teenage problems.
Nicholas Point of View.
Melihat rumah sepi di hari minggu begini tentu gue gak terbiasa. Hari minggu itu adalah hari keluarga, hanya ada papa, gue, dan Viscount. Entah kita yang nonton televisi bersama, entah kita akan bermain permainan papan dan papa jadi pupuk bawang yang akan kalah pertama kali sebab dicurangi. Pun kita hanya akan berdiam diri, menikmati kegiatan masing-masing tanpa suara. Terpenting kita akan bersama di satu atap rumah sederhana.
Ini kali pertama dalam seumur hidup. Kala kaki menyentuh lantai bawah tidak ada sapaan selamat pagi melainkan sunyi. Rumah bersih tertata rapi seperti tidak ada penghuni sejak semalam. Hanya ada tumpukan makanan cepat saji yang ada di atas meja.
Gue menyentuh dan melihat isinya satu per satu. Sudah dingin menandakan makanannya sudah ada sejak lama. Gue memanaskan beberapa potong pizza, satu kotak pasta dan mengeluarkan dua soft drink juga kue brownies kukus dari dalam kulkas. Menyingkirkan kotak yang tersisa dan menata yang masih hangat di atas meja makan.
Viscount turun tepat ketika gue telah selesai menyiapkan brunch seadanya. Rambut masih basah, wajah lesu bukan segar khas orang selesai mandi. Gue meletakkan piring berisi dua potong pizza dan setengah porsi pasta juga minuman berkarbonasi. Gak lupa membuka penutupnya agar bisa diteguk.
Viscount makan dengan tenang, pelan gak seperti biasanya yang sampai diomelin papa soalnya belum habis di mulut sudah dimasukkan lagi satu sendok. Melihat rambutnya masih meneteskan air gue berinisiatif mengambil handuk kecil yang menggantung di pundaknya, mulai mengusap rambut dan kepalanya telaten hingga setengah kering, juga menata rambutnya sedikit agar lebih rapi.
Kita makan tanpa suara, terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Mungkin terlalu bingung darimana harus memulai atas informasi yang diterima. Terlalu banyak, terlalu berat daripada memahami berita politik dari sosial media.
Kita berdua duduk berjajar di depan televisi yang menayangkan cerita tentang keluarga bahagia. Menontonnya dengan pandangan kosong tidak seperti biasanya yang akan ikut berimajinasi bagaimana kalau kita yang berada di sisi mereka.
Ternyata memang gak mudah, sebab kita berdua telah terbiasa hidup dengan papa dan kedatangan dad sebagai pelengkap... apa benar kita butuh pelengkap? Apa benar hidup sebagai keluarga yang kata mereka sempurna itu yang kita butuhkan?
Pangkuan gue mendadak berat oleh sebuah kepala yang dilimpahkan empunya di sana. Viscount menggeliat menyamankan tubuhnya bergelung di sofa. Paha gue terasa basah atas satu tetes air mata yang meluncur begitu saja. Mereka diseka kala gue mencoba mengintip memastikan apa benar mereka datang dari mata nakalnya.
I know... I understand... It is too overwhelming for us. Semuanya tiba-tiba dan serba mendadak.
“You like him, do you?” Akhirnya dia bersuara meskipun dengan dana serak. Gue paham siapa dia dalam percakapan kali ini.
Jujur gue membalas, “Gak ada alasan yang bikin gue gak suka sama dia dan gue yakin lo juga.”
Bukan tanpa alasan gue berkata demikian. Bukan maksud gue membuat keputusan jika Viscount gak bisa membenci Sir Alex. Namun, gue sebenernya tahu di dalam hati nuraninya dia menyukai Sir Alex sebesar kita semua menyukai beliau.
Viscount mengangguk, tandanya dia setuju atas pernyataan gue. “I don't want to hate him. I do not hate him either. Tapi fakta bahwa dia ninggalin kita, membiarkan papa hidup sendiri, membesarkan kita sendiri. Gue gak bisa.” Jelasnya semakin tergugu.
Iya gue juga mengerti alasan yang satu itu. Viscount adalah satu-satunya dari kita yang kurang memiliki sabar. Dia yang akan selalu melindungi papa dari gunjingan buruk yang sebenarnya kita gak tahu keabsahannya.
Gue pun sama, gue gak bisa benci tetapi gue butuh banyak waktu untuk memproses semua informasi. Papa adalah pangeran, mantan raja yang tengah sakit di ibu kota adalah kakek kita, raja saat ini pula adalah kakak dari papa, juga mengetahui bahwa si anjing gila anak mantan presiden amerika itu adalah ayah kita yang lain. Wah, kepala gue mau pecah mikirinya.
Masih banyak pertanyaan yang ingin gue tau daripada apa yang kemarin dijelaskan. Masih banyak yang ingin gue mengerti. Setidaknya semakin banyak gue tau ceritanya, gue akan cepat paham dan mengerti tentang keadaan yang akan gue jalani.
`hjkscripts.