hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


TRIGGER WARNING ; SEXUAL CONTENT, HARSH WORDS 🔞

Fairbanks, Alaska

Khaotung gak pernah tau kalau datang ke Alaska bakal sejauh, sesusah, dan secapek ini. Kenapa ya kok kepikirannya Alaska waktu First nanya? Malam itu mereka gabut banget, juga dalam keadaan lega semua-muanya telah kembali normal. Tentu saja kecuali hubungan mereka berdua, berubah jauh lebih baik daripada yang dia bayangkan.

“Aurora aku belum pernah lihat sih.” Jawab Khaotung asal malam itu, dan voila! suaminya mewujudkan semuanya.

It's Fairbanks, tempat wisata seasonal yang gak setiap hari bisa dikunjungi. Mana kalau datang juga harus nunggu momen yang tepat. Belum tentu bisa liat fenomena aurora di keadaan dunia yang udah banyak berubah ini. The people, the weather, the infrastructure. Gosh!

Rumah yang di sewa First nampak nyaman, meskipun secara look sederhana. Jenis kabin gitu, ada penghangat yang masih tradisional, ngandelin kayu bakar. Pemiliknya sih bilang, kalau gak usah khawatir buat nambahin kayunya sampai besok pagi. Jadi First sama Khaotung bisa leha-leha menghilangkan jetlag yang gak kelar-kelar ini.

Berada di atas sofa besar, dengan First yang memeluk Khaotung dari belakang. Khaotung anteng, gak tidur. Tetapi, sorot matanya sibuk ngeliatin kayu-kayu yang lagi terbakar di depannya. Mereka berdua gak ada yang mau sukarela buat berdiri sekedar unpacking, atau mikir makan apa malam hari ini, atau paling gak nyari hiburan di saluran televisi Alaska.

Hei, mereka lagi liburan kan? Ya, mereka benar-benar liburan. Liburan dari tekanan pikiran masing-masing. Merdeka dari optimisme diri mereka sendiri. Mau jadi manusia lemas, letih, lesu, lungai aja.

First sampai gak sadar udah berapa lama dia melayangkan kecupan di ubun-ubun Khaotung. Menggelitik dirinya sendiri di antara rambut-rambut halus Khaotung yang wanginya masih semerbak bunga cherry blossom. Wangi, nyaman banget, konyolnya, First gabut usap-usap kulit kepalanya sendiri, terus dicium. Biar gak minder, takut bau kecut juga tapi Khaotung nahan-nahan.

Terus gak tau juga gimana, kecupan yang First lagi salurkan berjalan runut. Dari atas semakin turun, semakin turun, dan turun hingga tengkuknya. Khaotung masih bergeming nyaman, meskipun cowok yang di belakangnya mulai gerak gelisah. Tangan kekarnya melingkari Khaotung seksama, bikin sesak tapi Khaotung sengaja gak mau bereaksi dulu.

Cowok jangkung kini tengah menjamahi tengkuk Khaotung yang tertutup helai-helai rambut juga sempitnya jarak. Basah, bikin Khaotung merinding, sensasi kasar papila yang bergesekan sama kulitnya mulai memacu debaran jantungnya yang semula konstan. First ini kurang ajar, dia tak segan menggigit sesekali, membuat Khaotung mau gak mau mulai mengaduh sakit, bereaksi yang membuat suaminya senyum kemenangan.

Badannya yang lebih kecil seakan terkunci, gak bisa kabur, hanya bisa menggeliat tak nyaman. Bibir First Kanaphan pindah dari satu titik ke titik lainnya jika sudah muncul bercak merah-merah, seolah sedang berada dalam perlombaan buat cupang terbanyak dalam waktu singkat. Gak ada ampun, kupingnya ketutup sama birahi yang tiba-tiba datang di tengah hawa dingin.

Kala kanvas putihnya tercoreng noda semua, First mulai beranjak, membalik tubuh Khaotung semaunya, terlentang di bawah kungkungannya. First senyum tengil, seakan meminta izin. Nafsunya sudah muncul, sange tiba-tiba dan disini gak ada alasan buat nolak, harusnya.

Dahi Khaotung mengkerut, menatap sebal First Kanaphan yang telah berubah jadi serigala brengsek. First dalam mode ini bebal, ditolak makin kasar, tapi dituruti juga kayak dajjal. Bisikan-bisikan sensualnya mencuci otak Khaotung, menyuruh syaraf berfikirnya untuk membuang rasional, kewarasan, dan akal sehatnya. Pelan-pelan Khaotung di seret ke neraka, dibakar di atas api yang berkobar, hingga habis dilalap tak tersisa. Hilang bersama kenikmatan.

Mata suaminya berbinar kala Khaotung tidak berkata apapun. Ia anggap bukan sebuah penolakan. Bibir Khaotung disambar, ditekan hingga tak ada rongga yang membantu Khaotung bernafas. Laki-laki penuh birahi itu mengambil bibir atasnya, menariknya pelan seolah itu adalah permen kenyal dengan taburan gula. First menggigitnya menggoda sebelum dilepas, melahap bibir bawahnya bergantian. Bibir Khaotung anyep, dingin tapi hangat, hangat namun dingin.

Khaotung terlena, terbuai akan fitnah bedebah yang terus memberinya stimulasi memabukkan. Khaotung melayang, matanya tertutup, dagunya mendongak memberi akses suaminya untuk terus mengusir kewarasannya. Khaotung hilang jati diri di tengah hutan belantara yang menyesatkan. Khaotung dikekang dalam penjara tubuh yang terus menekan bagian bawahnya.

Mata cantiknya terbuka beberapa kali, bersamaan bibirnya yang melengguhkan suara biadap yang membuat suaminya makin menari di atas tubuhnya. Halus pula licin, sesekali lidah First terantuk tonjolan yang dapat mengaktifkan suara-suara menyenangkan bagi telinganya. Benda lunak itu berputar, meninggalkan bekas basah juga getaran tak nyaman bagi sang pemilik tubuh. Kadang Ia mengecup, meninggalkan bekas-bekas abadi tanda kepemilikan. Khaotung menggigit bibirnya yang hampa ditinggal pemiliknya, berisik karena dibiarkan bebas sejenak. Khaotung menutupnya malu-malu kala dia rasa suaranya makin laknat.

First Kanaphan bangkit dari tenggelam dalam samudra kenikmatan. Merasa belum puas dengan begitu banyaknya tanda maksiat dan tak berdayanya tubuh Khaotung berantakan. First melepaskan kemejanya, Ia benahi dahulu kepala Khaotung agar matanya tersorot ke arahnya. First ingin dilihat, ingin dipuja karena karyanya begitu sempurna. Wajahnya dibuat menggoda, Khaotung menelan ludahnya yang telah tercampur dengan milik suaminya. Laki-laki brengsek di atasnya ini pasti akan membunuhnya sebentar lagi, Ia tak akan segan mengubur tubuh Khaotung dengan keringat dan spermanya.

First duduk tepat di atas selangkangan Khaotung yang lurus mengikuti panjang sofa. Kayak gigolo, mesum, laki-laki di atasnya dengan semangat mulai menggerakkan pinggangnya. Memberikan reaksi aneh yang muncul dari gesekan antar alat kelamin. Khaotung pusing tujuh keliling, pasal kontolnya yang harus tegang ditindih suami gobloknya. Rasanya sakit, ngilu, bercampur geli, juga sesak.

Khaotung gak bisa bernafas, nafasnya tercekat, dadanya sesak. Otaknya dibuat bingung, kepalanya makin cenat-cenut. Salahkan First Kanaphan dan birahinya yang tolol. Khaotung habis, kaku, terkekang, First menjatuhkan kembali tubuh polosnya, menghimpit perut Khaotung yang rasanya ada gelembung meletup-letup, bibir laki-laki itu meraup kembali bibirnya tanpa ampun, sampai kebas, sedangkan pinggangnya, kontolnya, gak berhenti bergerak menggesek miliknya yang diam membisu.

Ingatkan Khaotung untuk menghukum balik dewa kematian yang brengseknya adalah suaminya. Jikalau Khaotung mati akibat bersenggama dengan sang suami, arwah penasarannya akan datang menghantui, menyetubuhi First Kanaphan di sisa kehidupannya, sampai gila, sampai mati, dan berdansa dengannya di alam baka.

Uughhnm... ahhhhhm... Hhmmmnnn... Geramnya. Khaotung menggeliat, mencari celah sedikit saja agar ada udara yang masuk dalam pori-pori kulit yang seluruhnya telah basah akan keringat. Mencoba melepaskan dirinya yang diujung tanduk kala merasakan cairan precum keluar dari lubang kontolnya. Khaotung mau bebas, terkencing-kencing merasakan pelepasan pertamanya.

Tetapi First Kanaphan gila itu malah menggenggam batang miliknya, diremas gak kira-kira, dia pikir itu tongkat kayu yang keras. Ia mengangkat pinggangnya, menggerakkan tangannya, mengocok penis suaminya yang akhirnya bisa berdiri tegas. Kasar, tanpa belas kasihan, matanya menyalang puas menatap Khaotung bagaikan mangsa yang berteriak pasrah diujung kematiannya.

AHHHHH HHMMM SSHHHH JAAANGGAHHH!! Dan First tersenyum bangga, menadah cairan yang keluar tanpa rasa jijik. Menyebarkan kebiadabannya ke sekujur tubuhnya, dimasukkan sisanya dalam mulut bangsatnya sendiri, dibagi dermawan dengan pemiliknya sendiri. Bau khas menusuk hidung Khaotung, rasanya bercampur dengan saliva, Khaotung menelannya semua. Lengket, basah, meninggalkan benang panjang kala First meninggalkan bibirnya.

First akhirnya melepaskan Khaotung dalam kebebasan bersyarat. Membiarkan mangsanya bernapas sejenak sebelum dia siksa dalam kegelapan. Membiarkan Khaotung merasakan kenikmatan sengatan yang masih bersisa, merasakan desiran darahnya yang tak kunjung melambat, debaran jantungnya yang berisik gak karuan, dibarengin denyut kepalanya yang menghantam kewarasannya, juga cairan air mani yang melenggang bebas deras di paha hingga kakinya.

Khaotung indah tak berdaya dan First Kanaphan tidak punya belas kasihan. First Kanaphan sudah habis digerogoti nafsu, dibisiki kemungkaran yang membuat dirinya berbelok sendiri menjajahi neraka persetubuhan. Khaotung pasrah, jika tubuhnya dipakai bagai pelacur semata dia akan terima. Toh faktanya dia juga berteriak minta dilecehkan.

Khaotung dipaksa berbalik, memperlihatkan punggungnya yang berkilau. Masih bersih belum terjamah. First membantu suaminya, mencari gaya yang ada di kamus kamasutra yang sudah dia hafal di luar kepala. Khaotung dibuat menungging tanpa busana di atas sofa dan First berdiri di depannya bak penilaian kontes hewan peliharaan tercantik.

First melayangkan telapaknya, menggerayangi tiap jengkal kulit Khaotung yang dingin. Gerakannya sensual, kadang nakal, hingga Khaotung sendiri menggeliat. Kakinya bergetar, tubuhnya tegang, kepalanya mendongak kala tangan besar suaminya sengaja berbuat kasar menampar pipi pantatnya. Merah menggoda, First gila dibuatnya.

Bongkahan kenyal itu diremas, kayak bikin adonan roti, dibuka tutup hingga nampak belahannya yang merah malu-malu. First ludahi sedikit lubang yang masih mengkerut, dibasahi, dielus pelan membuat empunya kurang nyaman. Lalu, First naik tepat di belakangnya. Menyetarakan derajat kontolnya dengan rumah singgahnya. Sudah basah, terlihat menggoda, berkedut seolah mengundang First datang bertandang.

Kepala penis ditekan, Khaotung gemetar, jari-jari kakinya mulai bergerak berantakan. Dia bisa rasakan sakitnya kala kontol panjang tegang bajingan tak memberinya jeda untuk bernapas dan bersiap. Khaotung menggigiti bibirnya sendiri, meremas permukaan datar yang gak membantu mengurangi rasa perihnya.

Namun First menggeram kenikmatan, menutup matanya di udara merasakan kontolnya perlahan masuk, dilahap, dan diremas kuat. Dia bergerak, masih lambat mengatur temponya, masih menikmati sensasi kemenangannya. First Kanaphan kini bak seorang raja yang pulang dengan rasa bahagia, menunggang kuda yang lelah pulang ke istananya setelah menang perang di negeri orang.

Lelaki itu bergerak, memacu gerakannya konstan. Tangan nakalnya tak bisa diam, telinganya dikelilingi suara syahdu patah-patah dari sorak sorai pendukung yang mencintainya. Berteriak kepuasan, menjerit agar sang raja terus menjamahnya, mengagungkan namanya berkali-kali seolah dia adalah dewa kemenangan yang harus dipuja-puja.

Raja Kanaphan semakin gila kekuasaan, bijaksananya ditukar nafsu semata. Bergerak brutal menghujam pedangnya tanpa ampun. Dia si raja dermawan yang berubah menjadi penjajah. Tubuh Khaotung dijajah tanpa sisa, miliknya semua, tiada satupun orang boleh menjamah selain dirinya. Bahkan Khaotung sendiri tidak punya hak atas tubuhanya. Khaotung hanya pasrah, meraung mohon ampun kepada kedap udara. Sedangkan sang raja di belakangannya menutup telinga.

Keduanya tegang, kala hampir diujung pelepasan. Khaotung makin panik, gusar, jari jemarinya meraba-raba cari pegangan. Kakinya gemetar, dengkulnya pasti merah. First layaknya orang kerasukan, wajahnya udah tolol, yang di kepalanya cuma ewein lubang suaminya sampai lecet, sampai dia denger Khaotung nangis minta ampun, sampai Khaotung lemes dan akui kalau First hebat.

Cowok itu gak berhenti menghentakkan kontol di lubang suaminya yang udah kebas, menganga. Gak peduli cairan sperma yang udah sampai ujung minta ditembakkan. Dan tubuh Khaotung terhentak hebat, suaranya udah putus asa, teriak kesakitan hingga menetes air mata. Minta diampuni sama tuannya.

Terakhir badan Khaotung jatuh bersama kepalanya, terkapar di atas sofa. Mengais sisa-sisa udara yang masih tersisa di medan tempur yang sudah hancur berantakan. Perutnya kejang, mual, mau muntah. Kalau First gak nahan pahanya, Khaotung pasti jatuh ke lantai. Suaminya udah pasrah, menunggu First dan kontolnya yang masih setia tertancap, merasakan aliran hangat dalam lubang senggama, dan kekosongan saat batang laknat akhirnya pergi dari peraduan. Untungnya, Khaotung masih bernyawa, dan dia gak tau harus bersyukur atau bagaimana.

First Kanaphan beranjak, bertelanjang dada bergerilya di sekitar kabin. Membuka satu persatu pintu yang belum mereka jamah. Khaotung habis tenaga, masih setia di sikap yang sama. Terlentang tak berdaya, bagai hidup segan mati jangan dulu. Matanya dia paksa buat terjaga, tapi sistem tubuhnya mati total.

Langkah ringan suaminya terdengar, siluet tanpa busana hadir di hadapannya. Udah, dia gak sanggup yang mau marahin buat pake minimal boxernya. Liat kontolnya yang tergantung bebas aja sebel, gak napsu saking capeknya. Yang Khaotung tau adalah, badannya udah direngkuh sama bed cover, tebal, hangat, dan rasa kantuk itu mulai menyerang.

Detik-detik selanjutnya Khaotung cuma ngeliatin tingkah First dari sorot matanya aja. Dia yang pake baju, terus ngatur suhu api unggun, dan ke dapur ambil segelas air hangat, ditaruh gitu aja di meja depan Khaotung terlentang. Terus Khaotung denger pintu halaman belakang kabin dibuka, ada bau nikotin yang semerbak ke dalam kabin karena diterpa angin dingin.

“Nya, kamu gak akan percaya sama yang aku lihat sekarang.” First ngomong, agak kenceng biar Khaotung denger.

“Liat, Nya! Aurora!” Timpanya lagi semangat.

Sumpah Khaotung yang mulai ngantuk ada geramnya juga. Dia gak bisa berdiri, berlari ke halaman belakang buat lihat apa yang lagi bajingan mesum itu lihat. Dan ini semua ulah First Kanaphan. Cowok itu ngejek banget batin Khaotung.

First sesap batang nikotinnya lagi, menghembuskan asapnya beserta beban-bebannya. Dia biarkan seluruh hal negatif hilang ikut angin Alaska.

“Makasih ya, Nya udah bertahan sama aku. Meskipun kita mulai semuanya dari situasi yang gak baik, tapi aku bahagia kita tetep bisa bersama. Aku masih gak percaya kalau sekarang, hubungan kita berdiri di atas cinta kita berdua. Mama kamu pasti seneng, Nya. Ibu sama ayahku juga pasti sayang banget sama kamu kalau mereka masih ada.” Kalimatnya panjang sembari matanya sibuk melihat awan dengan fenomena warna.

“Aku sayang banget, Nya sama kamu. Aku cinta banget sama kamu.” Finalnya.

Dan puisi cinta First Kanaphan tidak terbalas malam itu. Namun, First gak sedih, manusia yang baru kembali akal sehatnya terkekeh menyadari kebodohannya. Menyerang Khaotung secara brutal di hari pertama bulan madu sungguh tidak ada dalam bucket list-nya.

Ya Tuhan, mati kamu besok hingga lima belas hari kedepan, First Kanaphan!


`hjkscripts.


Mix marah, Earth tau betul. Maka dia gak bisa lagi nerusin angkat barbel. Paling nggak buat belakangan ini, otot-ototnya bukan prioritas. Earth mandi, kelimpungan, lari sana-sini gak takut kepeleset soalnya dia gak nyadar kalo badannya masih basah. Omelan Gawin gak sampek di telinganya.

Earth cuma mau bersiap diri, sopan hanya dalam waktu hitungan menit. Ternyata, saking buru-burunya dia gak sengaja pake kemeja batik dan celana denim. Nyaut jaket kulitnya dan helm full face. Oh iyaa, Earth balik lagi, masih dipelototi Gawin yang ada di dapur, kunci motor! Setelah itu Earth ngilang dari balik pintu, ninggalin Gawin sendiri di apartemen bersama bau parfum khas bapak-bapaknya.

Di jalan, Earth sempat mikir sih. Kenapa ya dia jadi begini, dijadikan budak cinta sama cowok yang harusnya jadi pilihan terakhir kalo ditanya siapa member EXIT yang bakal dipacari. Asbun, mulutnya sengak, songong dikit, that rich brat kid. Kalo sama Boom yang sama-sama tajir melintir, jelas Earth bakal milih Boom.

Tapi ya sayang, hatinya suka deg degan, berisik banget ngasih racun-racun yang bisa ngendaliin pikiran Earth pas lagi di dekat Mix, apalagi pas cowok itu lagi ngomelin dia, lagi maki-maki dia, lagi ngatain dia goblok, babi, anjing. Terakhir, Earth paling gak tahan pas lagi tidur sama dia. Di kasur besar yang sebenarnya cukup buat badan bongsornya. Earth sering hampir kelepasan, kalo aja dia gak inget bokap Mix galak.

Earth kira rasa suka dia yang perlahan tumbuh ini bakal ada selamanya sama dia, disimpen aja sampek gak tau kapan. Nyatanya, Mix mulai jatuh, mulai mempertimbangkan, mulai penasaran, dan mulai minta pertanggungjawaban. Karena Earth udah masuk terlalu dalam di dunia Mix, selain papi dan papanya.

Kenapa bukan Boom aja ya, kalem, positif, lemah lembut kalau ngomong. Haha percuma juga sih, mau Mix atau Boom, Earth itu gak ada apa-apanya. Manusia banyakinsecure, ya materi, ya nasib. Tapi barusan, Mix nyadarin kalo semua yang lagi dia usahakan gak serta merta tentang materi. Toh ya Mix gak pernah nuntut dia beliin sesuatu yang sesuai standar hidupnya, gak pernah minta diajak makan ke tempat yang sesuai sama gaya hidupnya.

Jatohnya cuma ngomong doang, nyablak aja. Cowok itu gak minta diwujudkan sungguhan, sebisanya, sekuatnya. Cuman, Earth Pirapat terlalu nganggep serius. Sebab dia juga lagi proses naikin taraf keluarganya, naikin derajat dirinya, begitu pula sama Mix. Dia pengen sama Mix tanpa mengubah tatanan hidup cowok itu.

Laju motor gede yang dia beli dari hasil jerih payahnya gebuk drum udah sampai di depan rumah Mix. Gede, minimalis sih tapi minimalisnya orang kaya. Di dalem perumahan gede, kluster-kluster gitu, rumahnya di jaga satpam bukan hansip atau bapak-bapak main karambol. Itupun satpamnya lagi nonton tv lcd, kerjaannya cuma nyegat, minta ktp, dan buka gerbang pakai tombol otomatis.

Rumahnya gak ada yang pake pager, apalagi cuma dibatesin kayu. Nyebutnya car port, jelas kegunaannya buat nyimpen mobil, bukan kayak di desanya Earth, halaman luas buat jemur padi. Earth taruh aja motornya sembarangan, gak perlu di masukin ke garasi apalagi sampai ke ruang tv. Gak bakal ilang, aman. Terus, cowok keker itu ambil langkah panjang biar cepet sampai di depan pintu.

Butuh dua menit aja setelah bel dibunyikan, kasih alarm ke pemilik rumah kalo di depan ada tamu. Dan PAS! Yang keluar Mix sendiri, kaget, bergeming, pula ada kelegaan karna kedatangan Earth secepat burung elang ada dua kemungkinan. Pertama, Earth mau nyuruh Mix sabar dan bear with him aja atau Kedua, Earth mau pastikan hubungan di antara mereka.

Mix ngajak Earth buat duduk di beranda belakang rumahnya. Mereka duduk di ayunan, sebelahan, gak ada jarak antara paha. Mata keduanya fokus ke kaki yang lagi sibuk sendiri. Gak ada yang mau ngadepin ekspresi lawan bicaranya. Mix berhenti ayun-ayunin kaki-kakinya kala kelingking Earth Pirapat berani nyentuh kelingking Mix yang tepat ada di sampingnya. Dia melingkarkan dan Mix gak ada penolakan.

Mix hari ini diem banget, gak asbun, gak ngomel kayak di pesan beberapa menit lalu. Dia malah deg degan, baru kali ini dia bisa ngerasain debaran yang super aneh, bikin mual soalnya perutnya kayak banyak kupu-kupu lagi terbang. Apalagi setelah denger kalimat pertama Earth yang keluar langsung dari mulutnya.

“Aku sayang sama kamu, Siw.” Katanya. Nadanya datar, gak ada logat medok atau intonasi jahil yang bikin segala percakapan sama cowok itu gak serius. Kali ini Earth gak lagi bercanda, dia mau utarakan apa yang harus diutarakan.

“Aku sayang kamu tapi aku gak bisa bikin kamu sengsara.” Lanjutnya.

Mix udah hela napas panjang, berat lagi, kayak tadi terbang tinggi terus tiba-tiba dilepas gitu aja. Dia mulai khawatir kalo Earth nyerah sebelum berusaha. Tapi Mix gak ngomel, gak marahin Earth, dia juga gak menahan Earth biar berhenti mikirin hal-hal yang berkaitan sama kesenjangan sosial di antara mereka.

“Aku memang bukan papi kamu atau papa kamu. Tapi aku yakin papi dan papa kamu yang berhasil besarin kamu, usahain semuanya yang terbaik buat kamu sampai sekarang udah jadi standar hidup kamu dan aku gak mau kamu ngerasain perubahan yang drastis kalau sama aku. Bukan, seenggaknya ya aku harus usahakan seminimal mungkin.” Earth, Mix beneran deh udah pasrah, lemes, punggungnya yang tegang jadi jatuh.

“Aku sayang sama kamu, iya. Tapi aku gak bisa miliki kamu sekarang. Karena aku cuma punya diriku sendiri, aku gak punya apa-apa lagi. Kalau Exit bubar percaya diriku habis saat itu juga. Aku gak bisa kan bawa badan dan motor itu doang ke papimu? Aku ini orangnya realistis, Siw. Maaf aku gak bisa jadi cowok yang ada di buku novel romantis apa di drama korea yang optimis.”

“Kalo Exit gak bubar?” Sahut Mix. Sumpah suaranya Mix udah kedengaran frustasi, jadi hopeless romantic, dia gak percaya diri kayak biasanya.

“Aku butuh kepastian kamu, Earth. Either you take me as yours or make both of us suffer-”

“Aku pasti datang ke kamu. Asal kamu tunggu dan gak capek sama aku. Aku akan datang ke rumah kamu, menghadap ke papi kamu.” Jawab Earth lantang akhirnya, ada sedikit percaya diri yang hadir kembali.

Namun sayang Exit bukan hanya milik mereka berdua. Ada empat orang lain yang mereka gak bisa ganggu gugat keputusannya.

“Kalo Exit milih bubar...” Mix kasih kemungkinan terakhir.

Kelingking Earth gak lagi ngasih afeksi lewat milik Mix. Malah seluruh telapak tangannya berani ambil alih seluruhnya. Dia remas tangan Mix yang lembut, wangi, dan lebih kecil daripada punya dia. Di remas pelan kasih kekuatan, menyebarkan kepercayaan.

“Aku juga pasti datang ke kamu. Tapi tolong maklumi aku ya kalau lebih lama. Karena aku bakal usaha lagi dari nol.” Finalnya.

Terakhir, Mix cuma mampu tersenyum puas, meskipun disembunyikan dalam tundukan kepalanya. Tapi sungguh inilah yang Mix harapkan, gak peduli sampai kapan, gak peduli berapa lama. Mix hanya butuh kepastian.


`hjkscripts.


TRIGGER WARNING ; SEXUAL CONTENT, HARSH WORDS, WORDS DEGRADING 🔞

Gawin gak bisa nahan nafsunya lagi waktu Podd baru saja melangkah melewati pintu masuk apartemen. Lelaki lebih tua itu lesu, capek, mata sayunya terbelalak kala badannya ditarik paksa. Badan apik kekarnya dibalut kemeja yang wanginya sudah bercampur dengan bau jalan dan keringat, semakin candu, bikin pusing kepalang.

Gak ada perlawanan sama sekali, sebab yang dipikirkan kepala lelaki masuk akhir 30 tahun kini hanya pulang dan rebahan sama pacarnya yang jutek. Namun, yang dia dapati adalah lengannya ditarik, punggungnya dipaksa bercengkrama dengan dinding keramik dingin, dikungkung rapat. Dia berdiri, diantara birahi dan benda mati.

Bibir ranum Mas Podd dingin karena hawa luar. Disambar habis, disesapi seksama, diciumi berkali-kali dengan gerakan rusuh. Cowok keturunan Jawa kini coba kembali dalam pikiran rasionalnya. Dia tak serta merta menanggapi Gawin yang lagi naik birahinya. Sebegitu kangennya kah?

“By... tung- tunggu, by?!” Mas Podd panggil Gawin pakai nama kesayangannya. Mendorong lembut badan Gawin yang besarnya hampir sama dengan dia.

Gawin kesal, Podd tau itu dari kerutan dahinya yang bikin alis pacarnya menukik. Tapi, Gawin masih berusaha maju, memojokkan Podd yang hampir tak punya ruang bernapas sama sekali. Podd itu capek, tenaganya habis di luar sana. Mengimbangi Gawin dengan nafsu liar tentu dia gak sanggup.

“Pelan-pelan, by..” Titahnya lirih. Cowok yang lebih tua mengatur nafasnya, mengusap kedua lengan kekar Gawin yang tegang dengan ibu jarinya. “Pelan-pelan. Aku gak kemana-mana.” Diperingatkan seperti itu, Gawin jadi rileks. Terus Podd senyum kemenangan.

“Iya-iya kita ngewe hari ini.” Batinnya.

Kali ini Gawin mematung, berdiri dihadapan Podd tanpa tindakan. Harap-harap sabar pacarnya bakal sentuh dia. Tangan Podd itu selalu kurang ajar bisa membangkitkan gairah seksual dalam dirinya. Pelan, penuh perhatian, berjuta kenyamanan, menyentuh tiap inti permukaan kulitnya. Rasa aneh selalu menjalar kala jemari nakal berputar sesekali di area yang membuatnya bergidik, melepaskan napas berat, dan suara maksiat.

Dari lengan menuju punggung, dari punggung menuju tengkuk, diremat pelan, menggoda Gawin yang patuh buka mulut minta bibirnya dijamah. Tapi Mas Podd itu juga jahat, mulut Gawin dibiarin menganga sampai liurnya jatuh menetes ke lantai. Cowok matang sialan itu malah tersenyum, terkekeh bak iblis saat jejak tangan besarnya tercipta jelas, merah, panas, di pipi gembil Gawin yang baru saja dia tampar.

“Berani-beraninya kamu maksa cium begitu. Diajarin siapa?” Tanya Podd dengan nada dingin. Dua jemari cowok itu masukkan dalam mulutnya yang basah, terbuka, mengabsen tiap gigi, rongga, juga bermain dengan lidah bercampur saliva. “JAWAB! KAMU DIAJARIN SIAPA?!” Ulangnya sekali lagi. Suaranya tegas, mendominasi, mengaktifkan adrenalin dalam tubuh Gawin.

Cowok goblok! Gimana Gawin bisa jawab kalau bibirnya disiksa begitu. Matanya merem melek, air matanya mulai jatuh satu persatu, perutnya mual, mau muntah, kepalanya pusing, dan tenggorokannya sakit. Masih jari, belum kontol, tapi Gawin sudah dibuat gila.

“Mas.. Kan mau puasin Mas..” Gawin jawab terbata, mulutnya masih kebas, liurnya meleleh sampai lehernya.

Gawin udah pasrah, egonya turun sampai tanah. Otaknya kosong, linglung, yang ada dalam pikirannya cuma dia mau disiksa pakai kenikmatan yang Podd udah lama gak kasih ke dia. Gawin udah lama nunggu, udah ratusan kalimat sabar.

Detik itu juga Podd puas denger jawaban Gawin. Bangga karna pacar juteknya memohon pakai matanya yang berlinang putus asa. Cowok jangkung itu kasih kecupan, baru kecupan tapi Gawin sudah mengerang kegirangan. Gawin mau coba mendominasi kecupan, tapi Podd nahan lehernya, hampir seperti mencekik. Namun, Gawin malah terkekeh, menjulurkan lidahnya tanpa disuruh, bak pelacur yang tugasnya memang menggoda tuannya.

Siksa aku sampai terbang melayang. Siksa aku sampai kaki lemas sebab lama melenggang di awan. Siksa aku sampai syaraf tegang. Siksa aku sampai suaraku tak sanggup sekedar memohon ampunan.

Di mata Podd Supakorn, laki-laki setengah abad ini lebih terlihat sebagai pelacur. Pakaiannya minim, sudah dipersiapkan untuk disobek. Celananya ketat, sengaja agar kontolnya yang tegang dapat terasa di sela-sela kulit paha lawan mainnya.

Bajingan, badan Gawin gak bisa diem, sehingga gundukan dibalik celana sialan terus menggesek miliknya hingga bangun dan basah. Podd masih sibuk mengulum bibir pacarnya yang sudah bengkak, merah, tak ada rupa. Sembari tangannya melucuti celananya sendiri. Lelaki itu memijat sebentar, batang panjang yang akhirnya lepas menegang.

Podd melepas kecupannya, mengusap bibir Gawin dari saliva, menampung ditangannya. Cowok yang sama-sama dimabuk cinta melumasi kontolnya, sebelum menarik paksa pacarnya buat jongkok. Mensejajarkan mulut pacarnya yang masih terbuka dihadapan kontolnya yang menggantung bebas.

“Katanya kangen mas?” Godanya dengan suara frustasi. Bangsatnya dia sengaja mengocok penisnya, pula ditamparkan berkali-kali ke pipi Gawin.

Gawin itu paling benci nyepong kontol orang. Sebab, mulutnya lebih berharga daripada dimasukin kontol kotor, bau, dan gak beradab. Tapi, Podd hari ini menang banyak. Gawin udah kepalang sange, kepalanya kopong, gak bisa mikir kayak orang tolol, bego. Maka, Gawin gak ada waktu buat jual mahal, ngatur posisi ngewe harus begini begitu, biar dia cepet dijajah, biar lubangnya yang gatel cepet diisi kontol pacarnya.

Podd ketawa jahat, puas banget waktu kontolnya dibawa masuk ke dalam mulut Gawin. Mulutnya penuh, ekspresinya lucu, antara sebel, marah, sama kelabakan gerak maju mundur ngasih kuluman. Emang bener, Gawin gak pinter nyepong. Namun, gerakan alakadarnya yang berantakan malah bikin penisnya dapet sensasi yang berbeda. Podd mendongak, ngasih apresiasi pake suara-suara geraman rancau sembari tangannya dia pake buat nyiksa mulut Gawin lebih kacau kala getaran penuh suka cita akan dekat.

Cairan precum-nya keluar, bikin Gawin kaget, mau keluarin aja itu kontol yang makin sesak dalam mulutnya. Namun, tangan Podd nahan kepalanya, maksa masukin semua kepala sampai ujung batangnya masuk. Gawin batuk-batuk saat kepala kontol bangsat nyodok tenggorokannya, tapi Podd gak punya ampun. Cowok itu pengen semua cairan spermanya ditelan pacarnya. Soalnya, kapan lagi Gawin sudi mengecap spermanya.

Gawin lemes terduduk di lantai, air liurnya netes bercampur sperma. Dia masih proses semua kejadian gila yang mungkin dia mulai sesali. Hanya saja, pacarnya udah mabuk kepayang, sange terbang melayang. Jadi, Podd gak segan berlaku kasar, angkat badan Gawin yang masih ambil napas.

Ruang tamu apartemen sepi itu jadi saksi gimana Podd kerasukan setan kamasutra. Gawin dibanting tengkurap di atas sofa IKEA harga belasan juta. Empuk, dia terhimpit pasrah, tenaganya cuma sanggup buat gerakin jari cari pegangan. Soalnya, dia juga makin pusing, makin tolol diperdaya brengsek yang kontolnya dia pengen banget.

Podd gak kaget waktu dia lucuti celana boxer Gawin. Gak pake celana, langsung disuguhi pantat bersih, mulus, kenyal waktu Podd tampar pipinya. “AGHHHH!!!” Suaranya putus asa. Cuma bisa desah, teriak, dan nikmatin sensasinya.

Podd gak main-main lagi, takut ada yang ganggu sebelum dia bantai lubang anal yang sembunyi malu-malu di tengah belahan pantat Gawin. Tanpa ampun, tanpa belas kasih, cuma dibubuhi air liur yang baunya udah kecampur peju sebagai pelicin. Podd memasukkan semuanya tanpa tersisa.

“AASGHHHHHMM... SHHHH...” Rancau pacarnya kacau balau. Rasanya sakit, perih, tapi telinga, mata, dan nurani Podd udah ditutupi birahi. Dia gak peduli Gawin di bawah tumpuannya lagi merancau kesakitan dan sibuk melenguh.

Rasanya bingung, sakit, kasar, Gawin mau protes. Tapi di dalam benaknya ada adrenalin yang bikin dia menikmati tiap hujaman biadab. Sensasi kontol besar pacarnya yang lagi dia himpit erat-erat dalam lubangnya bikin dia teriak kesakitan bersamaan dengan kepuasan.

Ini yang Gawin mau, digenjot habis-habisan tanpa ampun. Pasrah badannya dibalik, dibanting, diewe sampek goblok. Bukan cuma dianggurin kayak minggu-minggu lalu, bukan cuma ditemenin tidur sambil disayang-sayang.

Film bokep homo yang dia tonton gak ada apa-apanya ketimbang dia sendiri yang jadi artisnya. Dia pengen ngerasain kayak gini, kakinya ngangkang kasih akses seluruhnya mas pacar yang sibuk muasin diri dan dirinya. Sensasi kakinya yang geter-geter waktu pelepasan yang gak ada abisnya, liat badannya dan mas pacar yang basah sama pipisnya.

Terakhir, Podd akan semakin kencang menghujam penisnya, hingga Gawin teriak bak serigala melolong di tengah hutan. Menyisakan helaan napas berat kala cairan hangat mengisi bagian bawahnya. Dan mereka berdua akan tergeletak, telanjang di atas alas bayang-bayang kelegaan. Satu kecup, dua kecup terakhir sebelum kantuk datang.


`hjkscripts.


Khaotung gak bisa nahan matanya yang udah tinggal beberapa watt lagi. Udah mau ilang aja kalau dia gak inget lagi bersandar di dada suaminya yang lagi yapping sejak 20 menit yang lalu. Basa basi such, yang sekedar ditanggapi Khaotung singkat juga kadang deheman.

Otaknya udah gak jalan, mode istirahat. Gak inget juga apa-apa aja yang dari tadi diomongin. Yang dia rasa cuma perasaan nyaman. Ya salahkan aja si suami malah sayang-sayang dia. Lengannya, pahanya, hingga perutnya diusap-usap lembut.

“Nyaa..” Panggil First Kanaphan bikin bulu kuduknya di sekitar lehernya berdiri. Suaranya serak basah, mendayu, lirih namun jelas masuk langsung di gendang telinganya yang tepat di depan bibirnya. First gak bisa lihat, namun Khaotung sampai mengernyitkan dahinya dipanggil begitu tiba-tiba.

“Nyaa?? Tidur ya kamu? Dibahas besok aja apa?” Sumpah sebenernya Khaotung tuh mau rewel aja tiap dipanggil 'Nya', kesannya dia kayak ibu-ibu pake kebaya khas butik mahal terus pake sanggul. Dia kan cowok! Tapi suaminya itu selalu mengelak kalo panggilan 'Nya' itu kepedekan dari 'Nyaong', soalnya Khaotung mirip kucing. Alesan aja!

Khaotung ngasih gerakan kecil juga respon minimalis buat ngasih alarm bahwa dia masih terjaga. Posisinya masih dia buat sama, menghadap ke arah jendela, memunggungi First yang tangannya berganti mainin rambutnya. Matanya kali ini terjaga.

“Nyaa?” Panggilnya sekali lagi, memastikan Khaotung benar masih terjaga.

“Hmm?” Khaotung terjaga, kelopak matanya berkedip dengan lambat, mengais sisa-sisa tenaga. Nafasnya teratur, tak sama sekali terganggu atas suara ritme detak jantung First Kanaphan yang entah mengapa mulai berantakan.

First tarik nafasnya dalam, dihembuskan hingga menyapu tengkuk Khaotung yang dingin. “Kamu tau kan aku sayang sama kamu?” Kalimat pertamanya. It's getting serious, Khaotung paham banget.

“Aku akan jaga kamu, aku akan lindungi kamu. Tapi di dunia kita, aku gak bisa cuma jaga kamu waktu kita cuma berdua. Aku mau jaga kamu dimanapun, karena itu kewajibanku. Karena kamu berhak aku lindungi. I want to set boundaries to that nasty hands, eager eyes, filthy mouth. I want to make sure you work comfortably, and i want to make myself rest assure when we have that distance.”

Khaotung kaget jujur, masih belum mau kasih ekspresi berlebihan. Masih mau dengerin sampai laki-laki yang merengkuh tubuhnya menyelesaikan kalimatnya, ketegasan yang berasal dari dalam dirinya.

“I want to declare, officially statement, as soon as possible about what happen to us yesterday and now. Aku bukan mau kekang kamu, aku hanya ingin dimanapun kamu berada, dimanapun aku berada, meskipun kita sibuk dengan dunia kita sendiri, di mata orang-orang, mereka lihat eksistensiku selalu dibelakang kamu, pun kamu di belakangku. Tentu aku gak mau gegabah, aku mau realiasasikan atas dasar persetujuan kamu juga.”

Khaotung menghela napasnya, panjang sekali. Sebab, kalimat demi kalimat penuh pengharapan dan tanggung jawab seorang First Kanaphan bikin dadanya membuncah sesak, tenggorokannya kering tercekat. Hingga kalimatnya selesai baru dia bisa lega.

Lelaki yang lebih kecil akhirnya melepas rasa malunya, bergerak perlahan menantang mata sayu yang akan membuatnya meleleh saat itu juga. Kalau Khaotung melihat mata berbinar itu lebih awal, First tidak akan selesai dengan penjelasannya, sebab Khaotung akan menangis detik itu pula.

Tidak ada jawaban verbal dari pernyataan panjang yang First tuangkan. Hanya dua pasang mata yang saling berbicara satu sama lain. Lalu, Khaotung kalah telak bersama semburat merah mudah yang menguar samar dari balik permukaan pipinya.

Jangan, jangan ditatap lagi. Khaotung beralih sembunyi dalam dada sang suami, diterima dengan penuh sayang. Dengan begini First Kanaphan nampaknya gak perlu jawaban lebih jauh, ia tak perlu menanyakan detailnya. Yang pasti hari besok dia akan jadi laki-laki yang berdiri, mendeklarasikan kisah cinta rumitnya kepada dunia.

Malam ini mereka hanyut, dalam bayang-bayang akan reaksi dunia ketika hari itu tiba. Ada rasa tak sabar, sedikit angkuh, dan sombong ingin segera berdiri di atas mata-mata penasaran. Mungkin mereka akan teriak, dengan perasaan suka dan lega bahwa mereka saling memiliki. Persetan manusia menghujat, terpenting adalah dunia indah ada depan mata, dunia cerah adalah milih mereka berdua.


`hjkscripts.


Trigger Warning ; Slightly 🔞

Aou Point of View.

Kaki yang berusaha tegak ini, beserta tarikan napas dalam dan hembusan panjang adalah tanda bahwa gak mudah untuk masuk dalam venue acara bahagia. Harusnya, gw ada di dalam sana, bahkan sejak pagi buta. Biasanya begitu kan? Ketika ada saudara dekat akan mengadakan acara penting.

Namun sayangnya, yang di dalam sana lebih dari sekedar saudara dekat-dekat. Yang di dalam sana lebih dari sekedar kita saudara kandung. Ya, mana ada saudara kandung? Kan gw anak tunggal. Jadi, yang sama-sama berbagi warna merah darah dengan gw tentu... orang tua gw sendiri.

Iya, hari ini mereka yang sudah pernah merasakan perpisahan dan membentuk keluarga masing-masing (lagi), bakal disatuin kembali sama pernikahan. Kalau istilahnya sih namanya rujuk.

Tetapi gw yang disebut anak ini, malah datang di saat matahari udah cukup menyingsing, jauh dari ketika prosesi sakral dimulai. Terakhir kali gw ngecek jam tangan, jarumnya udah nunjukin pukul 12.00. Udah kayak tamu gak tau diri yang nyempetin hadir cuma buat makan siang.

Boom, cowok ini emang ya kapan gw gak bergantung hidup sama dia. Bahkan pas masuk venue aja, tangan basah gw digandeng sama dia. Takut jatuh, enggak takutnya gw kabur. Ini keputusan gw sendiri di menit terakhir waktu pertemuan makan malam hari itu, tapi kayaknya gw bakal menyesal setelah ini.

Waktu gw berdiri di atas selasar karpet merah, dengan jarak hanya beberapa bari orang-orang yang mau gantian ngucapin selamat buat yang kedua kalinya, rasanya gw mau muntah di tempat. Semua-semuanya perasaan melebur jadi satu di dalam hati, meluber kemana-mana penuhin rongga yang kosong. Perut gw tiba-tiba melilit, otak gw pening, sehingga tubuh gw menghasilkan begitu banyak peluh yang bikin kemeja di dalam jas mulai menyerap banyak keringat di bagian punggung.

Gw gak suka ngeliat mereka berdua tertawa bahagia kayak hari-hari sebelumnya adalah jalan indah yang mereka jajaki bersama, membangun semuanya dengan kata cinta. Apalagi alasan kuat yang membuat mereka patuh berdiri di atas sana adalah keinginan untuk membahagiakan gw; sang anak yang ditelantarkan sana-sini.

Sumpah gw beneran mau muntah. Persetan sama nikahan, persetan sama janji, persetan sama Boom, dan gw resmi menjadi seorang pengecut yang lari secepat mungkin menuju toilet. Memuntahkan seluruh isi perut, yang seluruhnya hanya cairan bening juga air. Demi Tuhan gw lemah banget, kaki rasanya berubah jadi jeli. Kalau kedua tangan gw gak bergantung dengan wastafel, tubuh gw jatuh gitu aja.

Gw melihat pantulan diri sendiri di kaca yang banyak noda bekas air. Bahkan kaca blur gak bisa nutupin gimana berantakan gw saat ini. Basah, kuyup, beberapa kali gw cuci wajah gw berharap bisa balikin kewarasan seperti semula. Tetapi yang terjadi adalah, gw kembali mual, muntah kosong, setelah memori masa lalu dan kini bertarung membuat kepala gw pusing karena kebingungan.

Linglung, kayak orang gila. Bahkan, pada detik kemudian tangan gw rasanya juga lemes. Sehingga gak bisa nahan semuanya. Gw jatuh terduduk, terjebak di tengah hiruk pikuk isi pikiran gw sendiri.

Boom datang, menangkup wajah basah gw dalam telapak halus yang menenangkan. Matanya menyala, tersirat khawatir di sana. Sedangkan, gw yang udah lemah makin menunduk.

“Maaf...” Bisik gw kepadanya. “Maaf gw gak bisa.” Final gw.

Boom ngerti, dia ini cowok paling pengertian. Dia dekap kedua bahu gw. Menopang gw buat sekedar kuat berdiri. Bukan buat lanjutkan apa yang harus dilakukan, tetapi untuk pulang.

“It's fine. Kita pulang!”


Apartemen dibuka, menguarkan hawa dingin dari dalamnya. Entah hawanya, atau keadaan mereka yang sudah terhitung satu jam tak ada kata-kata di antaranya. Aou bungkam, sedangkan Boom tau diri.

Boom bukan sosok pemaksa, malah dia ini sosok pemberi. Pemberi segala, dia bisa provides apapun. Namun untuk saat ini, yang dibutuhkan Aou adalah ruang dan sedikit waktu. Boom masuk kamar milih Aou seolah itu adalah ruangan juga. Dia tidak melakukan gerakan tambahan, sok baik, atau sok peduli. Hanya masuk, berdiri bersandar di meja komputer cowok yang lebih muda dari dia. Sembari mengamati gerak-gerik kawannya, hanya memastikan Aou duduk di kasur dengan tenang.

Selepas itu dia beranjak, kala lewat sepuluh menit Aou duduk meratapi lantai. Iya, Aou butuh ruang untuk sendiri.

“Mau kemana?” Sapanya. Ini juga jadi kalimat singkat pertama sejak satu jam tiga puluh menit lalu.

Boom berhenti tepat di depan kepala Aou yang masih belum mau tegar. “Aku gak mau ganggu kamu. Aku keluar aja.” Kata Boom lembut.

Namun, Boom harus membatalkan niatnya setelah sudut matanya menangkap gerakan tepukan lembut di permukaan kasur yang kosong. “Sini! Duduk sini aja!” Pinta Aou.

“Kamu mana pernah ganggu, malah aku yang butuh kamu di sini.” Aou mengungkapkan kata-kata yang terdengar biasa bagi Boom. Clingy, khas Aou sekali. Bahkan, Aou tak segan mengambil kedua tangan Aou untuk diremat lembut. Seolah cowok itu sedang mencari suntikan aliran energi positif yang selalu Boom punya dalam dirinya.

Aou menarik tangan Boom, mengarahkan telapak hangatnya menuju pipinya sendiri bersamaan wajah yang selalu bertatapan dengan tanah, pada akhirnya menatap matanya. Mata penuh kekesalan juga kecewa. Mata penuh sedih juga lelah.

Di mata Boom, Aou hari ini rapuh sekali.

Ekspresi wajah Aou yang penuh kumpulan warna abu-abu menstimulasi empati dalam diri Boom. Dirinya berusaha keras untuk berpikir, afeksi mana lagi yang harus dia keluarkan untuk sekedar menghibur jiwa Aou yang malang. Berpikir, berpikir, dan berpikir disaat begini ternyata tak sama sekali mengeluarkan ide-ide cemerlang. Malah, ada satu hal yang impulsif, dan tanpa Boom sadari dia telah menutup matanya ragu, memajukan wajahnya secepat kilat, dan mendaratkan bibirnya sendiri di atas bibir si cowok sendu.

Satu detik, dua detik, dan detik ketiga adalah waktu penyesalan, mungkin setelah detik kelima nanti persahabatan mereka akan runtuh selanjutnya. Hanya saja, ketika detik keempat, saat Boom mulai sadar akan bodohnya dia, lagi-lagi menciptakan jarak di antara mereka. Pada momen itu, pada detik kelima, Aou menarik tengkuk Boom, menautkan kembali yang baru singgah. Menahan rasa hangat dan basah bersama tekstur kenyal menyenangkan.

Aou menahan diri, berpedoman dengan kata persahabatan. Ketika momen ini muncul, dan cowok yang selalu dia eluh-eluhkan bahkan di dalam bawah sadarnya yang memulai. Aou tidak ada seruan penolakan. Sebab, bibir yang terlalu tersenyum ini, yang selalu terucap kata-kata baik dari didikan orang tuanya ini yang ingin dia cicip sejak lama.

Aou melumatnya, membuat Boom bingung setengah mati di sela-sela terlena pula. Dimana cowok yang kerap dipanggil Bocil belajar bagaimana memperlakukan bibirnya. Bagaimana dia bisa tau kapan harus mengecup bibir Boom, mengutarakan banyak kata-kata yang Aou sulit untuk merangkai kalimatnya. Bagaimana dia melumat dengan ritme konstan, membimbing yang lebih tua dalam permainan baru menyenangkan.

Basah, penuh liur, geli, juga bikin mabuk melayang. Keduanya terlena akan nikmat nafsu dunia. Kewarasannya hilang, nurani lenyap. Hanya ada birahi yang menuntun kedua tubuh bergerak semakin jauh, jauh menuju tilam empuk yang akan menjadi saksi bisu bagaimana liarnya lekuk tubuh kawula muda menduduki teman sebayanya.


`hjkscripts.


First kayaknya harus segera menuju dapur, setelah dia rasa Khaotung menghilang dari pandangannya selama hampir tiga puluh menit. Padahal hidup cuma berdua, padahal sebelum dia pergi bertemu dengan kawannya, dia pastikan wastafel kosong melompong. Tetapi, Khaotung yang permisi mau cuci piring, gak serta keluar kayak ibu-ibu yang lagi kerja di hajatan bagian dapur.

Khaotung lagi bengong, First berhenti sejenak dari langkahnya sembari menghela napas berat. Gimana ya, suaminya berdiri sambil megangin piring bersih dan sponge cuci, sedangkan air mengucur deras dari tap wastafel.

Cowok jangkung itu gak mau langsung memberikan sentuhan yang mungkin sekecil apapun bisa mengagetkan Khaotung. Dia memilih berdisi di sisi yang lebih pendek, diam-diam mematikan keran air, dan mengambil satu persatu barang yang berada di genggaman suaminya. Bersamaan dengan itu juga, Khaotung sadar dari pikiran-pikiran ruwet di kepalanya.

“Eh? Ehㅡ Aduh!” Respon Khaotung sedikit kebingungan. Cowok satu itu menyalahkan kembali keran air sebentar untuk membilas tangannya dari sisa sabun.

First Kanaphan tersenyum maklum. Lengan kirinya, Ia sandarkan di pinggang si suami, mengusap kecil punggungnya seraya menyuruh Khaotung pelan-pelan.

Cowok dengan kaus hijau kebanggaannya tanggap bukan main. Ia menyerahkan dua lembar tisu dapur untuk suaminya mengeringkan tangannya dengan benar. Lucunya, kesadaran Khaotung itu kayak lagi bulak balik pergi dan kembali. Sehingga, langkah yang lelaki itu ambil hanya untuk mencapai tempat sampah saja tidak sepenuhnya sempurna.

Beruntung suaminya ada di sana, badan kecil itu gak perlu timbul memar akibat berinteraksi dengan barang yang sebagian besar berbahaya.

“Sini deh! Sini, kamu berdiri di sini!”

First Kanaphan gemas sendiri. Antara dirinya yang kelewat penasaran dengan Khaotung yang memasukkan semua-muanya dalam pikiran. Cowok yang lebih tua beberapa bulan saja, kini telah memposisikan diri di hadapan Khaotung, mengapit si kecil di antara keramik dapur.

First melakukan sentuhan pertamanya, mengambil dagu milik sang suami agar matanya terangkat, berjajar tepat dengan miliknya. “Kenapa? Hmm?” Dia bertanya, sedang Khaotung masih sibuk memilah-milah isi kepalanya. “Apa? Coba diungkapkan aja!” Pintanya lembut.

“Jane ke sini. Ke rumah ini.” Cicitnya ragu.

“She's weird, you know?” Ungkapnya lagi kali ini dengan kebingungan. “She looked for you, but actually she didn't. And she was happy to met me?” Pungkasnya.

Gongnya adalah, First Kanaphan sendiri gak tau mau jawab gimana, soalnya pernyataan Khaotung tentang kedatangan Jane diluar ekspektasinya. Cowok ini udah nyiapin berbagai silat lidah untuk membuat Khaotung percaya bahwa dia benar-benar tidak berhubungan kembali dengan Jane semenjak hari itu. And he wasn't intended too.

First tau bahwa masalah yang menyangkut dirinya, Khaotung, dan Jane belum sepenuhnya berakhir. Tidak ada penjelasan secara resmi antara dirinya dan Jane secara empat mata. Bahkan mungkin, satu dunia masih menganggap ada hubungan spesial antara First dan Jane.

Yang First tau dia sedang tidak punya jawaban apapun untuk membalas kebingungan di kepala kecil milik Khaotung. First hanya tau dia butuh ketenangan untuk menenangkan suaminya, menghindarkan pikirannya dari remahan masa lalu yang sedang dia coba untuk sapu bersih menghilang dari tengah rumah yang dia bangun dengan susah payah.

Cowok yang lebih tinggi, kini menarik yang lebih pendek dalam dekapannya. Memberikan suara degup jantungnya yang berdetak konstan, juga suhu tubuh yang dia atur sehangat mungkin.

“Aku gak ada hubungan apapun sama Jane, kamu tau kan?” Kalimat pertamanya yang entah kenapa dia ingin utarakan. Padahal, tidak ada tatapan curiga, tidak ada ungkapan sanki. Hanya saja, traumanya muncul membentuk kalimat itu.

Khaotung tak menjawab di depannya, hanya anggukan kepala tanda percaya.

“Bukan aku yang hubungi Jane, dan suruh dia datangi kamu.” Lagi, kalimat hilang percaya diri membentuk satu lapisan kembali.

Lelaki dalam pelukannya berdehem seraya setuju.

“Aku gak tau kenapa Jane bisa datang keㅡ”

Hingga lapisan-lapisan kurang percaya diri yang dibangun First Kanaphan seketika luluh lantak oleh sebuah kecupan hangat, tidak menuntut, yang diberikan Khaotung sebagai bentuk validasi. Sebab, dirinya akan selalu punya rasa percaya terhadap suaminya, First Kanaphan dan harusnya First juga punya kepercayaan seperti itu.

“Iya, aku percaya. Kalau ini yang ingin kamu dengar.”


`hjkscripts.


Khaotung Point of View.

TRIGGER WARNING ; SEXUAL CONTENT, HARSH WORDS, WORD DEGRADING 🔞

Cowok gila, terkuras nalar, mati otak, bergerak naluri. Begitu yang menyala birahinya. Dia yang menatapku dari tempatnya berdiri. Tidak ada ruang untuk lari karena aku terjebak dengan permainanku sendiri.

Aku hanya mengajaknya bercakap, yang lama-lama menjadi berganti suara syahdu. Tanganku tidak bisa diam, bergerak menyentuh entah berapa banyak bagian tubuhnya. Cerewet sekali sama seperti bibirku yang terus berucap. Banyak cerita yang ingin aku sampaikan, sama dengan tangan ini juga banyak keingintahuan.

Lepas dari dia terhitung mingguan. Sudah kalap tubuh ini ingin merasakan sentuhan. Yang marah adalah aku, yang kecewa adalah hatiku, yang pening adalah pikiranku. Sisanya, berteriak meronta ingin dipuaskan. Sebab, mereka tau ada yang bersedia, mereka tau siapa pemiliknya.

Aku tidak tersenyum malu-malu seperti dulu. Karena ini bukan aku yang lalu. Buat apa aku berlagak tak tau, kalau tatapan mataku ketika melihat gerakannya melepas kancing satu persatu seperti sosok pecandu. Kurang ajar, campur ekspresi goblok, dan penuh nafsu.

Ini adalah puncak dimana aku tidak mampu lagi menahan diri. Kalau bisa kemarin, aku langsung akan loncat ke atas tubuhnya dan bermain dengan hebat seperti besok datang kiamat. Namun, sayang area bermainku diinvasi penuh.

Aku hanya mampu menatapnya yang tertawa terbahak dari kursi ruang makan. Bersama pikiran liar yang terus memutar adegan dewasa, dimana lubangku dihujam terus menerus di atas meja yang harusnya diperuntukkan menyantap makan malam. Aku hanya mampu melipat kedua kakiku. Berharap mata-mata mereka tak terdistraksi atas batang pohon yang mulai tumbuh.

Sudah mati semua syaraf-syaraf waras. Apalagi liur ini juga ikut turun melihat celana panjang yang dia kenakan akhirnya jatuh menyentuh bumi. Aku suka bagaimana dia merangsangku tanpa satu jengkal kulitnya menyentuh badan. Hanya dia yang berdiri dengan wajah kelewat sange, dan jemari-jemari dibuat sok gagah tengah melucuti dirinya sendiri dari lembar pakaian yang melekat.

Dia melepas lapis terakhirnya... dia tersenyum menggoda, oh bukan sekarang rupanya. Dia yang tinggi kakinya, panjang tanganya, bagus bidang dadanya berjalan perlahan mendekat tilam. Cowok mesum! Berani-beraninya dia tak cepat ikut jatuh dalam belenggu sprei yang akan rusak tatanannya. Dia masih disana, berdiri dihadapanku bak penguasa. Sengaja mengeluarkan urat-urat hasilnya mengangkat beban hanya untuk memainkan penisnya dari luar celana.

Kamu itu menggoda ya? Jangan... jangan sampai habis kesabaranku. Jika aku gila, aku tak segan menyobek dalaman mahal hanya untuk menyentuh kontolnya yang murahan itu.

Aku ini masih sabar, duduk layaknya bayi gula penurut menunggu om-om telanjang yang entah kapan akan merusak pertahanan demi tas koleksi baru. Aku harus sabar ya kan? Bukan demi harta, bukan demi paksaan. Tapi demi hasrat dalam tubuh yang sudah kering, kosong melompong minta diisi.

Laki-laki brengsek ini malah mengusak lembaran-lembaran suraiku, bukannya menjamah tubuh dingin yang sudah sepenuhnya telanjang. Tangan itu turun, hangat telapaknya menyentuh pipiku yang merah kedinginan. Dia usap pelan, gerakannya konstan, tak tak lupa sesekali menamparnya.

Makin merah, makin menggila. Aku tidak berteriak kesakitan, malah menatap matanya dari bawah dengan ekspresi tolol. “Mau apa? Coba bilang mau apa?” Dia bertanya. Nadanya aku gak suka, nyatanya nada itu seolah mantra yang membuat mulutku terbuka.

“Apa? Mulutnya mau diisi apa?” Aku terdiam. Kepalaku sudah tak berisik berisi caci maki. Isi kepalaku kopong seperti televisi diujung waktu siaran terakhir. Yang terisi hanya mulutku yang dihujam dua jari panjangnya. Bergerak liar gak karuan, hingga menyentuh tenggorokan. Aku mengulumnya seakan itu adalah permen masa kecil favoritku, menjilatnya posesif agar tak ada orang lain yang ingin mencicipi.

Jemari ini milikku seorang, tiada satupun yang boleh menyentuhnya. Meskipun dia bebas liar dari perangkap bibirku yang kebas dan basah akibat ulahnya.

“Udah kan cuma minta jari. Puas?” Aku menggeleng cepat. Cowok tolol! Tapi, aku lebih tolol sebab mengikuti alur permainannya. Aku lebih tolol sebab inilah keinginanku sebenarnya.

“Cepet jawab! Mulut pelacur kamu ini mau apa? Jangan nganga terus kayak orang bego!”

“Mauㅡ”

“Mau apa, hah?! Mau kontol, iya?”

Aku mengangguk. Akulah si pelacur tolol itu yang isi otaknya hanya ingin bergerak liar bersama batang besar miliknya menekanku dari dalam.

Ketika tubuhku akhirnya jatuh terlentang di atas awan empuk, tak ada keraguan sama sekali. Hanya ada bayangan-bayangan kotor tentang berapa panjang malam ini. Tak ada perlawanan, sebab tubuhku menggeliat pasrah, ada senyuman kemenangan ketika dadaku akhirnya dikecup bibirnya yang sejak tadi sok tidak peduli.

Lelaki ini sama gobloknya denganku. Mengulum puting layaknya bayi yang butuh asupan asi dari seorang ibu. Kanan sudah berganti kiri, sembari ditimang-timang dengan lenguhan yang membuatnya makin gencar bergerak. Bayi besar ini bukannya tertidur, namun menancapkan giginya sesekali menggesek putingku hingga mau putus rasanya.

Hhaaahhggg...

Suara itu tak ku hitung lepas beberapa kali. Rasa geli, darah berdesir membuat kuduk berdiri merinding. Namun tenaga tak lagi mampu mendorongnya menjauh. Aku menikmatinya, dipacu birahi yang makin meninggi, melampiaskan hanya dengan meremat helai rambut-rambut yang sebenarnya makin membuat kepalanya terbenam menginvasi. Bengkak pentil ini aku tak peduli, terpenting malam ini nafusku terpenuhi.

Aku menarik rambutnya, menarik wajahnya yang berantakan. Membimbing bibirnya yang sama basahnya agar bisa sama-sama bercumbu. Kita berdua saling mengecup, tertawa gila setelah kecupan tak hingga. Aku menggodanya dengan menjulur lidah, menarik lidahnya keluar dari rongga. Aku bisa merasakan papila yang kasar namun menggairahkan, aliran ludahnya yang menetes juga tertelan. Miliknya yang dominan mendorong milik sang lawan masuk dalam peraduan, berperang dalam gua kesyahduan, bertukar rasa kenikmatan. Mengecap tiap dinding-dinding pertahanan, mengabsen pasukan penjaga yang kokoh melindungi.

Tubuh habis kesadaran, melayang-layang di atas birahi tak tertahan meninggalkan kewarasan yang tersisa setetes saja. Kita digerogoti nafsu kotor yang kuat tiada tanding. Saling melepaskan ikatan hanya untuk melucuti celana dalam yang ukurannya semakin sesak, membebaskan mara bahaya yang menyenangkan.

Aku yang memekik kegirangan kala badan ditarik paksa mendekat ke ujung batang kegembiraan. Ditekan paksa menuju mulut kebas tanpa perlawanan, layaknya pelacur yang sudah hafal akan tugasnya. Aku mengulumnya seperti ini adalah hidangan yang aku cari-cari sejak seratus tahun lamanya. Menjilat kontol biadab miliknya dengan gerakan sensual sembari mendongak memastikan empunya terbang melayang ke surga. Konstan, sedikit menggoda dan semakin semangat ketika muncul gestur gelisah. Urat-urat ketegangannya muncul, badannya yang bergerak tak nyaman, namun tangan besarnya mendorong kepalaku gak sabaran.

Aku melepasnya, menatap wajah sayunya pasca pelepasan sejajar. Menunjukkan cairan penuh kasih sayang yang dia berikan. Dia harus melihatnya kala ku pastikan semuanya tertelan tanpa sisa. Tersenyum lucu ketika dia yang dadanya masih bergerak naik turun berusah meraih sisa-sisa peju yang mengalir di dagu dengan bibirnya.

“Ini kan yang kamu mau dari tadi? Iya?” Dia bertanya ketika tubuhku kembali dalam pandunya. Dan anggukan berantakanku menjadi tiket masuk langsung dalam tahta tertinggi bersetubuh.

Diriku yang sudah tolol ini, yang sudah kosong melompong otaknya ini cuma tau ngangkang, selebar mungkin. Diriku yang begonya udah gak bisa ditolong ini, merengek frustasi meminta kontol milik si bajingan yang sejak semenit tadi hanya menggesek pintu masuk tanpa mau menerobos langsung.

Hhhhggmmnn... Ahhhhhgg!!!

Ingatkanku untuk menampar wajah bajingan ini nanti, nanti setelah dia selesai mengisi bagian bawahku dengan jutaan pejunya sebab menerobos tanpa aba-aba. Jangan salahkan jemariku yang meninggalkan luka tepat di lengan besarnya. Namun, lelaki brengsek ini seakan tak kenal hari esok, seakan tak peduli aku ini suaminya yang paling dia sayang. Dia dan bersama energinya yang semakin malam datang semakin meluap, menghujam dinding rektum milikku tanpa kenal ampun.

Kita bersenggama, menautkan tubuh seraya bercerita. Gerakan-gerakan yang tak memiliki ritme pasti seakan menandakan banyaknya emosi dan perasaan yang belum bisa tersampaikan lewat kata. Kita yang bercumbu, menautkan lidah dan bibir seraya berbicara. Liur dan keringat yang mengalir deras menggantikan jutaan diksi ungkapan rindu juga cinta.

Kita yang sama-sama bergerak mencari kepuasan duniawi. Menautkan kaki-kaki melingakari, memerangkap tubuhnya yang tengah gila melancarkan aksi agar tak pernah lari dan tertancap dalam diri. Tidak ada amnesti, begitupula grasi. Lubang serupa penjara yang aku buat hanya mengampuni jika rasa puasnya terpenuhi.

Jika First Kanaphan adalah manusia bangsat, aku akan jadi iblis yang terus menuntunnya menuju lubang neraka penuh cinta. Jika First Kanaphan adalah iblis tak takut dosa, aku akan menjadi raja kegelapan yang akan menarik dirinya, menutup cela pengeliatannya dan hanya ada aku yang mendesah keenakan, meraung mencari kebebasan, dan berteriak penuh kelegaan di atas api neraka yang kekal.

Kita akan menari lagi menginjak bara-bara yang akan terus membakar kulit dan tulang. Menangis kepayahan dengan mulut menganga atas rasa sakit menyenangkan akibat gesekan kontol lelaki bejat di dalam anal jalang goblok yang tengah duduk di pangkuannya.

Ini dia kemenangan yang kita cari selama ini. Getaran-getaran tubuh pasca pelepasan, juga suara-suara nafas tanda kelelahan. Mata sayu itu, aku mengecupnya. Dia tersenyum, menyingkap helai demi helai lepek yang menutupi mataku. Dia mengecup tiap jengkal titik di wajahku, menyematkan kecupan panjang tanpa lagi nafsu di bibir yang akhirnya bisa berhenti berteriak di malam yang sunyi. Lalu, kita jatuh di atas tilam yang berantakan, berselimut seadanya.

Basah sebab keringat, tubuh panas sebab tipu muslihat. Desir darah yang tak bisa aku perintahkan melambat. Juga, peju yang mengalir hangat. Kita yang berjalan di atas tanah penuh dosa. Pula, kita yang saling menuntut atas kepuasan semata. Terpenting malam ini, bersama bajingan sinar purnama yang mengintip dari celah selambu jendela, kita tertaut menjadi satu, dan akan selamanya begitu.


`hjkscripts.


First point of view.

Gua gak punya persiapan apa-apa, sebab yang gua tau harus berangkat pagi-pagi ke tempat tinggal Mba Ciize. Harusnya gak ada tekanan untuk berangkat jam berapa. Namun, karena menurut gua ini hari yang penting jadi gua ya gak mau buang-buang waktu untuk sekedar nanti-nanti.

Iya, sebab urusan yang menyangkut sama Khaotung itu prioritas wahid. Harus segera, apalagi keadaan kita lagi kurang baik.

Hari ini itu sebenernya sudah gua nanti, bahkan sejak hari pertama Khaotung memutuskan buat mengambil seluruh ruang kosong untuk dirinya sendiri. Gua menahan diri, gak mau gegabah ambil langkah. Kita ini benar manusia-manusia butuh istirahat. Hubungan seumur hidup ini stress levelnya bukan main.

Nikah itu gak seperti orang menjalin hubungan seperti pacaran. Putus dibarengi emosi, kembali turut rindu katanya. Orang menikah prosesnya panjang, sudah bersama ya sulit untuk dipisahkan. Bahkan, orang-orang pengadilan agama, yang gak tau menahu urusan rumah tangga orang lain harus ikut campur buat berusaha mengembalikan harmonisasi keluarga.

Kalau menikah itu gampang, mungkin keadaan kita sekarang lebih baik untuk pisah. Tetapi, resiko pisah rumah tangga itu adalah kehilangan selama-lamanya. Pisah rumah tangga itu gak selamanya bisa kembali hanya karena masih sama-sama cinta. Kalau hanya cinta bisa pusing orang Dispenduk sama Kementerian Agama yang ngurus dokumennya. Yang makmur cuma bapak-bapak calo di luar gedung instansi.

Maka dari itu daripada gua sama Khaotung mencoba bertahan di tengah situasi yang makin hari gak masuk akal. Gua mengiyakan kita istirahat. Mungkin, kalau gua memaksakan pun, jika ada badai sekecil tiupan angin sebelum hujan sore hari. Kita berdua akan kacau berantakan, berpisah tanpa tau jalan untuk kembali.

Gua hanya bermain mata kala Mba Ciize menyapa. Gak mau menghasilkan suara berlebih yang bakal mengganggu eksistensi Khaotung. Rumah yang lebih tepatnya kos-kosan ini lumayan luas. Kayaknya lebih tepat disebut rumah sewa sih karena ini lebih dari sekedar kamar tiga petak.

Mba Ciize mengintruksikan kepada gua buat langsung ke kamar yang tertutup. Khaotung masih belum menampakkan diri katanya, walaupun dapur Mba Ciize sudah mengeluarkan aroma. Well, that's good, gua gak perlu dapet drama terkejut, bertengkar, dan akhirnya diusir.

Mba Ciize pergi kembali ke dapur membawa begitu banyak kresek ditangan gua. Meninggalkan gua dan Khaotung tanpa mau ikut campur lebih banyak.

Ketika gua masuk perlahan ke kamar Khaotung, gua bisa melihat punggungnya. Sedangkan, wajahnya berpaling menatap tembok. Suara dengkuran halus masih terdengar, napasnya juga kasar. Mba Ciize cerita kalau keadaan cowok ini lagi gak baik-baik aja. Terlihat dari selimut yang hampir menutupi satu kepala. Gua tau Khaotung itu cuma pakai selimut sampai di pusar.

Gua gak mau cuma sekedar duduk di tepian kasur dan menunggu kehadiran gua dia rasakan. Karena itu akan membuat nafsu emosi yang udah gua pendam akan bergejolak layaknya gunung tengah erupsi.

Gua singkap selimutnya perlahan, gua beranikan diri berbaring di belakang tubuhnya yang menghantar suhu tinggi di antara kamar dingin. Gak apa untuk ini aja gua menghancurkan perjanjian untuk istirahat sejenak. Sebab, istirahat bagi gua adalah berada di sampingnya meskipun tanpa usaha berlebihan, afeksi, dan kata-kata pemanis.

Istirahat dalam kamus gua adalah kita yang tidur di malam penuh kebingungan dan bangun dengan posisi saling menguatkan. Tanpa cela, tanpa batas, tubuh kita berdua tertaut kulit satu dan lainnya. Gua yang mendekap tubuh tenang, empunya terganggu jadi tegang.

Anehnya, entah mungkin Khaotung masih belum seratus persen sadar, cowok itu bergeming. Padahal, yang gua pikirkan adalah potongan imajinasi negatif di kepala. Entah Khaotung harusnya terperanjat dan berakhir gua babak belur dibuat.

Namun, inilah pagi kita. Agak lain karena yang sedang kita berdua tatap adalah tembok keras bukan jendela yang menampakkan langit juga memancar cahaya matahari. Inilah pagi kita, gua yang memeluk jasadnya yang termenung dengan napas konstan. Inilah pagi kita yang bungkam tanpa suara.

Maka gua, meringkuk semakin mengeratkan dekapan. Menanamkan hidung dicela-cela tengkuknya yang bebas liar. Menghirup candu bau tubuh polosnya yang serupa oksigen buatan Tuhan.

“Khaotung milikku, selama Khaotung milikku, aku akan tetap hidup.”


`hjkscripts.


I. Gawin Caskey dan Amerika. Kalau gue ini adalah Gawin sepuluh tahun lalu, kayaknya gue bakal betah deh jalanin hidup yang makin hari makin gak tau kemana arahnya. Soalnya, Gawin sepuluh tahun lalu penuh ambisi, gak takut gagal, dan persetan sama kerasnya dunia.

Gawin sepuluh tahun lalu itu si pecinta kebebasan. Harusnya, Amerika jadi starting point yang bagus bagi yang mau bebas. Negara penuh diversity itu paling cocok bagi gue yang mau coba hal-hal di luar nalar. Tapi sayang, saking liarnya gue sepuluh tahun lalu, gue terusir dari Amerika.

Bukan Amerika yang usir Gawin muda. Tapi, keluarga dia yang minta Gawin pergi sejauh-jauhnya.

Pindah ke Amerika, tempatnya di jantung Kota New York tuh siapa yang gak pengen. Semua pengen tapi gak semua punya kesempatan. Tapi gue punya seluruh fasilitas yang semua orang impikan. Papa gue THAT AMERICAN OLD MAN nikah sama Elizabeth; she was my mom anyway, dan pindah bawa keluarganya ke kota sebesar dan sebebas ini.

Gak kok, gue gak bercanda perkara Was, karena mau tak terhingga gimanapun hubungan anak sama orang tuanya, bagi gue tetep sama. Semua macam hubungan itu ada temu juga ada akhirnya. Dan akhir itu bagi gua dan orang tua gue, bukan artinya meninggalkan dunia. Tapi, juga bisa putus akan hubungan.

Iya, Elizabeth mutusin hubungan darah kita sepuluh tahun lalu. That was might be lots my fault, but still it is what it is. Kebebasan Kota New York merubah gue dari berbagai sisi. Memulai jadi musisi di kota semegah itu bikin gue terlena sama hingar bingarnya yang gak pernah mati. Meskipun orang tua gue banyak mengingatkan, meskipun orang tua gue mencoba untuk menahan, sampai akhirnya mereka gak betah jadi orang tua gue, dan memilih menyerah.

Kadang ada kok orang tua yang kayak gitu. Buktinya ya si Elizabeth yang pada dini hari natal sepuluh tahun lalu, memutuskan buat berhenti jadi seorang ibu dari anak yang lagi sekarat, baru pulang dari pool party.

Gue yang terlena sama kehidupan New York. Gue yang gak takut sama dunia. Gue yang suka menantang alam semesta. Juga, gue yang hampir mati overdosis obat-obatan terlarang.

Setelah gue sadar di malam 27 Desember, hal yang pertama gue denger bukan kalimat penuh syukur namun tumpah ruah keresahan dan kalimat putus asa. Elizabeth dan Michael mendeklarasikan bahwa mereka turun dari jabatan orang tua.

Emang boleh ya kayak gitu? Emang bisa ya orang tua lepas tangan. Maka, hal itu yang bikin gue sampai sekarang gak bisa nerima keadaannya.

Rasa sakit yang gue bawa dari Amerika sampai rumah eyang gue di Surabaya gak pernah lepas, membekas, diserap semua sel, sampai jadi resisten. Sejak saat itu, apapun yang berhubungan sama Amerika, gue gak pengen tau ceritanya.

Yang ada diingatan gue sampai saat ini gimana eyang yang udah tua, gimana eyang yang marah, gimana eyang yang nangis dan hampir nyerah ngerawat gue, dan eyang yang esok harinya bangun jam lima subuh kembali jadi eyang yang berusaha. Eyang gak pernah nyerah.

“Eyang itu ndak apa kamu nakal, ndak apa kamu bangun siang, ndak apa kamu suka main pulang malam. Tapi kamu ndak sampai sakit, badannya ndak boleh dirusak. Eyang cuma mau Gawin sehat, Gawin sekolah dan lulus. Sudah itu aja.”

Kayaknya, semesta itu paling ngerti sama keadaan umatnya. Gue yang akhirnya percaya sama keadaan Tuhan jadi tau kalau seluruh hal yang lagi gue jalanin emang udah begini jalannya. Kalau gue gak sakit hati dan tetep jadi Gawin yang cinta sama kebebasan New York. Gue akan pergi ke pusat rehabilitasi dan keluar tanpa bawa perubahan apa-apa.

Rumah eyang itu tempat rehabilitasi paling ampuh sepanjang masa. Dengerin eyang yang pagi-pagi nyetel lagu jadul dan tiba-tiba ngajak gue karaoke bikin gue nemuin apa yang sejatinya gue cari di New York. Karena eyang gue jadi punya cita-cita. Dengan tangan eyang yang tiap hari semakin ringkih, beliau anter gue sampai jadi Gawin yang hari ini.

Tapi semesta itu yang paling tau porsi kehidupan. Eyang cuma buat gue berubah dan antar gue ke gerbang utama dari langkah perubahan. Selanjutnya, eyang cuma duduk-duduk di kursi goyang sambil ngeliat sinar matahari sampai dirinya puas, lelah, dan menutup mata. Sedangkan, gue harus lanjut jalan, pakai kaki sendiri, gak lagi dianter eyang.

Namun, kepergian eyang gak bikin gue sebatang kara. Malah, gue nemu keluarga baru. Eyang tuh paling pinter dan pengertian kalau manusia butuh manusia lain buat hidup. Eyang pasti mikir kalau beliau udah gak ada, gue bakal hidup sama siapa? Mungkin ini jalannya, mungkin ini jawaban dari segala keresahan eyang yang tiap hari pasti tentang gue seorang.

Disinilah gue sekarang, Yogyakarta yang penuh kisah. Kebanyakan orang pasti kalau ditanya tentang Yogyakarta bisa cerita banyak tentang kota ini. Kayaknya, ini waktu gue buat pengalaman itu.

Sialan banget anak-anak, ditambah suasana Kabupaten yang masih ijo kayak ngebangun emosi banget. Kita semua duduk di teras depan rumah kontrakan Bang Earth. Nyantai, gak ada baju formal atau kata-kata pembukaan, gak ada laptop atau layar LCD. Cuma ada teh anget, pisang sama singkong goreng yang asepnya masih ngepul di udara.

Kita setuju buat ngumpul di Yogyakarta dengan penuh kesadaran. Menonaktifkan segala kegilaan, bercandaan, dan seneng-seneng semata. Karena kita harus meluruskan semua salah paham, masalah, dan berakhir harus memutuskan sesuatu yang akan mempengaruhi kehidupan setiap orang yang ada.

Waktu gue cerita semua gak ada yang nyela. Hebat ya semua, biasanya ada aja asbunnya yang bikin kesel. Gue ini emang leader, ya gue gak merasa jadi pemimpin juga sih, tapi gue sadar kenapa gue jadi leader ya simpel karena selain gue, gak ada yang bisa diem.

Malem ini untuk kedua kalinya; pertama kali kita ngobrol serius pas mau debut kayaknya, kita semua diem. Suasana diem menyebalkan ini bikin gue cerita serunut mungkin, semuanya keluar tanpa bisa berhenti.

Bahkan, segala emosi yang gue rasain sekarang gue ungkapkan. Betapa gue sedih, gue bingung, gue takut, gue desperate, gue kecewa sama diri gue sendiri, dan gue feels sorry buat anak-anak semua terutama First Kanaphan yang harus ikut campur nutupin kasus gue.

Gak lupa, gue juga cerita gimana Elizabeth nyuruh gue balik ke Amerika buat sembunyi dan jujur gue gak tau gimana harus nanggepinnya. Gue pengen bertahan, tapi gue juga gak tau apa bertahan itu yang terbaik buat semuanya. Nama baik gue udah rusak beserta seluruh nama yang lagi gue bawa. Mungkin, dengan berhenti dan pulang ke Amerika bikin semuanya balik seperti normal.


II. Mix dan Ketiga Orang Tua. Waktu itu gue umur sebelas tahun dan itu untuk pertama kalinya gue ditampar sama Papi. Gue sebenernya kebingungan, begitu pula dengan lingkungan masa kecil yang most of the time di sekolah, tempat les, atau taman bermain komplek. Pertanyaan yang gak pernah gue tau jawabannya.

“Kok papa kamu ada dua sih?” “Mama kamu dimana? Kok aku gak pernah liat ya?”

Mix kecil gimana ya jawab pertanyaan waktu itu? Simpel aja sih, gue tinggal jawab Gak tau, pokoknya gitu. Kata papi sih keluargaku spesial gitu, gak semua orang bisa dan temen-temen Mix kecil kagum sama keunikan yang gue utarakan. Ya karena mereka masih kecil, perbedaan itu beneran bikin semuanya jadi lebih keliatan hebat.

Tapi nggak dengan Mix ABG. Gak ada satu orang pun yang percaya bahwa keluarga dengan dua papa sebagai orang tua itu spesial, hebat, terbatas. Siapapun yang liat jelas ada kebingungan, ada yang salah, tidak normal, dan tidak sesuai syarat ketentuan.

Keluarga yang normal pada umumnya itu Ayah, Ibu, Anak. Gak ada yang keluarganya Papi, Papa, Anak. Seketika, gue si anak hebat, si anak dari keluarga keren ini berubah jadi samsak tinju. Semua caci maki, semua hinaan, semua sentuhan fisik yang temen-temen gue kasih rasanya kayak pukulan yang terus-menerus gue terima dengan lapang dada.

Pukulan-pukulan itu lama kemudian bikin gue berpikir, bikin gue bertanya-tanya. Oh! gitu ya keluarga yang sebenarnya? Kalau begitu dimana mama gue?

Hari itu gue yang masih baru bisa mikir dateng ke depan papi sama papa yang lagi asik sama film Mission Impossible. Bukannya fokus sama aksinya Tom Cruise, malah harus fokus sama gue yang tantrum, nangis-nangis, meluapkan segala gundah gulana yang asalnya dari pihak luar.

Kalau gue tanya tentang mama, gak tau kenapa selalu papi yang jawab. Papa cuma bisa diem sama satu ekspresi yang gue hapal banget. Papi selalu jawab, gue gak punya mama, keluarga kita dari dulu ya begini adanya, spesial. Menurut lo semua, gue yang udah bisa mikir itu puas? Tentu gak dong, gue malah makin marah karena diperlakukan kayak anak kecil. Gue teriak, gue juga marah sama papa yang diem kayak orang bodoh, dan gongnya gue ditampar sama papi.

Kejadian itu kayaknya jadi pertama dan terakhir gue bakal nanya-nanya tentang silsilah keluarga gue. Toh, orang tua papa juga berkata demikian. Yah, meskipun gue tau kalau semua itu demi gue ABG percaya kalau gue datang dari keluarga yang isinya Papa, Papi, dan gue anaknya.

Tepat pada umur 15 tahun, saat gue mulai belajar hal-hal menuju remaja. Papa sama papi mulai kasih tau semuanya perlahan-lahan. Asal-usul gue, siapa papa, siapa mama, dan gimana kita end up jadi keluarga.

Gue gak bakal cerita runutnya ya, soalnya ceritanya kayak drama korea banget sumpah gak boong. Intinya, mama gue pergi kecantol cowok jamet entah darimana. Ninggalin gue, papa, dan usahanya yang masih dibangun dari bawah.

Papa sama papi ketemu waktu partneran kerja. Papi yang nyediain jasanya, dan papa yang masih belajar ngurus perusahaan orang tuanya yang jadi client papi. Katanya papa, dia tuh kagum sama papi yang gak malu bawa bayi waktu kerja. Papi tuh telaten banget ngurusin gue. Sampai mereka deket, sedeket papa boleh bantuin papi ngurus gue waktu mereka ketemu bahas kerjaan. Semuanya lancar, beneran selancar jalan tol soalnya keluarga papa beneran seterbuka itu sama hubungan yang dianggep aneh sama orang luar. Mereka nerima papi dan gue buat join jadi keluarganya.

Kehidupan gue yang seperti jalan tol ini tiba-tiba macet kayak jalanan tengah Kota Jakarta di jam pulang kerja. Waktu hari itu, di atas kesuksesan gue, dan keharmonisan keluarga gue, dateng seorang wanita, berdua sama cowok yang gue gak familiar siapa ke rumah.

Oh, ini toh mama gue yang udah berani ninggalin gue. Gue kira kebencian itu akan perlahan menghilang atas permintaan maaf untuk kesalahan masa lalu. Nyatanya kebencian itu semakin bertumbuh saat dia bilang pengen hak asuh atas gue, dan kebencian itu mengakar di dalam tubuh gue waktu gue tau motiv di balik layarnya.

Gue yang gak tau jalanan Yogyakarta, beraniin diri buat ke terminal, naik gojek tanpa mempertimbangkan keselamatan gue di jalan nanti. Papi kalau tau, gue sih gak bisa jelasin ya apa yang bakal dia lakuin. Tetapi, memutuskan buat ke Sleman sejenak juga gak salah. Dengerin suara ayam pagi-pagi, minum teh anget dari teko jadul, dan makan nasi pake lauk seadanya. Gila sih, seorang ibu itu harusnya kayak Ibuk.

Oh ya, jangan lupa ingetin gue buat tantrum sama papi yang biarin gue pergi sama mantan istrinya. Meskipun gue tau sekarang dia pasti lagi khawatir dan murka karena gue kabur, karena hape gue mati, karena gue gak mau pulang. Biarin gue tenang di Sleman dulu.

Thank God gue punya temen-temen yang pengertian. Sekarang kita lagi ngobrol-ngobrol serius, gue dengerin kisah mereka satu persatu. Tentang EXIT ke depan, gue sih serahin apa kata Tuhan aja ya.

Eh tapi, kalo papi murka gini, apa iya dia masih mau biarin gue lanjutin karir?


III. Aou dan Sepi Dunia. Berada di Yogyakarta, sebenernya gak bikin gw bisa merasakan yang namanya healing. Berbanding terbalik dari abang-abang yang memang sedang nyari pelarian. Lah gw? Mau lari kemana aja tetep dikejar. Orang yang ngejar ada di handphone. Buset, pengen banget rasanya gw banting aja ini handphone.

Sembari mendengarkan abang-abang yang lagi curcol, gw gak bisa lepas ngeliatin layar gawai yang bunyi gak ada berhentinya. Ya kalo kerjaan, stres sih dikejar klien gak sabaran tapi namanya juga kerja. Kalo mau sukses dijalanin aja dengan khidmat.

Yang lagi kosplai jadi tukang tagih pinjol ini orang tua gw sendiri. Gak, jangan bilang gw anak durhaka karena sesungguhnya orang tua juga bisa durhaka sama anak. Gw gak pernah bilang, sebagai anak gw gak banyak salah. Tapi orang tua gw ini, aduh gw bingung gimana jelasinnya.

Dua puluh empat tahun umur gw hidup gak pernah rasanya tenang menikmati diperlakukan menjadi anak. Orang tua gw dua-duanya kepala batu, mana pinter ngomong. Jadi kalo gak sepaham yaudah tercetus aja itu perang dunia kesekian di rumah gw. Rumah gw rasanya gak ada kenyamanan, gak ada kasih sayang, gak ada cinta. Lo semua tau apa yang terjadi? Ya udah kita bercerai berai menjadi beberapa bagian.

Harusnya sebagai anak satu-satunya, ketika orang tua udah gak sanggup jalan bareng, ada sebuah pilihan. Mau ikut mama apa papa? Namun, yang terjadi sama perpisahan kebanyakan tidak terjadi sama gw. Faktanya adalah gw tidak diinginkan pada kedua sisi. Mama yang terjebak sama puber kedua, dan istri baru papa yang merasa cukup dengan anaknya dan papa yang gak bisa apa-apa.

Aou SMA pada saat itu baru tau apa arti kenyamanan. Gimana rasanya rumah sepi yang dia inginkan sejak kecil. Hidup sendiri, meskipun masih dipangku materi dari dua belah pihak yang punya hidup masing-masing, rasanya gw akan baik-baik aja. Hidup kayak gini adalah mimpinya. Gak ada suara tinggi ketika adu argumentasi, gak ada mama yang pergi pagi dan kembali di larut malam hari. Gak ada suara papa yang melempar emosi. Hanya ada gw sendiri, yang akhirnya bisa tidur tanpa ada tekanan dari rumah sendiri.

Rujuk? Jatuh cinta lagi? Gak make sense, akal-akalan neraka. Kok bisa ya orang begitu dangkal mikirin perasaan pasangannya. Terserah, gw udah gak peduli maunya kayak gimana. Tapi bisa tolong jangan usik hidup gw, gak usah sok berubah mau jadi orang tua yang baik kalo ujungnya waktu dititik jenuh mereka gak bisa saling menguatkan.

Gw sesap teh hangat yang sudah berangsur dingin. Lalu, sentuhan lembut di punggung, membuat gw berpaling. Gw gak punya waktu buat sekedar ngelucu, atau bilang terima kasih. Gw bisa baca isyarat bibirnya yang bertanya ada apa, namun gw hanya sanggup tersenyum. Boom paham, gak ada satu pun masalah gw yang Boom gak paham.

Boom itu udah kayak rumah. Boom itu bukan sekedar rekanan, bukan sekedar abang-abangan. Boom itu keluarga, satu-satunya yang gw miliki sekarang. Boom dan EXIT ngajarin gimana isi rumah yang sebenarnya. Rumah yang ramai tapi gak bikin sesek, rumah yang penuh suara tinggi dan makian tapi gak bikin sakit telinga dan trauma.

Mereka itu ngajarin gw gimana rumah yang ramai bisa bikin betah seharian. Rumah yang penuh argumen tapi hangat jika dilihat. Rumah ini yang bisa bikin gw tidur tanpa takut kebangun karena suara keras.

Mendengar Bang Earth ngomongin tentang gimana nasib EXIT besok hari bikin gw lupa tentang berisiknya perang dalam gawai. Gw jadi mikir gimana kalau akhirnya semua abang-abang pada nyerah? Kemana gw akan pergi ketika semua orang memilih pergi dari rumah?

Sebab, gw yang sekarang gak sanggup buat bayangin kembali mandiri. Gw yang sekarang butuh manusia buat mendampingi. Gw yang sekarang udah gak terbiasa akan sepi.


IV. Boom dan Serba Sempurna. Rasanya kurang adil, aku duduk di antara mereka yang tengah nggak baik perasaannya. Rasanya kurang adil, aku terlihat paling sehat di antara mata lelah dan pundak yang kurang kokoh adanya. Rasanya kurang adil, aku jadi yang paling sempurna di antara mereka yang tengah menghadapi cacatnya dunia.

Tapi harus gimana ya? Kalau minta dibebankan masalah biar adil, rasanya juga aku jadi manusia kurang bersyukur. Padahal, dengan kehidupanku yang serba cukup dan seluruhnya bekerja secara harmonis, aku nggak pernah berhenti untuk bersyukur.

Aku nggak akan cerita tentang diriku, sebab kurang etis dan menurutku hal apasih yang harus aku eluhkan di depan mereka-mereka ini? Nggak ada. Maka kehadiranku di sini cukup jadi pendengar, suporter, dan membuka persewaan bahu untuk siapapun yang mau bersandar.

Mendengar satu per satu cerita mereka, hatiku tumpah ruah isinya. Ya sedih, ya marah, ya kecewa. Kok bisa ya anak semuda mereka dikasih kehidupan yang sulit? Padahal, anak muda kayak kita harusnya seneng-seneng nikmatin indahnya dunia, nyobain seluruh hal yang tersedia di sini. Nyatanya memang kehidupan itu nggak semuanya sempurna.

Tapi aku salut sih berada di antara mereka yang cerita dengan lapang dada. Nggak ada satupun emosi marah yang menggebu-gebu, nggak ada satupun yang menyalahkan keadaan, asal-usul, dan bobroknya lingkungan. Mereka yang lagi bercerita ini layaknya sudah lelah bertengkar, sudah habis tenaga untuk berteriak mencari jawaban. Mereka di sini untuk berbagai, mencari solusi, gimana caranya bisa terus jalani hidup di depan nanti.

Aku cukup lega, malam hari ini nggak melihat satu tetes pun air mata. Mungkin bendungan emosinya sudah kering kerontang hingga yang bersisa adalah jalan pikir rasional. Ya bagus, artinya masih ada ambisi untuk jadi lebih baik. Ada ikhlas yang harus dikeluarkan untuk taraf kehidupan yang lebih daripada sebelumnya. Ada karakter manusia yang harus di-upgrade levelnya.

Aku di sini masih mau melihat bagaimana kita akan berkembang bersama. Meskipun faktanya, habis kontrak di waktu yang tepat ini masih membuat siapapun kebingungan. Namun aku yakin, teman-teman aku di sini masih punya begitu banyak mimpi, begitu banyak janji, begitu banyak ekspektasi yang harus dipenuhi.

Maka aku akan tetap di sini, membantu mereka sebagai tenaga terakhir untuk menjaga kita tetap berdiri. Aku akan tetap di sini, menjadi Boom yang nggak pernah habis kata-kata positif. Karena kalau bukan aku, siapa lagi kalau bukan aku.


V. Earth dan Manusia Sederhana. Aku tuh paham banget kok, kenapa aku gak dipilih jadi pemimpin. Aku ini paling tua, tapi aku juga yang gak bisa apa-apa waktu grup ketimpa berbagai masalah. Aku ini paling tua, tapi aku kadang masih egois mikir diri sendiri. Aku ini paling tua, ya memang aku paling tua.

Waktu Gawin kena masalah, dipasrahin buat tanggung jawab rasanya berat sekali. Aku gak bisa tidur, tiap hari telapak tanganku rasanya basah mengingat di belakangku lagi gak ada orang buat di jadikan tumpuan.

Aku ini orangnya gak pandai ngomong kata-kata bijak. Aku gak punya seribu kata-kata mutiara. Aku kosong dari kata-kata penyemangat. Maka ketika kita lagi jatuh, gak ada yang bisa pemimpin ini lakukan selain diem dan masukkan semuanya dalam pikiran.

Bahkan aku gak bisa jawab waktu Aou sama Boom datang ke apartemen buat nanyain masalah Gawin. Bahkan kalaupun aku gak bisa jawab harusnya aku bisa kasih kata-kata penenang biar mereka berhenti panik. Namun, hari itu aku juga ikutan linglung, napasku turut berantakan, dan pikiranku carut marut isinya. Kita bertiga gelisah bersama-sama.

Waktu First terseret untuk menutupi kasus Gawin. Sebagai pemimpin pengganti aku gak bisa berbuat banyak. Meskipun hari itu dia coba hubungin aku untuk minta solusi. Tapi, saking banyaknya yang lagi aku simpan di dalam pikiran, aku dengan berat hati gak bisa bantu banyak.

Aku ini cuma manusia yang punya umur tua aja. Aku ini cuma manusia sederhana yang menjalani hidup gimana mustinya. Aku ini bukan pemimpin. Aku gak punya karakter menarik. Aku ini cuma Earth Pirapat, anak dari desa, yang udah pakai seluruh keberuntungannya buat duduk di belakang bangku drum bersama orang-orang yang punya karakter unik masing-masing.

Lihat, bahkan orang sederhana ini masih gak punya malu waktu dapat giliran ngobrol malah bawa-bawa kontrak EXIT yang udah diujung tanduk. Orang sederhana ini gak mau grupnya bubar, harus tetep jalan. Karena tanpa EXIT, aku bukan siapa-siapa. Tanpa EXIT, aku kembali jadi anak desa yang amat sederhana.

Karena cuma jadi bagian dari EXIT, aku bisa bikin ibuk bangga. Meskipun tinggal di kontrakan, ibuk punya harta yaitu anaknya yang bisa dia terus-menerus banggakan di depan gerobak sayur. Karena cuma jadi bagian dari EXIT, aku bisa lihat ibuk ceria nyiapin teh hangat dan makanan waktu temen-temen mutusin buat sowan ke kontrakan.

Karena EXIT, aku jadi punya banyak energi buat kerja lebih keras biar bisa bangun rumah. Biar ibuk nyaman, biar rumahku juga bisa jadi tempat pulang yang nyaman buat temen-temen. Nggak kayak sekarang kita harus dempet-dempetan tidur di ruang keluarga.

“Dan aku yakin, selain aku sendiri masih ada banyak alasan buat kita tetep jalan bersama-sama.”

Aku tau alasanku terlalu egois. Karena, aku gak tau lagi alasan apa yang akan membuat mereka luluh dan terus bertahan.


VI. First dan Seluruh Rahasia. Giliran gua buat bersuara, akhirnya datang juga. Udah ya, gak ada waktu buat mundur. Sebab, kedatangan gua sampai di Jogja udah jelas adab dan tujuannya. Kita semua udah gak ada yang nyimpen rahasia. Maka, gua pun harus begitu.

Jauh dari Jakarta ada benda yang gua jaga keselamatannya. Gelisah, khawatir semua ada membuat gua gak bisa tenang selama perjalan sampai detik ini. Seluruh perhatian mengarah ke gua yang tiba-tiba mengeluarkan berbagai barang. Udah kayak satuan intel yang lagi nyerahin barang bukti untuk pelaporan.

Gua ngeluarin cincin, selembar foto, dan secarik kertas non resmi tanda ada sebuah ikatan yang lagi gua jalani dengan seseorang. Ada satu rahasia besar yang perlu gua ungkap untuk membuat semuanya menjadi benar.

Gua ambil cincin kawin gua dan gua pasang di jari manis tangan kanan gua. Setelah itu, gua angkat, gua pamerkan pada mata-mata yang menatap penuh tanda tanya. Gua lalu mengangguk seakan mengerti sedang dituntut sebuah penjelasan.

“Lu semua lihat ini apa? Iya, ini cincin kawin. Resmi, gua yang beli, gua yang design. Semuanya gua lakukan dengan sadar. Gua udah nikah.”

Tatapan tidak mengerti itu, seakan semakin bertanya-tanya. Sialnya, gak ada reaksi berlebihan yang udah gua prediksikan. Malam penuh suara jangkrik, masih sama sunyinya meskipun ada fakta besar yang masuk seketika. Gua gak bisa nilai satu-satunya ekspresi wajah temen-temen gua, karena pada saat ini pun mereka punya ekspresi yang gak bisa gua definisikan artinya.

Kecewa kah? Marah kah? Terkejut kah. Hanya geming dengan sorot mata kosong melompong. Gua lalu gunakan kesempatan ini buat cerita kronologi lengkapnya. Dari awal sampai akhirnya gua dan Khaotung milih tetep jadi pasangan dan gongnya kita yang lagi istirahat.

Semua kesalahpahaman, semua benang merah, semua sebab dan akibat terjawab sudah. Temen-temen gua makin gak berisik, bahkan suara napasnya aja gua hampir gak mendengar. Sekarang mereka lagi coba menghindar, matanya melihat sekitar asal bukan gua. Kecewa ya? Marah ya? Ya gak apa, gua udah siap semua konsekuensinya.

Bahkan Bang Earth tiba-tiba beranjak dari posisinya sambil bawa gelas bekas tehnya yang kosong. Izin buat ke belakang tapi nyatanya dia gak balik lagi. Satu persatu begitu, hingga menyisakan Gawin sama Mas Podd yang duduk di atas bangku rotan dengan posisi yang sama sejak forum di mulai.

Mas Podd gak punya banyak kata-kata, seluruh wejangannya sudah habis buat gua yang kemarin minta izin buat mengungkapkan segalanya. Segala konsekuensinya kita gak pernah tau, dan apapun itu kita gak boleh emosi, kita harus terima, begitu katanya.

Sedangkan Gawin sebagai pemimpin kayaknya butuh waktu lebih banyak buat ngurusin masalah gua. Ada beberapa problem yang harus dia sorting di kepalanya.

Begitu, keheningan di waktu yang udah masuk tengah malam ini gua habiskan untuk ikhlas, membuang semua penyesalan, membuang semua pikiran-pikiran negatif. Tanpa rokok, tanpa alkohol, hanya ada cincin yang melingkar dingin di jari manisnya. Memikirkan apa yang terjadi dengan pasangannya.

Gua ambil selembar foto di meja. Gak ada yang sudi buat sekedar ngeliat gambar di dalamnya. Gak ada yang tau gimana tuxedo ala kadar yang gua sama dia pakai waktu acara nikahan yang gak kalah ala kadarnya. Semakin gua pandangi, semakin gua masuk dalam memori tentang perjalanan gua dan dia sampai detik ini.

Gua mengusap parasnya dari permukaan gambar, berharap rasa bersalah dan rindu yang ada di dalam diri tersalurkan begitu saja. Gua tau keadaan kita sekarang gak baik-baik aja. Namun, inilah gua dan perjalanan meluruskan salah paham. Inilah gua yang lagi berusaha. Inilah gua dan segala cara menebus dosa.

Pelan-pelan, gua mau kasih tau ke seluruh dunia bahwa gua milik Khaotung dan dia miliki First Kanaphan.


`hjkscripts.


First Point of View.

Hari ini rasanya gua udah gak punya semangat apa-apa lagi buat jalanin segenap kerjaan yang sebenarnya gak bisa gua bilang sebagai pekerjaan. Iya, lagi-lagi gua terjebak dalam skenario bodoh dalam rangka ngeboongin orang. Catet! Kali ini bukan satu dua pihak, melainkan banyak pihak. Publik yang lagi gua boongin.

Rasa bersalah, rasa dongkol terus merayap di tubuh gua setiap gua melakukan arahan para crew. Gila, kerjaan giring public wave gini aja bikin gua gak bisa hidup tenang. Kok bisa wakil rakyat bejat yang ada di parlemen masih bisa ketiduran waktu rapat paripurna. Gua aja, dikasih silent treatment sama suami gua karena jarang balik udah gak bisa merem dengan nyenyak.

Tapi Khaotung itu lucu. Maksudnya, daripada yang dulu-dulu, masalah kita sekarang ini lebih ke cobaan orang lagi rumah tangga. Ya ada ketawanya, ada sisi romantisnya, ada sisi cemburunya. Seneng sih, suami gua sekarang udah berani ngomong, udah berani berdiri buat apa yang dia miliki. Gua meresa dimiliki, gua merasa dicintai, artinya suami gua sayang sama gua.

Sikap dia yang kayak gini jadi pertanda bahwa hubungan kita ini lagi berkembang dan gua gak boleh banyak ngecewain dia lagi. Cuma kayaknya, karena udah berbulan-bulan menekuni kerjaan ini, gua sebagai manusia banyak celah tentu kebawa suasana. Mungkin semua ini ada faktor tuntutan. Gua yang merasa jadi kepala keluarga wajib penuhi kebutuhan rumah, tapi karena cuma ini kerjaan yang ada, gua jadi berusaha keras sampai lupa tujuan awalnya.

It's been months, damn! Pantes Khaotung marah dan untungnya dia marah. Kalau gak bisa-bisa gua makin jauh terlibat, gua makin buta arah. Sekarang, tepat hari ini gua sadar dan kesadaran gua ini membawa sebuah keputusan yang harus diambil sebelum semuanya malah jadi menghancurkan semua sisi. Gua mau udahan ngelakuin kerjaan ini.

Selesai prosesi pengambilan gambar, media yang jadi partner agensi undang kita buat nongkrong sambil makan malam. Biasalah, yang kayak gini artinya mereka mau ucapin rasa terima kasih karena proyeknya sukses, atau abis ketiban duit segepok dari langit.

Kita lagi duduk sambil nikmatin minum-minum dan hampir semua menu makanan disajikan di atas meja. Beberapa kru udah ada yang teler, beberapa masih melek meskipun obrolannya udah ngelantur kesana kemari. Momennya udah pas banget, tapi tinggal nunggu si pak bos yang masih sibuk cerita sama Mas Podd yang sebenarnya lagi cari celah buat gua ngomong.

Tapi belum sempet momen itu terjadi, Jane yang ada di sebelah gua; half tipsy ngajak gua buat keluar cari angin. Gua ayo aja, toh di dalem rasanya sesek banget, bau alkohol, bercampur sama suara orang ngelantur, ketawa terbahak-bahak, pula asap dari masakan. Gua harus ngisi diri gua sama angin segar sambil nunggu waktu.

Jane ngajak gua buat duduk di salah satu bangku outdoor restoran. Hari udah makin malem, pengunjung di luar sama sekali gak ada, udara juga semakin dingin. Gua inisiatif buat lepasin jaket milik gua, meninggal tubuh ini bersisa kaus tipis, sebab Jane masih kelihatan menggigil.

“Ngapain ngajakin keluar kalo gak tahan dingin?” Jane diem aja waktu gua dengan tanpa permisi membalut jaket gua buat dia.

Jane bukannya jawab malah ngeluarin napas panjang. Mungkin dia juga sama sesaknya, dan gak bisa bernapas selega ini di dalam sana.

“It's been... 3 months, isn't it?” Katanya mengingat-ingat.

Gua mengangguk tau maksudnya. Emang gak nyangka sih, yang awalnya cuma buat mengalihkan perhatian publik malah jadi kegiatan sehari-hari. Kayaknya ya emang udah cukup. Toh kalau masih mau diteruskan bisa pakai foto-foto sebanyak yang udah mereka himpun selama berbulan-bulan. Tapi, gua pribadi mau mundur sekarang.

“Gua mau mundur, Jane.” Gua berkata dengan lugas.

Jane senyum, juga ngangguk kecil seolah-olah dia tau hari ini terakhir kita bakal kerja. “Aku tau, kak. Kamu dari tadi diem pasti mau cari momen buat ngobrol sama mereka.”

“Thanks ya, buat kerja samanya.” Tentu, gua sebenernya bingung, apa yang lebih cocok diucapkan daripada terima kasih buat cewek satu ini. Sebab, pengorbanan Jane itu lebih dari apapun. Gak semua publik figur mau merelakan nama baiknya diseret kasus-kasus gak penting.

“Hmm..” Jane menjawab singkat. Gak ada kata-kata layaknya pidato perpisahan. Cewek ini mengayunkan-ayunkan kakinya gelisah. Maka, gua tugasnya cuma nunggu kalimat apa yang bakal dia ungkapkan sebenarnya.

“Kak?” Panggilnya. Gua berpaling dari pemandangan lampu-lampu menatap wajah Jane yang sudah tinggal beberapa senti.

Gua bisa rasakan napasnya yang berantakan. Raut wajahnya yang dia sendiri gak bisa kontrol. Serta, gelagatnya yang terkesan kaku karena nafsu. Gua menelan air liur ketika tau kejadian apa yang lagi menimpa diri gua. Suasana mendadak sensitif juga ditambah angin yang berhembus konstan menambah kesan intim.

“Hm?” Gua gak bisa jawab, bergeming gitu aja.

“Aku boleh cium kamu gak? Aku gak tau perasaan apa yang lagi aku alami saat bersama kamu. Aku bingung mau ungkapin pakai kata-kata. Jadi...” Jane berhenti sejenak, menarik napas juga mengeluarkan seluruh keberaniannya. “Biarin aku cium bibir kamu, sekali ini aja.”

Dan kita semakin mendekat, hingga ujung hidung saling menyentuh satu sama lain. “Jane?” Gua panggil namanya. Gua panggil namanya biar kesadarannya kembali.

Maka kita kembali dibatasi jarak, yang bersentuhan, lepas jadi menjauh.

“Meskipun lu yakin atas perasaan itu setelah cium gua, rasanya lu gak akan dapat apapun dari gua. Karena apa yang ada di dalam diri gua, ujung rambut sampai kuku kaki. Bagian dalam maupun jaket yang lagi lu pakai sekarang ini udah jadi milik orang lain. Orang yang gua suruh buat jaga gua, dan gua juga lagi jaga milik dia. Gua gak bisa dimiliki siapapun, dan gua gak bisa memiliki siapapun kalau bukan dia orangnya.”


`hjkscripts.