paradigma.


I. Bagian Satu : Pikiran

Sebagai seorang lelaki yang tengah berusaha beginilah langkah gue. Dalam tujuh hari yang ada di kalender, gak ada satu haripun di jadwal gue yang kosong. Setidaknya belakangan ini. Gue yang lima hari disibukkan bekerja, atur komunikasi sama anak, dan dua hari akhir saatnya berubah pake kostum bertuliskan menantu budiman.

Gue gak peduli gimana nasib fisik dan mental gue. Pun, gue sudah sampai ditahap mati rasa. Capek ya tidur, setres ya ngopi, kalo ada anak di rumah kosplay jadi bujang mahasiswa alias ngajak tanding PS. Kalo ditanya menikmati atau gak, gue cuma bisa yaudahlah, mau gimana lagi. Idup ya baiknya emang dijalanin aja.

Pada proses ini gue patutnya bersyukur aja. Tanpa siapapun sadari mama suami gue udah gak sekejam dulu. Masih marah marah, masih pedes mulutnya tapi ya mendingan lah. Senjata yang gue persiapkan tiap tempur cuma wejangan ibu. Harus tahan, gak boleh emosian. Diusir ya bertahan, dicaci dijawab senyuman. Soalnya, kita gak pernah tau mungkin yang sedang gue hadapi cuma sebatas ujian.

Setelah beberapa menit gue habiskan buat desek-desekan sama ibu-ibu di pasar, akhirnya gue berhasil kembali ke mobil dengan keadaan hidup. Buset dah padahal cuma jualan kue basah warna-warni tapi yang beli harus berani mati. Gue si paling tinggi kalah sama ibu yang berani adu belati.

Gak lagi-lagi dah beli di situ. Ntar gue bakal survei dari internet sama temen kantor tempat beli jajan pasar yang antriannya lebih manusiawi.

Sampainya gue di rumah mama, gue lihat beliau lagi senandung sambil siram taneman. Bahagia banget kayaknya hari ini. Tapi pas gue ucapkan salam dahi beliau mengkerut sebel. Gue pede aja tetep senyum walau hati ketar-ketir, kulit kepala keringetan bukan main.

“Mah.” Gue mendekat diikuti Mark buat salim. Beliau langsung nyemprot gue pake kata-kata mutiara.

“Ngapain kalian ke sini? Ngerusak mood saya aja.”

Gak papa, yok semangat yok. Demi dua keluarga yang bakal bersatu kemudian hari.

“Job mau nengokin mama sama papa aja. Mama sama papa gimana keadaannya?” Beliau acuh, lebih fokus sama kegiatannya.

“Ini mah, Job bawain kue basah. Job beli di tempat langganan mama kok, pasti enak.” Mama masih gak peduli.

Namun, gue masih tetap wajib bersyukur. Sebab, apapun yang gue bawa nggak diterima pula gak ditolak begitu aja. Namanya juga proses. Dari pertama kali gue melakukan ini terus sekarang gak diusir dari rumah udah sujud syukur banget. Pun, info dari suami gue jajanan yang gue bawa kadang di makan kok sama beliau tapi pas gak ada gue aja.

“Kak, adek!” Udahlah Bas itu ibarat malaikat penolong gue dikala situasi pelik. Buktinya dia dateng saat gue udah bingung mau ngobrolin apa lagi.

“Didi...”

“Adek, anak kesayangan didi kangen banget sama kamu.” Jadilah dipertontonkan adegan teletubbies. Padahal pas tinggal satu atap jarang banget manja begini.

Tapi gue juga gak bisa pungkiri kalo gue juga kangen berat sama suami. Gue sudah gak biasa hidup sendiri. Apalagi perkara jatah sehari-hari. Serius dah, main solo udah gak seenak waktu masih mandiri.

Gue kangen godain sampai pipinya merah, terus bibirnya gue bakal jamah. Dia pasrah, berakhir lepaskan helai kain yang kian basah. Lalu, kita akan bergerak liar sembari mendesah melupakan segenap keluh kesah.

“Kak?!”

Bangsat!

“Iㅡiya?” Reaksi gue bodoh.

“Ayok masuk! Mikirin apa kamu sampe ngelamun gitu?”

Aduh, nggak kok sayang. Gak mikirin apa-apa.


II. Bagian Dua : Pandangan

Sebagai seorang ibu gak ada satupun dari mereka yang ingin anaknya tak hidup dengan baik setelah diri ini menghilang dari dunia. Sama, saya pun begitu. Saya ibu dari dua anak perempuan dan satu lelaki.

Mungkin bagi dua putri, saya adalah satu dari sekian orang tua yang gagal bagi kasih secara rata pada tiga anaknya. Saya akui sedikit begitu, tapi saya lakukan bukan tanpa alasan.

Putri-putri saya itu semua wanita tangguh. Mereka tumbuh dan belajar memandang dunia dengan cara yang sama dengan orang dewasa pada umumnya. Hidup dalam dan luar rumah mereka balance, tau harus bagaimana bertindak, tau bagaimana bersikap atas positif dan negatif yang datang di hidup mereka. Melihat perkembangan mereka saya sedikit punya rasa takut.

Berbeda dengan anak bungsu lelaki saya namanya Bas. Tidak seperti anak lelaki sebayanya dia tipe si pemalu. Hidupnya hanya sebatas rumah dan sekolah. Teman yang dia punya hanya saya, papanya, dan dua kakak perempuan.

Sebagai anak lelaki Bas kecil terlalu polos. Saya ingat jantung pernah hampir copot waktu dia mau dibawa orang gak di kenal hanya karena mengambil bola basket yang tak sengaja terlempar ke luar pagar. Jika saya tidak keluar saat itu, hari ini saya tua bersama rasa penyesalan.

Saya kaget, ketika suatu hari Bas yang tak pernah meminta apapun berbicara kepada kami orang tuanya.

“Didi mau sekolah di luar Jakarta.”

Bas, kalau kamu tau perasaan mama hari itu kamu mungkin gak akan pergi ninggalin mama ke Surabaya. Namun, saya hanya orang tua yang enggan menghalangi keputusan anak saya, saya tak mau jadi ibu kurang support bagi anaknya. Sehingga, ketika semua cara sudah saya lakukan demi membuatnya bertahan gagal, saya pun melepaskan dia.

Tidak ada hal negatif yang harus membuat saya ketakutan semenjak ditinggal Bas ke Surabaya. Dia mulai mendapatkan teman dan saya bahagia sekali waktu liburan semester tiga ada satu lelaki yang dia bawa untuk berlibur di Jakarta. Namanya Job, anak asli Surabaya. Katanya dia ini teman yang paling dekat sama Bas.

Hari itu saya tak sadar bahwa kedekatan mereka sebab ada intensi lain dari lawannya. Di akhir masa studinya, kala Bas sudah dinyatakan lulus kuliah anak itu datang lagi ke rumah saya. Berbekal pekerjaan dan tabungan seadanya dia meminta izin agar diperbolehkan meminang putra saya.

Jujur saya berbohong saat itu mengungkapkan bahwa saya sudah punya jodoh untuk anak saya ataupun ada darah etnis yang harus keluarga saya jaga. Hal itu saya lakukan atas reaksi dari ketakutan saya. Saya akan kehilangan Bas bukan hanya selama empat tahun, namun untuk selamanya. Anak yang saya besarkan bukan putra saya lagi setelah ini.

Wajar bukan aksi saya? Inilah naluri seorang ibu. Saya hanya ingin seseorang yang menjadi pendamping anak saya bisa melindungi dia sama kuat dengan saya. Saya ingin seseorang yang ditakdirkan dengan anak saya sama besar sayangnya dengan saya.

Namun, malah kecewa yang saya terima. Bukannya membuktikan, mereka memilih lari pergi meninggalkan saya sendiri.

Puluhan tahun saya sering berpikir, apasih hebatnya lelaki jawa satu itu hingga anak saya rela melepas ikatan keluarga? Seberapa besar valuenya hingga anak saya terlena?

Maka di sinilah saya berdiri, menjadi saksi bagimana dua insan lelaki itu berkomunikasi. Pasang netranya berbinar ketika bersihtatap satu sama lain. Lengkung bibirnya melontarkan senyum paling manis untuk disuguhkan, dan gestur tubuhnya saling memberi kenyamanan. Mereka tak berbohong dengan narasi buatan mereka Iya kami benar bahagia.

Apakah ini jalanmu untuk menunjukkan bahwa keduanya patut bersama?

Lantas, apa saya punya pilihan tetap pada pendirian saya jika ujung dari kisah ini adalah kebahagiaan anak saya?

Tolong satu kali lagi tunjukkan pada saya apapun, jika memang dia takdir putra saya terlepas dari kesalahan masa lalunya. Sebab, saya tidak mau terjerumus pada lubang penyesalan.


III. Bagian Tiga : Nurani

Aku menggenggam erat pergelangan tangannya. Menarik tubuhnya berdiri agar mengikuti. Dia tak berkata, dia jadi si penurut di atas tanah ini. Akulah yang berkuasa.

Sebelum memasuki ruang lebih sempit, aku memastikan sekitar. Anakku entah ada dimana. Persetan dengan orang, ada tugas yang harus aku selesaikan.

Kala pintu berhasil terkunci, aku mendorongnya hingga terhimpit partisi. Aku berjinjit, setarakan bibir dengan bibir hingga serupa refleksi. Deru napas terdengar bak melodi klasik pembangkit birahi.

“You put it, did you?” Suaranya parau mencoba interogasi.

Tawa licik tak bisa kutahan lagi, “When I said mau cium, it means something more than that.”

“Youㅡ” Aku menciumnya menggoda.

“It's getting hot inside, huh?”

“Hum.”

“Then, i'll write them good reviews and five stars as well.”

“Sure. But, now you tell me how deserve you're for five stars little slut.”

Kami tertawa dalam panas api membara. Aku mencumbu tiap jengkal bibirnya. Oh lord, i miss him so bad that i'm going to fuck him till dawn.

Hahhh Ahhhh.

Dia mulai bersenandung lagu yang paling aku gemari. Bibirku mulai mencari bagian tubuhnya yang belum basah terjamah. Lima jemari tak bisa diam saja, mereka bersatu menembus lapisan kain yang menutup gundukan pembawa bahagia.

Ohh shit, sayang.

Teriaknya kacau saat mereka mulai menggenggam dan bergerak seduktif mengaktivasi merapi yang masih terjebak di alam mimpi.

“It's getting hard down here, dad.”

“Please him, sayang.”

Aku bersimpuh bagai pengawal kerajaan akan menghadap pada baginda. Kala pintu dibuka, aku disambut olehnya yang tengah memamerkan pedang. Aku datang kemari sebagai abdi yang sanggup menuruti setiap instruksi.

Pertama aku menggenggam, penampakannya panjang, kuat, dan kokoh. Lalu, aku mulai membelai, perlahan bagai benda paling berharga. Selanjutnya aku memasukkan pada lubang yang dianggap rumah, kugerakkan maju mundur sebab masih terkesima dengan bentuknya.

Ahhhh Hhmmm

Dia telah basah bermandikan saliva. Terkadang aku juga bermain dengan dua zakarnya.

Shhhh basss

Benar, desiskan namaku begitu. Terpacu, aku menggebu-gebu. Irama bibir dan jariku mulai tak beratur hingga memicu kedutan hebat akan tibanya air serupa susu. Terakhir, lenguhan panjang menjadi tanda puasnya permainan babak satu.

Dia lantas menggendongku, menjamah bibirku meminta berbagi cairan pembangkit energi. Dia meletakkan punggungku di atas singgasana berlapis sutra. Aku adalah seorang tawanan dalam kuat jasmaninya. Aku terperangkap dalam penjara tanpa gengsi.

Lelakiku dengan cepat melucuti kian banyak pelapis diri. Berpendar sangat binar matanya menangkap polos ragaku. Dia pun sama, melepas beban tubuhnya mencari kehangatan. Kini kita tak berinci, melekat kulit berbagi peluh. Saliva meleleh sebab liarnya gerakan cumbu.

“Kak Job, don't playing with me.”

Ughhh Sshhh Hhhh

Aku mendesahkan namanya, memohon kepada baginda agar berhenti bermain dengan lubang senggama. Darah semakin berdesir, tubuh mulai merinding dibuatnya.

AHHHH!

Teriakku akan serangan tiba-tiba. Satu jemari panjangnya berhasil menginvasi. Dia bergerak keluar masuk dengan ritme perlahan. Lubang dihentak, ular memberontak. Semakin dijarah, muncratlah cairan bisa.

“Aku kangen rumah, sayang.” Bisik suamiku dengan suara bariton. Tak lupa dia mengecup, meniup cuping membuat semakin menggelinjang.

Dengan napas masih memburu, aku terbata memberi validasi. “Then come home.”

Dia tersenyum puas, melumat bibirku singkat lalu membuat banyak tanda tinggalkan bekas.

Aku bagaikan sebuah konstitusi yang ditinggal pemimpin negeri. Sehingga datanglah bangsa lain yang ingin menguasai. Dia masuk, diruntuhkan seluruh bekas kekuasaan. Dia mengoyak hebat, bergerak hingga aku tak berdaya. Hanya erangan pasrah yang menjadi sebuah tanda bahwa aku adalah miliknya.

Ahhhh uuhhhh hhmmm aahhh

“Kamu sempit sayang...”

Gila aku dibuat gila, hingga lubang senggamaku menghimpit besar miliknya di dalam. Lama dia bergerak, memberikan kenikmatan tiada tara. Semua rasa rindu terbayar tuntas dengan persetubuhan.

Kala syaraf miliknya berkedut hebat dan gerakannya semakin kuat. Tangan-tanganku kian mengerat. Lantas, sahut-sahutan erangan panjang dan aliran hangat dalam lubang menjadi obat penyembuh sakit meriang.


`hjkscripts.