chapter twelve.


“Happy birthday to you...”

Suara tepuk tangan gembira menjadi pengiring acara di sore hari. Acara sederhana, hari bahagia Watanabe Haruto. Hari ini, disaksikan kedua orang tua dan Junkyu, Haruto resmi berusia 18 tahun.

Perempuan cantik paruh baya beranjak mendekati putra semata wayangnya. Diciumi seluruh wajah tampan itu penuh kasih seperti tiada hari esok.

“Mama...” Haruto menggeliat minta dilepaskan, tentunya mengundang tawa dari dua lelaki berbeda usia yang menjadi saksi keuwuan antara ibu dan anak.

Sang ibu pun begitu, ikut tertawa geli melihat wajah kesal anaknya. Biasanya Haruto akan diam saja, tapi sang ibu tentu paham jika Haruto malu diperlakukan seperti itu di depan sosok yang sedang Ia usahakan.

“Udah udah ayo makan. Junkyu ini ambil yang banyak, itu Haruto yang minta masakin katanya buat Junkyu.” Ujar sang Ayah.

Junkyu tertegun, menoleh pada Haruto yang tengah menatap Ayahnya dengan pandangan kesal.

“Saya coba ya tante,om.”

Junkyu memasukkan beberapa potong daging. Entah mengapa hingga rasanya menyentuh lidah membuat hatinya menghangat. Rasanya enak, anggaplah Junkyu lebay tapi Ia ingin menangis. Sudah lama Ia tak lagi makan masakan ibundanya.

Jadi begini ya rasanya masakan dengan bumbu sentuhan tangan ibu.

“Gimana? Enak nggak?” Tanya mama Haruto yang dibalas anggukan semangat.

“Tante seneng kalo gitu. Nanti kalo Junkyu main kesini lagi tante masakin yang lebih enak.”

Junkyu lagi-lagi mengangguk semangat. Baru kali ini Ia diperhatikan sebegitunya. Keluarga Haruto boleh sederhana namun kaya akan afeksi. Keluarganya boleh kelebihan harta, namun minim perhatian. Rumahnya besar, tampak ramai dengan banyak maid tapi Junkyu merasa Ia hidup sendiri.

Junkyu baru tau meja makan yang kecil ternyata dapat mendekatkan hati, berbagi kehangatan lewat gesekan yang terjadi.

Disini Junkyu benci mengetahui fakta bahwa Haruto menjadi korban perundungan di sekolah. Pasti Haruto menyembunyikan rasa sakitnya sendiri. Haruto dijunjung tinggi di rumah namun direndahkan, serendah tanah diluar.

Mengesampingkan fakta itu Junkyu terlampau iri. Keluarga Haruto sangat hangat. Kini Junkyu tau darimana segala sifat luar biasa yang tertanam apik dalam diri sosok Haruto.

“Bahagia terus ya Haruto, semoga dunia luar berbaik hati sama kamu suatu hari nanti.” Doa Junkyu dalam hati.


Malam semakin larut saat kegiatan makan-makan usai. Kini Haruto tengah ditutup kedua matanya. Saatnya pemberian hadiah.

Mama Haruto dan Junkyu menuntun si mata elang menuju luar dimana sang ayah sudah menunggu.

“Ma, ini mas mau dibawa kemana?” Gerutu Haruto karena sejak tadi matanya sedang ditutup rapat. Curiga dirinya tengah dikerjai.

Detik kemudia jalannya berhenti, pegangannya juga dilepas.

“Mas, nanti kalo Ayah udah bilang angka tiga dibuka ya!” Titah sang Ayah yang entah ada dimana.

satu

dua

tiga

Haruto melepas penutup mata. Mengedipkankan sedikit guna membiasakan matanya dengan cahaya. Begitu terkejut dengan apa yang ada dihadapannya. Sebuah motor matic, motor yang selalu Ia idam-idamkan.

“Ini... ini beneran?” Ucapnya masih enggan percaya. Haruto tak mengira bahwa impiannya akan terwujud begini cepat, padahal terhitung masih beberapa bulan Ia menabung.

“Mas, mama sama ayah baru bisa beliin yang bekas, tapi masih oke kok.”

Haruto menggeleng, mau barang baru atau bekas Haruto tidak peduli. Terpenting sekarang Ia punya motor, bisa melenggang kesana kesini bersama kawan sejawatnya.

“Makasih ya ma, yah. Haruto sayang sama kalian berdua. Haruto nggak janji bisa balikin pakai materi, tapi Haruto bakal berusaha lebih berprestasi.”

Pemuda jangkung memeluk kedua orangtuanya bergantian.

Junkyu hanya sanggup berdiri, memperhatikan setiap momen demi momen yang dibuat oleh sebuah keluarga sederhana. Sesekali hatinya terenyuh terbawa suasana. Bagaimana hanya dengan sebuah motor bekas mampu menumbuhkan perasaan berbunga begitu hebat. Sedangkan dilingkungannya sebuah apartemen atau mobil sport keluaran paling baru yang mampu menghadirkan decakan bangga. Jika dibawah itu, malu keluarga dibuatnya.

Hanya beberapa jam saja, Junkyu banyak belajar. Tentang hidup manusia pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Junkyu mungkin terlihat punya segalanya, namun masih tamak menginginkan hangatnya rumah Haruto.


Semilir angin malam berhembus menerpa kulit putih yang memang tak ditutup oleh kaca helm, memang sengaja dibuka, ingin melihat kelap kelip lampu pada malam hari. Dagunya diletakkan nyaman pada pundak pemuda yang tengah fokus mengendarai motor barunya.

Iya, selepas berbagai rangkaian acara perayaan ulang tahunnya Haruto memutuskan untuk mengantar Junkyu pulang sembari mencoba motor baru pemberi orang tuanya. Mereka berdua sejak tadi diam, menikmati pikiran masing-masing. Bukan, hanya Junkyu yang memang mendadak diam. Haruto hanya takut untuk memulai.

“Kyu kamu nggak papa kan? Kok diem daritadi?” Ujar Haruto akhirnya.

Junkyu menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Kamu baik, keluarga kamu apalagi. Kok bisa ya orang-orang nyakitin kamu.” Balas Junkyu lirih, sedikit terhalang angin namun Haruto masih bisa mendengar seluruhnya.

“Semua yang dilakukan orang-orang itu ada alesannya, Kyu. Aku gapapa kok, toh bukan masalah yang serius.”

Junkyu mendengus, coba pikir alasan apa yang tepat untuk seseorang yang melakukan tindakan perundungan? Menurutnya nggak ada, hanya untuk mengikuti nafsu.

Keduanya pun kembali terdiam. Hingga sepeda motor matic berhenti tepat di depan rumah megah.

Kedatangan mereka telah ditunggu pemuda lainnya. Pemuda tampan dengan surai ash grey sebagai ciri khas. Tengah berdiri bersandar angkuh pada buggati hitam.

“Yoshi?” Panggil Junkyu memastikan. Pemuda pemilik nama Yoshi mendekat lengkap bersama tatapan tajam menusuk.

“Masuk!” Titahnya datar namun mengintimidasi.

“Bentar belum pamit sama Harㅡ”

“Masuk Kim Junkyu.” Perintahnya sekali lagi. Junkyu berdecak kesal, ketimbang mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal saja nggak boleh.

“Haruto makasih.” Kata Junkyu singkat. Lelaki menggemaskan itu hanya menurut, melangkah masuk menuju dalam rumah.

Haruto pun begitu, ingin bergegas pergi, menghindari tatapan tajam yang Yoshi layangkan padanya. Memilih diam enggan membuat perkara.

“Saya duluan...” Pamitnya singkat.

Yoshi membalas dengan cibiran remeh, tatapannya sama menjatuhkan.

“Lo pikir dengan modal segini cukup buat deketin Junkyuㅡ”

Haruto sibuk memasang pelindung kepala, namun telingannya jelas mendengar. ini apa maksudnya?

“ㅡGue emang gak bisa ikut campur tangan lagi. Tapi bukan berarti lo bakal segampang itu dapetin Junkyu. Harusnya dari awal lo nyadar lo siapa, Junkyu siapa.”

Haruto tak peduli, memilih memutar kunci dan menyalakan motornya. Ingin cepat pergi sebelum keyakinannya diobrak-abrik oleh kenyataan yang diungkap Yoshi.

“Coba pikir apa Junkyu bisa hidup miskin sama manusia rendahan. Seenggaknya lo punya modal, ngandelin tampang doang banyak yang bisa.”

Terakhir, ucapan Yoshi satu itu memukul telak Haruto. Suaranya jelas terngiang dalam pikirannya. Yoshi tak sepenuhnya salah.

Gimana kalo Junkyu merana bersamanya?

Apa Junkyu sanggup kencan ditempat nggak elit dan murahan?

Gimana omongan orang-orang terhadap Junkyu nantinya? Punya pacar miskin, nggak berkelas.

Haruto pikir dirinya terlampau percaya diri. Yoshi benar, Ia belum punya apa-apa selain kemauan. Haruto nggak mikir kedepannya akan menjadi seperti apa. Dilihat dari segala aspek Haruto kalah telak. Hingga pikiran untuk mundur terus membayangi dirinya.

Ya Tuhan, Haruto harus bagaimana sekarang?


`teuhaieyo.