chapter five.


Junkyu point of view

Thank God i'm finally alone. Berlari sejenak dari rutinitas hidup melelahkan yang terjadi kurang dari seminggu setelah dimulainya semester baru.

Aku Kim Junkyu, anak pemilik yayasan sekolah. Lahir normal ditengah keluarga kaya raya. Menjadi anak tunggal membuatku merasakan kasih sayang luar biasa dari kedua orang tua. Seperti, hidupku akan berjalan dengan baik sampai kapanpun.

Sebelum hari itu keluarga Pak Menteri datang, aku tidak tau perihal apa karena kala itu umurku masih 5 tahun. Dan pada hari itu juga sosok Yoshi mulai hadir dalam hidupku.

Hah...lucu jika diingat kembali. Yoshi yang dulu sepuluh kali lipat lebih menyenangkan dengan Yoshi besar sekarang. Murah senyum, penuh afeksi, dan sisi positif lainnya. Bukan Yoshi dengan tempramen tinggi, perundung, dan yang paling aku benci adalah sifat posesif berlebihannya.

Merubahku menjadi seekor binatang dalam kandang kebun binatang. Keanggunan hanya untuk dilihat bukan disentuh, takut-takut sentuhan akan merusakku. Menjadikan seluruh tubuh hak miliknya seorang. Tidak bebas kesana-kemari dan yang ingin datang menghampiri diberi batas, selalu diawasi.

In the end of the day, aku sendirian dalam sepi.


Srak!

Kelopak cantik Junkyu terbuka, menghentikan sejenak kegiatan merasakan semilir angin tatkala gendang telinganya menangkap suara langkah kaki beradu daun kering.

Disinilah Junkyu menyendiri dengan bayanganya. Duduk di bawah naungan pohon beringin tua yang ditanam pada lapangan tak lagi terpakai. Sebenarnya Junkyu tidak yakin kenapa sekolah tidak menggunakan lapangan ini lagi bahkan enggan merawat. Desas-desus pernah terjadi pembunuhan siswi dan arwahnya gentayangan disini.., yahㅡ cerita klise semua sekolah.

Junkyu mengedarkan pandangan ke depan, sedikit menyipit karena wajah lelaki yang tengah mendekat terpapar teriknya matahari siang. Pandangannya kembali normal saat tubuh jangkung sampai 5 meter tepat di depannya.

“O-oh, Haruto?”

Benar Haruto, awalnya Junkyu bingung kenapa pemuda ini bisa sampai disini namun, saat Haruto menyodorkan lagi kotak susu berwarna merah jambu, Junkyu kembali ingat tentang ajakannya kemarin.

“Terima kasih, sini duduk!” Ajaknya.

Junkyu menepuk rerumputan yang menjadi alasnya duduk. Terkekeh geli saat sudut matanya menyadari betawa lebarnya jarak yang dibuat.

Satu yang menjadi first impressionㅡnya pada pemuda satu ini, Haruto sangat sopan.

Lama mereka diam sendiri, lebih banyak membuat pertanyaan dalam pikiran daripada diutarakan. Sama-sama penakut dalam hal mengungkapkan, pada akhirnya mereka sendiri terjebak dalam lingkaran kecanggungan.

“Eh..,eum.. Junkyu, saya permisi dulu.”

Memilih berlari menjauh daripada mencoba lebih keras tuk mendekat.

Ketika Haruto tegap berdiri meskipun dirundung kecewa akan sikap pengecutnya. Junkyu dengan segenap keberanian mencekal pergelangan tangan si pemuda. Mengambil atensinya kembali hingga kedua pasang manik mereka bertemu.

“Aku boleh minta tolong?”

Haruto memilih diam membiarkan Junkyu mengutarakan maksudnya dalam kata tolong.

“ㅡdisini aja, temenin aku.”


Sekarang Junkyu paham ramai bukan berarti bersama, dan diam bukan berarti kesepian. Junkyu baru tau akan sebuah perasaan. Dimana dia merasa tak lagi sendirian meskipun tanpa sepatah kata.

“Haruto, bagaimana rasanya memiliki teman?” Suara Junkyu akhirnya.

Haruto melirik pada si manis, pemuda yang sedang diusahakan. Wajahnya masih lurus ke depan menerawang entah apa.

“Tidak terdefinisi.” Balasnya penuh kejujuran.

Sejak hari pertama Haruto masuk pikirnya hanya fokus belajar dan bertahan akan tindasan, sampai akhirnya takdir mempertemukan dengan keempat sahabatnya.

Seperti semua rasa bercampur menjadi satu hingga kita bingung sendiri perasaan mana yang tepat untuk mendeskripsikan arti sebuah ikatan persahabatan.

Junkyu tertawa, hambar. Karena Ia belum pernah merasakan salah satunya. Hidupnya hampa, kosong melompong layaknya membawa raga tanpa isi.

Seketika angin berhembus kencang, hingga daun kering ikut terbang.

“Akh-” Junkyu memekik, telapak tangannya nampak menutupi sebelah mata.

Mendengar itu Haruto panik, menggeser tubuh jangkungnya. Menabrak sendiri tembok yang Ia bangun diantara dia dan Junkyu.

“Perih...” Lirih Junkyu, bibirnya mengerucut lucu hingga Haruto ikut gemas sendiri.

“Maafㅡ” Haruto ijin untuk mencekal pergelangan tangan Junkyu, mencegah si manis untuk mengucek bola matanya.

Selanjutnya, jemari Haruto jatuh menyentuh kulit sebersih kapas. Mengusap lembut kelopak mata yang masih tertutup.

Aneh, sentuhan yang dirasa malah membuat Junkyu tenang. Batinnya Haruto hanyalah orang asing tapi Junkyu seakan pasrah menerima setiap belaian yang diberikan pemuda itu. Pikirannya pun begitu, sama sekali lupa akan segala perintah yang Yoshi telah tanam akan bahaya orang baru.

“Buka mata kamu pelan-pelan.” Perintahnya.

Junkyu menurut, mengerjapkan matanya perlahan, membiasakan lagi akan cahaya yang mulai masuk.

Saat keduanya terbuka sempurna, hal yang pertama Ia lihat adalah wajah rupawan Haruto. Sangat dekat, mengamati dengan raut khawatir. Hanya berhadapan seperti ini debaran jantungnya dibuat tak beraturan, baru pertama kali tubuhnya bereaksi demikian.

Mungkin ini salah satu rasa yang tak terdefinisi.

“Maaf saya boleh tiup mata kamu?”

Seperti sebuah perintah padahal hanya sebuah pertanyaan, Junkyu mengangguk pasrah. Membiarkan si pemuda meniup kedua matanya bergantian.

Membiarkan dirinya merasakan lebih lama perasaan aneh namun menyenangkan yang hadir diantara dia dan Haruto.


`teuhaieyo.