chapter ten.
Minggu pagi cerah dua anak remaja dengan vespa biru telah sampai selamat pada salah satu rumah sederhana. Junkyu dan Jeongwoo seperti janjinya semalam berkunjung ke rumah Haruto. Lingkungannya ramai namun hangat, penuh suara berisik khas pagi hari dari ibu-ibu dan tukang sayur atau suara batuk bapak yang sedang melakukan hobinya hingga anak kecil bermain. Junkyu suka, di dekat rumahnya mana pernah seperti ini.
Jeongwoo pun begitu ikut menyapa warga yang lewat dengan ramah, seperti keluarga sendiri.
“Harutonya ada, Woo?” Tanya Junkyu ragu tatkala nampak rumah di depannya sepi.
“Ada, rumahnya emang gini tiap hari soalnya nyokap bokapnya jaga toko, jadi kek gada orang.”
Junkyu mengangguk mengerti bersamaan dengan Jeongwoo meletakkan helm pada kaca spion.
“SUSU!” Teriak Jeongwoo lantang di depan pagar.
“KORAN!!!” Teriaknya lagi, kali ini dengan jualan yang berbeda.
Tak payah menunggu lama pemilik rumahnya keluar dengan raut malas. Rambutnya acak-acakan dengan kaus putih belel dan celana boxer pendek. Sudah sepenuhnya bangun mungkin belum mandi.
“Ngapain lu, njing?” Sahut pemilik rumah tidak ramah. Tapi Jeongwoo malah meringis dengan wajah sok lugu.
Junkyu hanya menggeleng melihat kelakuan dua sahabat ini. Lucu, Junkyu dibuat iri akan kedekatannya.
“Ngapel lah, ayok ah ini di buka! Laper anjir.”
Junkyu bisa dengar suara gerutuan Haruto, mengatai Jeongwoo dengan ribuan kosa kata penuh dosa. Meskipun begitu tangannya cekatan membuka gembok pagar. Tampaknya juga si pemuda belum sadar akan kehadiran Junkyu.
“Loh Junkyu?!” Pekikan Haruto kaget.
Haruto buru-buru merapikan tatanan rambutnya, mengelap wajah yang masih kumal, serta pakaiannya.
“Maaf ya, Har dateng pagi-pagi banget.”
Haruto menggeleng, membuka pagar lebar agar tamunya bisa masuk.
“Masuk dulu!”
Setelah Junkyu masuk, keduanya dibuat bingung. Jeongwoo tetap tegap di luar pagar.
“Hayuk!”
“Gua tugasnya disuruh nganter doang sama Hyunsuk, jadi gua balik aja ntar kalo udah mau pulang telfon nomor gua ya, Kyu.”
Saat Jeongwoo berlalu, Haruto mulai panik. Bersama dengan Junkyu, hanya berdua Ia tak yakin mampu. Sekolah yang ramai saja bibirnya gagu apalagi empat mata. Jeongwoo sialan.
“Gua pamit yeㅡ” Kata Jeongwoo sembari mengecek gas motornya.
“ㅡpintunya jangan ditutup, Junkyu kalo diajak ke kamarnya jangan mau, sempit!” Lengkap dengan tawa anehnya Jeongwoo buru-buru membawa vespa-nya melaju kencang sebelum dilempar sandal.
“Mulutnya heran.” Gerutu Haruto, sedangkan Junkyu hanya menanggapi dengan kekehan geli.
Hening, dalam kondisi rumah yang hampir kosong kedatangan pemuda manis enggan mengubah suasana. Terhitung dari sepuluh menit semenjak pantatnya bertemu sofa nyaman tak satu katapun terucap dari kedua bibir.
Sama seperti pertemuan terakhir mereka, dimana keterdiaman menjadi topik yang cocok. Saling menguntai kata dalam batin, berakhir tertahan menetap di dada.
“Gimana keadaan kamu, Har?”
Basa-basi, padahal jelas di depan mata bahwa lelaki pemilik mata elang sudah sehat meskipun bekas luka masih bersarang pada wajah tampannya.
“Udah baik kok. Tadi kesini kok bisa sama Jeongwoo? Jauh nggak dari rumah?”
Junkyu tersenyum cerah, merasa pertanyaan pancingannya ternyata berhasil membangun interaksi diantara suasana canggung yang terjadi.
“Kemaren nanya ke Jihoon terus dia nyuruh Jeongwoo buat nganterin, maaf ya nggak bilang-bilang. Ternyata rumah kamu nggak jauh cuma sepuluh menit, lama nunggu Jeongwoonya.”
Haruto mau nggak mau ikut larut dalam percakapan. Nggak penting, tapi melihat betapa cerewetnya Junkyu saat menjelaskan membuat menarik apalagi ekspresi mukanya yang berubah-ubah tergantung jalan ceritanya. Lucu bukan main, pengen nyubit pipinya tapi takut keterusan.
Haruto dibuat hadir dalam dimensi aneh yang dibuat otaknya. Menatap mimik wajah Junkyu, membayangkan parasnya namun pada alur yang berbeda, tanpa menyadari bahwa Junkyu tengah menyodorkan beberapa bungkusan makanan yang Ia bawa.
“HarㅡHaruto!”
“Eh..,oh iya?”
Junkyu merengut sejak tadi diabaikan. “Ini aku bawa dari rumah. Kuenya bikin sendiri, cobain ya...”
Sang tuan rumah menerima bungkusan dengan pelan. Isinya beberapa camilan dan ada obat untuk luka. Hatinya menghangat, terpenting pada kata bikin sendiri. Haruto merasa spesial.
“Repot banget.”
Junkyu menolak dikata demikian. Masih ada campur tangan mamanya 60% dari kegiatan membuat kue. Kemarin malam dapur ditutup rapat, Junkyu menggeret tangan mamanya, diminita untuk membuat kue coklat. Seluruh maid dilarang masuk dan membantu.
“Nggak kok, lagian aku yang banyak bikin repot kamu. Maafin ya.”
Haruto tersenyum kecil, telinganya mendengar setiap ucapan Junkyu sedangkan mata dan hatinya membaca rentetan kalimat yang ditulis dalam secarik kertas lucu.
Sekarang Haruto paham maksud kedatangan si pria manis ini. Ingin meluruskan masalah yang membuat Haruto sendiri pusing selama seminggu. Masalah yang keputusannya memang masih ragu dan abu.
“Udah kejadian, buat apa dijadikan dendam juga. Saya maafin.” Balas Haruto tulus.
Haruto itu memang begini, enggan menyimpan dendam sedikitpun. Jengkel dilampiaskan diawal, jadikan esok hari sebagai hari yang baru. Mengerjakan sesuatu yang baru tanpa melihat masa lalu.
Junkyu lagi-lagi tersenyum lega. Jika sudah begini maka semuanya akan terasa mudah. “Besok mau ya balik ke sekolah?”
Sekitar tengah hari Jeongwoo telah hadir kembali di tengah Haruto dan Junkyu. Mereka bertiga sedang berada di pagar rumah Haruto.
“Oh iya Haruto! Nomor hp aku jangan diblock.”
Telak, rasa malu akan kebodohan yang telah berjalan seminggu mulai menyeruak kembali. Jeongwoo ngakak, sedangkan Haruto mengusap tengkuknya gugup.
“Eh iya ya.., maaf.”
“Tuh jangan lupa dibuka.”
Tanpa aba-aba lebih lanjut helm Jeongwoo dipukul dari luar. Sialan emang si Jeongwoo, Haruto makin malu.
“Yaudah Haruto aku sama Jeongwoo pamit ya! Titip salam sama mama papa kamu.”
“Duluan sob!”
“Iya, ati-ati lu bawa anak orang.”
“Ya beres, mangkanya punya motor sana biar bisa nganterin!”
Lagi, Park Jeongwoo dan mulut tanpa remnya. Vespa biru muda dibawa melaju kencang menghindari amukan Haruto.
Entah ini perasaan lega atau bukan. Yang pasti bebannya berangsur menipis. Ia tak lagi bingung mencari kalimat yang tepat guna menjelaskan pada orang tuanya mengenai alasan Haruto harus angkat kaki dari tempatnya menuntut ilmu. Setidaknya sekarang Haruto selamat. Tapi apakah Haruto menyerah akan kisah cintanya? Jawabannya tentu saja tidak. Terpujilah Haruto beserta kegigihannya.
`teuhaieyo.