this is our family.


Henry Point of View.

Aku berteriak bak anak remaja. Aku menggeram kesal bak anak remaja. Aku marah sebab dicurangi bak anak remaja. Aku pun tertawa terbahak bak anak remaja.

Namun aku bukanlah seorang remaja melainkan lelaki dewasa yang baru merasakan indahnya hidup di dunia.

Kesal aku meletakkan konsol game melihat lagi-lagi karakter yang aku pilih tergeletak tak berdaya. Diejek aku pula oleh lawan main yang wajahnya sombong luar biasa. Papa gak bisa main katanya, papa gak jago serunya dan aku mengerang tak terima. Siklusnya begini sejak selesai sarapan dan diminta duduk di sofa. Bermain, kalah, tak terima, lalu meminta pertandingan ulang yang berakhir tak ada beda.

Meskipun kalah aku tetap tertawa sebab sudah lama kita tidak terjebak dalam situasi menyenangkan. Bermain lawan video game di ruang tamu dengan mengerahkan seluruh tenaga. Lelah kalah jika bermain sportif, tangan jahilku menutup mata Nicholas sang lawan yang unggul lima poin di depan. Meskipun begitu tetap akhirnya aku kecewa sebab aku buruk dalam segala permainan.

“Kamu itu curang tapi masih kalah?” Nicholas menggeleng tak percaya, nadanya seolah mengejek betapa buruknya aku dalam permainan ini.

“Hampir menang kurang hoki aja.” Aku membela diri. “Ayo ulang lagi! Kali ini aku pasti menang!” Ajak seseorang yang masih penasaran.

Nicholas menggeleng, “Nggak ah, lawan kamu gak seru. Gampang dikalahinnya.” Balasnya meremehkan.

Tentu aku tidak terima, aku kalah mungkin karena belum terbiasa. Sepuluh atau dua puluh kali lagi bisa aja aku lebih jago nantinya. Kita terlibat adu mulut, lucu memang dilihat antara orang dewasa dan anak remaja masalah permainan. Aku akui hari ini Nicholas menyebalkan, atau aku yang terlalu emosional?

Pertengkaran kekanakan ini ditutup oleh pintu utama yang terbuka dan masuklah seorang pria dewasa lainnya. Dia meletakkan barang di tangannya lalu menghampiri arena gulat yang masih panas.

“Ayo mulai satu kali lagi!” Teriakku emosi. Sedangkan yang memegang kendali masih menggeleng menggoda. Begitu senang melihatku marah.

“Hey what's wrong?” Dia mencoba menengahi

“Kakak gak mau main sama aku lagi.” Adukku padanya.

“What? Papa yang gak bisa main jadi aku malas main lagi. He even can't control his character to stand on battlefield for five seconds.”

“Oh c'mon!

“Kak ayo sekali lagi!”

“Dad...”

Aku tersenyum kemenangan. Setidaknya aku menang dalam pertandingan mengadu pada alpha dewasa yang saat ini mengambil spot di samping Nicholas. Yang membuat aku tidak percaya adalah Alex duduk di sampingnya tanpa membuat cela, dia malah menyamankan duduknya, mengistirahatkan tangan panjangnya di bahu si anak enteng.

Am i missing some moments? Since when? And what did Nicholas calling him? Dad?

Memikirkan hal-hal lucu juga menakjubkan membuatku makin tidak berkonsentrasi dan terlambat memulai permainan hingga aku kalah tanpa perlawanan berarti. Baik, sepertinya memang permainan bukan passionku sejak dulu. Aku menyerah dan beranjak, namun sebelum itu menyerahkan konsol pada Alex yang sepertinya sudah siap bermain juga.

Inilah passionku sebenarnya, berada di dapur dan melihat apa yang si alpha bawa dari luar. Menata yang bisa dimakan saat ini juga di atas piring dan menyimpan yang lain di dalam kulkas. Sambil mencuri dengar percakapan ayah dan anak yang sampai detik ini pun aku belum tau bagaimana mereka bisa kulit dan nadi, bahkan kemarin masih sejauh neraka dan nirvana.

“Where's your brother?” Sang alpha bertanya. Hanya mulutnya saja yang bekerja sedangkan tangan sibuk menekan tombol konsol dan mata fokus pada layar televisi. “Mandi.” “Have you eat?” “I have. You?” “I left home early, so...” “Nanti makan aja bareng sama Vis.” “Oh, oke. Papa masak apa?” “Such as english breakfast..” “There's beans in it?” “Kamu gak suka bake beans?” “Suka aja but, beans in english breakfast kinda.. yucks?” “Nanti aku makan. Aku suka itu.”

Aku tidak bisa berhenti tersenyum haru atas percakapan sederhana. Well, secara tidak langsung mereka saling mempelajari masing-masing. Apa yang dia suka apa yang lainnya tidak suka. Aku lega bahwa semakin hari apa yang harus diperbaiki semakin baik adanya.

Setelah itu suara langkah kaki yang beradu dengan tangga kayu terdengar. Muncul satu lagi remaja dengan wajah masih penuh kantuk. Baunya wangi berasal dari sabun mandi dan pelembut pakaian. Bak turun dari kahyangan dia mendapat perhatian dari seluruh pemirsa.

Dia meletakkan handuknya pada besi tempat menggantung kain handuk. Berjalan gontai menuju ruang tamu tepatnya pada sofa lumayan panjang satu lagi yang kosong. Dihempaskan tubuh kurusnya disana, memperhatikan kakak dan ayahnya yang sudah bersemangat dengan mata malasnya.

“Hey kid? Mana semangat liburannya?!” Celetuk Alex diiringi kekehan. Sedangkan yang tengah terlentang di atas sofa mulai menutup lagi kedua matanya.

“C'mon beat me in the game!” Ajak yang dewasa. Yang muda membalas dengan gelengan malas.

Kakaknya beranjak tiba-tiba, melempar konsolnya sembarangan hingga mendarat tepat di perut adiknya. Menghampiri aku yang tengah menata berbagai jenis makanan ringan di atas meja.

Viscount bangun dengan malas, berpindah tempat dari sofa yang lebih kecil menuju samping ayahnya, menggantikan posisi kakaknya yang belum lama pergi dari sana.

Aku memperhatikan gerak geriknya dan menganga ketika Viscount duduk menempel pada bahu Alex. Lebih dari itu dia juga meletakkan beban kepalnya di atas bahu sang ayah.

Jujur saja melihat kedekatan kecil Nicholas sudah membuatku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Tapi dia adalah Nicholas, aku tahu sendiri sejak awal mereka berhubungan layaknya teman lama. Namun, ini Viscount yang seperti punya masalah pribadi bahkan pengalaman buruk pertama kali dirinya bertemu Alex.

Look at them both right now! Sudah seperti ayah dan anak yang dekat sejak hari kelahirannya.

Sukar terbayang dalam benak maupun pikiran bahwa hari ini akan datang. Hari dimana semua doa dan harapan terkabul dalam pandang. Sebuah keluarga yang sengsara, bertahun masing-masing berpetualang. Sebuah keluarga yang akhirnya dapat bersatu di bawah atap yang sama sembari bertukar cerita hingga tercipta kelakar senang.

Terima kasih Yang Maha Pencipta. Setidaknya hari ini menjadi awal dari hari panjang selanjutnya. Patutlah kita mensyukuri. Besar kecil hal yang terjadi dalam hidup kini.

Maka inilah sebuah keluarga yang terikat pada tali darah yang sama. Inilah sebuah keluarga yang mengenali lahir batin kehadirannya. Inilah sebuah keluarga yang saling mendekap dalam susah maupun duka. Dan akhirnya inilah sebuah keluarga yang telah berkumpul seutuhnya bersama.


`hjkscripts.