hamada asahi.


⚠️trigger warning⚠️: act of mental illness, angst, harsh words.


kilas balik

“Sa, kira-kira hubungan gue sama Haruto bakal langgeng nggak sih?”

Ditengah kegiatan menulis laporannya pemuda Asahi itu berhenti sejenak. Angin berhembus lumayan kencang hingga jarinya bergerak reflek menyampirkan rambut yang sedikit panjang kebelakang telinga. Perhatiannya saat ini fokus pada sosok manis tak lain adalah Junkyu, sahabatnya. Hanya berdua, tanpa sosok Haruto.

Asahi menunduk lalu terkekeh geli. Pasalnya Junkyu bukannya mengerjakan laporan yang sama malah terbaring santai di atas rumput lapangan kampus. Bibirnya mengerucut, matanya memandang langit biru yang sedikit terhalang dedaunan pohon beringin. Pemuda jangkung itu pun tak terganggu oleh terik matahari menghempas paras manisnya.

“Hari ini gue dapet lima death note...” Adunya, dilanjutkan tawa garing. Sedangkan Asahi tengah menunjukkan kerutan di kening.

”... Fansnya Haruto tuh bar-bar bener. Apa gue segapantes itu ya?” Lanjutnya.

“Ih tapikan Haruto yang ngejar-ngejar gue. Kok jadi gue yang diteror.” Kedua tangannya bersendekap di dada. Mengingat hari-hari kisah cintanya yang jauh dari kata tenang, Junkyu mendadak marah.

“Tapi lu cinta juga kan sama Haruto?” Asahi kembali fokus menulis deratan kata pada laporan yang sempat ditunda sejenak. Giliran Junkyu mengalihka pandangan pada sahabat kecilnya.

Junkyu merengut, ini Asahi lagi meragukan perasaannya sama Haruto?

“Ya cinta lah, udah cinta mati.”

“Nah, yaudah sih terima aja anceman gajelas gitu. Udah jadi resiko jalan sama prince kampus.” Ujar Asahi; masih tetap fokus pada pekerjaannya.

“Tapi kan- AW!”

Sebelum Junkyu mulai mengeluh kembali Asahi memukul dahi Junkyu dengan bolpoin digenggamannya. Nggak fokus juga makin lama.

“Gapake tapi, selama ada gue hubungan kalian aman sampe nikah. Gue sendiri yang bakal gandeng tangan lo ke Haruto pas acara nikahan. Sekarang kerjain laporannya biar cepet lulus!”

Kalimat itu dahulunya hanya sebuah ancaman agar Kim Junkyu segera mengerjakan laporannya. Kendati begitu tetap membuat pemuda manis bahagia, melekatkan pada hati serta dalam pikirannya. Tanpa sadar ekspektasi hidup kadang tak bekerja sesuai kehendak manusia. Dimana realita yang terjadi bisa berbalik dari apa yang diharapkan.


Dalam sepi sosok manis itu berkutat dengan laptopnya. Hanya suara mengetik bertarung dengan detak jam dinding memenuhi ruangan. Sesekali desahan kecewa terdengar bersamaan jarinya mengetuk tombol backspace dengan ganas.

Tubuh tegaknya Ia jatuhkan pada sandaran kursi. Menatap frustasi layar laptop dengan worksheet terlihat masih bersih, putih. Manik cantik itu berlalu pada jam dinding lalu bergantian mengintip beberapa piring tertata rapih berisi makanan yang telah dingin.

Pukul 10 malam dan suaminya belum juga pulang.

Sudah hampir satu tahun, Asahi hidup dengan kesendirian. Tugasnya sebagai seorang suami dari Watanabe Haruto hanya bangun, sarapan, dan memastikan pria itu pulang walau hingga larut malam. Bahkan terkadang hanya denting ponselnya tanda pesan masuk, pria itu meminta ijin tidak pulang. Terkadang penantian Asahi adalah sebuah kegiatan sia-sia.

Yah beginilah resiko. Tidak menyangka bahwa permainan yang dibuat menjebak dirinya sendiri. Menjadi sosok pahlawan dengan menyerahkan sang suami pada masa lalunya, orang yang sampai sekarang pun lebih membuatnya bahagia ketimbang dirinya.

Ceklek

Lamunannya tersadar saat suara pintu apartemen dibuka. Haruto nampak menghampiri Asahi dengan raut heran.

“Belum tidur? Tadi kan udah kirim pesan kalau gue pulang telat.”

Asahi tertegun, hatinya begitu hangat saat tanpa dosa tangan Haruto membelai rambutnya. Entah apa nama perasaan ini.

Haruto duduk pada salah satu kursi terdekat, meletakkan tas kerjanya hingga menimbulkan suara cukup keras yang mana mengembalikan kesadaran Asahi.

“Eh iya- ya ga liat hp, lagi fokus ini dari tadi.” Elaknya.

Haruto mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat apa yang ada di layar laptop.

“Ngerjain apa? Kan bisa besok aja.”

Asahi tersenyum kecut, bingung ingin memberi tahu suaminya pasal keputusannya atau nanti saja. Toh dirinya masih dalam proses mencari.

“Kalo misalnya gue pengen kerja boleh ga sih?” Ungkap Asahi akhirnya. Meskipun ada rasa takut dan ragu setidaknya Haruto mungkin punya advice.

Haruto menatap Asahi bingung, “Gausah, aku aja yang kerja.”

Miris. Jawaban Haruto seolah menyanjung Asahi layaknya pangeran yang harus Ia jaga. Tidak boleh keluar melakukan hal yang membuatnya kelelahan. Padahal kenyataannya Asahi tak lebih dari anjing penjaga rumah. Menunggu tuannya pulang meskipun waktu menunjukkan dini hari.

“Gue udah kelamaan di rumah, bosen terus mikir sayang banget punya ijazah S1 tapi gak dibuat kerja.”

“Lo tuh emang mau kerja buat apaan? Kalo emang buat kebutuhan, duit yang gue kasih kurang tinggal bilang, gue masih suami lo, Sa jangan sungkan.”

Asahi mengusap tengkuknya canggung. Sebenarnya ada rencana gila yang ingin Ia buat dan mungkin setelah satu tahun lamanya keberanian baru muncul. Memulai hidup mandiri merupakan langkah awal dari semuanya.

“Gue pengen ngumpulin duit, terus merintis usaha sendiri dari nol yah beli saham siapa kek pokoknya pengen usaha, pengen ngehasilin duit sendiri.”

“Sa, ini lo ga lagi bikin rencana aneh-aneh kan?”

Si manis tertawa, lebih dibuat-buat demi menutupi raut yang tegang. Watanabe Haruto ini rupanya sosok cenayang.

“Enggaklah...”

“Kenapa ga minta papa ajasih, pasti dikasih gausah capek-capek kerja analisis sana sini. Atau lu mau kerja sama gue, jadi sekertaris pribadi?”

“Haruto... Untuk yang satu ini aku punya tujuan. Satu aku ingin mandiri dan satu lagi aku gabisa kasih tau sekarang. Pertanyaanku masih di awal aku boleh kerja atau nggak?”

Haruto tertegun. Kedua obsidiannya dikunci si manis dengan kesungguhan. Ada perasaan tak nyaman hadir dalam tubuhnya, inginnya tetap teguh melarang namun yang satu ini Haruto sungguh tidak tahu.

“Kayaknya gue gabisa bilang nggak ya, Sa?”

Dengan begitu Asahi mendesah lega dilanjutkan oleh senyum kemenangan.

“Makasih ya.”

Semenjak keputusan hari itu apartemen menjadi kosong hampir setiap harinya. Haruto yang semakin sibuk ditambah Asahi baru merintis usaha barunya. Asahi bersyukur dirinya begini juga berkat bantuan Haruto. Tak perlu bersusah payah bekerja, Haruto membantu menopang usaha yang masih baru. Memberi saran perusahaan mana yang bagus untuk dijadikan partner bisnis.

Kendati keduanya sibuk, Asahi lebih senang karena punya banyak topik untuk dibahas dengan sang suami saat bersama. Apakah ini menjadi titik awal perjalanan cinta mereka, apa memang begini takdirnya. Entahlah biarkan waktu yang melanjutkan alkisah ini hingga seluruhnya menyentuh titik bahagia sesuai porsinya masing-masing.


Malam ini kota diguyur hujan. Saking lebatnya hingga suara gemuruh dan petir ikut meramaikan. Cuaca mendadak dingin, hawanya cocok dimanfaatkan untuk menempel dengan yang terkasih. Berbagi suhu tubuh, saling menghangatkan.

Tapi tidak dengan Kim Junkyu. Sosok manis itu sedang menatap nanar televisi yang menyala. Menayangkan acara komedi malam hingga guyonannya mampu menghadirkan cairan bening yang terus turun dari kedua binar cantiknya. Tubuh jangkungnya dibungkus hangat dengan selimut, takut-takut ada yang melihat betapa rapuh batinnya saat ini.

Junkyu muak menjadi lemah, terus dikasihani oleh orang disekitarnya. Disamping itu Ia tak kuat berdiri sendiri. Junkyu suka perhatian, masa bodoh tulus atau sekedar iba tapi hatinya menjadi tenang.

Seketika tubuhnya menegang saat deheman berat menyapa indra pendengarnya. Punggungnya diusap lembut, perasaan yang coba dikirimkan sampai walau terbatasi selimut tebal. Setelah itu, pundaknya jadi berat. Beberapa helai rambut sosok disampingnya berhasil menggelitik geli bagian yang tak tertutup selimut.

“Selimutnya lebih hangat hingga enggan memelukku?” Suaranya lebih terdengar seperti geraman. Ditambah alunan rintik hujan membuat semakin merinding.

“Kyu?”

“Kamu ngapain kesini? Pulang aja kemaren kan udah kesini.” Ucapnya dengan nada menahan tangis.

Sosok kamu mengangkat seluruh beban tubuhnya. Menarik paksa selimut yang membungkus cintanya. Menatap Junkyu sedikit jengkel karena malah mendapat tatapan sendu.

“Kamu kenapa? Hmm?” Tanyanya lembut, jemari panjang lelaki Haruto digunakan untuk mengusap air mata yang masih terus mengalir.

Junkyu menggeleng, memilih bungkam. “Kamu pulang aja ya. Aku mau sendiri dulu.”

“Nggak! Aku gak mau pergi sebelum denger alesannya. You need me, Kim Junkyu!”

Nadanya tinggi cukup membuat Junkyu menciut takut. Kedua bahunya digenggam kuat. Jika sudah begini mana ada jalan lain untuk tetap sembunyi.

“Aku udah nggak kuat, Haru. I feel safe when you're around me, tapi pas kamu nggak ada hidup aku gak nyaman. Papa kamu neror aku terus. Aku pengen sembuh, Haru. Aku capek minum obat tapi kalo gini caranya aku makin gabisa bebas.”

Genggaman itu mengendur seiring hatinya muncul rasa tercubit. Perih, belahan jiwanya ternyata lebih sakit daripada sebelumnya. Haruto benci, lebih memilih tutup mata akan setiap ancaman yang ayahnya bagi. Tanpa mengingat ada Junkyu yang harus benar Ia jaga. Ayahnya itu bajingan Ia kira Haruto bisa bebas setelah keinginannya dikabulkan? Tentu tidak. Seluruh gerak giriknya dipantau detail 24/7.

“Aku udah disini aku bisa jaga kamu sekarang.”

“Kamu gabisa, tanggung jawab kamu yang sebenernya bukan aku. Asahi di rumah nungguin kamu, so please go home. You don't need to worry about me, waktu yang bakal bantu aku sembuh dan kamu, aku harap kamu belajar cinta sama Asahi.”

“Maaf yaa... maaf Junkyu...” Tanpa banyak kata pembelaaan Haruto menarik bunga mataharinya dalam sebuah dekapan hangat. Haruto gagal, menjaga dua hati memang tak semudah hanya dibayang.

Sejak awal kisahnya salah, penempatan tokohnya terlampau acak. Pada akhirnya semua yang terlibat harus merasakan sakit, bingung, dan lelah bersamaan. Saling dorong menuju tata letak yang diinginkan dengan menyalahi garis takdir membuat keadaannya runyam.

Haruto memang kaya, dapat menggenggam dunia. Tapi untuk jalan takdirnya sendiri...

Maaf, Haruto tak punya andil untuk itu.


2 bulan kemudian

Bolehkah membenci sebuah perpisahan?

Sebuah perpisahan adalah sebuah konsekuensi perjumpaan. Jika sudah berpisah selalu ada rindu yang sulit ditenangkan.

Beginikah keadaan yang tepat dengan Watanabe Haruto. Ditalak habis-habisan dengan belahan jiwanya membuat hidup agaknya berantakan. Berusaha membenahi barang rusak namun makin menghancurkan, sekarang Ia didorong semakin menjauh.

Haruto marah dengan dunia. Pada ayahnya yang membuat ini terjadi, pada Junkyu yang memaksanya pergi, pada Asahi yang selalu diam. Kenapa begini? Kenapa tak ada satupun yang bisa dijadikan tempatnya pulang, tempatnya mengadu. Haruto itu korban, tapi kenapa rasanya seperti dihukum telak seperti pelaku kejahatan.

“AAAAAAA!!!! AHAHAHAHA HIKS....”

Tubuhnya menggila, seluruh rasa sakit seketika datang menyerang. Batinnya lemah, Watanabe Haruto lemah. Berlagak baik-baik saja saat diluar dan terkapar tak berdaya saat sendiri bersama sepi.

“WATANABE ANJING- HAMADA... FUCK! KIM JUNKYU....” Teriaknya kesetanan. Apapun barang dalam jangkauan dilempar sebagai bentuk pelampiasan.

“Haruto! Haruto! Lo kenapa?”

Asahi baru saja masuk dalam apartemen, sudah menyaksikan tayangan paling epic selama Haruto di rumah. Ya, Haruto belakangan ini sering berada di rumah. Hanya diam seperti semangat hidupnya direnggut habis-habisan. Auranya mendingin, mata tajamnya kembali hingga Asahi sendiri takut tuk sekedar mendekat.

“Haruto please dong kalo ada apa-apa cerita sama gue.”

Bagai bertemu tiang sandaran Haruto memeluk Asahi dengan lemah. Menuntaskan seluruh air matanya dalam dekapan hangat sang suami. Asahi khawatir baru kali ini nampak Haruto begitu tertekan. Mungkin inilah sebuah puncak, Asahi tau Haruto hanyalah manusia yang punya batas kesabaran.

Mau tak mau Asahi ikut larut dalam sedih. Suaminya begini juga akibat campur tangan orang tuanya. Disini Asahi yang paling bersalah.

“Tolong Haruto bertahanlah sebentar lagi. Gue bakal balikin keadaan seperti seharusnya.”

Belum cukup sampai disitu pintu apartemen terbuka paksa. Sosok pria paruh baya berjalan mendekat dengan gaya angkuh. Sepasang manik Asahi membulat dibuatnya.

“Papa Watanabe?”

“Oh, di rumah kau rupanya anak keras kepala.” Tuturnya dengan nada angku.

Haruto membuang muka, muak dengan wajah Ayahnya. Mau apalagi si tua sampai sudi berkunjung.

Obsidian sang ayah berkilat marah. Telapaknya terbuka seperti meminta sesuatu. Si sekertaris yang tengah berdiri dibelakang menyerahkan berkas dokumen. Dengan sedikit tenaga dilemparkan begitu saja dihadapan sang putra

“Kembali ke kantor, kau membuatku rugi ratusan juta.” Titahnya. Nadanya datar nan dingin, Asahi jadi mengerti Haruto pun punya sifat demikian turunan sang ayah.

“Cukup. Aku tidak mau berurusan denganmu.” Balas Haruto, masih enggan menatap ayahnya.

“Anak tak tau diri!”

Tuan Watanabe geram, dengan kedua tangannya kaos kumal Haruto ditarik hingga tubuhnya terangkat. Kedua pasang netra saling menatap sengit.

“Apa? Papa mau pukul Haruto lagi? Pukul Pa! Ayo jatuhin harga diri Haruto dihadapan suami Haruto sendiri...”

”...Kenapa diem? Kemaren enteng aja tuh bikin muka memar. Papa takut harga diri Haruto jatuh di depan menantu Papa atau Papa takut kelakuan busuk Papa terbongkar dihadapan anak kolega Papa?!”

“Diam kamu!” Tubuh Haruto dihempas begitu saja di atas tanah.

Baik Asahi maupun pemuda sekertaris tak ada yang berani bersuara. Anggaplah Asahi pengecut tapi dengan diam setidaknya tak memperkeruh suasana.

“Inilah kenapa Papa tidak merestui hubungan kamu dengan anak gelandangan itu. Pembangkang!”

“APA PAPA BILANG? HARUTO BEGINI ITU KARNA PAPA! PAPA SADAR NGGAK KALO PAPA ITU EGOIS!”

“TERSERAH KAMU MAU BILANG PAPA KEJAM. PAPA MAU KAMU BESOK KERJA.”

“NGGAK! Cukup ya Pa, Haruto capek nurutin semua maunya Papa. Sampai masalah jodoh pun Haruto ikhlas. Haruto udah nikah sama Asahi dan ini akan jadi permintaan terakhir Papa yang bisa Haruto kabulkan sebagai seorang anak. Mulai detik ini Haruto mau hidup sesuai keinginan Haruto, mau sampai Papa nggak anggep Haruto anak pun Haruto udah gak peduli. Silahkan keluar!”

Tuan Watanabe tertawa sarkas lebih kearah meremehkan. Tuan Watanabe membenarkan posisi jas mahalnya yang sedikit berantakan. Bibirnya tersungging senyum kemenangan.

“Haruto.. Haruto... Kamu lupa ya nak, Papa ini orang tua kandung kamu, yang paling ngerti titik terlemah kamu. Kamu berani begini dengan Papa apa tidak takut pacarmu akan terluka?”

Haruto maju mendekat layaknya menantang. Emosinya kembali menggebu. Haruto nggak bodoh, Haruto mengerti betul siapa yang sedang dibicarakan sekarang. Kim Junkyu, memang benar titik lemah bagi Watanabe Haruto.

“Jangan sentuh Junkyu. Junkyu udah jauhin Haruto. Haruto udah nggak ada hubungan apa-apa sama Junkyu.” Jujur Haruto takut; ingatkan Papanya orang paling kejam juga nekat.

Tuan Watanabe tersenyum. Menepuk kedua pundak putranya yang terangkat ke atas. Lantas pergi tanpa patah kata terakhir.


Keesokan paginya kembali menjadi normal. Sepasang suami menikmati sarapan sederhana meskipun dalam suasana cukup awkward lengkap dengan pakaian formal khas orang kantoran. Haruto melirik Asahi dari sudut matanya. Si manis diam sejak kemarin, Haruto juga sempat melihat tubuh kecilnya hampir limbung beberapa kali.

“Asahi?” Panggilnya lembut.

Asahi dipanggil begitu jadi berdebar, menoleh lengkap dengan senyum manis. “Iya?”

“Lo pucet. Lagi sakit ya?”

Pipi putih itu mendadak memerah saat menerima belaian dari jari panjang sang suami. Jujur, satu setengah tahun hidup dengan Haruto pastilah timbul perasaan cinta. Sedikit, perhatian kecil pria itu membuatnya nyaman. Pun Asahi sadar sifat lembut Haruto buah tangan dari sosok masa lalunya.

“Gue nggak papa kok. Lagian hari ini rapat penting gabisa ninggal.”

“Gue anter ya, nanti pulangnya juga gue jemput.”

“Nggak usah, kan kantornya beda arah banget. Gue baik kok jangan khawatir.”

Keadaan diam sejenak, hanya ada suara alat makan sebelum Asahi mengeluarkan suaranya lagi.

“Haruto, kalo lo sama gue udah ga sibuk main yuk, aja Junkyu juga. Kangen main kayak dulu lagi.”

Hampir Haruto tersedak. Tiba-tiba? Main bertiga? Asahi ini gila atau gak waras? Gimana bisa pasangan hidup dan mantan pacar main bersama. Asahi we were far away from the past.

“Nanti gue pikirin lagi ya.”

“Lo sama Junkyu ada masalah ya?” Tanya Asahi penuh hati-hati. Takut malah menyakiti perasaan suaminya.

Haruto menghela napasnya berat, “Maaf ya, Sa. Gue sama dia kayaknya gabisa sama-sama lagi seperti yang lo pengen.”

“Papa nyakitin Junkyu ya? Maafin gue ya karna keluarga gue kita kayak gini.”

“Sa udah ya... Anggep aja gue gini juga karna gue peduli sama Junkyu.”

Masalah kali ini pengecualian, Mereka harus cari jalan keluarnya masing-masing. Jika dengan tak bersama membuatnya jadi baik-baik saja maka lakukan.

Toko Bunga

Malam hari kembali hujan cukup deras hingga pemuda jangkung memilih menunggu di depan tempatnya bekerja. Seluruh toko di daerah satu persatu menjadi gelap. Tiada orang lewat selain si pemuda akibat hujan begitu lebat. Lengan si jangkung diulurkan hingga tiap tetesan menabrak permukaan kulit. Perasaan tenang muncul ketika hidungnya dimanjakan dengan bau petrichor dari tanah. Pemuda Junkyu mengingat sudah berapa lama hidupnya berantakan, tak lagi menganggap kegiatan kecil ini kebahagiaan. Junkyu ingin seperti dahulu, bersenang-senang walaupun hanya ada bayangnya sendiri.

Salahkan sang dewa cinta. Mempertemukan hatinya dengan si pria dingin. Hingga jiwa dan raganya jatuh ke palung paling dasar dalam perasaan yang mereka buat. Hingga Junkyu yang mandiri dibuat tergantung oleh sosoknya.

“Apa kamu bahagia seperti ini?”

Tanpa perlu dilirik pun Junkyu tau suara siapa. Sosok yang sangat dihormati sekaligus sosok yang sangat ditakuti. Pria paruh baya yang menjadi momok dalam hidup percintaannya.

“Apa kamu bahagia hidup berlimpah belas kasih orang-orang?”

Tidak. Junkyu tidak memilih hidup seperti ini.

“Pergilah, kasihani anak dan menantuku. Biarkan mereka hidup dalam ketenangan.”

Cairan bening menetes tanpa berhasil dicegah. Mengalir deras layaknya air hujan yang jatuh dari langit hitam.

Apa kehadirannya benar-benar tak berguna? Sekalipun sampah Ia rasa lebih dihormati daripada harga dirinya. Apa Junkyu benar tidak memiliki hak atas kehidupannya? Apa lagi yang diinginkan orang kaya? Membuatnya menyerah akan cinta pun kurang cukup. Bagaikan Tuhan yang mampu membolak balikkan nasib manusia.

“Aku akan pergi, jauh... jauh dari sini.”

“Pergi jauh sampai ujung dunia pun tak membuat anakku berhenti mengejarmu.”

Dadanya sesak, pandangan mata mendadak kabur. Tubuh yang selama ini telah mampu bangkit jatuh terkulai lemah di atas pelataran toko. Seluruh bagian tubuhnya diserang sakit hingga pikirannya tak mampu lagi diajak kompromi. Kewarasannya direnggut semua. Terima kasih suara hujan, setidaknya tangisan pilu meraung teredam sempurna. Junkyu tak perlu takut seseorang datang dengan rasa iba.

Jika mati adalah pergi yang dimaksud, maka Junkyu janji sebentar lagi malaikat maut datang menghampiri.


Dalam apartemen yang hangat Haruto lari kalang kabut. Hari memasuki tengah malam ditambah hujan enggan berhenti membuat sang suami jatuh sakit. Langkah kaki panjang berjalan masuk keluar kamar dengan panik mengambil obat atau mengganti air kompres. Mengupayakan agar suhu tubuh suaminya turun hingga besok bisa dibawa ke rumah sakit.

“H..ha..ru..to?” Cicitnya lirih dengan mata tertutup. Tangannya coba diangkat seolah ingin meraih sesuatu.

Haruto meletakkan baskom di bawah tempat tidur, mengambil jemari mungil yang terasa panas. Menggenggamnya erat dengan perasaan khawatir.

“Iya kenapa mau apa?”

“Aku.. m..mau.. ngomong..sst..sesuatu..” Ujarnya dengan susah payah.

“Nanti aja ya, Sa. Lo lagi sakit gini ke rumah sakit yuk! Aku takut kamu kenapa-napa.”

“Junkyu... junkyu?” Bisiknya memanggil-manggil.

Asahi ini sudah sakit masih memikirkan orang lain.

“Junkyu baik-baik aja. Ayok udah ke rumah sakit kita.”

Masa bodoh hujan, daripada terjadi sesuatu yang tidak diingkan lebih baik bergerak sekarang. Haruto memposisikan kedua lengannya dibawah tengkuk dan celah lutut Asahi. Menggendongnya ala bridal style, berlari secepat kijang hingga tiada satupun yang dapat menghentikan langkahnya.

Sunflower🌻 is calling...

Gerakannya berhenti sejenak setelah berhasil menancapkan kunci mobil. Menggaruk rambutnya frustasi melihat siapa yang menelepon. Kim Junkyu tolong jangan sekarang.

“Halo?”

“Halo apa benar Tuan-”

“Nanti ya, Kyu. Asahi harus buru-buru dibawa ke rumah sakit. Nanti aku telpon lagi yaa, kamu minum obat dulu. Okey?”

“Halo? Tuan?”

Melempar ponselnya ke bangku belakang, tangan Haruto bergerak cepat mengubah haluan kunci mobil. Kaki panjangnya menekan gas dengan kasar hingga mobil hitam itu berlari menembus hujan.

Sunflower🌻 is calling...

tut..

tut..

tut..

Nomor yang anda tuju sedang sibuk, silahkan coba lagi.

Kepada Junkyu, untuk kali ini Watanabe Haruto harus memilih Asahi.

to be continue....

Part 4. End of Our Story


by: teuhaieyo