chapter eight.


Desahan putus asa mengisi ruangan kamar berukuran 3×3. Datangnya langsung dari si pemilik kamar yang tengah dilanda frustasi. Salah sendiri, siapa suruh gegabah menanggapi pesan masuk yang datang langsung dari si manis.

Haruto, si pemeran utama akhirnya melempar ponsel pintarnya di kasur. Kalau dibuang ke lantai tolong, Haruto masih sayang benda persegi panjang itu. Rambutnya diusak hingga berantakan. Meringis sakit tatkala tak sengaja menyenggol luka yang belum mengering.

“Aarrgghh..., Haruto kok lu bego banget sih!” Erangnya frustasi.

Tok... Tok...

“Haru, ini mama.”

Sial, gimana bisa keluar dengan wajah babak belur?

Selama ini Haruto selalu bisa menyembunyikan luka fisik maupun batin dari sikap perundungan anak orang-orang berada di sekolahnya. Menjadi anak paling bahagia di rumah.

Haruto beranjak, membuka pintu kamar untuk mamanya dengan wajah polos. Mama Watanabe yang awalnya memancarkan senyuman merubah ekspresinya secepat kilat melihat rupa anak lanangnya.

“Ayah! Haruto..., sini ini Haruto!” Bukannya tenang, Mamanya malah panik.

Tentu saja, Haruto anak satu-satunya. Sedari dulu dirawat dan dibesarkan penuh afeksi kasih sayang, hingga membentuk pribadi Haruto sekarang. Wajah rupawan yang sejak dahulu dieluh-eluhkan mendadak rusak berantakan.

“Mah-”

“Kenapa? Loh, Haru kenapa muka kamu?”

Haruto menyerah, setelah ini tidak ada jalan untuknya berkilah.


“Ssshh... Ma, pelan-pelan.”

Haruto boleh terlihat pemberani diluar, menjaga harga dirinya agar tidak jatuh meskipun harus dipukuli sedemikian rupa. Namun, jika sudah berhadapan dengan kedua orangtuanya, Haruto hanya sosok anak lemah, cinta akan perhatian dari Mama pun Ayahnya.

Sang kepala rumah tangga tersenyum maklum. Merasa gemas dengan kelakuan anak lelaki yang tengah merasakan hormon remaja. Ingin memukulnya lebih tapi dilihat dari keadaan yang sudah babak belur membuatnya turut prihatin.

“Cie anak Ayah udah gede, udah tau cowok manis..” Goda sang Ayah gemas.

Haruto merengut, bukannya membantu menaikkan mood malah mengacau. “Ayah mah..”

Haruto berhasil, menceritakan setiap kejadian yang terjadiㅡminus segala tindakan perundungan yang Ia dapat sejak kelas satu. Hanya masalah hati, mengejar si pria manis yang ternyata punya pawang galak.

“Emang secakep apa anaknya Sampek kamu rela bonyok kayak gini?” Tanya sang Ayah penasaran.

Haruto tersenyum malu, semburat merah muda hadir menghiasi pipinya, “Nanti kalau Haruto udah dapet dibawa kesini. Ayah sama Mama pasti bangga.”

Sang Mama geram, tadi diobati meringis saat diajak membahas yang katanya calon mantu mendadak jadi orang sehat.

“Iya deh iya gemes, tapi nggak usah sampek berantem gini, mas kan nggak baik. Nih muka anak Mama tadi ganteng terus jadi jelek, emang mau gebetan kamu punya cowok jelek?”

Haruto tersenyum kecut. Teringat kembali kebodohannya berapa menit lalu.

Haduh..., gimana bisa dapetin nomor Junkyu lagi?


`teuhaieyo.