watanabe haruto.


⚠️trigger warning ⚠️ : act of mental health, rated 🔞, harsh words.


Malaikat berhati dingin, begitu mereka mendeskripsikan sosok Watanabe Haruto. Pria menawan dengan tubuh tinggi, dada bidang, ditambah mata elang mengintimidasi. Siapa yang tak kenal, satu-satunya pewaris perusahaan properti asal Jepang yang berjalan di Korea. Meskipun begitu tak pernah nampak gelagat sombong dari empunya.

Watanabe Haruto pria dominan diantara kedua sahabat manisnya. Membuat siapapun ingin sekali menjadi bagian dari mereka. Namun bagaimana mensejajarkan derajat saja mereka sudah tak mampu. Dimana ada sosok kecil pemilik nama Asahi disana, pangeran pendiam yang juga anak pemilik perusahaan ternama.

Siapa yang menyangka dari banyaknya orang yang memilih mundur ada Junkyu si sederhana yang tak malu mendekatinya. Junkyu yang ceria tiba-tiba datang melengkapi kelompok sewaktu masa orientasi SMA. Bukan, bukannya Junkyu tak memiliki teman, awalnya Junkyu iba memutuskan meninggalkan anggota kelompoknya demi dua pemuda yang tengah linglung. Mereka hanya bertiga meskipun jumlah yang diinginkan harusnya lima. Junkyu yang positif mengucapkan ada aku sudah cukup ramai seperti lima orang.

Sejak saat itu mereka jadi dekat. Entah Junkyu yang kelewat friendly atau Asahi pun Haruto yang malas bergaul. Hingga tak terasa salah satu dari mereka tumbuh benih cinta. Pangeran es Watanabe Haruto menaruh hati pada si ceria Kim Junkyu. Berterima kasih pada malaikat cinta Hamada Asahi keduanya berhasil mengeratkan benang merah hingga 5 tahun lamanya.

Bagi Haruto, Junkyu itu matahari. Hangat, hingga es dalam tubuhnya perlahan mencair. Senyumnya cerah hingga siapapun yang melihat pasti ikut tersenyum. Dan Junkyu memberikan cahayanya menyinari kehidupan abu-abu milik Haruto. Junkyu adalah titik poros dunia Watanabe Haruto.

Mulai hari ini dunia Haruto dilanda kegelapan semenjak perginya sang matahari.

Haruto tersenyum remeh sembari menatap plakat keramik bertuliskan nama serta jabatan barunya. Sungguh lucu mengingat bagaimana dunia membuat sebuah skenario cerita. Beberapa orang diluar bekerja keras demi sepeser won hingga tak terpikir naik pangkat akibat tau akan susahnya. Coba lihat dirinya, hanya dengan menikah sekejap bisa menggenggam dunia.

Masih jelas dalam bayangnya si anak nakal Haruto melarikan diri dari rumah, menghindari papanya yang terus menuntut menjadikan penerus perusahaan. Haruto jelas menolak, kuliahnya belum selesai dan lagi Haruto ingin mandiri. Mengusung usahanya sendiri dari nol tanpa campur tangan papanya. Disanalah mereka, rumah sewa sederhana milik Junkyunya tersimpan tekad bagaimana sosok Haruto mencari jati diri, hidup bersama sang support system tempat hatinya berlabuh.

Masih jelas diingatannya bagaimana sang kekasih tak kenal lelah membantu menulis beratus resume, memberinya pelukan sayang saat melihat tulisan BELUM DITERIMA. Saat pekerjaan itu datang Junkyunya adalah orang pertama yang menangis bahagia. Haruto masih ingat sebulan yang lalu dirinya baru diangkat menjadi supervisor dan itu atas kerja kerasnya. Pulang ke rumah sederhana dengan dua bungkus ayam dan beberapa kaleng beer. Merayakan bersama, begitu bahagia ditengah kesederhanaan, terlampau nyaman hingga tak pernah terbayang akhir cerita cintanya bukan dengan Junkyu.


Asahi berjalan ditengah teriknya mentari. Hari ini entah mengapa matahari sedang ingin memamerkan sinarnya. Membuat siapapun termasuk Asahi agaknya malas berlama-lama diluar. Tidak boleh, malam ini ada acara cukup penting yang harus Ia hadiri. Perayaan pergantian CEO perusahaan yang mana jabatannya telah digantikan suaminya sendiri. Sebagai pasangan sah Watanabe Haruto dirinya harus datang bukan?

Asahi mendorong pintu salah satu toko bunga bernuansa baby blue. Tersenyum, ikut membungkuk saat salah satu karyawan menyapanya.

“Silahkan, Tuan!” Sahut wanita kasir ramah.

Asahi pun mendekat, agaknya heran setahunya sang sahabat yang bekerja dibalik mesin kasir. Apa mungkin Junkyu tak bekerja di shift pagi?

“Kim Junkyu?”

Seolah paham wanita muda itu menunjukkan pintu belakang. Pintu pembatas toko dan tempat dimana bunga-bunga dirawat.

“Apakah boleh?”

“Tentu saja, jika ada bunga yang diinginkan rekan saya Junkyu adalah ahlinya.”

Asahi mengucapkan terima kasih lantas pergi menuju balik pintu. Senyumannya mengembang tipis, tubuhnya mendadak menghadirkan perasaan lega melihat sahabatnya masih kerja dengan baik. Jemari cantiknya yang lihai bermain dengan pot, pupuk dan bibit bunga. Parasnya semakin cantik saat dikelilingi macam warna kupu-kupu yang mampir sesaat untuk melakukan penyerbukan.

“Junkyu?” Panggilnya. Si pemuda yang tengah fokus dengan pekerjaannya sontak menoleh.

“O-oh? Kau kemari? Ada apa?”

Junkyu berdiri dari kursi kecilnya, melepas sarung tangan, membersihkan telapaknya sedikit sebelum berjalan mendekati sahabat kecilnya yang tiba saja datang.

“Lo sehat?” Tanya Asahi basa-basi. Agak canggung sebenarnya bahkan detak jantung Asahi bergerak lebih kencang. Sedang Junkyu hanya tersenyum kecil tanda dirinya baik; atau tidak.

“Butuh bunga? Untuk siapa? Pilih aja biar gue yang hiasin, paling bagus khusus buat lo.” Sahut Junkyu mencoba mencairkan suasana. Sejenak memanggil si ceria Junkyu agar yang lebih kecil berhenti memasang wajah bersalahnya. Junkyu benci dikasihani meskipun rasanya ingin mengemis cintanya kembali.

“Buat Haruto dia diangkat jadi CEO perusahaan. Nanti malem pesta perayaan gitu, gue pengen ngasih bunga.”

“A-ah gi,-tu?”

Kenyataannya sebesar apa sosok Junkyu berusaha. Sang pemilik nama itu selalu bisa meluluhlantakkan perasaannya. Hancur lebur tersisa abu.

“Kayaknya bunga matahari bagus deh, Kyu. Kan jarang ya acara formal gitu ngasih bunga matahari.”

Bunga matahari, memiliki arti kesetiaan pasangan tanpa batas. Warna kuningnya melambangkan kehangatan sama seperti namanya matahari yang selalu memberi kehangatan pada tiap insan. Begitupun sosok Haruto mendeskripsikan seorang Kim Junkyu.

“Kalo aku jadi bunga, menurut kamu cocok jadi bunga apa?” Tanya si manis ditengah kegiatan menanam bunga dengan kekasih.

Sang dominan berpikir sebentar, tak ingin melempar jawaban ngawur. Takut-takut dilempar pupuk, “Bunga matahari?”

“Kenapa?”

Haruto mengendikkan bahu, hanya saja bunga itu yang sedang Ia coba tanam. Sedangkan Junkyu tengah dirundung malu. dua tahun bekerja di toko bunga membuatnya mengenal bunga jauh daripada dirinya sendiri.

“Karna Haruto gabisa hidup tanpa Junkyu. Sama kayak bumi gabisa hidup tanpa matahari. Tapi matahari itu jauh gabisa digapai, jadi digantiin bunga matahari. Ini lagi aku pegang sekarang.”

“JUNKYU?!”

“Eh- iya? Eh.. bentar ya gue siapin.” Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Junkyu bergerak menyibukkan dirinya. Mencoba tetap tenang meskipun hatinya sedikit terguncang.

Sekitar 20 menit Junkyu menghampiri Asahi yang tengah menunggu di depan kasir. Perlahan dan pasti bucket bunga indah berpindah tangan. Asahi tersenyum puas, memasukkan surat kecil di dalamnya dan semuanya sempurna. Namun, kerutan di dahinya muncul saat menangkap dua tangkai bunga lain yang juga telah dibungkus rapih. Sontak kedua maniknya menatap Junkyu.

“Buat lo sama Haruto. Maaf pas itu dateng ga bawa apa-apa. Selamat juga buat Haruto dan kerjaannya. Gue tinggal kebelakang ya ati-ati dijalan!”

Bunga Iris dimana kecantikannya melambangkan harapan. Harapan baik dari Kim Junkyu untuk dua sahabatnya.


Begitu meriah acara perayaan malam ini. Digelar mewah pada ballroom salah satu hotel bintang lima. Seluruh kolega berdatangan dengan berbagai tujuannya. Ada yang datang karena tak sempat hadir saat pernikahan sang CEO atau mencari kesempatan bisnis di dalamnya. Tak terkecuali media massa, berlomba-lomba masuk demi secuil berita picisan untuk disiarkan.

Sang pemilik acara sedang berdiri, berbincang dengan salah satu tamu yang mana sahabat dekat ayahnya sendiri. Sesekali mata elangnya menatap jam tangan bergantian pada pintu utama. Seharusnya Asahi sudah tiba sejak awal acara, sampai hampir penghujung acarapun belum nampak.

“Selamat malam, maaf saya terlambat. Perkenalkan, Hamada Asahi.” Sapa Asahi lantas membungkuk pada tamu yang ada.

Asahi juga tak lupa menyerahkan dua bucket bunga cantik sebagai ucapan selamat. Bunga matahari dan bunga mawar putih. Haruto terkekeh kecil dengan sikap Asahi. Lengan besarnya menarik pinggang ramping suaminya agar lebih mendekat, dikecup pelan puncak kepala yang lebih pendek. Menghadirkan sorak-sorai dari saksi mata yang melihat.

Tak ada gemuruh bahagia dalam diri Asahi, hanya kaget dan malu. Karena Asahi sendiri yang dapat merasakan bahwa tidak ada sedikitpun perasaan Haruto yang tersalur lewat kecupannya.

“Sepertinya pengantin baru butuh space berdua. Kalau begitu kami permisi.”

Tinggalah mereka berdua, dengan Haruto yang mulai meneliti bunga pemberian suaminya. Sedangkan Asahi mendadak dilanda khawatir mengingat dirinya datang ada maksud yang ingin disampaikan. Sepertinya Asahi harus sedikit lebih sabar, tamu masih banyak berdatangan tak enak mengajak suaminya pergi begitu saja.

“Repot banget sampai beli dua. Satu saja harusnya cukup.” Ujar Haruto, fokusnya saat ini sibuk membaca kalimat selamat yang Asahi sampirkan melalui kertas kecil di dalamnya.

“Yang satu titipan, sih.” Balasnya singkat namun cukup membuat Haruto penasaran.

“Baca aja sendiri.”

Haruto mengambil bucket bunga matahari. Alisnya menyatu, sedikit bingung siapa gerangan yang mengirim bunga matahari diacara formal begini. Saat Haruto membuka surat kecil didalamnya Ia tertegun. Tak lama kemudian senyum kecilnya muncul, tak dapat ditahan. Dirinya tak pernah salah menandai sosok dalam kertas kecil itu dengan bunga matahari. Nyatanya hanya coretan nama mampu membuat hatinya kembali hangat. Meskipun raganya tak lagi hadir dalam pandangan, Haruto bersyukur perasaan milik Kim Junkyu padanya masih disini bersamaan dengan datangnya rangkaian bunga ini.

Asahi melihatnya, bagaimana belah bibir milik pria dingin ini perlahan terangkat. Senyuman tulus sosok Haruto setelah bertemu tambatan hatinya. Senyuman yang tak bisa dilihat oleh siapapun kecuali pria manis kesayangannya. Dan itu jelas bukan Asahi. Asahi bukan pemilik penuh Watanabe Haruto diatas status sahnya.

“Haruto, gue mau cerita ke lo, tentang Junkyu.”

Apartemen Haasahi

Keduanya telah di rumah, tepatnya duduk berdua di meja makan dengan segelas teh hangat masing-masing. Haruto tengah sibuk mengusap rambutnya yang basah sehabis mandi. Sedangkan yang lebih kecil termenung, sedikit gelisah memikirkan mulai dari mana Ia menjelaskan.

“Sa, gimana?” Panggil Haruto seperti menarik Asahi kembali dari dunianya menuju realita. Asahi terkesiap, buru-buru mengeluarkan kantung kecil. Diserahkan perlahan agar Haruto dapat melihat dengan jelas.

Haruto memasang wajah tak terdefinisikan. Bingung, pasalnya yang diserahkan Asahi adalah kantung plastik kecil berisi macam obat. Jadi siapa yang sakit?

“Gue nemuin itu jatuh dari saku Junkyu.” Ungkapnya lirih.

Asahi terdiam selama beberapa detik, memberikan kesempatan suaminya untuk menanggapi. Haruto diam seribu bahasa, masih menelisik obat-obatan berbagai warna dan ukuran.

“Gue sebenernya gak mau ganggu privasi dia, but I was too curious. Akhirnya, gue pergi ke rumah sakit itu juga alasan kenapa gue telat dateng...”

“Junkyu sakit,To... dan gue gatau sejak kapan. Dia harusnya gaboleh tinggal sendiri, and now what? Kita temennya gatau apa-apa.”

Asahi kecewa, sejak saat itu hingga resmi menikah mereka memang belum menemui Junkyu untuk sekedar bersua. Berakhir, tak ada yang tau bahwa Junkyu terdiagnosis gangguan depresi sedang. Belum parah, tapi jika empunya tak ada niatan untuk sembuh maka petaka menunggu di depan mata.

“Terus apa, Sa? Dengan nunjukkin ini ke gue emang bisa merubah apa?!” Tukas Haruto dengan nada tinggi, seolah tau kemana alur pembicaraan mereka. Ia kecewa, harapnya Asahi telah menyerah akan usul bodohnya. Nyatanya kesungguhan Asahi tak terganggu gugat.

“Junkyu butuh lo.”

Brak!

Haruto berdiri mendelik tajam ke arah suaminya yang masih duduk. Yang lebih kecil mencoba tegar, tak gentar akan tatapan menghunus milik Haruto yang tengah dilanda amarah. Kali ini Asahi sekeras batu, tujuannya mengembalikan Haruto pada pemilik sebenarnya mutlak seberapa keras Haruto menolak. Kim Junkyu butuh Haruto saat ini and that's all what Asahi can do as a friend.

“Asahi?”

Asahi geram, lantas ikut berdiri. Wajahnya keras juga menatap Haruto. Keduanya berseteru saling melempar emosi.

You sure?” Sekali lagi Haruto memastikan. Ia tak ingin menjadi lebih bajingan tapi jika Asahi mengiyakan dia tak punya pilihan lain selain pergi mendua.

Asahi kaku, sebagian wajahnya memerah. Jujur, Asahi juga mana ingin begini. Fakta bahwa Junkyu sakit karena dunianya telah direnggutnya menumbuhkan perasaan bersalah semakin hebat.

Dengan berat hati, Asahi mengangguk perlahan. Asahi ikhlas berbagi Haruto dengan sahabatnya sendiri, tanpa memikirkan bagaimana hari-harinya kelak.


Pesta meriah digelar pada malam Sabtu (19/06). Perayaan tersebut dilaksanakan untuk menyambut CEO baru perusahaan properti terbesar Watanabe corp.

Junkyu menatap nanar TV dihadapannya. Tubuhnya lemas lelah setelah pulang bekerja akibat banyaknya pesanan bunga hari ini. Ingin merefresh otaknya dengan acara TV malah dihadirkan siaran yang paling dibenci. Bukan siarannya, tapi orang dalam berita. Entah hari ini dunia sedang tenang atau apa hingga seluruh TV menyiarkan acara megah pergantian CEO perusahaan Jepang itu.

Junkyu duduk memeluk lulutnya, masih lurus melihat TV yang sekarang menyorot si wajah baru perusahaan. CEO muda yang digadang memiliki keuletan dalam bidang bisnis. Hatinya berdetak berantakan, perasaannya pada visual itu masih tergambar jelas. Hingga pria kecil itu muncul di layar dengan bucket bunga matahari. Pria tinggi itu menerima dengan tulus, Junkyu bisa merasakannya. Saat adegan romantis disajikan Junkyu tak sanggup.

Dadanya mendadak nyeri hingga batuk mulai mendera. Nafasnya tak beraturan seperti tiada oksigen dalam ruangan. Junkyu memukul dadanya berulang, berharap saluran napasnya kembali normal. Namun nihil, tubuhnya saat ini jatuh merosot diatas lantai.

“Hhhhaaah...aggghh”

Junkyu panik hingga menangis. Menyesal karena gagal mengendalikan tubuhnya. Dokter telah memperingatkan agar selalu tenang sehingga Junkyu tidak butuh lagi obat penenang.

“AAAARRRHHH... Jun-k..yu te..nang...Ti..dak!”

Junkyu bangkit, berjalan tertatih. Satu tangannya meraba apapun yang dapat Ia jadikan tumpuan. Sedangkan yang satunya terus memukul dadanya yang semakin sesak.

“Obat? Mana obat.... Aggghh,”

Junkyu meraih tas kerjanya. Obat penenang yang selalu Ia bawa kemanapun. Junkyu benci jadi seperti ini, seperti bukan dirinya. Sialan, seberapa besar Junkyu mencoba bahagia perasaannya enggan diajak demikian. Seakan seluruh komponen dalam tubuhnya tau sumber kebahagiaannya telah melenggang pergi dan tak akan kembali.

Panik, pikirannya semakin kalut saat tak menemukan bungkusan itu ada disana. Dirinya harus gimana? Itu bungkusan terakhir sampai waktu terapi selanjutnya. Junkyu kesal, kepalanya pusing, pandangan mengabur. Seluruh barang dibanting ke lantai. Perasaannya makin bercampur tak karuan. Semua kenangan pahitnya memutar bak sebuah film membawa Junkyu kedalam ruangan hitam pekat. Junkyu dan kesendiriannya.

“HAAAA... Sssshhh.. Kursi, jam dinding, televi ahhh tidak kursi, tas, buku, Arrggh sialan!”

Junkyu duduk lemah diatas dinginnya lantai tak beralas. Kedua tangannya menutup telinganya ketakutan, badannya bergetar hebat. Bibirnya masih berusaha menyebutkan benda disekitar agar kesadarannya masih ada meskipun sulit. Junkyu pasrah, jika akhir hidupnya memang harus begini. Menjadi sebatang kara dengan gangguan kejiwaan. Ia hanya berharap ada orang yang menemukan jasadnya dan menguburkan dengan layak. Bolehkah untuk satu kali saja sebelum nafasnya semakin direnggut Ia bertemu Haruto. Setidaknya kematian Junkyu tidak begitu mengenaskan. Junkyu ingin melihat wajahnya, mengucapkan betapa Junkyu sangat berterima kasih telah dipertemukan dengan sosoknya. Menerima begitu banyak kasih sayang yang bahkan tak pernah Ia bayangkan.

“Junkyu?”

Dunia seakan berhenti berputar. Sepertinya Junkyu semakin gila, buktinya suara yang Ia sangat rindukan hadir. Yah, Tuhan sangat cepat mengabulkan doa hambanya yang tak memiliki harapan. Menghadirkan sosok itu sejenak berikut malaikat maut.

“Junkyu! Junkyu liat aku, hei!” Tubuhnya lemas diguncang hebat hingga dagunya terangkat. Saat itu pula manik mereka bertemu. Raut khawatir lelaki kecintaannya tergambar jelas dalam pandangnya meskipun begitu tetap menawan seperti biasa. Sedangkan si tampan panik bukan main, bibir merah muda itu pucat, kelopak matanya hanya sedikit terbuka. Tubuhnya banyak lebam.

Ada apa denganmu Junkyu? Kenapa kamu melakukan semua ini?

“Ha-haru..to?” Titahnya lemah.

Hatinya sakit, bunga mataharinya layu hampir gugur.

Tanpa sepatah kata lagi Haruto menarik tubuh kurusnya dalam dekapan hangat. Menyalurkan rindu selama ini terpendam. Tak berkurang sedikitpun rasa cintanya pada sosok dalam dekapannya. Merasa menjadi manusia paling jahat telah menghiraukan si manis demi kebahagiaan orang tuanya.

“Junkyu inhale...” Perintah Haruto sembari mengusap punggung yang sama lebar dengan miliknya.

Junkyu memang tidak melebih-lebihkan saat berkata bahwa seluruh komponen tubuhnya hanya patuh pada satu komando. Terbukti, rasa paniknya mereda, paru-parunya mulai berfungsi. Meskipun jantungnya masih sangat berdebar.

Exhale...”

Haruto ikut menghela napas lega. Junkyunya kembali tenang. Untung dirinya datang tepat waktu. Kalau tidak, Haruto pun Asahi akan dilanda rasa bersalah seumur hidup.

“Haruto?” Bisiknya.

Haruto semakin mengeratkan rengkuhannya, mengecup puncak kepala Junkyu sayang. “Sssshhh... aku disini. Mulai sekarang aku disini sama kamu.”


Junkyu beranjak dari hangatnya rengkuhan Haruto. Sudah 30 menit mereka berada pada posisi saling memberi kehangatan setelah prahara yang terjadi. Ajaib, tanpa obat sialan itu Junkyu cepat tenang. Namun Junkyu sadar ini salah, tak seharusnya Haruto disini, Haruto bukan lagi hak milik Junkyu.

“Aku udah gapapa, kamu pulang.” Cicit Junkyu. Jemari panjangnya Ia gunakan untuk mengusap sisa air mata di wajah. Junkyu beranjak menjauh, tak peduli akan Haruto. Ia memilih untuk menyibukkan diri membereskan istana kecilnya yang kacau.

“Ayo perbaiki hubungan kita. Kembali seperti dulu.”

Junkyu mematung, betapa entengnya lelaki yang telah menorehkan luka. Setelah memaksanya menyerah sekarang ingin memungutnya kembali.

“Aku nggak mau.” Balasnya tegas.

Junkyu mana peduli bahkan jika Asahi mengijinkan pun dirinya menolak. Junkyu lelaki memiliki kehormatan, tak seharusnya Ia mengiyakan ajakan bodoh semacam ini.

“Kamu harus mau!” Suaranya meninggi. Haruto bingung dengan dirinya sendiri. Niat datang hanya melihat keadaan Junkyu agar suaminya puas. Tetapi, melihat masa lalunya selemah ini Haruto ingin menjaganya. Inilah cinta atau sekedar iba?

“Haru, you're married already. Dengan kamu disini aja udah salah. Pulang, your husband there, he's waiting for you.”

“ARRRRRGGG! KAMU ITU GATAU SUSAHNYA JADI AKU. ASAHI DORONG AKU KE KAMU, KAMU DORONG AKU PERGI. MAU KALIAN APA HAH?!”

Haruto capek, dia cuma mau ikutin apa maunya orang-orang. Dia kira dengan diem, nurut bikin semuanya baik-baik aja, tapi nyatanya. Hancur, lebur, berantakan. Nggak ada yang bisa dia selamatkan, sahabatnya, mantan pacarnya, bahkan perasaannya sendiri. Cuma orang tuanya yang seneng, sedangkan mereka bertiga seakan dihukum sakit hingga tak tentu kapan akan berakhir.

Haruto bingung, Asahi nolak dia, diem-diem mau mempersatukan Haruto sama Junkyu lagi. Sedangkan Junkyu juga mukul dia mundur, ingin terbiasa sendiri walaupun nggak kuat. Haruto harus gimana? rumah mana yang menjadi tempatnya pulang sekarang?

“Junkyu kamu butuh aku.”

Haruto mendekati Junkyu, menggenggam erat pundaknya dengan tatapan dingin mengancam. Junkyu takut, menghiraukan pundaknya mulai nyeri. Junkyu sangat tau Haruto yang marah itu menakutkan.

“Haru, please sakit.” Tegurnya lembut.

“Kamu sakit. Dan aku obat yang kamu butuh kan.”

Haruto kalap, menarik paksa Junkyu mendekat. Ditarik pula dagunya, tanpa aba-aba bibir pucat Junkyu diraup habis, dihisap penuh nafsu hingga liurnya meluber. Gerakannya rusuh, tak tentu arah namun ada emosi yang disampaikan disana. Junkyu membeku, membiarkan apapun yang dilakukan Haruto pun saat Haruto menarik paksa tubuh tinggi kurusnya. Dibawa lelaki itu menuju kamar.

Saat itu juga tembok ringkih yang telah dibangun roboh menjadi serpihan tak bertuan.

Haruto benar, Junkyu butuh Haruto. Bahkan tubuhnya tak menolak setiap sentuhannya. Nyaman, seperti dibawa pada masa lalu indahnya. Dimana hanya ada Junkyu dan Haruto menyatukan hasrat mereka. Tak seorangpun dapat menghentikan. Termasuk Asahi sendiri.


Sejak hari itu Haruto berubah. Menjadi sosok hangat seperti semula. Haruto dingin kembali menemukan atap hangat untuk berteduh. Perlahan Haruto meninggalkan kewajiban seharusnya.

Haruto seperti menjauh dari Asahi, nggak salah. Toh Asahi sendiri yang mendorong suaminya pergi. Lupa bahwa Junkyu rumah sebenarnya bagi Haruto. Haruto tetap menafkahi Asahi secara finansial namun raganya jarang nampak. Sekali Haruto pulang akan sangat larut tentunya sudah makan malam di rumah sederhana Junkyu. Jadi jika sudah begini siapa yang jahat?

Pun dihari libur, harusnya menjadi hari keluarga. Yah, they're not in a good way to be called a family but still mereka sah secara hukum dan agama. Asahi tengah sibuk berperang dengan dapur, masak. Meskipun baru liat dari YouTube. Asahi akui dia gak jago masak, dia hidup tidak sepenuhnya mandiri sebelumnya. Tapi Asahi mau nyoba masak buat Haruto.

Telinganya melebar seketika bersamaan suara baritone suaminya menyapa seseorang disebrang panggilan. Detik kemudian, langkah rusuh Haruto berlarian disekitar rumah mengambil kunci mobil dan jaket. Asahi mencuri lihat, ada apa dengan suaminya.

“Mau kemana? Belom sarapan juga.”

Haruto berhenti sejenak menatap Asahi, cowok itu berdiri lucu dengan apron kebesaran.

“Gue ke rumah Junkyu dulu ya, dadanya sesek. Takut kumat.”

Belum Asahi mengijinkan, Haruto melenggang pergi. Well, selalu kayak gini.

Asahi nggak tau ini udah jadi jalan yang bener atau malah menjatuhkannya dalam lubang penyesalan. Asahi seneng Haruto jadi Haruto sebagaimana harusnya. Tapi dalam lubuk hatinya ada yang mengganjal. Ada gejolak amarah, hati kecilnya meronta bahwa ini kesalahan besar.

Namun, Asahi tak lagi bisa mundur.

to be continue....

part 3. Hamada Asahi


by: teuhaieyo