelum suara lembut Junkyu menginterupsi.

“Haruto!” Panggil si manis sekali lagi karena nampak tak mendapat jawaban.

Haruto mengerjapkan mata elangnyaㅡsial, denger suaranya aja bikin bengong. “I-iya saya?”

“Ih kamu dipanggil malah bengong.” Junkyu memukul lengan Haruto pelan, ceritanya ngambek.

Junkyu nggak tau aja dari ujung kepala sampai kaki Haruto udah lemes, pengen pingsan aja. Jantungnya berdegup dua kali lipat hingga peluh mulai menetes. Panas, padahal kantin gedung utama full AC.

Hadeh, Haruto! Lo katanya mau gerak maju, tapi baru dipukul tangan seluruh tubuh mendadak jadi jelly” Batin Haruto pada diri sendiri.

Btw kok tau aku suka minum susu itu?” Tanya Junkyu lagi mencoba membangun komunikasi. Jujur Junkyu tidak dekat dengan Haruto dan sekarang agak canggung.

“Oh..., ah iya- kan saya sering lihat kamu minum itu. Kamu suka?”

Junkyu mengangguk antusias, “Banget, aku suka banget”

Dasar lucu, gemesin. Jangan kasih gue senyum kek gitu nanti gue makin jatuh.

“Iya, saya juga suka kaㅡ” Haruto bungkam, hampir saja meneriakkan bagaimana perasaannya pada si gemes saat ini juga.

“gimana?”

Bodoh, Haruto emang pinter tapi masalah menjaga image di depan gebetan mungkin Jeongwoo lebih unggul.

“ㅡmaksudnya, saya juga suka kalau kamu suka jadi bisa beliin lagi.” Dahi Junkyu mengkerut, matanya memincing. Sedangkan Haruto dibuat semakin tersudut.

“Kamu mau beliin aku lagi?” Helaan napas lega terdengar, ya belum saatnya perjuangan Haruto membuat Junkyu peka berhenti sampai disini. Setidaknya bukan dengan cara konyol yang hampir saja Ia lakukan. Bukannya semakin dekat, Junkyu malah jijik.

Kepalanya mengangguk.., iyain aja biar cepet. Toh Haruto memang berniat memberikan seluruh stok susu stroberi Jepang di rumahnya buat acara PDKT-nya sama Junkyu.

“Be-besok saya bawain lagi.”

Bibir si manis mengembangkan senyum puas. Bola matanya berbinar. Tubuh yang lebih pendek mencondong mendekat, hingga Haruto harus meneguk liurnya keras.

Anjir mau ngapain? Junkyu jangan disini!” Batinnya berteriak.

Sekujur badannya merinding tatkala suara rendah namun manis mengalir masuk tepat menuju gendang telinganya.

“Kalau mau cari aku di perpus atau di lapangan belakang, Yoshi nggak suka dua tempat itu.” Bisiknya.

well, ini tandanya Haruto dapat lampu hijau?


`teuhaieyo.