chapter seven.


trigger warning// harsh words, violent act.


Haruto menyusuri lorong penghubung gedung B dan gedung utama. Tak memperdulikan bahwa saat ini jam pelajaran telah dimulai kembali. Yoshi memanggilnya, yang mana Ia tidak bisa menolak setelah apa yang terjadi.

Haruto yakin riwayatnya tamat setelah ini. Namun, Haruto harus menghadapi.

Dalam langkah kaki kecilnya bayangan kedua orang tuanya tergambar. Haruto merasa durhaka, bertindak bodoh tanpa memikirkan nasib keluarganya. Siapapun tau, yang berbuat semena-mena dengan Yoshi pasti akan keluar dari sekolah dengan citra buruk.

Hahㅡ gimana nasibnya sekarang.

Haruto benci situasi ini, dimana Ia harus merendahkan tubuhnya, menjual harga dirinya dan menukar dengan ampunan. Beginilah nasib, hidupnya bukan Haruto sendiri yang menentukan melainkan ada dalam genggaman orang lain.

Demi orang tuanya, sebagai bakti pada dua orang tuanya yang saat ini menggantungkan seluruh asa pada anak semata wayangnya.

Disuruh berlutut pun Haruto tiada jalan tuk menolak.


Haruto berbelok menuju bagian belakang gedung utama. Kedua maniknya menangkap siluet dua lelaki dalam ruangan gudang. Berhenti sejenak untuk mengambil napas, lalu Haruto masuk.

Yoshi dan Junghwan disana, dua sifat manusia yang paling Haruto benci. Kasar, arogan, perundung, tanpa ampun.

Keduanya tengah tertawa sembari bertepuk tangan. Cukup kagum dengan keberanian si pemuda yang hampir dua tahun dijadikan budak.

“Berlutut.” Titahnya.

Haruto benci menjadi lemah, tidak punya pilihan selain menurut. Meksipun Ia bisa menjelaskan apa yang terjadi, jika keadaannya sudah seperti ini semua hal akan sia-sia.

Haruto memang berlutut, namun tatapan matanya tajam seolah menantang, enggan menunduk sedikit pun hingga mampu menaikkan seluruh emosi pemuda di depannya.

“Liat apa lo bangsat!”

Bugh

Satu tendangan dilayangkan. Haruto tersungkur bersamaan sepatu mahal Yoshi beradu dengan dadanya. Sesak, hingga Haruto terbatuk hebat.

“BERLUTUT LO SAMPAH!” Perintahnya lagi kali ini emosi sudah mengisi hampir seluruh bagian tubuh Yoshi. Wajah memerah, gigi bergemelatuk dengan tatapan mata seperti pisau yang siap membelah apapun, buku jarinya memutih hingga urat lengannya tergambar jelas di permukaan.

Sedangkan Haruto sudah kembali pada posisi berlutut dengan mimik wajah datar, tak gentar akan apapun. Haruto seolah siap dengan konsekuensi yang dituai.

“Lo yaㅡ” Yoshi mendengus, menatap dengan ekspresi remeh. Telunjuknya diangkat tak santai tepat menyentuh dahi Haruto.

“ㅡbudak nggak tau diri. Lo pikir siapa yang nanggung semua biaya sekolah lo disini, huh? Lo siapa biasa berbuat seenaknya? Lo nggak mikir apa yang bakal gue lakuin nanti bakal bikin orang tua lo kecewa?”

Haruto bergeming, memilih diam menerima semua caci maki menyakitkan.

Yoshi kembali menertawakannya. Puas melihat bagaimana si korban hanya bisa diam dibawah kendalinya.

“Jelasin. Hari ini gue mau liat orang memohon.”

Yoshi berjalan memutari Haruto yang masih bisu. Gudang luas dengan debu menjadi sepi, hanya terdengar gema sol sepatu mahal milik Yoshi.

“Sa-say..., sayaㅡ” Bersamaan satu kata terucap, Yoshi berhenti. Mempersiapkan diri menerima ucapan meminta pengampunan.

“Saya tau apa yang saya lakukan dan saya tidak berbuat suatu hal yang salah. Saya memang disana, berniat sendiri menemui Junkyu.” Jawabnya lantang.

Yoshi yang semula tenang kembali terpancing emosinya. Kesepuluh jarinya lagi-lagi mengerat.

Bugh

Satu bogeman kali ini tepat menyentuh hidung bangirnya. Membuatnya retak hingga mengeluarkan darah.

“Junghwan pegangi si bajingan.”

Junghwan dengan senang hati mengulurkan bantuan. Memaksa tubuh yang telah jatuh kembali berdiri. Kedua tangannya dipegangi kuat di belakang.

“Lo sendiri yang minta, lo sendiri yang bikin ini susah dan gue Yoshi nggak akan segan bikin lo menderita!”

Kejadian selanjutnya adalah hanya suara debuman saat tubuh beradu dengan barang diikuti sejuta umpatan menyakitkan. Memberikan setiap pelajaran melalui emosi menggebu hingga korbannya terkapar lemah tanpa daya.


`teuhaieyo.