l' amour.
“being with you, I regret nothing” -anonymous
a poddgawin alternative universe
warning : cerita ini dibuat untuk kebutuhan hiburan semata, fiksi. segala kesamaan nama cast, nama tempat, legenda daerah, dll hanya meminjam untuk kebutuhan jalan cerita. kesalahan penulisan kata/tanda anggep aja bonus
Soekarno-Hatta International Airport, Tanggerang.
Perhatian, para penumpang pesawat AirFrance dengan nomor penerbangan AF259 tujuan Paris Charles de Gaulle Airport dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu A12.
“Mah, Pah, Podd berangkat ya.”
Seorang pemuda dengan perawakan tinggi tengah memeluk sepasang suami-istri paruh baya. Seakan tak sanggup air matanya terus lolos dari pelupuk mata meskipun masih ada usaha untuk terus tersenyum. Sang lelaki paruh baya terlebih dulu menyudahi acara paling menyedihkan selama membesarkan seorang putra, pergi melepaskannya ke khalayak luas. Sang istri pun mengikuti sembari mengusap air matanya juga mencoba untuk memberikan senyum terbaiknya pada sang putra.
“Hati-hati. Langsung telfon Mamah kalo udah sampai. Jangan lupa buka chat Mamah di whatsapp, udah dikirim sama gambarnya biar kamu nggak salah beli model tasnya.”
Sang anak yang tadinya menatap ibundanya iba malah tertawa geli. Namanya juga ibu-ibu sosialita.
“Mah, Podd kesana mau belajar loh bukan liburan atau belanja.” Balasnya. Ia mengingatkan sekali lagi bahwa tujuannya ke Perancis untuk mengikuti pertukaran mahasiswa selama 6 bulan.
Pria jangkung pemilik nama Podd itu lekas menggenggam erat pada pegangan koper. Ia menyeret perlahan menuju pintu boarding, sesekali menengok ke arah orang tuanya yang terus menerus mengiringinya dengan lambaian tangan.
Dalam hatinya terus menyemangati diri bahwa Perancis adalah tempat yang tepat sebagai langkah pertama menuju pendewasaan.
“Perancis, please be kind with me.”
Panthéon-Sorbonne University, Paris ㅡ 08.45 am
Perancis. Negeri sejuta mimpi, sejuta mode fashion, tak lupa akan kisah romantisme yang didamba para pendatangnya. Disinilah lelaki Podd itu berada, tepatnya pada jantung negeri Kota Paris itu sendiri. Langkah panjangnya bergerak cepat menyusuri riuhnya jalanan ibukota, menyebrang dari satu sisi ke sisi yang lain hingga tubuhnya mematung sejenak memperhatikan betapa indahnya bangunan kuno tempatnya akan menimba ilmu untuk 6 bulan kedepan.
Podd menatap gerbang tinggi nan tua itu penuh bangga. Aksi pengamatannya terganggu akibat alarm jam tangannya telah menunjukkan pukul 9 waktu Paris yang mana artinya Ia harus segera berkumpul bersama rombongan students exchange yang lain guna menjalankan masa orientasi. Tenang, orientasi disini bermaksud untuk menunjukkan betapa besar dan megahnya bangunan yang telah beroperasi sejak tahun 1971.
Podd menegakkan tubuhnya mantap, melangkahkan kaki kanannya terlebih dahulu melewati gerbang kampus. Ia sangat mengingat tata krama yang diajarkan ibunya bahwa saat memasuki tempat baru alangkah baiknya menggunakan kaki kanan terlebih dahulu agar urusannya dilancarkan. Kali ini Podd memilih sedikit berlari pasalnya jarum panjang sudah menunjuk angka 5 dan Ia benar-benar tak ingin tertinggal rombongan berkeliling kampus untuk kebaikan dirinya selama berkuliah kedepan. Setidaknya harus mengingat letak ruangan penting dan ruang kelas.
BRUKK!
“Désolé...”
Bak datang dari negeri antah berantah, sosok pria seketika muncul menabrak tubuh Podd hingga jatuh terduduk. Demi Tuhan, Podd sangat ingat kaki kanannya yang melangkah lebih dulu, tapi kenapa malah sesial ini. Podd meringis pelan sambil memegangi bagian tulang ekornya yang nyeri, sedangkan pria yang menabraknya merapihkan buku tebal bawaannya terburu.
“Vous allez bien?” Ujar pria itu yang sudah berhasil berdiri tak lupa menjulurkan telapak tangannya berniat membantunya berdiri. Podd yang tengah kesakitan pun mengambil bantuan si pria dengan senang hati.
“Aku sungguh-sungguh meminta maaf atas apa yang terjadi. Aku sibuk dan harus cepat pergi, tolong maafkan aku.” Lanjut pria itu setelah berhasil mengangkat tubuh Podd. Mengoceh cepat dengan Bahasa Perancis dan raut wajah bersalahnya.
Sejujurnya Podd tak mengerti apapun yang dikatakan si pria dihadapannya selain désolé yang berarti maaf. Bagi Podd Bahasa Perancis itu susah. Aneh bukan? Dia datang ke Perancis tanpa mempelajari bahasannya dengan benar hanya tau sebatas meminta tolong, membeli barang, berterima kasih, meminta maaf, memperkenalkan diri, dan sapaan ringan. Setidaknya nilai toefl dan ielts nya hampir sempurna, hanya itu modal utamanya.
“I'm ok.” Balas Podd. Hanya dua buah kata namun mampu membuat pria asing ini menghela napas lega.
“Aku akan mentraktirmu makan jika ada kesempatan bertemu lagi. Aku pergi dulu, selamat tinggal!” Tanpa Podd ketahui artinya, pria itu bergegas pergi.
12.30 pm
Podd berjalan dengan tak bersemangat, jika diperhatikan punggung tegap itu sudah berada pada posisi terendah menandakan pemiliknya sedang susah hati. Ingatkan Podd untuk melakukan protes pada sang ibunda, pasalnya wejangan melangkah dengan kaki kanan tak berlaku di Paris. Keterlambatannya hari ini benar manjadi titik awal kacaunya hari pertama Podd. Tepat pukul 9.20 dirinya sudah tak melihat rombongan students exchange di aula utama yang artinya mereka meninggalkan Podd. Berbekal brosur peta kampus Podd berusaha mencari rombongannya. Sialnya, Podd tak menyadari betapa luasnya bangunan kuno ini, sudah berkali-kali juga dirinya terkena semprot civitas yang ada disetiap ruangan yang Podd buka tanpa sopan santun.
Akhir pertemuan mereka adalah saat Podd berhasil menjumpai rombongan telah kembali ke aula utama. Bukannya lega, dirinya malah terkena amukan staf pembimbing. Yah, eropa bukan tempat yang tepat untuk terlambat dan ini murni salahnya.
BRUK!
Sungguh Podd sangat lelah dan dia hanya ingin mengistirahatkan tubuhnya pada bangku taman dan sekarang Ia kembali terduduk di tanah. Jika tulang ekornya bisa berbicara pastinya tengah mengomel akibat rasa sakit yang di derita terus-menerus dalam satu hari.
“ARGH! ANJINGLAH.” Teriak Podd geram hingga tanpa sadar mengumpat dalam bahasa ibunya.
Pria yang berhasil menabraknya berjengit kaget mendengarnya. Terlebih saat si pria menengok guna memastikan siapa lagi orang yang sudah ditabraknya hari ini malah lebih mengejutkan. Pria itu lagi?
“You? Again?”
“Orang Indonesia?”
Ucap mereka hampir bersamaan. Podd tertegun saat lawan bicaranya juga melemparkan kosa kata dalam Bahasa Indonesia.
“Eh?”
Lelaki dihadapannya pun tersenyum, lagi-lagi mengulurkan tangannya untuk membantu Podd berdiri. “Gawin, Gawin Caskey.”
“Podd.. Aduh-duh.” Jawabanya sambil berusaha untuk berdiri dibarengi rasa sakit saat tubuhnya ditarik ke atas.
Gawin menuntun Podd perlahan menuju bangku terdekat, mendudukan cowok yang sedang kesakitan itu sebelum duduk tepat disebelahnya.
“Sakit banget ya? Maaf...” Tanyanya dengan nada khawatir yang mana malah membuat Podd jadi merasa bersalah.
“Orang Indonesia juga? Asal mana?”
”....”
Gawin tak menjawab sebab melamun. Podd mengikuti arah pandang netra lelaki itu, masih menatap tangan Podd yang sedang memegangi pinggangnya.
“Gawin!” Seruan Podd menyadarkan.
“Eh- Iya.”
Sedetik kemudian kedua manik mereka bersitatap, saling mengunci satu sama lain. Kalau boleh jujur, Podd pikir mata Gawin sangat indah. Iris karamelnya sangat cocok ditambah hiasan bulu mata lentik miliknya. Entah mengapa jantungnya berdebar, ada perasaan membuncah dalam dirinya. Podd menebak dalam benaknya, orang Indo asal mana yang memiliki rupa seindah pria ini. Jikalau Gawin menjawab asalnya dari surga, Podd tak akan menyangkalnya.
“Semarang.”
“Hah?”
“Aku asli Semarang. Kalau kamu?”
Podd mengusap tengkuknya tanda dirinya sedang gugup. “Jakarta.”
“Oiya, tadi mau kemana?” Tanya Gawin mengingat mereka pasti punya tujuan masing-masing sebelum terjebak dalam situasi ini.
“Ke taman kampus.”
“Nggak mau ke kantin aja?” Tawar Gawin. Kebetulan dia bertemu kembali dengan sosok yang ditabrak tadi pagi dan Ia telah berjanji akan mentraktirnya jajanan.
Podd menggeleng. “Nggak tau tempatnya.”
“Ohh, anak students exchange? Bukannya tadi kalian keliling kampus ya? Soalnya sempet ketemu rombongan gitu di gedung fakultasku.”
Podd tersenyum kecut, “Iya tadi telat, udah ditinggal hehehe.”
Gawin merangkul pundak Podd, menariknya semangat layaknya teman dekat. Podd diperlakukan seperti itu hanya menurut dan mengikuti kemana tujuan langkah kaki si lelaki jangkung akan membawanya. Setidaknya untuk hari ini dia tak khawatir, bertemu seseorang yang datang dari kampung halamannya sudah cukup menjadi anugrah ditengah hari sialnya.
at cafetaria ㅡ 13.00 p.m
Setiap kantin memang menjadi tempat spesial bagi anak sekolahan entah di belahan dunia manapun. Tak ada kantin yang sepi bahkan di Paris. Binar bahagia tertampang pada setiap siswa meskipun tersirat masih ada raut kelelahan disana. Seperti Podd, pria yang seharian ini tertimpa sial tengah memasukkan makanan dengan lahap. Padahal sekiranya 10 menit yang lalu tengah berpikir makanan apa yang cocok untuk perut Indonesianya.
Sekali lagi Podd harus bersyukur karena bertemu dengan Gawin, meskipun harus merelakan bokongnya berciuman dengan tanah sebanyak dua kali. Gawin sangat membantunya dalam berkomunikasi, menjelaskan berbagai bahan makanan yang tersedia sehingga Podd tak perlu merasa kecewa saat menikmati hidangannya. Gawin bahkan bercerita banyak tentang tata letak gedung tua ini layaknya kakak pembimbing. Terpenting, Gawin dengan senang hati mengantar Podd kemanapun di penjuru kampus.
“By the way, lo anak jurusan mana?” Tanya Podd yang kali ini terlihat lebih santai. Mereka berdua sepakat untuk menjadi teman dan menurunkan rasa canggung diantara mereka.
“Ekonomi dan bisnis.”
Podd tersenyum senang, “Sama kalo gitu, gila sih kayak takdir banget gue ketemu lo.”
“Departemen matematika.” Gawin sekali lagi menegaskan.
Podd terbatuk saat mendengarkan penuturan Gawin, “Pardon?”
Gawin terkekeh geli seraya mengendikkan bahu, sudah biasa baginya ditatap aneh saat memberitahu departemen yang diambilnya. Memang universitas ini terkenal dengan ilmu sosial dan humanioranya bahkan mahasiswa jurusan yang lain lebih sedikit dibanding jurusan humaniora. Mahasiswa jurusan matematikalah yang paling terendah jumlahnya.
“Serius? Matematika?”
“Iya, emang kenapa sih...”
“Gapapa, cuma yang gue denger kalau ngambil matematika disini katanya salah kampus.”
Gawin mengangguk menyetujui, banyak sekali rumor yang beredar tentang jurusan matematika Sorbonne. “Aku suka desain bangunannya. Kuno tapi elegan, tempatnya luas juga di ibukota dan yang aku bisa cuma matematika.”
Podd tak menjawab selain hanya menatap penuh kagum. Jarang-jarang Ia menemukan sosok pecinta matematika. Bahkan dalam kamusnya matematika tak lagi ditemukan. Padahal saat ini namanya telah tercantum dalam departemen manajemen bisnis dimana perhitungan akan sangat dibutuhkan.
“Kamu, kenapa Perancis?” Sekarang giliran Gawin yang mengintrogasi lelaki di depannya.
Podd berfikir sejenak, nggak ada alasan khusus kenapa negeri fashion ini menjadi tujuannya selain... “Pengen nyoba ratatouille“
“Hah?”
Gawin menatap lawan bicaranya aneh. Gawin tau film disney satu itu, tentang tikus yang bisa memasak. Tapi menurutnya itu hanya film, tak pernah terpikir pun ada insan di dunia yang datang ke Perancis hanya karena film.
“Beneran... pengen banget ke restoran Gusteau“
Gawin mengangguk awkward. “Iyain aja biar cepet.” Begitu kata batinnya.
3 month in Paris
Hari ini tepat 3 bulan Podd hidup di Perancis seorang diri. Syukurlah dirinya adalah tipe yang cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Yah, walaupun masih dibantu dengan hadirnya Gawin, anggap saja sahabat karibnya disini. Fakta baru yang diketahui dari Gawin adalah pria itu suka dengan fotografi sama dengan dirinya, bedanya cuma kalau Gawin niat pake kamera mahal kalau Podd cuma bekal handphone model paling baru yang kameranya ada bobanya 4.
Hal paling menyenangkan dalam kehidupan mandirinya adalah saat bersama Gawin. Entahlah, pemuda bule yang ternyata asli Semarang itu sangat cerewet namun membuatnya nyaman hanya dengan mendengar ocehannya. Setiap pertemuan mereka, Gawin akan menceritakan segala hal yang dilakukannya selama mereka tak bersama dari hal yang penting sampai hal sampis sekalipun.
“Podd!”
Gawin keluar dari pintu besar penghubung gedung dan taman. Mimiknya kesal, wajahnya merah padam. Setelah jarak mereka sudah dekat, Gawin menjatuhkan badan gembulnya ke Tanah. Paha empuk milik Podd dijadikan bantalan kepalanya, Gawin tak lupa menarik tangan besar Podd, meletakkan di atas wajahnya agar matanya tak bersitatap langsung dengan matahari. Oiya, Gawin itu anaknya juga seclingy itu.
“Kenapa? Prof. Giselle lagi?”
Tak terdengar jawaban menjadikan Podd yakin bahwa penyebab buruknya mood si pemuda ini adalah dosen cantik pengajar mata kuliah matematika pemrograman. Podd ingat bahwa Gawin sangat buruk dalam menggunakan komputer, hanya sekedar bisa yang dasar saja.
“Nanti sore hunting, yuk?” Ajakan Podd yang satu ini langsung ditanggapi dengan binar kebahagiaan pemuda di bawahnya. Sudah terhitung lama mereka tidak hunting foto bersama sebab Podd yang sibuk dengan laporan belakangan ini.
Gawin dengan cepat memasang wajah berpikirnya. Dalam kepalanya telah berputar mencari lokasi yang belum pernah Ia datangi selama 2 tahun hidup di Paris.
“Ke Eiffel lah kita.” Podd menyerukan saran.
Gawin menolak mentah-mentah saran dari pria di atasnya. Hey, Perancis bukan hanya tentang Eiffel. “Aku tau tempat yang lebih cantik daripada Eiffel”.
“Your lead then, baby.” Podd mencubit gemas hidung mancung milik Gawin hingga empunya merajuk sebal.
Podd bisa apa selain menuruti kemana langkah kaki jangkung pemuda sahabatnya. Mengikuti Gawin adalah hobinya sejak 3 bulan ini dan Gawin memang tak pernah mengecewakan.
Sacré-Cœur ㅡ 17.42 p.m
Disinilah mereka berdiri, di puncak paling tinggi menara Sacré-Cœur. Sebuah gereja yang menjadi titik tertinggi Kota Paris setelah menara kebanggaan Eiffel. Lokasi yang lebih tenang dimana masih dapat melihat pemandangan penjuru Paris di sore hari.
Gawin sedang sibuk dengan kameranya, membidik dengan serius pemandangan Kota Paris disertai langit jingga nan cantik. Sesekali bibirnya terangkat mendadakan Ia puas dengan hasil karyanya. Sedangkan Podd hanya bersandar pada pembatas, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya sesekali melirik Gawin yang sibuk mondar-mandir dengan semangat.
20 menit berlalu, Podd merasakan sebuah gesekan pada lengannya, setelah itu bahunya yang menjadi berat. Adakala kepalanya menoleh ingin memastikan hidungnya bertabrakan terlebih dahulu dengan helai rambut Gawin yang terangkat terkena angin. Tak sangka Podd tersenyum tipis saat hidungnya bisa mencium aroma vanila dari sampo milik Gawin, ringan namun menenangkan.
“Capek?” Tanya Podd. Tatapan matanya sudah beralih pada pemandangan sang surya yang beranjak pergi.
“Banget. Tapi seneng...”
“I was so lonely back then.” Lanjutnya. Iris karamelnya bersembunyi dibalik kelopak yang sedang menutup. Menikmati hembusan angin dingin di wajahnya.
Jemari Podd terangkat, hanya sebatas membenarkan poni milik pemuda disebelahnya. Rambutnya halus seperti rambut bayi, kulitnya putih pucat, hidung mancung yang menjadi favoritnya belakangangan ini. Jemari panjang itupun turun pada benda kenyal berwarna pink pucat, entah keberanian darimana hingga berani menjamahnya. Toh si pemilik hanya diam tak terusik sama sekali. Tanpa sadar kepalanya mendekat, ada bisikan dari hati nuraninya untuk sekedar mencicip bibir mungil itu. Bibir yang selama ini menjadi jembatan antara cerita milik si pemuda, bibir yang lebih sering mengerucut ketimbang tersenyum.
Saat jarak hanya dibatasi hidung ke hidung, netra indah itu terbuka. Obsidian mereka bertemu, nafas keduanya tercekat. Ada perasaan gugup akibat suasana mendadak jadi dingin.
Gawin menarik kepalanya menjauh dari bahu nyaman milik sahabat 3 bulannya itu. Bola matanya bergerak gelisah mencari objek apa saja asal jangan milik si pria itu.
“Ehh-uhh...” Mendadak lidahnya kelu, sulit sekali bahkan mengeluarkan alasan apapun.
“Gawin?”
“Aku mau pulang.”
Ucapan mereka bersamaan. Namun, belum sempat Podd menahan lengan pemuda jangkung itu, Gawin lebih dulu beranjak turun dari menara tinggi tersebut. Meninggalkan Podd dengan segala rasa penyesalannya. Meninggalkan Podd tanpa mendengar satupun pembelaan.
Podd's place ㅡ 23.59 p.m
Podd terduduk di depan notebook-nya, tak melakukan apa-apa hanya duduk dengan pandangan kosong menatap layar. Ruangannya gelap sebab sudah waktunya jam tidur, bahkan ini sudah masuk tengah malam di Paris.
Niatan awal dirinya akan menyelesaikan satu lagi laporan wajib bagi perserta students exchange. Namun, apadaya pikirannya terbang jauh pada peristiwa beberapa jam lalu. Imajinasinya dipenuhi bayang-bayang wajah kecewa Gawin. Memikirkan betapa bodoh tindakannya saat tadi, sekarang bagaimana dia akan menemui Gawin keesokan hari.
Ting
1 message from saninasaja@gmail.com
100 days without you
Selamat pagi, kesayangan Nggak kerasa ya udah 3 bulan kita nggak ketemu. Aku kangen banget sama kamu, kangen guyonan kamu yang gak mutu. Kangen gimana kamu suka bikin aku sebel tiap hari.
Podd, kamu sehat-sehat ya disana. Aku juga bakal jaga diri aku disini. Fyi hari ini aku punya firasat ga enak, kenapa ya? Mungkin karena aku capek ngerjain tugas hehehe. Tapi, aku lebih berharap nggak terjadi apa-apa disana?
Podd, aku mendadak cuma mau bilang kalau kamu sengaja atau nggak sengaja kepincut cewek bule yang cantik banget disana, please, let me know. Okay?.
I love you 7200
Podd mengusap wajahnya kasar. 3 bulan telah mengubahnya menjadi sosok tak bertanggung jawab. Jauh di negara kelahirannya ada sosok yang menantinya. Kekasih baik hati yang setia menunggunya kembali. Cewek yang tanpa sengaja ikut terseret dalam drama dilema cinta yang sedang dibuatnya.
“Maaf...” Lirihnya.
5 month 28 days in Paris
Seiring bumi berputar mengelilingi matahari ada waktu yang terus bergerak maju. Tak ada satupun insan yang dapat menghentikan barang sedetik. Dan hari ini, tepat hari terakhir lelaki itu menginjakkan kaki di Paris.
Dalam sebuah bilik minimalis, sosok tinggi nampak berdiri menghadap luasnya Kota Paris dari balik teralis balkonnya. Hari masih pagi dan ini akhir pekan namun hasrat untuk melakukan sebuah kegiatan tak ada yang bersarang. Dari tempatnya berdiri terdengar bunyi lonceng gereja Sacré-Cœur memanggil jemaatnya untuk beribadah. Menara tinggi yang muncul dalam bidang pandangnya mengembalikan ingatanya pada hari itu. Hari dimana dirinya terakhir berinteraksi dengan si pecinta ratatouille.
Jika mengingat momen dimana mereka menginjakkan kaki pada restoran Perancis dengan akhir memesan masakan penuh sayur itu benar-benar lucu. Pria bertubuh atletis yang terus menggerutu akibat bentuk sayuran yang dipotong abstrak membuatnya kecewa, dia hanya ingin ratatouille yang dipotong helai demi helai percis seperti yang di film. Dan hari itu berakhir Gawin yang memasak ratatouille sesuai imajinasi sang sahabat. Kalau boleh jujur dia sedikit merindukan sosok itu.
Gawin bukannya egois. Dia hanya takut, setiap pria itu mendekat dadanya merasa sesak. Jantungnya berdegup cepat, aliran darahnya mengalir tak karuan hingga membuatnya pusing. Jalan terbaik adalah menghindarinya, entah sampai kapan hingga tanpa sadar hari ini adalah hari terakhirnya disini. Fakta lain, Gawin akan kembali sendiri seperti kehidupannya sedia kala.
Ting
1 Message from Podd
Ponts des Amours, Annecy, Perancis
Semilir angin malam menerpa kulit tipis tanpa balutan kain tebal. Dirinya lupa kalau tempat ini dikelilingi sungai luas yang pasti angin disekitarny juga kencang. Perjalanan selama kurang lebih 6 jam dari Paris hanya ditemani celana boyfriend jeans dan sweater tipis.
Gawin berjalan santai melintasi pohon rindang berwarna kehijauan. Suasana hari ini nampak sepi sebab langit telah berubah menjadi gelap. Namun, beberapa pasangan masih tertarik menikmati air lampu-lampu cantik disekeliling mereka.
Gawin sendiri bingung, manakala dirinya menerima pesan foto dari pria yang dirindukannya langsung gegabah menemuinya tanpa memastikan bahwa pria itu benar berdiri di tanah yang saat ini juga dipijaknya. Hati dan otaknya bersatu membuat suara-suara yang menjadi pendukungnya untuk berangkat ke Annecy, tepatnya ke Ponts de Amours atau yang mereka biasa bilang jembatan cinta.
Gawin sampai pada puncak jembatan. Kedua lengannya bertumpu pada besi pembatas jembatan. Jauh disana, matanya memandang aliran air tenang dengan berbagai cahaya warna-warni dari lampu diatasnya. Indah, tapi Ia lupa membawa kamera.
“Mereka bilang, setiap pasangan yang berciuman tepat di puncak jembatan, kisah cintanya akan abadi.”
Gawin terlonjak kaget kala mendengar suara yang amat sangat dia kenal. Pria itu betul ada disini.
“Kamu kesini nyusul aku karena takut aku ilang?” Tanya pria itu.
Gawin terdiam sejenak. Ia sendiri juga bingung jawaban mana yang tepat untuk pertanyaan itu. “Aku juga nggak tau.”
Podd kali ini ikut menumpukkan lengannya di sebelah Gawin. Obsidian teduhnya tak menyisahkan sedetikpun untuk berpaling melihat objek lain. Podd ingin memahat rupa manis lelaki disebelahnya dengan benar, Podd ingin mengingat setiap garis wajah milik Gawin, agar suatu hari nanti dia diberi ijin bertemu Podd akan langsung mengenali pemuda ini.
“Podd...”
Suara Gawin memanggil namanya, kali ini lebih lembut seperti biasa. Semenjak kejadian hari itu, ini adalah kata pertama yang keluar dari bibir favoritnya. Suhu tubuhnya memanas dan jantungnya mulai berdetak saat suara manis itu ditangkap gendang telinganya.
“Im truly sorry for what happened all this time.” Gawin menatap iris hitam legam itu lamat. Ia hanya ingin semuanya berakhir dengan benar tanpa menyisakan penyesalan apapun.
Podd tersenyum lega. “Me too...“
Seperti aliran sungai yang tenang, jemari panjang milik Podd terulur mengusap pipi gembil itu. Memberikan kehangatan pada kulit dingin itu. Rasanya sangat sesak, nafsu ingin memiliki pemuda ini semakin besar bersarang di dalam tubuhnya.
”....I'm sorry that i fall for you.” Ucapannya lirih.
Seperti terjebak dalam negeri dongeng, Gawin dapat merasakan jutaan kupu-kupu berbagai warna terbang mengiringi tiap kata yang terucap. Gawin sadar, detik ini bukan waktunya untuk menjadi keras kepala.
Gawin melepaskan telapak hangat yang masih setia mengusap pipinya, menarik cowok dihadapannya yang tengah menatapnya sendu dalam sebuah pelukan hangat. Keputusan akhirnya, Gawin juga ingin terikat dengan ciptaan Tuhan satu ini.
Masih dalam posisi saling berhimpit, mereka berdua saling mendekatkan wajah. Kedua netranya telah terkunci satu sama lain. Alunan musik dari penyanyi jalanan turut serta memberi kesan romantis seperti halnya di film romansa Perancis. Saat jarak terlampau tipis, keduanya memberikan senyum terbaik lantas menyatukan perasaannya dengan lumatan pada masing-masing bibir.
Dalam hatinya berdoa, entah apa yang akan terjadi keesokan hari biarlah legenda jembatan cinta ini yang menjadi penghubung hati keduannya.
Quand il me prend dans ses bras Il me parle tout bas Je vois la vie en rose.
Epilog ㅡ Podd POV
Soekarno-Hatta International Airport, Tanggerang.
“Podd!”
Suara melengking yang sangat aku kenali. Aku langsung menerawang seluruh penjuru bandara yang ramai sampai mataku menemukan senyumnya. Mau tak mau aku ikut tersenyum hingga terkekeh geli melihatnya berteriak girang menyambut kepulanganku. Tanpa babibu aku langsung menghampirinya.
Saat jarak kami tinggal 1 meter, cewek manis ini langsung memelukku. Akupun begitu, sangat merindukannya. Pelukannya terlampau erat, seperti takut kehilangan. Akupun menepuk punggungnya lembut seraya menenangkan bahwa aku tak lagi pergi dari sisinya.
Pelukan kami terlepas, akupun menangkup kedua pipinya. Dia menangis, meskipun masih berusaha tersenyum manis saat kedua mata cantiknya saling menatap dengan milikku. Tuhan, rasa bersalah ini kembali muncul. Kutukan apa yang akan menimpaku kelak karena menyakiti sosok baik ini, aku akan menerimanya dengan lapang dada,I deserve it.
Aku menggerakkan ibu jariku untuk menghapus jejak air matanya yang masih nampak disana. Memeluknya sekali lagi dengan erat.
“Aku minta maaf.” Bisikku lirih tepat disebelah telinganya.
Suara isakannya terdengar cukup keras. Tangisnya pecah seperti mengadu betapa sakit hatinya dia. Jari-jari kecilnya menggengam erat jaket yang membalut tubuhku.
“Aku gapapa.” Ucapnya masih dengan nada yang bergetar. Ia juga tak lupa menyelipkan senyum tipis seakan memberi tanda kalau dia benar baik-baik saja.
“Ayo pulang.” Sosok cantik itu mengusap air matanya kasar. Mengenggam tanganku erat sembari menyeret tubuh besarku pergi meninggalkan kawasan bandara.
6 bulan kemudian
Sosok tegap melangkahkan kedua kakinya dengan santai diatas lantai putih ditengah hiruk pikuknya bandara. Senyum bahagia tak luput dari bibirnya sejak naik dari pesawat sampai turun sebab hidungnya kembali menghirup aroma rumah.
“I'm home.”
END
au ini dibuat spesial bagi orang-orang kuat dalam dunia per poddgawin/poddfluke-an.
was saninasaja