rumah duka.
Henry Point of View.
Berlari aku terus berlari. Enam belas tahun hidup aku terus berlari. Aku terus berlari sebab aku takut jika berhenti mereka akan menangkap ku kembali. Aku terus berlari sebab aku takut jika berhenti mereka akan mengurungku lagi.
Berlari aku terus berlari. Meski napas kadang kala tercekat aku tidak bisa berhenti. Meski peluh penuh membahasi aku tidak bisa berhenti. Meski terserang dehidrasi aku tetap tidak bisa berhenti. Aku ingin berlari hingga ujung dunia yang senantiasa menanti. Aku ingin berlari sampai mati.
Berlari aku terus berlari. Namun aku ingin juga berhenti. Berhenti pula aku lebih letih timbang terus berlari.
Kata mereka berhenti adalah sebuah kesempatan untuk diriku memperbaiki. Kata mereka berhenti adalah sebuah harapan untuk masa depan lebih baik untuk hari ini. Kata mereka berhenti adalah sebuah keharusan untuk aku dan kebaikan akal nurani.
Tapi bagaimana jika telah terlambat berhenti? Niat hati memperbaiki malah ditinggal mati. Dia sudah mati, dan kini seperti roda dunia yang berhenti.
Aku bergeming, berdiri menatap kosong. Menatap hampa pemandangan di depan sana. Satu persatu air tanda kelemahan luruh tanpa diminta. Tak ada ekpresi kesakitan atau kesedihan, sebab isi kepala bersih seolah kopong.
Hati menjerit kehilangan, mata panas merah seperti kebakaran namun seluruh organ lemah untuk bereaksi. Otak malfungsi sehingga satu tubuh ikut diam terhenti. Mereka juga ikut aku berkabung. Mereka pula ikut aku terjatuh dalam kelam palung.
Aku benci bukan berarti aku berharap dia pergi. Aku marah bukan berarti aku berharap ingin dia terjarah. Aku berdarah bukan berarti aku berharap dia susah. Aku sakit hati bukan berarti aku berharap dia mati.
Ayah, tega nian engkau pergi tanpa permisi. Tak ingatkah anakmu belum merelakan mu pergi. Ayah, tega nian engkau menutup mata dan mulut bungkam. Begitu enggan kau menungguku berada di sampingmu. Begitu enggan kau mendengar nada ikhlas ku melepas dirimu.
Ayah, mana lantunan maaf untukku yang setengah hidup memenuhi siksa darimu. Ayah, mana ekpresi bersalah untukku yang setengah hidup rela dikubur hidup dengan tanganmu.
Benar ini balasan darimu? Menyiksaku seumur hidup dengan penyesalan yang terus mengikutiku layaknya bayangan. Benar kejam tingkah lakumu, hingga mati pun masih memberi pelajaran untukku, sebuah ketakutan yang terus melayang di atas awan.
Sesak di dada kian gulita yang terus ku pandang. Kebas kaki dan lengan, lelah tubuh terduduk tegang. Aku jatuh, tak berharap siapapun untuk menopang. Aku jatuh, membiarkan fisikku sakit demi mengurangi yang di dalam.
Siapa kamu wahai lelaki yang dengan berani menangkap lemas ragaku. Siapa kamu wahai lelaki yang tidak memiliki tata krama langsung mendekapku. Siapa kamu wahai lelaki yang kurang ajar membisikkan kata penenang di samping dua telingaku.
Dia yang kini berteriak frustasi seolah aku akan ikut pergi. Dia yang kini menggerakkan ragaku berantakan berharap masih ada sisa kewarasan kembali. Dia yang kini meremas sepuluh jemari yang makin dingin setara detik terus bergerak. Dia yang kini mencium keningku, memberi kehangatan miliknya pasrah.
Ketika hangat terserap lalu mengalir cepat mengisi syaraf-syaraf beku, mencairkan otak sehingga berfungsi kembali. Pun ketika kesadaranku kembali hanya raungan depresi yang menyelimuti. Tak ada lagi yang bisa membuat air mata kini berhenti. Kata-kata penenang mana yang ampuh untuk menghapus kesedihan yang aku alami.
Aku jatuh tak berdaya. Aku tersungkur di atas tanah. Aku jatuh tersungkur melebur berantakan.
Inilah kali pertama dalam belasan tahun pelarian, dua kaki memijak tanah penuh nostalgia derita. Pula kali pertama dalam kurun waktu bersembunyi, seluruh raga kini diselimuti pakaian yang akan menyita canda tawa bahagia.
Aku melihatnya dia yang damai dalam peti. Dia yang tidur tanpa peduli keadaan disekitarnya. Dia yang entah melihat atau tidak anaknya yang lama pergi datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku melihatnya dia benar ayahku.
“Henry...”
Aku tak peduli akan suara yang memanggil namaku jutaan kali. Aku juga tak peduli akan mereka yang memelukku lega atas hadirnya aku disini. Tidak hanya Beatrice adikku sendiri ataupun raja sang pemimpin negeri.
Harusnya dia juga ikut menyambut kedatanganku. Harusnya dia duduk dengan wajah angkuh. Minus senyum ketika aku menunduk patuh. Harusnya dia dan suaranya yang menggelegar penuh amarah. Harusnya dan harusnya begitulah cerca manusia dengan penyesalan.
Terakhir untuk selamanya aku memahat paras lelah tua dalam hati. Membuang yang membuat sakit hati dan mengganti dengan yang tengah terlelap damai. Setidaknya bukan wajah kecewa yang tersisa, namun wajah tenang yang membuatku mengingat akan ayah yang sebenarnya.
Terakhir untuk selamanya aku bersujud di depan peti. Membuka yang menghalangi antara dunianya dan dunia milikku. Merasakan kini telapak tangan tekstur kulit tua dengan banyak keriput. Aku membelainya dengan hati-hati seraya nurani membacakan doa penggiring yang akan menemani jasadnya menuju nirwana.
Terakhir untuk selamanya aku mencium keningnya. Mereka yang sering berkerut tanda kecewa kini halus seketika. Lantas aku bangkit, menutup kembali helai kain yang membatasi dunianya dan dunia milikku. Berbalik tubuhku menandakan bahwa aku mengikhlaskan kepergianmu.
Selamat tinggal sang pemanggil hadirnya aku. Kau yang menyambut lahir putramu dengan senyum bangga. Kau yang memberikan gelimang harta dan gelar tak mudah.
Selamat tinggal sang lelaki yang ku sebut ayah. Kau memanglah raja yang bijaksana, namun bukan kepala keluarga baik untuk anak-anaknya. Meskipun begitu, bagiku kau tetaplah seorang ayah. Ayah yang akan ku kenang hingga nafasku terhenti.
Kini berakhir sudah deritamu dan deritaku di bumi. Semoga di atas surga nanti, jika takdir ingin kita lanjut memperbaiki, kita akan bersama menjadi keluarga yang lebih baik lagi.
`hjkscripts.