chapter eleven.


Saat bel telah berbunyi si mata elang sebisa mungkin pergi dari lingkungan sekolah. Daripada waktu senggang lainnya, waktu pulang jadi waktu yang pas untuk memulai perundungan. Tanpa ampun, tanpa limit waktu.

Kaki berlapis sepatu yang telah usang beradu cepat dengan bumi. Sedikit berlari melintasi setiap siswa yang juga berjalan menuju tujuan yang sama. Gerbang masih sepi, mungkin Haruto jadi yang pertama melewati gerbang.

Langkah kakinya baru berhenti saat dirasa jauh beberapa meter dari sekolah. Mulai berjalan santai menuju halte bus terdekat sambil mengatur napas. Halte timur yang jadi tempatnya menunggu bis selama dua tahunan ini memang lebih sepi. Biasanya Haruto akan bersama dua anak lain, tapi lebih sering sendiri.

Terkejut dibuatnya, dimana mata elang Haruto dihadapkan pada kejadian paling langka. Kaget akan kehadiran sosok manis yang tengah duduk linglung pada salah satu kursi halte.

Itu Kim Junkyu kan?

Haruto bergegas mendekat, sumpah masih nggak ngerti kenapa makhluk manis yang menjadi tambatan hatinya ada disini, di halte sepi, tua yang kondisinya jauh dari kata layak.

“Kim Junkyu?”

Panggilan Haruto berhasil mengambil seluruh atensi si manis. Mimik bingung yang tadinya terus bersarang tergantikan dengan raut lega. Peluh sebesar biji jagung penuh membasahi dahinya yang putih. Memang, hari sedang sedikit panas.

“Ngapain disini?” Tanyan Haruto. Si mata elang ikut duduk tepat mengambil kursi disamping si manis.

“Mau pulang.”

Jawaban Junkyu membuat Haruto menautkan alisnya.

“Mau nyoba naik bis.”

“Memangnya tau nomor bisnya?”

Skak mat, Junkyu terdiam antara nggak tau mau jawab apa atau malu karena Ia memang belum tau nomor bis yang akan ditumpangi. Detik kemudian senyum kecut Junkyu muncul sebagai jawaban. Haruto terkekeh geli seakan tau situasi saat ini.

Belum selesai, bis bernomor 53 berhenti di depan mereka. Haruto mengambil lengan Junkyu dan dibawa menuju dalam bis. Di dalamnya lumayan lenggang padahal jam jam ini banyak orang telah menuntaskan hari-harinya diluar rumah.

Junkyu seperti anak anjing bagi Haruto. Hanya memperhatikan yang dilakukan si tuan. Dari menyapa pak supir, menggesekkan kartu bis dua kali dan sekarang mengikuti di belakang pemuda yang tengah mencari bangku kosong. Sebenernya banyak bangku kosong, tapi kali ini Haruto mencari yang pas.

Langkah si pemuda berhenti pada dua bangku kosong hampir belakang. Tak langsung duduk, namun mengambil tissue basah kepunyaannya dalam tas, lalu pemuda jangkung itu mengelap sedikit.

“Duduk disini!” Titahnya mempersilahkan.

“Eh-oh iya makasih, Har.” Junkyu duduk tepat menempel pada jendela. Semilir angin beserta sinar senja menerpa wajah putihnya. Matanya enggan lepas dari pemandangan sibuk ibukota. Gedung tinggi terlihat sempurna dari dalam.

Junkyu baru tau ada sensasi seperti ini. Melihat dengan bebas bagaimana sibuknya manusia. Harus berebut kendaraan umum meskipun capek. Menghabiskan waktu untuk mengobrol sembari menunggu. Bagi Junkyu sejak kecil hidupnya dilakukan dengan mudah dan instan, namun bagi orang lain untuk mendapatkan hal kecil harus dilalui dengan kerja keras.

Kesadaran Junkyu berhasil dibawa kembali saat daun telinganya bergesekan dengan kulit hangat milik Haruto. Junkyu menoleh sedikit, mendapati Haruto sedang fokus memasangkan salah satu earphone pada telinganya.

Junkyu lagi-lagi diam, tak menolak sedikitpun. Hatinya hangat, debaran aneh itu kembali muncul hanya dengan setiap perlakuan kecil dari si pemuda sederhana. Seperti, dunianya sedang dibawa tinggi, melayang senang bersama jutaan kupu-kupu yang juga terbang menggelitik dalam perutnya.

“Lagunya genre indie, gapapa kan?”

Junkyu tersenyum teduh lalu mengangguk.

Apapun musiknya Junkyu suka, terpenting adalah kebersamaannya dengan Haruto.


“Sana masuk.”

Hari telah menjadi gelap saat kedua anak adam sampai rumah Junkyu. Rumah megah terletak juga pada komplek perumahan mewah. Haruto pusing dibuatnya, berjalan dari gapura utama saja kakinya capek bukan main.

Haruto bingung sendiri, Junkyu ini banyak energi atau apa sejak tadi binar suka citanya tak luntur sama sekali. Seperti anak kecil yang baru saja merasakan dunia luar. Berjalan menyusuri komplek besar dengan semangat hingga Haruto sendiri kesusahan menyamakan langkah mereka.

“Haruto makasih, maaf juga kalo ngerepotin. Kamu jadi harus bolak-balik.”

Haruto menggeleng, daripada merepotkan, Haruto malah dibuat senang. Kapan lagi dapat kesempatan berduaan dengan seseorang yang kamu sukai?

“Aku yang harusnya makasih karena udah ditemenin.”

Junkyu memerah dibuatnya, malu.

“Aku pamit dulu ya...”

“Iya, kalau udah di rumah jangan lupa chat aku.”


`teuhaieyo.