yesterday.
“siapa gerangan si rupawan itu, sekali memandang jatuh hatiku dibuatnya.”
a billkinpp alternative universe
a/n : cerita ini dibuat untuk kebutuhan hiburan semata. segala kesamaan nama cast, nama tempat, kesalahan penulisan, atau ada hal yang offensive, dll kritik saran di dm akan selalu terbuka :)
Kya kya, Surabaya Billkin point of view
Langkah demi langkah kaki panjang ini beradu dengan aspal kasar. Teriknya sang mentari menjadi pengiring setia sejak raga ini memasuki pilar besar berukir naga. Kya kya, sebuah lokasi pecinan tua ditengah Kota Surabaya. Maksud saya bertandang kemari tak lain demi memenuhi catatan nilai tugas. Biasalah, apa lagi yang dikerjakan oleh mahasiswa semester 4 jurusan seni selain menjadi budak project.
Kemeja santai berwarna dasar merah dengan celana kain selutut menjadi pelapis kulit kecoklatan khas pemuda jawa. Menambah kesan modis pada diri ini dengan menggantung gagah kamera analog kesayangan pada leher jenjang yang bebas terlihat.
Sesekali kamera kuangkat, membidik objek apapun yang tertangkap iris legam. Terkadang senyum dibibir muncul saat hasil yang didapat memuaskan.
Tepat pukul 12 siang aku memutuskan tuk menyerah melawan terik matahari. Mendekat pada gerobak kecil penjual es gudir. Gerobaknya tua sama dengan pemiliknya, namun si mbah tetap memberi senyum terbaiknya hingga mau tak mau bibir ini membalas miliknya yang telah keriput.
“Matur nuwun.” Ujarku bersamaan dengan menyerahkan selembar lima ribu.
Kakiku sedikit berlari kembali pada pelataran toko mencari pelindung teduh. Berjalan sedikit terlambat sesekali memperhatikan jualan toko. Bau khas pecinan berlomba-lomba ingin menunjukkan eksistensinya pada indra penciuman. Langkahku akhirnya berakhir pada pemberhentiannya saat mendapat sebuah kursi kayu lawas kosong diantara dua toko. Seakan tak sabar, bokongku telah mendarat sempurna dibarengi bunyi berdecit.
Tatapanku terpaku pada lalu lalang sibuk di jalanan sebrang. Hawa dingin menyapa saat es gudir berhasil melewati tenggorokan. Tangan bebas sesekali terangkat tatkala keringat bercucuran memenuhi dahi sembari hidung lapar ini tergoda akan bau harum restoran sederhana disebelah.
“Ér zi, guò lái!“
Hampir copot jantung satu-satunya, tubuh juga terperanjat kaget. Suara wanita paruh baya yang entah berkata apa menggelegar luar biasa. Tak henti sampai disitu, alisnya menukik dan bibir tebalnya terus bergerak, dagunya terangkat tinggi hingga arah netranya tertuju pada balkon yang lebih tinggi di atas.
Berselang sekian detik tatapan penuh kilat kekesalan menatap lurus ke dalam restoran. Kedua tangan sosok wanita oriental itu malang kerik dipinggang.
“Nah, tidur terus pekerjaanmu. Punya anak lanang kok ga isa disuruh-suruh.” Tanpa sadar aku terkikik. Ucapannya percis milik ibu di rumah.
Sosok pria muda itu muncul dengan gaya acak-acakan khas bangun tidur. Rambutnya morat-marit dengan bekas peta Pulau Jawa tersampir putih di pipi sedikit bersemunya. Pria manis, bentuk matanya lebar tak seperti chinese kebanyakan ditambah alis lentiknya nampak dari jauh. Bibir merah muda yang mengerucut menambah pesona lucunya.
Atensiku semakin direnggutnya tatkala si pria muda berjalan dengan menghentakkan kakinya, menyalurkan kekesalannya pada bumi yang tak bersalah. Tatapanku lamat, memperhatikan bagaimana jemari lentiknya menyiapkan dupa. Mimiknya merengut sebab korek api ditanggankan tak segera menyala.
“Bagaimana bisa menghadap Tuhanmu dengan wajah kesal itu.” Pikirku lucu saat sosok disana mulai merapalkan doa-doa namun disisipi cebikan.
Aku baru tahu bahwa memandang dengan netra asli jauh lebih menyenangkan daripada melalui lensa kamera.
Kedai Chénggōng PP point of view
PP Krit, manusia yang tampan dan juga terkenal. Begitulah kedua orang tuaku memberi nama. Sosok pemuda oriental yang hadir ditengah-tengah keluargaku 21 tahun yang lalu. Hidup di pecinan tepatnya di atas kedai makanan Tionghoa usaha kedua orang tua. Baba telah tiada dan hanya kedai tua ini harta berharga yang beliau tinggalkan padaku dan Mama.
“Ér zi! untuk meja 5.” Teriak Mama dari balik dapur kecilnya.
Ya, beginilah keseharianku, membantu jalannya kedai dari buka hingga tutup di malam hari. Tak ada pelayan, maka Mama memperkerjakan aku.
Hari yang cukup melelahkan. Tentu, ini akhir pekan dan kedai tua kami memiliki banyak pengunjung. Aku duduk bersantai dibalik meja kasir. Mengamati satu-satu pengunjung yang dengan santai memakan menu pilihan masing-masing. Tak ada yang berbeda, hampir semua pengunjung aku pernah melihatnya. Iya, kebanyakan yang makan disini pekerja atau pemilik toko di pecinan.
Tanpa sadar senyuman mengembang, merasa puas melihat pelanggan yang nampak menikmati resep masakan Mama. Suasana hangat pun menyelimuti seiring samar-samar terdengar berbagai obrolan orang tua mengenai cerita hidupnya.
Aku tertegun, saat tak sengaja menangkap objek sosok pemuda di kursi paling belakang. Seketika, otakku seperti membuka seluruh memori tentang orang-orang yang selama ini kukenal. Nihil, seberapapun mencoba mengingat paras pemuda itu, aku tak dapat menemukannya.
“Mungkin pelanggan baru.” Ujarku lirih.
Aku menumpukan dagu diatas kedua telapak tangan. Seluruh atensi ini telah direnggut dengan tingkah konyolnya. Aku terkikik melihat betapa frustasinya air wajah itu saat mencoba menggapai satu helai kwetiau dengan sumpit. Pegangannya kaku, aku yakin pemuda itu tak pernah memakai sumpit sebelumnya. Kenapa tak minta? Padahal ada banyak garpu di dapur.
Cukup, kwetiau akan jadi tidak enak jika terlalu lama dibiarkan dalam kuah kaldu.
“Mama, tolong ambilkan garpu dan sendok.”
Setelah itu, aku membawa tubuhku mendekati sosoknya. Sudah cukup menyerah sepertinya, si dia hanya bermain dengan ponsel pintar sambil menyeruput gelas berisi teh tawar dingin.
Aku meletakkan garpu dan sendok tepat disebelah mangkuk kwetiau yang isinya sudah berantakan. Kedatanganku nampaknya menyita minatnya dan detik itu juga kedua iris kami bertemu. Aku menyunggingkan senyum terbaik sedangkan pemuda ini malah menatapku tertegun.
“Kedai kami punya banyak garpu jika kau merasa kesulitan.”
Pemuda itu meletakkan ponselnya keras. Ia menegakkan duduknya, lalu merapikan sedikit kemeja yang dikenakan.
“Te-terima kasih.” Jawabnya gugup.
Aku kembali ke tempat asal, namun hasrat untuk memandangnya masih besar bersarang di dada. Pemuda itu nampak bahagia, seperti garpu dan sendok adalah sobat lamanya. Pandangan kami lagi-lagi bertemu, kali ini dari jarak yang cukup jauh. Boleh jujur, si pemuda itu diberkati dengan wajah rupawan dengan mata legam sendunya.
“Hào chī ma?” Tanyaku tanpa suara yang ditanggapi dengan kerutan di dahi.
“Enak? Ulangku sekali lagi.
“MANTAP JIWA”
Dua jempolnya terangkat keatas membiarkan atensi seluruh pengunjung menuju arahnya. Aku tertawa, bagaimana ada sosok semenggelikan ini.
Kalau boleh, Aku ingin mengenalnya lebih jauh.
1 bulan kemudian Billkin point of view
” Nĭ hăo, wò shì Billkin.”
Hanya itu kata yang mampu teringat dalam semalam. Entah otakku sudah dititik overload karena seminggu lalu menghadapi Ujian Tengah Semester.
Aku tengah berdiri, 20 meter dari tempat yang akhir-akhir ini sering kusinggahi. Sudah satu bulan, tak sekalipun aku absen datang kemari. Entah bodoh atau terlampau goblok yang kulakukan hanya datang, pesan kwetiau, duduk di bangku paling ujung dan memandangi si manis anak pemilik kedai, selalu lupa menanyakan sekedar nama. Jika ditanya apa menu favorit disini dengan tegas aku menjawab 'kwetiau basah topping senyuman mas kasir.'
“Eh, kalo nanya siapa namamu gimana ya...” Monologku sambil mengingat kata dalam buku bahasa mandarin yang dibeli seminggu yang lalu.
”.... Ah masa sopo jenengmu?”
Bodo amat, yang terpenting sekarang masuk ke sana dulu. Aku merapihkan sedikit kemeja merah dengan parfum khas toko alias baru beli kemarin.
“Ini sudah yang ke lima kalinya kamu kemari.” Sebuah suara segera menginterupsi bersamaan dengan langkah pertama kakiku memasuki kedai.
Aku tersenyum kikuk, menghampiri meja kasir yang disana sudah dijaga makhluk manis.
“A-ah...”
Lihat dia tersenyum, Aku suka bagaimana benda kenyal berwarna merah muda itu terangkat ke atas.“Pesan apa hari ini?”
“Tolong, seperti biasa.” Pintaku.
“Dengan garpu dan sendok.” Ujarnya menyakinkan.
Aku mengangguk sembari terkekeh geli, “Tepat sekali.”
Pemuda manis itu mengarahkan lengannya seraya mempersilahkanku duduk. Seperti biasa, bangku paling belakang akan selalu kosong saat Aku tiba.
Pelajaran paling berharga pada hari ini adalah Aku lagi-lagi lupa menanyakan nama si manis. Iras menawan itu seolah memanipulasi isi pikiran. Memandangi parasnya tanpa mengenal bosan seperti tak ada hal yang lebih indah dibanding dirinya. Lalu, raga ini bergerak pergi dengan membawa berbagai macam bunga dengan banyak warna.
Tolong, ingatkan si bodoh ini untuk menanyakan namanya lain kali.
Chinese New Year Festival PP point of view
Gema keramaian terdengar nyaring dari jalanan sekitar. Suara petasan diiringi musik menandakan bahwa pertunjukkan utama sedang berlangsung. Lampu-lampu dominasi warna merah tertata apik dari ujung gapura naga hingga ujung gapura yang lain. Kepulan asap berbagai bau tercium sedap hingga ke hidung. Hari ini tepat malam perayaan Tahun Baru China dan Aku hanya menopang dagu memperhatikan hingar bingar dari balkon kamar.
Aku tidak punya alasan khusus untuk tak ikut menceburkan diri di tengah keramaian. Hanya saja, melakukan semua sendiri itu tidak menyenangkan.
“TOLONG KWETIAU BASAH SATU!” Teriak sosok pemuda dari bawah. Sangat memekikkan telinga, namun langsung tau siapa pelakunya.
Pemuda gila, apa yang dilakukannya pada malam hari disini? Apa dia sudah menentukan untuk pindah di salah satu ruko?
“Kedai tidak buka sejak siang. Apa yang kamu lakukan disini?!” Tanyaku dengan suara yang tak kalah tinggi.
Pemuda itu hanya menunjukkan senyum konyolnya. Memberikan gestur menyuruhku menemuinya dengan lambaian tangan. Aku masih menatapnya ragu, hanya saja detik kemudian rasa penasaran itu semakin besar.
“Zǒu!” Katanya tepat ketika Aku telah berdiri dihadapannya.
Aku menatapnya curiga.“Kemana?”
Pemuda itu menatapku gemas. Seperti tak ingin mengulangi ajakannya sekali lagi, dia langsung mengambil pergelangan tanganku. Ditarik lembut menuju lautan manusia.
Aku masih setia disampingnya. Berjalan dengan tempo sedang menuju pelan. Tanpa sadar jemariku sejak tadi berpegangan pada ujung bajunya. Takut terpisah, walau suasana masih kondusif meskipun ramai padat. Manik milikku tak henti mengedar pada keindahan malam hari ini, terlalu kagum hingga kedua telinga mendadak tuli.
“Hei, aku mengajakmu kesini bukan hanya untuk melihat-lihat. Ayo rekomendasikan jajanan selain kwetiau.”
Aku terkesiap, namun dengan cepat meneliti satu persatu stan penjual makan.
“Apa ada makanan yang tidak kamu suka atau kamu tidak boleh makan? Eum.. Seperti babi?” Entah mengapa pertanyaan itu muncul. Tak ada salahnya kan? Kami berada di suku bangsa yang berbeda, mungkin juga berbeda dikepercayaan...
Dia menatapku, tepat di mata dengan manik sendunya. “Aku suka...”
“Suka kamu.” Inner Billkin
“Suka... Babi.”
“Serius?!” Aku cukup terkejut dengan jawabannya. Puluhan ribu kunang-kungan seperti keluar mengelilingi tubuhku dengan cahayanya. Ada rasa lega dan bahagia membuncah dalam raga.
Aku punya banyak kesempatan kan?
Author point of view
Billkin mengantar PP kembali pulang. Hampir tengah malam namun populasi manusia semakin meningkat. Sayang jikalau bukan perutnya yang hampir meledak kekenyangan mereka masih berada di tengah khalayak.
PP melepaskan genggaman nyamannya pada ujung kemeja Billkin. Kusut dibuatnya sebab tak dilepas sedetikpun saat berada disana. Suasana mendadak canggung. PP mengulum bibirnya, bingung. Billkin masih berdiam tanpa berniat untuk mengucap selamat tinggal.
“Aku-”
“Eh..”
Ucap mereka bersamaan.
“Kamu dulu.” Billkin menengahi.
PP berfikir sejenak, “Eum.. Aku masuk ya?” Katanya canggung.
Billkin hanya tersenyum sambil mengusap tengkuknya. Ada suatu hal yang masih tertahan, tak tahu bagaimana mengungkapkannya. Saat langkah PP sudah mulai menjauh, Billkin kelabakan. Bagaimana jika Ia akan menyesal dikemudian hari?
“Hey!” Panggilnya. Lalu si pemuda manis berhenti.
“Wò., Wò shì Billkin. Nǐ jiào.. shén-me míngzì?” Ucap Billkin dengan nada terbata.
PP tertawa, betapa lucunya lelaki dihadapannya.
“PP. Wò shì PP.”
Epilogue
Kedua lelaki itu menutup masing-masing bukunya saat telah sampai pada lembar terakhir. Kedua buku yang tanpa sengaja digunakan untuk mencurahkan hati yang masih terpisah berpuluh-puluh tahun lalu. Tak ada yang spesial, hanya berisi pujian-pujian berlebihan, saling mengangumi satu sama lain.
Mereka lantas menyimpan buku lusuh yang sebagian lembarnya telah menguning di atas nakas. Hari sudah larut, dan keduanya masih terjaga ditengah kamar temaram. Padahal 30 menit yang lalu masih berisik ocehan sosok lelaki kecil.
PP dan Billkin saling menatap. Detik kemudian kekehan pelan keluar begitu saja melihat gumpalan daging tertidur pulas dengan posisi meringkuk diantara mereka. Billkin mengusap kepala kecilnya sayang, lalu menaikkan selimut lebih keatas diikuti PP dan Billkin setelahnya.
“Dia tidur sangat pulas, padahal tadi terserang mimpi buruk.” PP memainkan bibir kecil yang sedikit terbuka gemas.
“Dia hanya mencari alasan untuk tidur bersamamu.” Billkin menanggapi. Malaikat kecil penyempurna kehidupan mereka memang lebih menempel pada PP.
PP mengangguk setuju. “Tutup matamu, besok bukannya launching pameran pertamamu?”
“Huum...”
Dua puluh tahun hidup sebagai seniman fotografi, besok adalah achievement terbesarnya.
“Maaf aku tak bisa menyematkan sebuah kecupan lagi. Selamat malam, aku mencintaimu.”
“Aku juga...”
Sangat mencintaimu.
END
special thanks to mbak cin alias @scintillaaa00 atas asupannya tiap hari perkara BillkinPP.
SAN